Senin, 30 Mei 2011

Moore-Gilbert tentang Homi K. Bhabha

(buku Moore-Gilbert chapter 4;

Key words: postkolonialisme. Bhabha, pasca Orde baru)


Karakter teori postkolonialisme Homi Bhabha

Kajian postkolonialisme Bhabha dipengaruhi oleh para pemikir poststrukturalis seperti Jacques Derrida dan Michel Foucault, serta dari psikoanalisis Sigmen Freud. Dari perspektif Freud ia berhasil mengungkap bahwa penjajah memiliki kebanggaan tersendiri yang bersifat psikologis begitu berhasil mencapai keinginannya. Namun, menurut Moore-Gilbert, Bhabha tidak berhasil memaparkan psikoanalisisnya dengan baik dalam keseluruhan teorinya. Bentuk lain psikoanalisis adalah dimana subyek-subyek yang menjajah memiliki kemampuan memahami masyarakat terjajah, namun semata hanya untuk maksud untuk melanjutkan kuasa penjajahannya.

Dalam teori-teorinya, Bhabha bermaksud meluruskan pertentangan yang keliru antara teori dengan praktek politik dalam wacana kolonialisme. Sebagaimana dekonstruksinya yang mengkritik oposisi biner ”penjajah - terjajah” sebagai sesuatu yang terlalu disederhanakan, ia sekaligus mempertanyakan anggapan-anggapan metodologis dari para teoritikus postkolonial. Bhabha mengajukan model liminalitas untuk menghidupkan ruang persinggungan antara teori dan praktek kolonisasi dalam upaya menjembatani hubungan timbal balik antara keduanya.
Menurut Bhabha, teori dan praktek tidak dapat dipisah untuk dikritik, karena keduanya saling bersebelahan. Dengan menyandingkan keduanya Bhabha berusaha menemukan pertalian dan ketegangan antara keduanya yang melahirkan hibriditas. Konsep “hibrid” digunakan untuk menggambarkan bergabungnya dua bentuk yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk, dan sekaligus juga meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Namun, postkolonialitas selain melahirkan hibriditas, juga menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan negosiasi baru antar pelaku.

Terminologi dunia ke tiga dan dunia pertama juga menjadi dua kata kunci dalam teori Bhabha. Bhabha menemukan “mimikri” sebagai bukti bahwa yang terjajah tidak melulu diam, karena mereka memiliki kuasa untuk melawan. Konsep “mimikri” digunakan untuk menggambarkan proses peniruan atau peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Fenomena mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, tetapi peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi tersebut. Ini terjadi karena mimikri selalu mengindikasikan makna yang tidak tepat dan juga salah tempat. Ia adalah imitasi sekaligus subversi. Dengan demikian, mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi penjajah. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegasikan dominasinya. Dari mimikri inilah terlihat bahwa ia adalah dasar sebuah identitas hibrida.

Fakta ketidakstabilan kebudayaan dan identitas dalam globalisasi menunjukkan bahwa kebudayaan dan identitas selalu merupakan kontestasi dari berbagai kebudayan yang berbeda. Hibriditas merupakan suatu keniscayaan. Hibriditas adalah pengaburan batas-batas kebudayaan yang mapan dan dibuat menjadi tidak stabil.

Konsep Bhabha dan pertanyaan untuk penelitian tentang Indonesia pasca rezim Orde Baru

Indonesia pasca Orde Baru ditandai kebebasan dalam banyak segi, termasuk kebebasan berekpresi secara verbal dan kultural. Dengan demikian, kita bisa mengamati gejala-gejala dengan mata telanjang, misalnya konsep mimikri dan hibriditas.
Perilaku mimikri merupakan strategi dalam menghadapi praktik dominasi budaya. Pelaku meniru atau meminjam berbagai elemen kebudayaan dominan dengan sekaligus menolak ketergantungan atas kebudayaan yang dominan itu. Sikap dan perilaku mimikri dapat dijadikan objek studi, karena selain mudah dilihat, juga menjadi bukti nyata dampak kolonialisme yang masih berlanjut sampai sekarang. Psikologis sebagai kaum terjajah, sedikit banyak juga karena pemitosan oleh pemikir orientalis, masih menghinggapi masyarakat dunia ketiga.

Hibridisasi merupakan fenomena yang umum terjadi, namun dapat dicermati lebih detail bagaimana perimbangan hibriditas tersebut berlangsung. Dalam kondisi saling kontestasi antar kultur saat ini, bagaimana pola hibriditas yang berlangsung. Dari dua pola gejala localized globalization dan globalized localization; manakah yang lebih mendominasi?
Secara konseptual, grand tour questions adalah pertanyaan yang membutuhkan penjelasan mendalam (in-depth) yang menjelaskan event secara series, menjelaskan sekelompok orang, menceritakan bagaimana mereka terlibat dalam sebuah atau serangkaian aktivitas, menggunakan sebuah objek, atau berjalan melalui berbagai event dalam suatu periode waktu. Dalam pertanyaan ini membutuhkan deskripsi verbal hal-hal penjelasan signifikan suatu kultur. Pertanyaannya lebih general dan berkenaan dengan pola. Ada tiga jenis grand tour questions yakni example questions, experience questions, dan native language questions untuk mengeksplor tentang istilah khusus misalnya. Sementara empirical question adalah jawaban deduktif yang berasal dari kondisi empiris.

Bertolak dari kedua bentuk pertanyaan ini, maka berkenaan dengan konsep Bhabha untuk masyarakat Indonesia saat ini, pertanyaan yang bisa diajukan misalnya adalah bagaimana proses kemunculan dan bertahannya kultur kalangan remaja sebagaimana dapat dilihat saat ini? Secara fisik, kita bisa melihat bahwa mereka mengadopsi berbagai kultur, baik lokal maupun bukan, namun seberapa jauh kah makna sikap dan perilaku yang mereka tunjukkan tersebut? Seberapa jauh bahwa kultur yang mereka pertontonkan tersebut merupakan gejala hibriditas atau bukan? Lebih jauh, apakah ini merupakan representasi dari sesuatu yang lebih besar dan makro, dan kalau ya apa yang mereka representasikan sesungguhnya?
Selain pada kalangan remaja, pertanyaan serupa dapat pula diajukan kepada segmen masyarakat yang lain. Apakah gejala perilaku yang ditunjukkan mereka merupakan sisa-sisa dari dampak kolonialisme masa lalu, atau merupakan gejala hibriditas baru? Sementara, dalam hal politik, kita bisa mempertanyakan bagaimana proses terbentuknya struktur kepartaian dan struktur politik secara umum saat ini? Bagaimana menjelaskan ini dengan kacamata postkolonial, yakni apakah ini merupakan peniruan-peniruan yang tidak kritis belaka, atau merupakan sebuah proses dan penciptaan yang sudah berakar dari kondisi dan kebutuhan kita sendiri yang khas?

Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, maka pertanyaan lebih detail adalah pada kelompok remaja mana hibriditas berlangsung, dan bagaimana proses keberlangsungannya tersebut? Faktor-faktor psikoanalisa dan lingkungan riel apa yang mendorong perilaku-perilaku tersebut? Pertanyaan ini menark diajukan untuk mengetahui dampak dari kolonialisme yang sudah berlangsung puluhan tahun lampau, pada masyarakat Indonesia yang secara relatif mengalami penjajahan yang tergolong berat.

Sumber bacaan :
Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso.

*****