Karl Marx merupakan tokoh yang unik dalam perkembangan ilmu sosiologi. Ia dikenal sebagai salah seorang “Bapak Sosiologi” meskipun ia sendiri tidak menganggap dirinya sebagai sosiolog (Ritzer: 2008). Pada masa hidupnya, posisi Marx bagi kalangan sosiologi berada di “pinggiran”. Menurut (Beilharz: 2002 ) bukan merupakan sesuatu yang mudah untuk menggambarkan Marx, karena ia dapat diidentifikasi sekaligus untuk berbagai sosok yaitu sebagai filsuf, antropologi historik, sejarah kritis, ekonomi politik, serta sosiologi (dari sisi ilmu dan sekaligus metodologi).
Sosok dan Bangunan Keilmuan Karl Marx
Pemikiran Marx dipahami dengan berbagai pendekatan sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda antar ahli. Sehingga pada saat ini, menurut catatan Beilharz (2002), telah lahir 57 variasi marxisme di dunia. Pengkategorian yang umum adalah antara “Marx Muda” dan “Marx Tua”. Namun demikian, bagaimana perubahan keilmuannya dalam perkembangan waktu tersebut sulit untuk disebut apakah pemikiran Marx berkesinambungan atau telah ada pergeseran kualitatif (Allan: 2005). Sering pula disebut marx tidak konsisten dengan dirinya sendiri (
Dari segi kurun, Marx lebih dahulu dibandingkan E. Durkheim dan Max Weber; namun analisa terhadap keilmuan dan sisi metodologinya tidak berarti menempati posisi lebih awal. Dalam hal metodologi Marx berkata bahwa pengetahuan tidaklah ”ditemukan” tetapi dikonstruksi. Sebagai salah seorang peletak dasar ilmu sosial ia mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tentang manusia berbeda dengan ilmu alam. Satu sumbangan penting yang diberikan Marx adalah penerapan dialektika sebagai metode. Dalam dialektika tidak hanya terjadi hubungan kausalitas searah, tapi hubungan yang timbal balik yaitu dari tesis ke antitesis dan lalu menghasilkan sintesis.
Walaupun Marx menulis tentang banyak hal semasa hidupnya, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas. Pada intinya, meskipun keilmuannya menyumbang kepada berbagai bidang, namun minat utama Marx adalah kritiknya terhadap ekonomi politik. Namun tidak sebagaimana kalangan yang cenderung melihat keharmonisan, Marx selalu melihat dan mendasarkan bangun keilmuan dan metodenya kepada adanya kontradisksi-kontradiksi. Kontradiksi yang pokok pada masyarakat kapitalisme adalah yang terjadi antara kelompok pemilik pabrik (borjuis) dengan buruh (proletar) yang selalu menimbulkan konflik.
Marx sebagai sosiolog Jerman membangun konsep dan teorinya dari filsafat Hegel dan Feuerbach. Marx mengambil dialektika gagasan dari Hegel yang lalu dipadu dengan material religius dari Feuerbach, sehingga menghasilkan dialektika materialistis (Ritzer: 2008). Dialektika Marx adalah hubungan timbal balik antara materi dan pikiran. Materi diubah oleh proses-proses pikiran sementara pada saat yang sama pikiran diubah oleh perwujudannya dalam benda-benda material (Campbell: 1994).
Dari penggalian sejarah kritisnya, Marx berkesimpulan bahwa sejarah manusia pada hakekatnya adalah sejarah perjuangan kelas. Meskipun demikian, pada Marx Muda perjuangan kelas merupakan poros utama analisanya, sedangkan pada Marx akhir beralih kepada struktur kelas, kerja, dan modal sebagai kategori-katogeri formal yang digunakannya. Karl Marx dipandang telah berubah dari seorang humanis-filosofis ke sisi praktis-ilmiah atau ke arah yang lebih sosiologis dam positivis.
Meskipun Marx lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai ekonom, namun kalangan ekonom pada umumnya menolak pemikiran Marx dan lebih memilih condong ke filsafat Hobbes yang lebih sejalan dengan ekonomi neo klasik. Marx sesungguhnya telah menyusun ilmu ekonomi yang lebih empiris yaitu dari modes of production suatu masyarakat, bukan didasarkan pada asumsi-asumsi Hobbes misalnya yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang cenderung individualistis dan memaksimalkan kepuasannya belaka.
Walaupun Marx menulis tentang banyak hal semasa hidupnya, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas. Hal ini dikemukakannya di kalimat pembuka pada buku ‘Communist Manifesto’ tahun 1848:” Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas”. Marx percaya bahwa kapitalisme yang ada akan digantikan dengan komunisme, yaitu masyarakat tanpa kelas setelah beberapa periode dari sosialisme radikal yang menjadikan negara sebagai revolusi keditaktoran proletariat.
