Jumat, 13 Februari 2009

Sosiologi dan Perkembangannya



A. Pengertian Sosiologi: Objek dan Pendekatannya

Saat ini sosiologi merupakan salah satu bagian dari ilmu sosial meskipun pendirinya Auguste Comte menginginkannya menjadi ratu dari ilmu sosial yang cakupan dan kedalamannya mampu “memayungi” seluruh ilmu-ilmu sosial lain. Secara definitif, “sosiologi” sebagai sebuah konsep diberi makna yang tidak sama antar ahlinya. Hampir setiap ahli merumuskan lagi dalam buku-bukunya apa yang ia maksud dengan sosiologi. Beberapa penulis menuliskan definisinya dengan tegas dan yakin, namun sebagian meyakini bahwa tidak mudah mendefinisikan apa yang disebut dengan ilmu sosiologi tersebut secara ringkas.

Pada intinya, sosiologi mempelajari manusia secara individual dalam konteks sosial. Sebagaimana menurut Ritzer (1878), sosiologi mempelajari manusia dalam hubungannya dengan latar belakang sosialnya, yaitu kelompok, organisasi, budaya, dan masyarakat; serta kesalinghubungan antar semua komponen tersebut. Dari seluruh komponen tersebut, sosiologi mempelajari perilaku. Jadi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial, serta bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.

Definisi ini sebatas menyebut sekumpulan objek yang menjadi perhatian sosiologi. Lebih jauh, Berger (1979) juga menjelaskan apa objek sosiologi, namun menekankan pada kedalaman objek tersebut. Menurutnya sosiologi tidak cukup hanya melihat permukaan, atau apa yang tampak, namun harus mempelajai pula apa di belakangnya (looks behind) .

Jika kedua ahli di atas menyebutkan sisi objek dan kedalaman realitas sosial yang harus diperhatikan ilmu sosiologi, Calhoun et al. (2002) menjelaskan bahwa sosiologi merupakan pengetahuan yang sistematis (sistematic knowledge), dan berupaya menyusun pengetahuan sesistematis mungkin. Hal ini perlu ditekankan karena sosiologi sebagai ilmu sosial sangat berbeda dengan common sense yang juga merupakan pengetahuan tentang kehidupan manusia. Lebih jauh, Calhoun et al. menyebutkan bahwa sosiologi sebagai sebuah ilmu (harus) dapat menjadi pedoman untuk mempertanyakan (inquiry) apa yang harus dipelajarinya, dan menata hasil yang diperoleh secara sistematis. Untuk itu, sosiologi haruslah menggali objek yang menjadi perhatiannya seempiris dan seobjektif mungkin serta secara luas. Sosiologi tidak hanya berisi kumpulan jawaban dari sejumlah pertanyaan tentang masyarakat, tapi menyodorkan apa pertanyaan yang lebih baik dalam memahami masyarakat.

Pada akhirnya sebagaimana halnya ilmu pengetahuan, sosiologi berguna karena membantu mengidentifikakasi pola-pola dalam kehidupan sosial (social pattern) karena ia berupaya melakukan generalisasi dari temuan-temuannya. Meskipun sosiologi mempelajari keseluruhan aspek namun ia memfokuskan pada beberapa aspek saja, dan bertujuan menemukan komponen kemasyarakatan yang bersifat stabil, yaitu berupa pola-pola umum kehidupan masyarakat. Sosiologi membantu untuk memahami suatu kejadian tertentu, menghubungkan dengan berbagai kejadian lain, dan pada akhirnya melihat pola kehidupan sosial, yaitu dalam hal perbedaan dan persamaannya.

Dalam Calhoun et al. (2002) disebutkan bahwa sosiologi bukan untuk kebutuhan praktek di dunia sosial (what should be) tapi merupakan ilmu murni (what it is). Pendapat ini tampaknya tidak diikuti secara taat oleh ahli-ahli lain, karena kelompok Chicago School misalnya dan sosiologi Amerika umumnya yang beraliran pragmatisme menjadikan kemampuan untuk diterapkan dari ilmu sosiologi sebagai semangat kerja mereka.

