Kamis, 05 Mei 2011

Antonio Gramscy: Hegemoni dan Perang Posisi

- Gramsci (1891-1937) teoritisi Marxis terpenting asal Italia. Teoritikus politik paling orisinil sesudah Lenin yang mencoba mengkritisi kelemahan-kelemahan Marxisme dan melakukan analisis terhadap penyebab kegagalan revolusi proletariat.

- Gagasan sentral Gramsci = hegemoni dan perang posisi. Melalui ini Gramsci telah membalikkan padangan tradisional Marxisme bahwa revolusi proletar akan datang secara niscaya, sebagaimana siang menggantikan malam. Baginya, revolusi sosialis baru bisa diperoleh melalui tekad dan upaya panjang sedemikian rupa sehingga kelas-kelas bawah meraih kepemimpinan kultural, intelektual dan ideologis dalam kehidupan masyarakat.

Konteks Pemikiran Gramsci

-Gramsci mengkritik marxisme ortodoks, terutama kerangka teoritis Nikolai Bukharin dalam sebuah buku The Theory of Historical Materialisme (textbook tentang Marxisme-Leninisme untuk para kader partai komunis). Buku ini berisi ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme sebagai pandangan dunia proletariat, sekaligus upaya Bukharin menyatukan sosiologi kontemporer dalam karyanya itu dengan tujuan hendak menunjukkan bahwa materialisme historis adalah sosiologi tentang proletariat dengan kadar kepastian ilmiah.

-Gramsci menolak pandangan tersebut dan menganggap materialisme sejarah Soviet ortodoks itu telah mereduksi metode dialektik kritis terhadap masyarakat menjadi seperangkat prinsip-prinsip partai yang bersifat dogmatis dengan mengorbankan pembebasan diri proletariat. Lagi pula, Gramsci berkeberatan dengam maksud buku itu yang diperuntukkan bagi komunitas pembaca elit yang disebutnya “bukan intelektual profesional”, sehingga menciptakan kekeliruan besar karena telah mengabaikan “filsafat massa rakyat” atau filsafat yang lahir dari akal sehat rakyat sendiri. Pandangan Bukharin tsb = adalah sebuah sistem filsafat (materialisme historis) yang asing dan tidak dikenal oleh massa rakyat dan hendak dipaksakan begitu saja dari luar kesadaran diri proletar.

-Bagi Gramsci = kesadaran politik proletariat harus dibangun melalui kepercayaan-kepercayaan dan akal sehat mereka sebagaimana terungkap dalam cerita-cerita dan agama rakyat, dan bukan semata-mata di-impose dari luar (elit). Karena yang belakangan ini merupakan cerminan dari kekuatan kultural kohesif atau hegemoni yang dijalankan oleh kelas-kelas yang berkuasa.

-Penolakan pada Marxian ortodoks dan penekanan pada faktor-faktor budaya dan ideologi Rangkaian kekalahan dan kegagalan ini telah menyebabkan keraguan dalam diri Gramsci terhadap kredibilitas teoritis aksi revolusi. Ia lalu berusaha menganalisis persoalan tentang bagaimana mencari strategi yang pas untuk menyukseskan revolusi sosialis di Italia dan Eropa Barat pada umumnya.

Tentang Hegemoni

- Hegemoni merupakan gagasan sentral dalam pemikiran Gramsci mengenai strategi perubahan sosial. Muncul untuk mengoreksi kegagalan revolusi sosialisme di negara-negara Barat, sekaligus mengevaluasi gagasan dasar Marxisme ortodoks paska Marx dan Engel yang menyatakan bahwa kapitalisme niscaya akan hancur dengan sendirinya digantikan sosialis melalui revolusi proletariat.

- Gramsci: revolusi adalah proses organik yang memerlukan pengorganisasian aktifitas sadar dan kesadaran kritis teoritis. Persiapan intelektual, budaya dan politik kelas pekerja adalah syarat untuk revolusi proletariat. Disini hegemoni menemukan lokus urgensinya.

- Hegemini Gramsci = konsep yang netral, tidak bersifat baik atau buruk. Ia menggunakan konsep hegemoni dalam kerangka realitas perjuangan kelas dalam suatu tatanan masyarakat.

-Kadang-kadang Gramsci mengidentifikasi hegemoni dengan kekuatan politik yang dijalankan dengan paksaan, tetapi pada umumnya ia menunjuk kepada kontrol terhadap kehidupan intelektual masyarakat melalui sarana-sarana kebudayaan Hegemoni suatu kelas politis = berarti bahwa kelas tersebut berhasil membujuk kelas-kelas sosial lain untuk menerima nilai-nilai budaya, politik, dan moral dari kelas itu. Jadi, hegemoni = upaya mencapai kekuasaan politik melalui konsensus antar kelas, bukan melalui kekerasan. Hegemoni yang berhasil = kekuatan koersif tidak dibutuhkan oleh kelas berkuasa.

- Gramsci = pentingnya peran kebudayaan dalam revolusi sosialis. Ini kurang diperhatikan Marxisme ortodoks yang dibutakan oleh kerangka “basis-suprastruktur”. Gramsci = Lenin = tanpa tekad revolusioner perkembangan ekonomis tidak akan pernah menghasilkan revolusi.

