Rabu, 09 Maret 2011

Paradigma Konflik dan Teori-Teorinya

Berdasar pandangan Hegel, manusia dipandang sebagai makhluk yang rasional, kooperatif, dan juga sempurna. Integrasi sosial terjadi karena adanya dominasi, konflik menjadi instrument perubahan, utopia. Marx merupakan tokoh sosiologi utama dalam paradigma ini. Metodologi ilmu pengetahuan dalam paradigma ini adalah filsafat materialisme, histories, holistic, dan terapan.

Karakteristik paradigma konflik

Paradigma ini memandang manusia sebagai mahluk yang obyektif yang hidup dalam realitas sosial , maka filsafat materialisme merupakan dasar dari ilmu pengetahuan manusia. Realitas yang kontradiksi dan fenomena fakta sosial yang sering muncul dalam sebab akibat akan direfleksikan oleh teori konflik melalui logika dialektik dan endingnya adalah terciptanya dunia lebih baik. Asumsinya adalah: pertama, image tentang sifat dasar manusia yaitu pencipta, cooperativ, rasional dan sempurna kedua , image tentang masyarakat yaitu interdependent, struktural, menyeluruh, dan dinamis. Ketiga, tentang masa lalu dan masa kini yaitu timpang penuh tekanan dan pertarungan . keempat pandangan tentang masa depan yaitu utopia dan egaliter.kelima image tentang ilmu pengetahuan yaitu filsafat materialisme, historis, holistik (menyeluruh), dialektikdan terapan.

Elemen paradigmatik Asumsi dasar Type ideal Imajinasi sifat dasar manusia Manusia bertindak atas kesadaran subyektif, memiliki kebebasan menafsirkan realitas/aktif Konsep kesadaran diri imanuel kant. Imajinasi tentang masyarakat Struktur internal yang membentuk kesadaran manusia, kontrak sosial sebagai mekanisme control. Konsep kontrak sosial J.J Rousseau
Imajinasi ilmu pengetahuan Filsafat idealisme, tindakan manusia tidak dapat diprediksi Metode verstehen Weber

Para realis berpendapat bahwa manusia pada dasarnya baik, namun lingkungan atau struktur masyarakatnya lah yang menyebabkan manusia berubah menjadi tidak baik. Realisme berpendirian bahwa kehidupan di dunia ini adalah kenyataan, bukan hanya yang kasat pancaindra (common sense) maupun yang tidak kasat pancaindra (scientific reality) dan terdapat hubungan kausal antara keduanya.

Menurut paradigma konflik manusia pada dasarnya memiliki sifat kerjasama karena manusia sebagai mahluk sosial, dimana perilakunya diasumsikan rasional. Dalam ciri demikian, manusia diyakini memiliki potensi untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya melalui berbagai cara yaitu pengalaman, pemikiran dan pendidikan.

Selanjutnya, masyarakat dipandang sebagai realitas struktural. Struktur ini merupakan suatu kondisi yang muncul dalam perjalanan sejarahnya. Setiap kelompok masyarakat cenderung memunculkan sifat-sifat manusiawinya jika struktur sosialnya mendukung untuk menuju arah tersebut. Masyarakat akan timpang jika eksis perbedaan yang mencolok antar warga dalam hal materi, power dan status.

Untuk dapat memahami manusia, paradigma konflik mendekatinya dengan menerapkan filsafat materialisme. Inilah yang menurut mereka mesti mendasari pengembangan ilmu tentang manusia dan masyarakat. Karena terkait dengan struktur, berbagai komponen dalam masyarakat (manusia, lembaga, organisasi, dan kelas) tidak dapat dipelajari terpisah secara sendiri-sendiri, namun mesti secara holistik. Holistik dan historis merupakan dua kata kunci pokok dalam pengembangan ilmu-ilmu sosiologi di bawah paradigma konflik.
Konsep materialisme ini mendapat respon dari beberapa sosiolog, dan mengusulkan fakta bahwa realitas pada hakekatnya juga bersifat plural dan multidimensi.

Bertolak dari material sebagai pokok strukur, paradigma konflik memperhatikan secara kuat determinisme ekonomi. Basis struktur ekonomi lah penentu suprastruktur di atasnya baik berupa politik, sosial, dan budaya.

Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal yaitu berpikir secara dalam totalitas dan dialektis, empiris-historis, dalam kesatuan teori dan praksis, serta dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).

Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis. Kritik didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia.

Menurut Marx, yang berdialektika bukan fikiran, tapi kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritis bagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.

Secara konseptual paradigma konflik mengkritisi paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan. Perubahan juga tidak selalu gradual, namun dapat terjadi secara revolusioner. Konflik adalah sesuatu yang melekat dalam setiap komunitas. Konflik tidak melulu dimaknai negatif, karena konflik menjadi instrument perubahan. Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain.