Untuk menjadi seorang sosiolog, menurut Giddens (2001) yang menyepakati Mills (2000), intinya adalah menanamkan atau menumbuhkan imajinasi. Dalam konteks ini, seorang sosiolog mempelajari bagaimana lingkungan yang dihadapi seseorang dan memposisikannya pada konteks yang lebih luas. Lebih jauh C. Wright Mills (2000) menjelaskan bahwa imajinasi sosiologis akan membantu seseorang, baik sebagai peneliti maupun anggota masyarakat biasa, untuk memahami keberadaannya secara konstekstual dari dimensi waktu maupun keruangan dari kehidupan sosial.

Tidak mudah membedakan sosiologi dari ilmu-ilmu sosial lainnya. Namun Bierstedt (1970), menyatakan bahwa perbedaannya bukan pada isi atau area perhatian, namun pada derajat penekanan pada aspek-aspek tertentu dari objek yang sama. Yang berbeda adalah pendekatan dan kedalamannya (investigated), karena dari segi keluasan ilmu sejarah dan antropologi misalnya lebih luas cakupannya.

B. Perkembangan Pemikiran dalam Sosiologi dan Faktor Penyebabnya

Dalam Bauman dan May (2001) disebutkan bahwa meskipun relatif muda, namun sosiologi berkembang secara terakumulasi sesuai perkembangan sejarah. Sebagai ilmu sosial, teori-teori sosiologi lahir dari kontkes sosial tertentu yang menjadi pendorongnya (social force). Ritzer (2003) juga menyebutkan bahwa semua pekerjaan intelektual dalam sosiologi dibentuk dari lingkungan sosialnya (social setting). Sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20, ada enam kondisi sosial yang menyebabkan lahirnya berbagai teori sosiologi yaitu revolusi politik, revolusi industri (kapitalisme), kelahiran sosialisasi, urbanisasi, perkembangan religi, dan perkembangan keilmuan. Sementara menurut Calhoun et al. (2002) khususnya tentang terbentuknya teori-teori sosiologi, ada empat perubahan besar dalam kehidupan sosial yang berpengaruh, yaitu lahirnya sikap individualisme, terbentuknya negara modern, pekembangan kapitalisme dengan berbagai implikasi teknis ekonominya, dan kolonialisasi bangsa Eropa ke berbagai negara jajahannya. Dari kolonialisasi bangsa Eropa menemukan adanya masyarakat yang hidup dengan berbeda kultur, bentuk organisas sosial, dan kompleksitas pola hidup bersama. Hal ini membuat kalangan ahli harus “merevisi” pandangan dan konsep-konsepnya tentang kehidupan sosial.

Berkembangnya ilmu pengetahuan yang pesat di abad pencerahan (abad ke-17 M) sangat berpengaruh terhadap pandangan mengenai masyarakat. Dari masa ini diyakini bahwa pandangan mengenai masyarakat dan perubahannya harus berpedoman pada akal budi manusia. Lalu, revolusi politik yang dimulai dari revolusi Perancis tahun 1789, memberi ide kepada para ahli bagaimana memperbaiki kondisi yang disorder menjadi tertata lagi. Berbagai gejolak di masyarakat yang diakibatkan oleh revolusi industri dan Perancis berpengaruh secara luas, termasuk menyadarkan kalangan ilmuwan bahwa mereka harus mampu menganalisis perubahan-perubahan dalam masyarakat, dan lebih jauh untuk mengantisipasi berbabagai perubahan di masa mendatang. Analisis tersebut mestilah rasional dan didasarkan pada data empiris.

Revolusi industri dan lahirnya kapitalisme merupakan tonggak sejarah peradaban yang sangat penting. Khusus untuk kalangan sosiologi, empat tokoh utama sosiologi ”lahir” dari kondisi ini yaitu Karl Marx, Max Weber, Emile Durkheim, dan Gerog Simmel. Implikasi lanjutan dari perkembangan dan industri dan kapitalisme adalah urbanisasi yang menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks pada kehidupan perkotaan (urban problems). Kekhidupan perkotaan ini menjadi perhatian penting dari Weber dan Simmel, demikian pula dengan kelompok Chicago School yang menyusun teorinya dari kehidupan di perkotaan.

Berkenaan dengan kelahiran sosialisme, bagi sebagian ahli (terutama Karl Marx) sosialisme merupakan solusi dari permasalahan masyarakat industrial, namun sebagian lain tidak menyetujui (terutama Weber dan Durkheim). Hal ini merupakan titik awal sehingga kemudian kita menyaksikan terbelahnya ilmu-ilmu sosiologi di kemudian hari.