- Gramsci = peran partai saja tidaklah cukup. Di Italia dan umumnya di Barat, masyarakat sipil begitu kuat dan kompleks. Mereka dikuasai borjuasi, namun mereka menyokong dan menjamin kedudukannya. Kekuatan kaum borjuasi sudah mencakup seluruh bidang kehidupan masyarakat: ekonomi, sosial, politik, budaya, agama, dan lain-lain. Mereka telah membentuk suatu “blok historis” (=suatu konstalasi di mana semua dimensi kehidupan kelas-kelas sosial dalam masyarakat ini menyatu dan saling mendukung di bawah hegemoni sebuah kelas, yaitu kelas borjuasi).

Hegemoni dan Perang Posisi

= Revolusi sosialis tidak dapat dilakukan tatkala semua kecenderungan, hasrat, perasaan dan kepentingan masyarakat berada dalam hegemoni kelas borjuis. Gramsci = revolusi adalah proses organik dan molekular yang membutuhkan pengorganisasian aktifitas sadar dan kesadaran kritis. Perlu prasyarat persiapan intelektual, budaya dan politik kelas masyarakat bawah sendiri.

-Perubahan sosial politik terjadi jika masyarakat bawah berhasil merebut hegemoni kultural dengan menyingkirkan hegemoni kaum borjuasi yang menindas. Dalam rangka menciptakan sistem masyarakat yang baru diperlukan sebuah kebudayaan yang baru pula. Upaya pengambilalihan atau perebutan hegemoni ini = “perang posisi” (war of position).

- Strategi ini untuk mematahkan hegemoni borjuasi dalam masyarakat sipil melalui kepemimpinan intelektual, kultural dan ideologis dalam lembaga-lembaga privat, sekolah-sekolah, gereja, industri, asosiasi kota dan pedesaan, dan lain-lain.

- Perang posisi = perebutan kekuasaan yang dilakukan melalui konfrontasi langsung vs perang gerak = proses gradual dan molekular yang menyiapkan kondisi bagi kekuatan sosialis progresif untuk merebut kekuasaan. Perang gerak = bila masyarakat sipil lemah. Bila masy sipili kuat = perang posisi.

Adapun di Italia kekuatan negara borjuasi tertanam dalam masyarakat sipil yang kuat dan kompleks. Negara memperoleh kekuatan dan sokongan dari jaringan organisasi-organisasi privat, sekolah, gereja, asosiasi pedesaan dan masyarakat urban, dan para industrialis utara. Tambahan lagi kapitalisme barat dan Italia sukses menciptakan blok politik, menyerap elemen-elemen budaya kelas pekerja dan menyatukan massa rakyat ke dalam struktur hegemonik. Realitas politik inilah yang menyebabkan “perang gerak” tidak berhasil dan tidak bisa diharapkan lagi (Leonardo Salamini, 1981: 126-134). Sehingga dalam struktur politik di mana masyarakat sipil sangat kuat dalam hegemoni kaum borjuasi maka strategi yang lebih masuk akal adalah “perang posisi” dengan menggerogoti kekuatan kultural dan ideologi borjuasi.

Gramsci yakin bahwa hegemoni borjuasi ini bisa dipatahkan melalui strategi “perang posisi”. Ini dikarenakan sebenarnya konsensus antara kelas-kelas sosial yang memapankan masyarakat borjuis adalah semu dan superfisial belaka, sehingga tatanan sosial yang dibangun pun hanya kelihatannya saja universal. Apa yang nampak sebagai kepentingan bersama seluruh masyarakat hanyalah kedok kepentingan kelas borjuasi. Karena dalam kenyataannya eksploitasi kelas-kelas buruh masih terus berjalan (Franz Magnis-Suseno, 2003: 193-194).
Selanjutnya dalam rangka mematahkan hegemoni borjuasi dan merumuskan pandangan dunia baru kelas proletar ini, Gramsci memiliki instrumen favorit yang sangat penting, yakni “intelektual organik”. Kelompok ini berperan signifikan untuk mengobarkan “perang posisi” guna mengambil alih hegemoni.

Intelektual “Organik”

= para intelektual yang tidak sekedar menjelaskan kehidupan sosial dari luar berdasarkan kaidah-kaidah saintifik, tapi juga memakai bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman real yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri Mereka yang mampu merasakan emosi, semangat dan apa yang dirasakan kaum buruh, memihak kepada mereka dan mengungkapkan apa yang dialami dan kecenderungan-kecenderungan objektif masyarakat.

- perubahan sosial bukan semata-mata masalah kekuatan ekonomi dan fisik, tapi juga perebutan wilayah kebudayaan dan ideologi: suatu upaya masyarakat bawah untuk membebaskan diri mereka dari budaya kaum borjuis dan untuk membangun nilai budaya mereka sendiri bersama-sama dengan kaum tertindas dan lapisan intelektual yang berpihak.

-Simpulan: Marxisme klasik = cenderung “ekonomistik”. Gramsci = pentingnya budaya dan ideologi dalam pembentukan masyarakat sosialis.

- Gramsci = Lenin = menolak bahwa revolusi sosialis secara objektif akan datang begitu saja bila tiba waktunya. Gramsci = pentingnya kehendak dan tekad revolusioner itu ada dalam hati sanubari proletariat untuk menumbangkan kekuasaan kaum borjuasi yang telah merasuk dalam semua dimensi kehidupan masyarakat. Oleh karena perlu kelompok intelektual dan partai revolusioner untuk mewujudkan sosialisme. Namun berbeda dengan Lenin, tugas intelektual bukanlah mencekoki kelas buruh pengetahuan tentang teori yang benar, melainkan mengungkapkan belaka suara-suara kepentingan kelas buruh ini dalam bahasa yang bisa dipahami oleh masyarakat luas. ******