Senin, 30 Mei 2011

Teori POSTKOLONIALISME

(review buku Moore-Gilbert dan Hobsaw dan Ranger)

Teori Postkolonial terkait dengan konsep utamanya yaitu persoalan relasi yang berbentuk “dominasi-subordinasi”. Relasi ini terjadi mulai dari level makro sampai mikro, mulai dari antar negara sampai dengan antar level masyarakat dan bahkan sampai dengan antar jenis kelamin.

Karakter teori dan perspektif Postkolonial

Dalam Moore dan Gilbert dipaparkan bahwa Teori Poskolonial yang lahir pada paruh kedua abad ke-20 sering disebut sebagai metode dekonstruktif terhadap model berpikir dualis (biner), meskipun mereka yang mengaku sebagai ahli dengan perspektif postkolonial tidak benar-benar mampu lepas dari jerat ini. Model berpikir dualis yang mengendap dalam ilmu pengetahuan Barat, terutama dalam kajian masalah Timur (orientalism), senantiasa menempatkan kedudukan Barat, penjajah, self, pengamat, dan subyek memiliki posisi yang unggul dibandingkan dengan Timur. Timur adalah terjajah, orang luar, obyek, yang diceritakan, dan seterusnya. Orang Barat modern merasa mereka berbeda dengan orang Timur yang dipandang irasional, emosional, dan kurang beradab (misalnya dalam politik disebut dengan “despotis Timur”).

Teori postkolonial merupakan teori kritis sebagai salah satu bentuk dari kelompok teori-teori postmodern. Postkolonial menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai “dunia ketiga” tidaklah seragam. Ada heterogenitas baik karena wilayah, manusianya, dan kulturnya. Ia juga menunjukkan bahwa ada resistensi tertentu dari Timur kepada Barat. Salah satu bentuk yang sangat terkenal adalah apa yang disebut “subaltern” oleh Spivak. Intinya, post kolonial menyediakan kerangka untuk mendestabilisasi bahwa ada asumsi tersembunyi (inherent assumptions) yang melekat dalam pemikiran Barat yang selama ini selalu mengklaim diri sebagai kebenaran tertinggi dan juga universal. Teori postkolonial dikembangkan secara grounded dengan mengangkat berbagai bukti riel hasil kolonialisme, baik secara fisik, politis maupun kultur.

Tujuan pengembangan teori postkolonial adalah melawan sisa-sisa dampak dari terjadinya kolonialisme dalam pengetahuan termasuk pada sisi kultur. Postkolonial berorientasi pada terwujudnya tata hubungan dunia yang baru di masa depan. Postkolonial merupakan teori yang berasumsikan dan sekaligus mengeksplor perbedaan fundamental antara negara penjajah dan negara terjajah dalam menyikapi arah perkembangan kebudayaannya. Teori ini diterapkan untuk mengkaji karakter budaya yang lahir terutama pada negara-negara dunia ketiga atau negara bekas jajahan pada dekade setelah penjajahan berakhir.

Postkolonial dapat pula dipandang sebagai ancangan teoritis untuk mendekonstruksi pandangan kaum kolonialis Barat (disebut dengan kaum orientalis) yang merendahkan Timur atau masyarakat jajahannya. Secara tegas Edward Said menyebut bahwa teori-teori yang dihasilkan Barat tidaklah netral dan obyektif. Teori tersebut sengaja didesain sebagai sebuah rekayasa sosial-budaya demi kepentingan dan kekuasaan mereka. Edward Said membongkar kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur ini dengan menunjukkan adanya bias kepentingan, dan power yang terkandung dalam berbagai teori yang disusun kaum kolonialis dan orientalis. Kalangan ilmuwan zaman penjajahan bersikap kurang kritis, dan banyak yang mengandalkan pada catatan-catatan tentara dan staf yang tidak memiliki metodologi yang netral. Satu contohnya adalah pandangan ”negatif” Weber terhadap agama Timur termasuk Islam, meskipun ia mengakui bahwa teorinya tersebut belum memadai secara ilmiah.
Menurut Edward Said, orientalisme dapat didefinisikan dengan tiga cara yang berbeda yaitu memandang orientalisme sebagai mode atau paradigma berfikir yang berdasarkan epistemologi dan ontologi tertentu dalam upaya membedakan timur dengan barat, sebagai gelar akademis; dan sebagai lembaga resmi yang pada hakekatnya peduli pada timur. Saat ini kita bisa melihat betapa pemikiran kolonial, khususnya orientalisme, telah menciptakan sejarah pahit menyangkut hubungan Eropa dan Asia-Afrika.

Orientalis cenderung merendahlan cara berpikir Timur yang dianggap tidak selaras dan sederajat dengan mereka. Epsitemologi orientalis memposisikan dirinya sebagai subyek (self), sementara yang lain adalah obyek (the other). Sampai dengan akhir abad ke-20 pun, saat penjajahan telah lama berakhir, alih-alih menyesal dengan perbuatannya, pemikir kolonial masih tetap merendahkan timur. Untunglah lahir pemikir postkolonial untuk menunjukkan borok-borok itu semua.

Sesungguhnya, sebagai wacana postcolonial telah muncul pada era penjajahan. Namun teori poskolonial mewujud untuk memberikan kritik lama setelah itu. Perspektif postkolonial memberikan kesadaran akan pentingnya identitas kebangsaan, pentingnya nilai-nilai kemerdekaan dan juga humanisme. Jadi, teori ini lahir untuk membongkar relasi kuasa yang membungkus struktur yang didominasi dan dihegemoni oleh kolonial. Sumbangan besar datang dari karya Edward W. Said bertajuk Orientalism yang mengawali pembongkaran ”kebusukan” pandangan Barat dalam melihat Timur selama ini.