Kehidupan di abad ke-20 sungguhlah berbeda. Setelah era perang dunia pertama dimana kehancuran merajalela, optimisme kalangan ilmuwan mulai dipertanyakan. Weber dan Durkheim adalah dua orang sosiolog yang hidup dan mengalami era ini dan mengalami kehidupan masyarakat modern. Di AS khususnya, Talcott Parsons melakukan sintesa sosiologi kalsik untuk disesuaikan dengan teori sosial yang baru. Kelahiran sosiologi modern tumbuh pesat di benua Amerika, karena di wilayah inilah ditemukan permasalahan-permasalahan sosial dengan variasi dan intensitas yang lebih hebat. Kalangan ilmuwan sosial menyadari bahwa pendekatan sosiologi lama ala Eropa sudah tidak memadai lagi. Berbeda dengan sebelumnya. pendekatan sosiologi modern cenderung mikro, lebih empiris, dan lebih applicable karena dihadapkan dengan era membangun masyarakat sehabis perang.

Daftar Bacaan:

Bauman, Zygmunt and Tim May. 2001. Thinking Sociologically. 2nd edition. Blackwell Publishers.

Berger, Peter. 1979. ”Sociology as A Form of Consciousness” (dalam Peter Berger. Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective. `New York: Penguin Books.

Bierstedt, Robert. 1970. ”The Science of Sociology” (dalam Robert Bierstedt The Social Order . New Delhi: TATA McGraw-Hill Publishing Co. Ltd.

Calhoun, Craig et al. 2002. ”Introduction” (dalam Craig Calhoun et al. Classical Social Theory. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.

Giddens, Anthony. 2001. ”What is Sociology” (dalam Anthony Giddens. 2001. Sociology. Oxford: Polity, Fourth Edition.

Mills, C. Wright. 2000. ”The Promise” (dalam C.Wright Mills The Sociological Imagination Oxford: Oxford University Press.

Ritzer, George; KCW Kammeyer; and NR Yetman. 1978. Sociology: Experiencing A Changing Society. Boston: Allyn and Bacon.

Ritzer, George. 2003. Sociological Theory. 4th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.

*****

Karl Heinrich Marx (1818 –1883)


Karl Marx merupakan tokoh yang unik dalam perkembangan ilmu sosiologi. Ia dikenal sebagai salah seorang “Bapak Sosiologi” meskipun ia sendiri tidak menganggap dirinya sebagai sosiolog (Ritzer: 2008). Pada masa hidupnya, posisi Marx bagi kalangan sosiologi berada di “pinggiran”. Menurut (Beilharz: 2002 ) bukan merupakan sesuatu yang mudah untuk menggambarkan Marx, karena ia dapat diidentifikasi sekaligus untuk berbagai sosok yaitu sebagai filsuf, antropologi historik, sejarah kritis, ekonomi politik, serta sosiologi (dari sisi ilmu dan sekaligus metodologi).

Sosok dan Bangunan Keilmuan Karl Marx

Pemikiran Marx dipahami dengan berbagai pendekatan sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda antar ahli. Sehingga pada saat ini, menurut catatan Beilharz (2002), telah lahir 57 variasi marxisme di dunia. Pengkategorian yang umum adalah antara “Marx Muda” dan “Marx Tua”. Namun demikian, bagaimana perubahan keilmuannya dalam perkembangan waktu tersebut sulit untuk disebut apakah pemikiran Marx berkesinambungan atau telah ada pergeseran kualitatif (Allan: 2005). Sering pula disebut marx tidak konsisten dengan dirinya sendiri (Campbell: 1994).

Dari segi kurun, Marx lebih dahulu dibandingkan E. Durkheim dan Max Weber; namun analisa terhadap keilmuan dan sisi metodologinya tidak berarti menempati posisi lebih awal. Dalam hal metodologi Marx berkata bahwa pengetahuan tidaklah ”ditemukan” tetapi dikonstruksi. Sebagai salah seorang peletak dasar ilmu sosial ia mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tentang manusia berbeda dengan ilmu alam. Satu sumbangan penting yang diberikan Marx adalah penerapan dialektika sebagai metode. Dalam dialektika tidak hanya terjadi hubungan kausalitas searah, tapi hubungan yang timbal balik yaitu dari tesis ke antitesis dan lalu menghasilkan sintesis.