Paradigma kritis merupakan paradigma yang bertumpu pada analisis struktural dan membongkar ideologi dominan. Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.

Berbagai Teori di Bawah Paradigma Kritis

Dapat dikatakan, paradigma pluralis telah memberikan dasar pada paradigma kritis, dimana manusia diasumsikan sosok yang bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Dari beberapa ahli yang menurut Purdue mengembangkan fikirnanya dari paradigma kritis, ciri pokok paradigma kritis dalam hal manusia, masyarakat dan metode memahami manusia selalu muncul berulang.

Karl Marx diposisikan Purdue sebagai tokoh yang memberi pengaruh besar dalam terbentuk dan berkembangnya paradigma konflik ini. Sumbangan penting yang diberikan Marx adalah penerapan dialektika sebagai metode. Walaupun Marx menulis tentang banyak hal, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas. Marx selalu melihat dan mendasarkan bangun keilmuan dan metodenya kepada adanya kontradisksi-kontradiksi. Kontradiksi yang pokok pada masyarakat kapitalisme adalah yang terjadi antara kelompok pemilik pabrik (borjuis) dengan buruh (proletar) yang selalu menimbulkan konflik.
Marx membangun konsep dan teorinya dari filsafat Hegel dan Feuerbach. Marx mengambil dialektika gagasan dari Hegel yang lalu dipadu dengan material religius dari Feuerbach, sehingga menghasilkan dialektika materialistis (Ritzer: 2008). Dialektika Marx adalah hubungan timbal balik antara materi dan pikiran. Materi diubah oleh proses-proses pikiran sementara pada saat yang sama pikiran diubah oleh perwujudannya dalam benda-benda material (Campbell: 1994).

Dari penggalian sejarah kritisnya, Marx berkesimpulan bahwa sejarah manusia pada hakekatnya adalah sejarah perjuangan kelas. Pada kurun ”Marx Muda” perjuangan kelas merupakan poros utama analisanya, sedangkan pada ”Marx tua” beralih kepada struktur kelas, kerja, dan modal sebagai kategori-katogeri formal yang digunakannya. Marx melihat apa dampak buruk dari berjalannya kapitalisme yang dialami kalangan buruh. Selain eksploitasi, Marx juga melihat suatu gejala keterasingan (alienasi). Alienasi yang terjadi bersamaan dengan akumulasi surplus value untuk pemilik pabrik, menyebabkan hasil produksi buruh telah ”memukul balik” buruh itu sendiri.

Wallerstein misalnya dengan ”Teori Sistem Dunia” memaparkan tentang dependensi antar negara, yang pada hakekatnya merupakan struktur kapitalisme. Ia menganalisis persoalan kapitalisme dengan satuan analisis pada level dunia. Dunia hanyalah satu sistem, yakni sistem ekonomi kapitalis. Lahirnya teori ini merupakan respon dari teori developmentalis dan ketergantungan.

Sebagai sebuah sistem, negara pinggiran menjadi tergantung pada negara pusat. Alih-alih membantu, yang terjadi justeru tansfer surplus dari negara pinggiran ke negara pusat melalui perdagangan dan ekspansi modal. Surplus sesungguhnya juga terjadi melalui eksploitasi tenaga kerja murah di negara pinggiran. Kapitalisme masuk melalui perdagangan yang tidak adil dimana negara terbelakang menjual barang mentah dengan harga relatif murah sehingga menyebabkan eksploitasi petani. Masuknya sietem ekonomi perdagangan telah menyebabkan petani subsisten menjadi petani komersil yang ternyata merupakan bentuk eksploitasi tenaga kerja secara tidak langsung. Kapitalisme di negara terbelakang memunculkan struktur sosial baru, dimana ada kelas sosial baru yaitu kelas pemilik modal. Pola struktur di lingkup negara ini menyerupai pola struktur di tataran dunia: ada eksploitasi antar kelompok.

Wright Mills dengan teorinya ”The Power Elit” menyebutkan bahwa kekuasaan dalam masyarakat tidaklah tersebar secara merata. Kekuasaan lebih banyakm, atau bisa disebut ”memusat”, pada elit. Dengan kuasanya itu, elit mampu mendominansi massa. Ia mendominasi melalui kekuasaan, kekayaan, kehormatan, pengetahuan dan lain-lain. Menurut Mills, kekuasaan berawal dari institusi dan psikologi sosial msayarakat. Kekuasaan diperoleh oleh individu yang memegang kontrol atas institusi. Elit dan massa memiliki kepentingan yang berbeda dan tidak sejalan, sehingga lahir lah konflik.