Marx tetap berpengaruh dan kontroversial dalam bidang akademi dan politik sampai saat ini. Satu hal yang menarik tentang Marx adalah bahwa sebagian besar kalangan sosiologi setelahnya berkembang karena semangat untuk mengkritik pemikiran Marx (Ritzer, 2008). Bersamaan dengan itu, kitapun harus hati-hati dalam memahami antara pikiran Marx dan Marxisme. Bagi banyak kalangan, hubungan antara Marx dan Marxism adalah titik kontroversi tersendiri.
Masyarakat kapitalisme: struktur dan implikasi buruknya pada kehidupan buruh.
Marx (bersama dengan Engels muridnya) sering dijuluki sebagai bapak dari komunisme, dalam posisinya sebagai kaum terpelajar dan politikus. Ia meyakini kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan memberikan jalan untuk lahirnya komunisme. Marx menyatakan bahwa kapitalisme akan berakhir karena aksi yang terorganisasi dari kelas pekerja. Komunisme adalah pergerakan yang akan menghilangkan keadaan yang ada pada sistem kapitalisme. Perhatian dan sumbangan Marx terhadap apa dan bagaimana sistem kapitalisme berjalan sangat diakui meskipun solusi yang disodorkan Marx sulit diterima oleh orang lain, misalnya oleh Durkheim dan Weber. Penolakan terhadap cara pandang Marx dalam hal jalan keluar dari dampak buruk kapitalisme terjadi dari dulu sampai sekarang.
Saat Marx mengembangkan ilmunya adalah ketika sebagian besar ahli sosial sedang berusaha menata kembali kehidupan sehabis kekacauan revolusi Perancis, dimana kemajuan ekonomi yang dihasilkan kapitalis sedang disambut dengan senang. Namun Marx berbeda, ia lebih tertarik mengupas dampak buruk kapitalisme terhadap kalangan buruh. Ini yang menyebabkan Marx kurang diterima di masanya, karena bagi kalangan ekonom apa yang terjadi pada buruh merupakan konsekuensi dari kemajuan yang telah diciptakan dengan berjalannya sistem kapitalis tersebut.
Menurut Marx, kapitalisme yang berjalan, khususnya pendapatan yang dikumpulkan para kapitalis sehingga menjadi kaya, pada hakikatnya merupakan nilai lebih (suprlus value) dari buruh. Kalangan pemilik kapital hidup dari nilai lebih yang dihasilkan buruh tersebut, yaitu dengan membayar buruh lebih rendah dari nilai kerjanya. Buruh dipaksa bekerja lebih lama agar mampu memberikan nilai lebih tersebut. Buruh telah mengalami eksploitasi, karena dipaksa bekerja lebih untuk memberi pendapatan kepada pemilik pabrik.
Marx melihat - dan sekaligus menyuarakan - apa dampak buruk dari berjalannya kapitalisme yang dialami kalangan buruh. Selain eksploitasi, Marx juga melihat suatu gejala keterasingan (alienasi). Kehidupan buruh yang mesti melayani mesin-mesin dan sistem produksi kapitalis menimbulkan alienasi pada diri buruh. Tidak ada lagi objektivasi pada diri buruh. Buruh teralienasi yaitu ketika ia asing dengan proses produksinya, dari hasil produksinya sendiri, dari sesama pekerja, dan bahkan terasing dari dirinya sendiri (Ritzer: 2008). Bagi Marx hal ini sangat esensial, yaitu tentang nilai kerja dan sifat dasar kemanusiaan.
Alienasi yang terjadi bersamaan dengan akumulasi surplus value untuk pemilik pabrik, menyebabkan hasil produksi buruh telah ”memukul balik” buruh itu sendiri. Dengan nilai lebih tadi buruh telah terperangkap oleh majikan, karena majikan semakin kuat ketika nilai hasil semakin besar. Secara ringkas Marx menyebut bahwa masyarakat borjuis mereduksi nilai kemanusiaan menjadi nilai ekonomis semata. Pemfakiran diciptakan kapitalis secara terstruktur.
Dari berbagai fakta inilah, tidak sebagaimana kalangan ekonom Neo Klasik, Marx sangat pesismis terhadap kapitalisme (Campbell: 1994). Sistem kapitalisme akan runtuh dengan sendirinya karena tidak mampu menciptakan kebebasan kreatif sejati yang merupakan hakekat dasar manusia. Manusia sejati menurut Marx adalah dimana kemampuan produktifnya dikembangkan secara seimbang dan memuaskan. Kondisi ini diyakini hanya akan dicapai pada masyarakat komunis yang akan memberikan kemakmuran material.
Namun, untuk meruntuhkan kapitalisme perlu revolusi yang digerakkan kelas buruh yang berjuang secara bersama-sama. Prasyarat pokok terjadinya perjuangan kelas adalah adanya kesadaran kelas yang terbentuk dari hal-hal yang bersifat materi. Dalam Allan (2005) dijelaskan bagaimana terbentuknya kesadaran kelas. Dua akar utamanya adalah peningkatan level industrialisasi dan perkembangan komunikasi dan teknologi transportasi. Peningkatan level industrialisasi menyebabkan konsentari tempat tinggal buruh, pendidikan buruh, dan produksi yang mengalami komodifikasi. Konsentarasi buruh yang dipadu dengan kemajuan komunikasi dan transportasi memungkinkan relasi yang semakin intensif antar buruh. Pada akhirnya, faktor ini bersama-sama dengan eksploitasi dan alienasi merupakan pemicu terjadinya kesadaran kelas.
