Senin, 30 Mei 2011

Pengetahuan, Universitas, dan Negara

(Gerard Delanty bab Introduction dan Conclusion, serta Wallerstein bab 11)

Universitas, atau lebih tepatnya “perguruan tinggi”, memiliki posisi sentral dalam pengembangan pengetahuan. Karena itulah, bagaimana kondisi universitas yang berada di satu negara dapat mereflesikan kondisi pengetahuan di negara bersangkutan. Peran universitas ini dimainkan sepanjang apa yang disebut “era modern”, namun mulai mengalami kemunduran di akhir abad ke-20.

Sejarah sosial politik barat pada hakekatnya merupakan dinamika pengetahuan sebagai science dan pengtehuan sebagai kultur. Buku Gerard Delanty ini berisi tentang bagaimana relasi antara pengetahuan dan kultur demokrasi dengan memberi perhatian pada posisi dan peran yang dimainkan universitas. Sebagaimana kuriositas Durkheim yang sangat terkenal, Delanty juga mengajukan pertanyaan pokoknya: Is democracy of knowledge possible?

Peran sentral universitas dalam pengembangan pengetahuan dan kekuasaan

Mulai dari era awal modernitas, yakni dari era pencerahan ke pasca perang dunia, hidup pandangan bahwa pengetahuan ada di luar yaitu di tenga-tengah masyarakat sehari-hari. Kemudian, universitas mengambil alih peran ini. Konsep pokoknya adalah bahwa pengetahuan mesti berlokasi dan disentralisasi di universitas, bukan lagi dimasayarakat. Pengetahuan (knowledge) memperoleh posisi dan perhatian yang lebih dari informasi. Pengetahuan berperan menjadi struktur kognitif masyarakat, yaitu kapasitas masyarakat untuk belajar. Dalam kondisi ini, universitas berkembang dan tumbuh dalam format mendemokratisasikan pengetahuan (democratization of knowledge).

Perkembangan selanjutnya, universitas dengan perannya memproduksi dan mengontrol pengetahuan, maka ia pun memproduksi intelektual. Perkembangan lebih jauh, universitas lalu menjadi resistensi kaum intelektual untuk memperkuat kekuasaan. Universitas akhirnya mereposisi sebagai institusi untuk melayani kepentingan nasional.

Tahun 1960-an dan 1970-an merupakan masa-masa reformasi di universitas. Pada kurun waktu ini dampak universitas terhadap produksi pengetahuan masih rendah, karena mereka sibuk dengan penataan keorganisasiannya. Pada kurun berikutnya, universitas semakin memperkuat posisinya dan menjadi institusi utama dalam perjuangan radikalisasi demokrasi yang berbasis pengetahuan.

Implikasi lain, universitas menyumbang pada budaya otoritanianisme yang berlangsung melalui relasi kuat “universitas-negara-modernitas”. Dengan basis relasi ini, universitas menjadi institusi penting untuk memahami dinamika masyarakat dan negara. Delanty memaparkan saling dukung antara universitas dan modernitas, dimana universitas memproduksi akuntabilitas dan public intelectuals. Ada perbedaan pokok, dimana khususnya di Eropa perbedaan antara academis intelectual dan public intelectual tidak tajam, namun di AS lebih tajam.

Universitas menyimpan ilmu pengetahuan sepanjang abad ke-20, meskipun di akhir abad ke-20 universitas menjadi tidak “suci” lagi. Ilmu pengetahuan digunakan untuk menjaga demokrasi, dari sifat khas pengembangan pengetahuan. Relasi, atau kongkalingkong, universitas dan negara terjadi meluas, dimana universitas dibayar kekuasaan. Pada era ini dapat ditemukan betapa besarnya peranan rezim dalam mengontrol universitas. Menurut Gouldner, universitas terpaksa karena negara mengausai sumber daya ekonomi.

Modernitas merupakan suatu grand narratives, dimana masing-masing ilmu bisa mengembangkan dengan caranya sendiri. Karena kuatnya relasi pengetahuan yang mengusung modernitas dan universitas, maka modernitas merupakan produk dari universitas. Di sisi lain, universitas juga menjustifikasi negara untuk menjadi strong state. Jadi, universitas adalah agen pengetahuan yang tidak netral, karena universitas semestinya berperan menyeimbangkan otoritas negara dengan publik.