Mills yang menjelaskan posisi elite dari sudut pandang institusional ini, berargumen bahwa struktur institusi-institusi yang berada di puncak memonopoli kekuasaan di tengah masyarakat. Institusi-institusi penting tersebut adalah swasta besar, militer, dan pemerintahan. Para elit dari berbagai institusi ini menjalin relasi sedemikian sehingga menjadi ”elite penguasa”. Merekalah yang lalu menjadi penentu kebijakan ekonomi, militer dan politik.
Sejalan dengan Mills ini, Nicos Poulantzas mengembangkan teorinya ”Negara Kapitalis”. Dalam sebuah negara kapitalis, kaum borjuis mempunyai hubungan yang dekat dengan para pejabat negara, dan menjauh terhadap kaum buruh dan rakyat kebanyakan. Kepentingan merekalah yang mearnai kebijakan negara. Berbagai kebijakan dan keputusan yang diambil pada negara dengan tipe ini cenderung menguntungkan kaum borjuasi. Menurut Poulantzas, negara sebagai institusi masyarakat yang sangat penting, memiliki kebutuhan struktural yang mendesak negara harus senantiasa mendukung kelas dominan. Negara berfungsi untuk menjaga stabilitas sosial politik dalam masyarakat, namun stabilitas itu pada hekakatnya demi kaum borjuis. Dapat dikatakan, kaum borjuis adalah tulang punggung ekonomi (dan juga politik) negara.
Keberpihakan negara kepada borjuis merupakan keterpaksaan. Negara harus melakukan itu, selain karena terpaksa, namun juga untuk kebutuhannya sendiri.

Negara menjadi institusi penting dalam mengatur stabilitas sistem kapitalis. Secara otomatis negara telah mendorong kelas penguasa untuk menempati posisi elite. Negara kapitalis memberikan pelayanan yang baik pada kelas kapitalis hanya jika anggota dari kelas ini tidak berpartisipasi secara langsung sebagai alat negara. Dengan kata lain kelas penguasa tidak secara politik termasuk dalam kelas pemerintah.

Selanjutnya, di bawah bab “ideologi”, Purdue menyebut beberapa teori. Teori ideologi dari Mannheim juga terpengaruh oleh cara pandang sejarah Hegel terhadap kesadaran manusia. Mannheim melebarkan pendekatan sejarah ini kedalam pandangan relatifistis. Pemikiran kita merupakan satu-satunya pembenar situasi dan kondisi. Dalam konteks ini, Mannheim kita kenal sebagai salah satu peletak sosiologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu ini dipelajari bagaimana masyarakat memproduksi, memproduksi, dan merestribusi, serta bagaimana pengetahuan mengkonstruksi pula struktur sosial.

Konsep ideologi secara khusus menjelaskan fenomena ideologi secara individual dan psikologis, sedangkan konsep ideologi secara menyeluruh menjelaskan fenomena ideologi secara sociological dan budaya. Konsep ideologi secara khusus diterapkan pada level kesadaran individu. Konsep ideologi khusus ini tidak dapat diberlakukan terhadap kelompok.

Berikutnya, Purdue menyebut Gramsci dalam Teori Hegemoni Ideologi. Sesuai dengan kondisi yang dihadapinya, Gramsci menyadari mengapa kelas pekerja tidak selalu menempuh jalan revolusioner. Gramsci mempelajari kegagalan pergerakan kelas pekerja Eropa Barat pada akhir tahun 20an dan 30an. Dari kondisi itu, Gramsci menyusun teori bahwa pertarungan kelas harus selalu melibatkan sejumlah ide dan juga ideologi. Gramsci melihat peran penting manusia sebagai agen dalam perjalanan sejarah. Ia menggunakan pendekatan dialektik dan membangun teori yang meyakini pentingnya ideologi. Sebuah kelas dikatakan berhasil jika mampu mempengaruhi kelas lain untuk menerima nilai-nilai moral, politis dan kultural mereka. Ada ”perang ideologi” antar kelas. Kelompok kuat berusaha menghegemoni kelomok lemah dengan mengedepankan ideologinya. Untuk kelas lemah (kelas pekerja) jika ingin meraih hegemoni, mereka harus mampu membangun kerjasama dengan kelompok lemah lain.

Lebih jauh, Alwin Gouldner mengembangkan sebuha teori yang disebut dengan ”Sosiologi Ideologi”. Teorinya dapat disebut sebagai anti tesis dari pemikiran sosiolog lain, mislanya Talcott Parsons yang dinilai mengabaikan faktor dinamika dan mengagungkan “struktur dan fungsi”. Gouldner berupaya menyusun reorientasi dalam perkembangan ilmu sosiologi.

Daftar Pustaka:

Perdue, William D. 1986. Sosiological Theory: Explanation, Paradigm, and Ideology. Mayfield Publishing Company. Palo Alto, California.
Campbell, Tom.1994. Tujuh Terori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi: dari teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Judul asli: Sociological Theory. Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta.

*****