Senin, 30 Mei 2011

Masyarakat Sebagai Realitas Objektif dan Subjektif

(Berger dan Luckmann part 2, 3 dan conclusion)

Sosiologi pengetahuan yang dikembangkan Berger dan Luckman berpokok pada bagian dua dan tiga bukunya yakni bab "Masyarakat sebagai Kenyataan Objektif" dan "Masyarakat sebagai Kenyataan Subjektif". Paper ini membahas tiga topik sebagai berikut:

Relasi antara pengetahuan individual dan sosial

Dalam bukunya tersebut Berger dan Luckmann mengupas tentang adanya dua objek pokok realitas berkenaan dengan pengetahuan, yaitu realitas objektif sebagai fakta sosial dan realitas subjektif berupa pengetahuan individual. Ada hubungan dialektis antara realitas objektif dengan realitas subjektif. Realitas subjektif berupa pengetahuan individu akan berproses menjadi realitas objektif, yakni ketika menjadi pengetahuan bersama. Dalam proses ini berlangsung eksternalisasi, dilanjutkan internalisasi, dan diakhiri dengan pentipean atau skematifikasi. Dalam proses ini, bisa terjadi realitas subjektif yang dinegosiasikan dan ada pula yang dipaksakan. Realitas objektif berlaku umum, dan sebagai fakta sosial ia memiliki kemampuan memaksa, sebagaimana hukum fakta sosial menurut Durkheim.

Dalam terbentuknya realitas objektif, berlangsung proses intersubjektif konsensus, dimana individu sebagai aktor dengan kebebasannya tertentu saling menegosiasikan pengetahuannya. Pada akhirnya, intersubjektivitas membentuk realitas objektif, baik antar dua orang maupun lebih. Realitas subjektif disebut juga dengan “pengetahuan individual”, sedangkan realitas objektif disebut dengan “pengetahuan sosial”. Pada hakekatnya, pengetahuan individual dan pengetahuan sosial merupakan objek pokok sosiologi sepanjang abad ke 20.

Masyarakat merupakan realitas obyektif yang terbentuk melalui pelembagaan (institutionalization). Proses pelembagaan diawali oleh eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang sehingga menghasilkan pola dan dapat dipahami bersama. Hal ini lalu menghasilkan pembiasaan. Pembiasaan yang telah berlangsung cukup memunculkan pengendapan. Selanjutnya, pengendapan yang cukup disebut tradisi yang kemudian diwariskan ke generasi sesudahnya. Media untuk mewariskannya adalah bahasa sebagai hal yang sangat penting. Karena itulah, dalam bagian kesimpulan buku ini disebutkan bahwa sosiologi pengetahuan terbentuk dari sosiologi bahasa dan sosiologi agama serta sosial psikologi.

Terbentuknya realitas obyektif juga melalui legitimasi. Legitimasi merupakan obyektivasi makna, karena selain menyangkut penjelasan juga dicakup nilai-nilai. Legitimasi berfungsi untuk membuat obyektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara subyektif.
Di sisi sebaliknya, masyarakat – yaitu individu-individu - sebagai kenyataan subyektif menafsirkan realitas obyektif melalui proses internalisasi. Internalisasi berlangsung seumur hidup seorang individu dengan melakukan sosialisasi, sembari ia menyumbang pada eksternalisasi. Individu berupaya mamahami definisi “realitas objektif”; namun lebih dari itu, ia turut mengkonstruksi pengetahuan bersama. Jadi, individu adalah aktor yang aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat.

Pengetahuan orang awam sebagai paramount reality

Berger dan Luckmann melihat bahwa salah satu kelemahan sosiologi pengetahuan adalah terlalu berkonsentrasi pada teori yang mana teori tersebut dilahirkan dari kalangan intelektual belaka. Padahal menurutnya hal ini merupakan hal yang minor saja di masyarakat. Apa yang lebih penting menurut Berger dan Luckman adalah pengetahuan yang eksis dan lahir dari kehidupan sehari-hari. Dengan mengikuti Schutz, mereka percaya bahwa inilah realitas sesungguhnya (paramount reality).

Realitas kehidupan adalah bentuk realitas dalam dunia kehidupan, dimana kita mengalaminya secara sadar, bersifat self evident, tertata, dan objektif. Kita mempercayainya sebagai sesuatu yang kenyataan “di sini” dan “saat ini”. Ada banyak lagi realitas-realitas lain, namun ia hanya hadir secara terbatas. Meskipun kita mengalami realitas-realitas lain sepanjang hari, tapi kesadaran kita akan tetap selalu kembali ke realitas kehidupan sehari-hari. Realitas-realitas ini seperti layar di panggung teater yang naik turun bergantian.