Universitas menjadi produsen ilmu dan sekaligus mengkomunikasikannya (communicative role), dimana universitas sebagai pelaku utama. Universitas sebagai mean of communication dan mean of orientasime namun lalu diambil alih oleh swasta. Konsep universitas dari Eropa Barat, tapi tidak diadopsi secara penuh, hanya sebagian. Universitas yang punya otoritas dengan visi khas. Univeritas sudah mati.

Delanty menelaah posisi penting universitas sebagai sub system masyarakat di dalam negara, yang lahir dari alam modernitas dan bagaimana pergeseran posisinya seiring perkembangan era modernitas. Abad ke-21 merupakan era dari para intelektual menggantikan sisa-sisa dari humanisme pencerahan dimana universitas menjalankan fungsi yang baru di dalam masyarakat. Universitas tinggal hanya menyuplai tenaga kerja terlatih.

Penurunan peran dan harapan untuk peran baru Universitas

Mulai akhir abad ke-20, terjadi krisis pada struktur otoritas dan struktur kognitif masyarakat. Dalam kondisi ini semesetinya universitas melakukan respon untuk merubah sifat produksi pengetahaun yakni menjadi struktur kognitif. Perkembangan teknologi dan informasi telah melahirkan basis struktur kognitif baru. Dalam kondisi ini, universitas tidak lagi memiliki privelese untuk pengetahuan sebagaimana sebelumnya. Masyarakat kontemporer semakin terintegrasi oleh komunikasi, dan besarnya peran media massa dalam mengucurkan informasi. Akibatnya, peran universitas semakin mundur, dimana ia tidak lagi menjadi pemberi pencerahan kepada masyarakat.

Menghadapi tantangan baru ini, menurut Delanty semestinya universitas lebih fokus pada upaya melakukan reinterpretasi kultural tentang makna pengetahuan dan modernitas. Perubahan pada mode of knowledege yang berkaitan dengan transformasi di model kultural, telah pula merubah basisnya berupa perubahan kerangka intelektual masyarakat. Untuk itu, universitas harus merubah konsep komunikasinya. Universitas tak lagi produsen pengetahuan, tapi lebih kepada peran mengkomunikasikannya. Ia mestinya berperan di struktur kognitif yang lebih luas terhadap pengetahuan.

Pada era masyarakat pasca industri (postindustrial) sekarang ini krisis tidak hanya terjadi pada struktur otoritas dan struktur kognitif masyarakat, tetapi juga terjadi dalam konstitusi ilmu pengetahuan sebagai akibat masuknya demokrasi ke dalam ilmu pengetahuan itu sendiri. Jika di era sebelumnya pengaruh demokrasi dan gerakan sosial tidak berpengaruh secara langsung pada produksi ilmu pengetahuan, saat ini pengaruh komunikasi telah menembus secara nyata pada produksi pengetahuan. Ilmu pengetahuan menuntut model baru yang ditandai dengan semakin banyaknya pelaku atau produser pengetahuan, dan batas-batas disiplin juga menjadi kabur. Pengetahuan yang lebih dibutuhkan adalah yang bercorak multidisiplin.

Kondisi ini meminggirkan atau mendelegitimasi peran kunci universitas. Krisis terjadi dalam perjuangan untuk pengetahuan. Mode pengetahuan dengan pola modernitas terorganisir dan model kultural telah berakhir. Delanty melihat perubahan dalam mode pengetahuan dimana kesepakatan negara dan pengetahuan tidak bisa lagi dipertahankan. Akibat globalisasi, pasar menggeser negara sebagai “pengontrol“ produsen pengetahuan. Perubahan mode pengetahuan ini adalah buah dari pendidikan massal, kritik dan gerakan sosial baru, serta munculnya teknologi informasi. Akibatnya, pengetahuan awam dan profesional semakin konvergen. Terjadi persaingan dalam klaim pengetahuan. Situasi kontemporer saat ini telah menimbulkan pergeseran epistemik. Perubahan mode pengetahuan yang mestrukturisasi model-model kultural merupakan perubahan yang lebih mendalam dalam konteks sosial politik kultural masyarakat.

Delanty memimpikan universitas sebagai institusi yang semestinya mengambil posisi sentral dalam ruang publik berhadapan media massa yang semakin berkuasa. Universitas sedapatnya harus merebut ruang publik yang telah hilang dan dikontrol media massa. Untuk itu, universitas harus dapat membangun bentuk-bentuk disensus yang terinstitusionalisasi dimana universias menjadi tempat debat publik. Karena universitas menjadi situs interkoneksi, maka penataan komunikais menjadi sangat penting.