Walaupun Marx menulis tentang banyak hal semasa hidupnya, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas. Pada intinya, meskipun keilmuannya menyumbang kepada berbagai bidang, namun minat utama Marx adalah kritiknya terhadap ekonomi politik. Namun tidak sebagaimana kalangan yang cenderung melihat keharmonisan, Marx selalu melihat dan mendasarkan bangun keilmuan dan metodenya kepada adanya kontradisksi-kontradiksi. Kontradiksi yang pokok pada masyarakat kapitalisme adalah yang terjadi antara kelompok pemilik pabrik (borjuis) dengan buruh (proletar) yang selalu menimbulkan konflik.

Marx sebagai sosiolog Jerman membangun konsep dan teorinya dari filsafat Hegel dan Feuerbach. Marx mengambil dialektika gagasan dari Hegel yang lalu dipadu dengan material religius dari Feuerbach, sehingga menghasilkan dialektika materialistis (Ritzer: 2008). Dialektika Marx adalah hubungan timbal balik antara materi dan pikiran. Materi diubah oleh proses-proses pikiran sementara pada saat yang sama pikiran diubah oleh perwujudannya dalam benda-benda material (Campbell: 1994).

Dari penggalian sejarah kritisnya, Marx berkesimpulan bahwa sejarah manusia pada hakekatnya adalah sejarah perjuangan kelas. Meskipun demikian, pada Marx Muda perjuangan kelas merupakan poros utama analisanya, sedangkan pada Marx akhir beralih kepada struktur kelas, kerja, dan modal sebagai kategori-katogeri formal yang digunakannya. Karl Marx dipandang telah berubah dari seorang humanis-filosofis ke sisi praktis-ilmiah atau ke arah yang lebih sosiologis dam positivis.

Meskipun Marx lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai ekonom, namun kalangan ekonom pada umumnya menolak pemikiran Marx dan lebih memilih condong ke filsafat Hobbes yang lebih sejalan dengan ekonomi neo klasik. Marx sesungguhnya telah menyusun ilmu ekonomi yang lebih empiris yaitu dari modes of production suatu masyarakat, bukan didasarkan pada asumsi-asumsi Hobbes misalnya yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang cenderung individualistis dan memaksimalkan kepuasannya belaka.

Walaupun Marx menulis tentang banyak hal semasa hidupnya, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas. Hal ini dikemukakannya di kalimat pembuka pada buku ‘Communist Manifesto’ tahun 1848:” Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas”. Marx percaya bahwa kapitalisme yang ada akan digantikan dengan komunisme, yaitu masyarakat tanpa kelas setelah beberapa periode dari sosialisme radikal yang menjadikan negara sebagai revolusi keditaktoran proletariat.

Marx tetap berpengaruh dan kontroversial dalam bidang akademi dan politik sampai saat ini. Satu hal yang menarik tentang Marx adalah bahwa sebagian besar kalangan sosiologi setelahnya berkembang karena semangat untuk mengkritik pemikiran Marx (Ritzer, 2008). Bersamaan dengan itu, kitapun harus hati-hati dalam memahami antara pikiran Marx dan Marxisme. Bagi banyak kalangan, hubungan antara Marx dan Marxism adalah titik kontroversi tersendiri.

Masyarakat kapitalisme: struktur dan implikasi buruknya pada kehidupan buruh.

Marx (bersama dengan Engels muridnya) sering dijuluki sebagai bapak dari komunisme, dalam posisinya sebagai kaum terpelajar dan politikus. Ia meyakini kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan memberikan jalan untuk lahirnya komunisme. Marx menyatakan bahwa kapitalisme akan berakhir karena aksi yang terorganisasi dari kelas pekerja. Komunisme adalah pergerakan yang akan menghilangkan keadaan yang ada pada sistem kapitalisme. Perhatian dan sumbangan Marx terhadap apa dan bagaimana sistem kapitalisme berjalan sangat diakui meskipun solusi yang disodorkan Marx sulit diterima oleh orang lain, misalnya oleh Durkheim dan Weber. Penolakan terhadap cara pandang Marx dalam hal jalan keluar dari dampak buruk kapitalisme terjadi dari dulu sampai sekarang.