Paramount reality inilah inti pemikiran Berger dan Luckman dalam posisinya menganalisa dunia kehidupan. Melalui ini mereka berharap dapat menjelaskan, dan lebih jauh men-debunking, kehidupan sosial. Realitas merupakan sesuatu yang berada di luar diri kita, sehingga ia merupakan fenomena. Untuk setiap realitas ada label yang merupakan simbol yang bermakna untuk mewakili realitas tersebut. Salah satu simbol tersebut adalah bahasa, dimana ia menyimpan realitas. Dengan demikian, bahasa menjadi materi penting dalam terbentuk, terjaga dan terdistribusinya pengetahuan.

Jadi, Berger dan Luckmann memberi sebutan khusus pada pengetahuan orang awam yaitu “paramount reality”. Ini merupakan seuatu realitas yang masif, memaksa, dan tidak bisa dihindari. Ia merupakan pengetahuan utama dalam masyarakat.

Terbentuknya paramount reality adalah hasil proses kesadaran subjektif individu. Setiap individu memaknai kenyataan sosial sebagai dunia objektif. Dalam proses internalisasi, tiap individu bebeda-beda dalam dimensi penyerapan, ada yang lebih menyerap aspek ekstern, ada juga yang ebih menyerap bagian intern. Tidak setiap individu dapat menjaga keseimbangan dalam penyerapan dimensi objektif dan dimensi subjektif kenyataan sosial itu. Kenyataan yang diterima individu dari lembaga sosial, menurut Berger, membutuhkan cara penjelasan dan pembenaran atas kekuasaan yang sedang dipegang dan dipraktekkan.

Relasi antara pengetahuan ilmiah dan sehari-hari

Dari Mannheim sudah disebutkan bahwa sosiologi pengetahuan mesti mempelajari pemikiran intelektual dan sosial serta relasi antara keduanya. Namun menurut Berger dan Luckman itu saja tidak cukup. Untuk mengekplorasi ini dibutuhkan dukungan basis filsafat. Seorang ahli harus berjarak dengan realitas.

Pengetahuan ada di masyarakat awam dengan materi yang berbeda dengan di kalangan intelektual. Berger dan Luckman mengamatai pengetahuan di masyarakat awam yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari ini melalui kacamata fenomenologi Schultz. Di tengah masyarakat ada pengetahuan umum sebagai dasar individu untuk memahami sesuatu yang dibentuk dari relasi sosial sehari-hari. Dalam kondisi demikian, internalisasi tumpang tindih dengan objektivasi. Objektivasi adalah proses mengkristalkan ke dalam fikiran tentang suatu objek.

Pengetahuan ilmiah tidak sama dengan pengetahuan sehari-hari. Keduanya berbeda, namun tidak dapat diposisikan levelnya secara vertikal. Pengetahuan ilmiah dapat diposisikan lebih baik hanya dalam konteks karena dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan pengetahuan awam tidak. Pengetahuan ilmiah memiliki derajat refleksi yang lebih tinggi. Hanya karena ada metode yang jelaslah maka sebuah pengetahuan ilmiah menjadi “pengetahuan”. Karena diperoleh melalui metode tertentu, maka ia menjadi adequate knowledge.

Pengetahuan sehari-hari tidak lagi dipertanyakan, sedangkan pengetahuan ilmiah selalu difikirkan ulang. Pengetahuan ilmiah berada di luar pengetahuan orang awam. Diibaratkan dala Berger dan Luckmann, pengetahuan orang awam seperti halnya tukang roti menimbang berbagai bahan untuk membuat roti, sedangkan pengetahuan ilmiah atau ahli sebagaimana seorang ahli kimia yang berkerja di laboratorium. Tentu saja ahli kimia jauh lebih kecil materi yang ditimbangnya, sehingga kecermatannya harus lebih tinggi. Perbedaan yang diperhatikannya jauh lebih kecil.

Pengetahuan ilmiah membutuhkan metode, sedangkan pengetahuan sehari-hari dengan common sense. Namun, pengetahuan tidak lahir dalam ruang hampa. Common sense juga merupakan pengetahuan, meskipun belum dapat disebut pengetahuan ilmiah.
Manusia terus belajar dan berkarya membangun kelangsungannya. Upaya menjaga eksistensi itulah yang kemudian menuntut manusia menciptakan tatanan sosial. Jadi, tatanan sosial merupakan produk manusia yang berlangsung terus menerus sebagai keharusan antropologis yang berasal dari biologis manusia. Tatanan sosial itu bermula dari eksternalisasi, yakni cairnya kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Menurut Berger dan Luckman, manusia adalah makhluk yang rasional. Ilmu menajamkan rasionalitas manusia. Ilmu berkembang karena bahasa dan metode yang standar, yang sesuai konsensus, atau yang disepakati.

Meskipun berbeda wujud dan media dimana ia eksis, namun antara pengetahuan ilmiah dan pengetauan sehari-hari juga saling mempengaruhi. Intensitas relasinya tidak sama di seluruh masyarakat. Pada masyarakat yang memposisikan lembaga keilmuan dan intelektual lebih tinggi, maka relasinya menguat; demikian sebaliknya.

Sumber bacaan:
Berger, Peter L. Dan Thomas Luckmann. 1979. The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociology of Knowledge. Meddlesex: Menguin Books.

*****