Enam point yang dikritik Postmodernisme:
1. Grandnarrative (narasi besar) ditolak dan berpaling pada narasi kecil. Grandnarrative dicurigai memuat pemikiran-pemikiran ideologis yang hendak memonopoli kekuasaan atau mendominasi hal-hal atau kaum minoritas. Narasi kecil adalah pengalaman sehari-hari dengan orang-orang, individu per individu, dalam relasi yang personal dan konkret. Ide “manusia” terlalu abstrak, tidak personal. Lyotard bahkan menegaskan bahwa tujuan diskursus bukanlah kesepakatan (konsensus), melainkan paralogue: ide-ide tidak harus dirangkum menjadi satu, melainkan membiarkan mereka tetap heterogen dengan pecahan-pecahan kecil yang berbeda-beda.
2. Menolak teleologi sejarah dan keyakinan akan progres (kemajuan). Sejarah tidak lagi dipahami sebagai peristiwa yang linier, berlangsung bertahap, mulai dari masyarakat primitif yang percaya pada kekuatan gaib (teosentris), lalu ke tahap metafisis, hingga mencapai puncaknya pada tahap antroposentris.
Antropolog postmodernis = masy primitif pun mempunya sistem pemikiran yang tidak “sekuno” gambaran kaum modernis. Maka, suku Asmat bukan kurang beradab. Paham kemajuan juga dipertanyakan, karena kenyataannya, fasisme yang merangkum sejarah filsafat Barat abad XX secara jelas menunjukkan “kemunduran kemanusiaan”, alih-alih kemajuan peradaban.
3. Dekonstruksi tatanan antinomi biner, seperti pria-wanita, baik-buruk, , benar-salah, dll. Postmodernisme berada dalam wilayah “abu-abu”, menolak distingsi tegas kategori-kategori biner. Kaum strukturalis, misalnya, menganggap kata “laki-laki” hanyalah bentukan untuk membedakan diri dari sifat “perempuan”. Makna (“yang ditandakan”/signified) dan kata (“penanda”/signifier) tidak memiliki aturan, batasan, atau keterikatan yang mutlak.
4. Kritik atas rasio; kritik atas kritik. Rasio manusia dipertanyakan sebab, alih-alih membantu manusia menjadi lebih beradab, sering kali merusak kemanusiaan itu sendiri (bandingkan misalnya fasisme).
5. Polisentrisme, relativisme, perspektivisme, pluralisme. Kebenaran tidak universal/absolut, melainkan tergantung dari situasi, konteks, dan perspektif yang dipakai.
6. Realitas sebagai kolase. Kolase = perpaduan dan pencampuradukkan unsur-unsur yang selama ini dianggap memiliki “posisi/maknanya sendiri-sendiri”. Realitas tidak tunggal, melainkan majemuk, hibrid, gabungan.
DASAR-DASAR POSTMODERNSISME
1. Menuju Kemapanan. Kehadiran postmodernisme di kalangan peneliti budaya me¬mang masih kontroversial. Di satu pihak menghendaki agar ada perubahan pemahaman, dari modern ke yang lain, yang konon telah jenuh dan menemui jalan buntu. Di lain pihak, masih ada keraguan menerima istilah tersebut, karena postmodernisme dianggap sekedar konter produktif, hura-hura, dan cibiran terhadap paham modern. Paham kedua inilah kiranya yang menciptakan postmodernisme masih goyah, bahkan ada yang belum mengakui secara akademik.
A
pakah “post” menandai sebuah peru¬bahan pemikiran yang pascastruktural atau sekedar ingin bersikap dekonstruksi belaka. Postmodernisme ingin mendudukkan persoalan pemahaman kebudayaan yang sering dikesampingkan kaum modernisme. Kaum modernisme = menepikan pemahaman budaya dari aspek historis, menaifkan budaya terpencil, budaya terjajah, cenderung mendewakan oposisi-oposisi biner.
2. Kebenaran: Gejala Radikal. Paham postmodernisme menyerang otoritas akal manusia. mengkritik rasionalitas dan konsep self sebagai hal yang hidup. Percakapan mereka berputar sekitar konsep becoming (menjadi). Lyotard = postmodernisme merupakan gerakan penelitian budaya “radikal”. Logika postmodernisme memang kontroversial dan paradoks. Logika berpikir mere¬ka sangat labil dan tak menghendaki kemapanan dalam mencari kebe¬naran makna. Kendati logika mereka cerdas, tetapi sering dicap tidak konsisten. Sandaran dasar kaum postmodernisme, bukan menolak rasionalitas yang telah dibangun kaum interpretif dan sebelumnya, melainkan ingin mencari makna baru lewat kebenaran aktif kreatif. Logika yang digunakan adalah selalu menemukan kebaruan, tanpa standar yang pasti.
KAJIAN POSTKOLONIALISME
Paham ini semula mencuatkan pemahaman model national dan black writing. Model national memusatkan perhatian pada hubungan antara negara dan bekas jajahannya. Sedangkan black writing = aspek etnisitas.
Sebagaimana postmodernisme yang dipicu teori-teori sastra dan seni, postkolonialisme juga.
Tradisi postkolonial mengenal dua kunci utama pemahaman budaya:
1. dominasi-subordinasi. Berkenaan dengan krontrol militer kolonial genocide dan keterbelakangan ekonomi. Keduanya tak hanya terjadi antara negara dan etnis, tetapi juga antar negara dengan negara, etnis dengan etnis, bahkan individu to individu.
2. hibriditas dan kreolisasi. Budaya lama di era kolonial, melalui proses hibriditas akan semakin pudar. Bahasa juga akan mengalami kreolisasi = ke arah penciptaan bentuk-bentuk ekspresi baru.
Dua tipe kolonialisme: penaklukan fisik dan penaklukan pikiran, jiwa, dan budaya.
*****