Saat Marx mengembangkan ilmunya adalah ketika sebagian besar ahli sosial sedang berusaha menata kembali kehidupan sehabis kekacauan revolusi Perancis, dimana kemajuan ekonomi yang dihasilkan kapitalis sedang disambut dengan senang. Namun Marx berbeda, ia lebih tertarik mengupas dampak buruk kapitalisme terhadap kalangan buruh. Ini yang menyebabkan Marx kurang diterima di masanya, karena bagi kalangan ekonom apa yang terjadi pada buruh merupakan konsekuensi dari kemajuan yang telah diciptakan dengan berjalannya sistem kapitalis tersebut.

Menurut Marx, kapitalisme yang berjalan, khususnya pendapatan yang dikumpulkan para kapitalis sehingga menjadi kaya, pada hakikatnya merupakan nilai lebih (suprlus value) dari buruh. Kalangan pemilik kapital hidup dari nilai lebih yang dihasilkan buruh tersebut, yaitu dengan membayar buruh lebih rendah dari nilai kerjanya. Buruh dipaksa bekerja lebih lama agar mampu memberikan nilai lebih tersebut. Buruh telah mengalami eksploitasi, karena dipaksa bekerja lebih untuk memberi pendapatan kepada pemilik pabrik.

Marx melihat - dan sekaligus menyuarakan - apa dampak buruk dari berjalannya kapitalisme yang dialami kalangan buruh. Selain eksploitasi, Marx juga melihat suatu gejala keterasingan (alienasi). Kehidupan buruh yang mesti melayani mesin-mesin dan sistem produksi kapitalis menimbulkan alienasi pada diri buruh. Tidak ada lagi objektivasi pada diri buruh. Buruh teralienasi yaitu ketika ia asing dengan proses produksinya, dari hasil produksinya sendiri, dari sesama pekerja, dan bahkan terasing dari dirinya sendiri (Ritzer: 2008). Bagi Marx hal ini sangat esensial, yaitu tentang nilai kerja dan sifat dasar kemanusiaan.

Alienasi yang terjadi bersamaan dengan akumulasi surplus value untuk pemilik pabrik, menyebabkan hasil produksi buruh telah ”memukul balik” buruh itu sendiri. Dengan nilai lebih tadi buruh telah terperangkap oleh majikan, karena majikan semakin kuat ketika nilai hasil semakin besar. Secara ringkas Marx menyebut bahwa masyarakat borjuis mereduksi nilai kemanusiaan menjadi nilai ekonomis semata. Pemfakiran diciptakan kapitalis secara terstruktur.

Dari berbagai fakta inilah, tidak sebagaimana kalangan ekonom Neo Klasik, Marx sangat pesismis terhadap kapitalisme (Campbell: 1994). Sistem kapitalisme akan runtuh dengan sendirinya karena tidak mampu menciptakan kebebasan kreatif sejati yang merupakan hakekat dasar manusia. Manusia sejati menurut Marx adalah dimana kemampuan produktifnya dikembangkan secara seimbang dan memuaskan. Kondisi ini diyakini hanya akan dicapai pada masyarakat komunis yang akan memberikan kemakmuran material.

Namun, untuk meruntuhkan kapitalisme perlu revolusi yang digerakkan kelas buruh yang berjuang secara bersama-sama. Prasyarat pokok terjadinya perjuangan kelas adalah adanya kesadaran kelas yang terbentuk dari hal-hal yang bersifat materi. Dalam Allan (2005) dijelaskan bagaimana terbentuknya kesadaran kelas. Dua akar utamanya adalah peningkatan level industrialisasi dan perkembangan komunikasi dan teknologi transportasi. Peningkatan level industrialisasi menyebabkan konsentari tempat tinggal buruh, pendidikan buruh, dan produksi yang mengalami komodifikasi. Konsentarasi buruh yang dipadu dengan kemajuan komunikasi dan transportasi memungkinkan relasi yang semakin intensif antar buruh. Pada akhirnya, faktor ini bersama-sama dengan eksploitasi dan alienasi merupakan pemicu terjadinya kesadaran kelas.

Kesadaran kelas belum terjadi pada kondisi class-in-itself dimana orang-orang yang sama tapi belum sadar kelas, lalu menjadi class-for-itself yaitu saat mereka sadar penuh dan lalu mengorganisasikan diri (Allan: 2005). Syarat terbentuknya kelas adalah apabila ada kesadaran ditambah dengan tidak aanya kompetitif secara horizontal. Kesadaran kelas adalah terciptanya kesadaran subjektif tentang kepentingan objektif. Namun, kalangan borjuis berusaha menghalangi terbentuknya kesadaran kelas ini dengan menciptakan ”kesadaran palsu” yaitu dengan meniupkan bahwa buruh masih dapat mencapai kesejahteraan dengan mendukung status quo.