Inti kritik dari postkolonial (terhadap kolonialisme) sesungguhnya bukan dalam bentuk penjajahan secara fisik yang telah melahirkan berbagai kesengsaraan dan penghinaan hakekat kemanusiaan, melainkan pada bangunan wacana dan pengetahuan termasuk bahkan bahasa. Postkolonial juga mengritik pendekatan dikotomi yang merupakan simplifikasi yang menyesatkan.

Edward Said melakukan dekonstruksi yang mengagetkan kaum antikolonialisme dengan membawa slogan “kesadaran tandingan” dengan paradigma orientalismenya. Said menyampaikan bahwa ”Timur” tak lebih dari sebentuk panggung yang didirikan oleh Barat dengan sesuka-sukanya. Orientalisme yang didengungkan sebagai pengetahuan universal, bagi Said hanya wacana yang dibentuk oleh motif-motif kekuasaan belaka. Bersama dengan Edward Said, Homi Bhaabha dan Spivak merupakan tokoh penting dalam ranah kajian postkolonial.

Kultur masyarakat terjajah menurut Postkolonial

Hasil dari berkerjanya kolonialisme selama lebih dari tiga abad sangat banyak dan beragam. Melalui perspektif postkolonial lah semua dampak buruk tersebut bisa terungkap. Dampak tersebut tidak hanya berbagai penderitaan fisik dan batin sepanjang berlangsungnya penjajahan, namun sampai dengan saat ini setelah lebih dari setengah abad penjajahan berakhir. Dampak-dampak tersebut hanya kelihatan setelah meggunakan kacamata teori postkolonial. Salah satu ”temuan” teori postkolonial adalah misalnya fenomena ”hibriditas” yang berlangsung semenjak era kolonial sampai dengan sekarang.

Satu bentuk lain adalah sebagaimana diangkat salah seroang tokoh postkolonial yaitu Gayatri Spivak yang paling terkenal dengan konsep ”subaltern”. Subal¬tern adalah sebutan untuk seluruh subjek yang tertekan, lemah, dan marjinal. Mereka adalah kaum terjajah yang inferior dan bisu. Dari fenomena sublatern Spivak berhasil menunjukkan bahwa dalam kolonialisme tidak hanya terjadi penaklukan fisik, namun juga penaklukan pikiran, jiwa, dan budaya.
Malangnya, cara berfikir kolonialis, atau Barat, atau orientalis diadopsi pula oleh sebagian masyarakat timur, yang sayangnya adalah para elit. Mereka menelan berbagai ilmu kolonial tanpa mengunyahnya. Salah satu agennya adalah universitas dengan semua sivitas akademikanya. Barat dengan cerdik mencetak agen-agennya sendiri di Timur, yang tanpa sadar misalnya melakukan mimikri. Mereka menjadi kaum yang tergantung dan mangagungkan Barat intelektual dan cara berfikir barat. Ketika berbicara, mereka lebih menunjukkan suara barat dari pada kepentingan mereka sendiri. Untuk mengatasi ini, menurut Spivak, dibutuhkan transformasi epistemologis dengan mengganti imperalisme pemikiran tersebut.

Dari buku Hobsbawm dan Ranger, berjudul ”The Invention of Tradition” yang merupakan kumpulan artikel berkenaan dengan konstruksi simbol dan tradisi seremonial pada abad lalu terutama yang dijalankan oleh Inggris (British), diperlihatkan temuan baru yang menolak perspektif kehebatan Barat. Tradisi Scottish "Highland" yang dipraktekkan tahun 1730 yang disebut dengan pola petak-petak kaum (clan tartans) dianggap sebagai temuan abad ke-19 yang dibawa penjajah Inggris dalam kolonialismenya. Penulis buku ini menemukan hal serupa di Afrika namun mengalami modfikasi karena pengaruh lokal. Ranger melakukan studi tradisi massa di Eropa mutakhir sampai dengan perang dunia pertama, dalam bentuk festival, liburan, monument, gerakan pekerja dan kelahiran kelas menengah.

Tadisi penemuan (invented traditions) juga muncul dalam sejarah bangsa-bangsa terjajah. Tradisi yang muncul atau diklaim berasal dari masa lampau. Apa yang disebutnya dengan “invented traditions” adalah sekumpulan praktek, yang secara normal diatur secara terbuka atau secara diam-diam diterima sebagai aturan (rules) dan merupakan bagian dari sebuah ritual atau sifat simbolik, yang merupakan proses penenaman norma-norma dan nilai-nilai yang tertentu dari perilaku melalui pengulangan, dan secara otomatis menyiratkan kesinambungan dengan masa lalu.

Dalam buku ini disebutkan bahwa tradisi penemuan lebih sering terjadi pada waktu berlangsungnya transfomasi secara cepat, yakni ketika tradisi lama menghilang. Maka dengan menggali ini sangat mungkin menemukan berbagai tradisi baik di masyarakat tradisional maupun modern. Semua tradisi penemuan menggunakan referensi masa lalu tak terbatas hanya untuk kohesi kelompok tapi juga legitimasi tindakan.

Dari temuan-temuan ini, Hobsbawm dan Ranger menyarankan agar ahli sejarah harus menghargai berbagai sumber, termasuk ingatan dan pengalaman langsung mereka yang mengalami selain bahasa tertulis. Metode sejarah harus memberi ruang yang lebih luas lagi. Setiap orang semestinya berpartisipasi dalam memberi informasi, karena setiap orang adalah sejarawan. Sejarah dan memori menjadi semakin dekat dalam posisinya untuk mendapatkan making sense of the past untuk saat ini.

Sumber bacaan:
Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso.
Hobsbawm, Eric and Terence Ranger (editors). 2004. The Invention of Tradition. Cambridge: Cambridge University Press.

******