Kesadaran kelas belum terjadi pada kondisi class-in-itself dimana orang-orang yang sama tapi belum sadar kelas, lalu menjadi class-for-itself yaitu saat mereka sadar penuh dan lalu mengorganisasikan diri (Allan: 2005). Syarat terbentuknya kelas adalah apabila ada kesadaran ditambah dengan tidak aanya kompetitif secara horizontal. Kesadaran kelas adalah terciptanya kesadaran subjektif tentang kepentingan objektif. Namun, kalangan borjuis berusaha menghalangi terbentuknya kesadaran kelas ini dengan menciptakan ”kesadaran palsu” yaitu dengan meniupkan bahwa buruh masih dapat mencapai kesejahteraan dengan mendukung status quo.
Dalam membahas tentang ”kelas” ini Marx mencampurkan antara sejarah, kategori sejarah, dengan idenya tentang kelas semestinya dimana ia hidup yaitu masyarakat kapitalisme. Dalam membahas sejarah, Marx menggunakan model masyarakat “dua kelas”, mekipun Marx tidak selalu konsisten tentang ini, karena kadang-kadang ia menyebut adanya 3 kelas yaitu buruh upahan, kapitalis, dan pemilik tanah.
Demikian pula dengan kapitalisme yang pada hakikatnya terdiri dari kelas dan struktur kelas yang cenderung bipolar. Bagi Marx, sejarah manusia pada hakikatnya merupakan perjuangan kelas. Pada era komunis primitif masyarakat cenderung tanpa kelas, namun semenjak dikenal konsep hak milik pada era masyarakat perbudakan terjadi perjuangan kelas budak terhadap tuan tanah. Selanjutnya pada masyarakat feodal terjadi pemberontakan kelas petani penyewa terhadap tuan tanah, dan pada kapitalisme adalah perjuangan kelas buruh yang berhadapan dengan pemilik pabrik. Jadi, sebagaimana judul bab pada Kennet Allan (2005) yaitu “Engines of Changes”, konflik lah yang akhirnya akan menghasilkan revolusi. Kelas kapitalis borjuis menghancurkan kelas birokrat (lahir kapitalisme), lalu kelas proletar melahirkan sosialisme
Namun, apa yang akan mewujudkan sosialisme tidaklah semata-mata perjuangan kelas. Aktor perubahan sejarah tidak lagi manusia, tapi teknologi dan ekonomi. Dalam keseluruhan bangun teori Marx, faktor ekonomi merupakan determinan fundamental perubahan masyarakat. Dalam konteks ini, struktur masyarakat yang terbentuk tergantung pada bagaimana modes of production masyarakat tersebut yang elemen-elemennya adalah hubungan-hubungan sosial dan kekuatan sosial. Modes of production berdasar dari bagaimana superstruktur yang terbangun dan elaborasi dari konsep materi. Kekuatan modes of production dibentuk dari ilmu dan teknologi, tanah, dan mesin. Superstruktur dibentuk untuk mempertahankan modes of production tersebut, sedangkan modes of production menciptakan dan mengkondisikan kehidupan sosial politik dan intelektualnya. Disinilah gagasan dialektika Marx membantu dalam menganalisa kondisi riel masyarakat.
Lebih jauh dalam konteks ini, social being membentuk kesadaran manusia. Seseorang yang dieksploitasi terus akan membentuk kesadaran. Apabila telah menjadi kesadaran kelas, maka ini dapat melakukan revolusi untuk menuju komunisme.
Dari uraian yang sangat singkat ini, intinya adalah bahwa meskipun skenario Marx akan muncul dan berjayanya komunisme tidaklah terbukti sampai saat ini, namun analisa Marx terhadap adanya kontradiksi-kontradiksi yang dibawa kapitalisme tidak dapat kita tolak. Sisi humanis Marx bahwa kapitalisme tidak mampu memberikan kesempatan berkembangnya hakikat dasar kemanusiaan masih menjadi masalah sampai sekarang, meskipun komunisme setelah diterapkan di berbagai negara belum terbukti mampu membalikkan keadaan. Sumbangan Marx yang utama adalah sifat kritisnya untuk memaknai keadaan dan fokusnya pada bagaimana agar hakikat dasar manusia sebagai makhluk yang bermartabat dapat dibangkitkan sehinggga tidak semata-mata hanya menjadi mesin ekonomi pelayan kapitalisme.
Daftar pustaka
Allan, Kenneth. 2005. Explrorations in Classical Sociological Theory. : Seeing the Social World. Pine Forge Press:
Beilharz, Peter. 2002. Karl Marx. (p. 269-280) dalam Beilharz, Peter. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Filosof Terkemuka. Pustaka Pelajar.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi: dari teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Judul asli: Sociological Theory. Penerbit Kreasi Wacana,
*****