Dalam membahas tentang ”kelas” ini Marx mencampurkan antara sejarah, kategori sejarah, dengan idenya tentang kelas semestinya dimana ia hidup yaitu masyarakat kapitalisme. Dalam membahas sejarah, Marx menggunakan model masyarakat “dua kelas”, mekipun Marx tidak selalu konsisten tentang ini, karena kadang-kadang ia menyebut adanya 3 kelas yaitu buruh upahan, kapitalis, dan pemilik tanah.

Demikian pula dengan kapitalisme yang pada hakikatnya terdiri dari kelas dan struktur kelas yang cenderung bipolar. Bagi Marx, sejarah manusia pada hakikatnya merupakan perjuangan kelas. Pada era komunis primitif masyarakat cenderung tanpa kelas, namun semenjak dikenal konsep hak milik pada era masyarakat perbudakan terjadi perjuangan kelas budak terhadap tuan tanah. Selanjutnya pada masyarakat feodal terjadi pemberontakan kelas petani penyewa terhadap tuan tanah, dan pada kapitalisme adalah perjuangan kelas buruh yang berhadapan dengan pemilik pabrik. Jadi, sebagaimana judul bab pada Kennet Allan (2005) yaitu “Engines of Changes”, konflik lah yang akhirnya akan menghasilkan revolusi. Kelas kapitalis borjuis menghancurkan kelas birokrat (lahir kapitalisme), lalu kelas proletar melahirkan sosialisme

Namun, apa yang akan mewujudkan sosialisme tidaklah semata-mata perjuangan kelas. Aktor perubahan sejarah tidak lagi manusia, tapi teknologi dan ekonomi. Dalam keseluruhan bangun teori Marx, faktor ekonomi merupakan determinan fundamental perubahan masyarakat. Dalam konteks ini, struktur masyarakat yang terbentuk tergantung pada bagaimana modes of production masyarakat tersebut yang elemen-elemennya adalah hubungan-hubungan sosial dan kekuatan sosial. Modes of production berdasar dari bagaimana superstruktur yang terbangun dan elaborasi dari konsep materi. Kekuatan modes of production dibentuk dari ilmu dan teknologi, tanah, dan mesin. Superstruktur dibentuk untuk mempertahankan modes of production tersebut, sedangkan modes of production menciptakan dan mengkondisikan kehidupan sosial politik dan intelektualnya. Disinilah gagasan dialektika Marx membantu dalam menganalisa kondisi riel masyarakat.

Lebih jauh dalam konteks ini, social being membentuk kesadaran manusia. Seseorang yang dieksploitasi terus akan membentuk kesadaran. Apabila telah menjadi kesadaran kelas, maka ini dapat melakukan revolusi untuk menuju komunisme.

Dari uraian yang sangat singkat ini, intinya adalah bahwa meskipun skenario Marx akan muncul dan berjayanya komunisme tidaklah terbukti sampai saat ini, namun analisa Marx terhadap adanya kontradiksi-kontradiksi yang dibawa kapitalisme tidak dapat kita tolak. Sisi humanis Marx bahwa kapitalisme tidak mampu memberikan kesempatan berkembangnya hakikat dasar kemanusiaan masih menjadi masalah sampai sekarang, meskipun komunisme setelah diterapkan di berbagai negara belum terbukti mampu membalikkan keadaan. Sumbangan Marx yang utama adalah sifat kritisnya untuk memaknai keadaan dan fokusnya pada bagaimana agar hakikat dasar manusia sebagai makhluk yang bermartabat dapat dibangkitkan sehinggga tidak semata-mata hanya menjadi mesin ekonomi pelayan kapitalisme.

Daftar pustaka

Allan, Kenneth. 2005. Explrorations in Classical Sociological Theory. : Seeing the Social World. Pine Forge Press: London, New Delhi.

Beilharz, Peter. 2002. Karl Marx. (p. 269-280) dalam Beilharz, Peter. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Filosof Terkemuka. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Campbell, Tom.1994. Tujuh Terori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi: dari teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Judul asli: Sociological Theory. Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta.

*****