Menghadapi tantangan baru ini universitas harus mampu memproduksi jenis pengetahuan yang berhubungan dengan penelitian dasar dan akumulasi informasi, pengetahuan berkenaan pengalaman manusia dan pembentukan kepribadian, pengetahuan yang berhubunan dengan tugas praktis pelatihan kerja dan akreditasi bagi kehidupan profesional, serta pengetahuan berkenaan dengan isu publik yang lebih luas. Inilah tanggung-jawab sosial universitas baru. Universitas mesti menjadi aktor kunci dalam ruang publik dan memperkuat demokratisasi pengetahuan. Hal ini dapat dilakukan hanya apabila ia mampu menjadi mediator berbagai mode pengetahuan, mengartikulasikan model budaya dan melakukan inovasi institusional.
Era late modernity saat ini dimana berlangsung pergerakan dari krisis menuju transformasi kognitif, berlangsung pula disintegrasi secara gradual dari mode of knowledge. Corak lama yang berbasiskan pengetahuan mono disiplin yang terinstitusionalisasi ke dalam kerangka kerja nasional dan dilegitimasi oleh model-model budaya modernisasi, spesialisasi dan rutinisasi; saat ini beralih di bawah pengaruh globalisasi. Konsepsi baru berkenaan demokrasi dan kewarganegaraan muncul menantang visi-visi yang lebih dulu ada. Pendidikan massal, pengembangan media dan teknologi masyarakat postindustrial ini, menjadikan dimana pengetahuan lebih tersedia dari pada sebelumnya. Berlangsung pula kontestasi di dalam dan antar pengetahuan itu sendiri.

Menurut Delanty, pergeseran kognitif yang terjadi saat ini merupakan kemerosotan dari peran pencerahan pengetahuan (enlightment's republic of science). Meningkatnya kritik publik dan kebutuhan demokratisasi telah berdampak langsung kepada ciri rasional pengetahuan. Pergeseran kognitif ini meruapakn sesuatu yang komunikatif, namun sekaligus ditantang oleh pemahaman neoliberal universitas. Posisi universitas di tempat yang aman pada masa pemerintahan negara di era enlighment sudah tidak ada lagi.

Perubahan ini memberi banyak pelajaran. Universitas menjadi institusi yang berwenang memproduksi pengetahuan termasuk pengetahuan sejarah. Dalam konteks ini, kritik Wallerstein yang terkenal dengan Teori Sistem Dunianya baik pula diteladani. Melalui teorinya yang disusun dengan basis analisis sejarah dan sosiologi ekonomi serta menggunakan pendekatan bersifat praksis (relasi yang kuat antara teori dan praktek); menyatakan bahwa tujuan aktifitas intelektual adalah menciptakan pengetahuan yang membongkar struktur-struktur tersembunyi yang memungkinkan seorang intelektual bertindak dan merubah dunia. Kegundahan Wallerstein merujuk pada pertanyaan mengapa masih saja sering muncul perdebatan antara pengetahuan sejarah dan realitas sejarah yang sejatinya memiliki perbedaan yang cukup jauh. Penulisan sejarah dan peristiwa sejarah adalah dua hal yang berbeda.
Dalam perjuangan metodologisnya, Wallerstein ingin mengurai ketidakpastian terhadap ilmu-ilmu alam, akibat dari ketidakpuasan teori-teori ilmiah yang lebih tua. Ini untuk menawarkan solusi-solusi yang masuk akal terhadap kesulitan-kesulitan yang muncul ketika para ilmuwan mencoba memecahkan fenomena yang jauh lebih kompleks. Masyarakat membutuhkan penjelasan yang lebih kompleks.. Dari sinilah secara sadar, Wallerstein ingin menawarkan solusi bahwa ilmu-ilmu sosial dapat menjadi kendaraan untuk memecahkan masalah realitas yang ada. Wallerstein ingin agar ada hubungan dialektis antara pengetahuan dan realitas. Pengetahuan yang dikonstruksikan dari realitas pada gilirannya memengaruhi realitas itu sendiri; dan perubahan di dalam realitas juga akan mampu merekonstruksi pengetahuan. Realitas dan pengetahuan berdialektika secara positif.

Bacaan:

Delanty, Gerard. 2001 Challenging Knowledge; The University in The Knowledge Society London: Open University Press.
Wallerstein, Immanuel. 1999. The End of the World as We Know It: Social Science for the Twenty-First Century. Minneapolis: the University of Minnesota Press.

*****