EDward Said adalah seorang filsuf perintis studi poskolonialisme. Keturunan Palestina lahir tahun 1935, dibesarkan di Kairo, Mesir, mendapat pendidikan gaya Inggris. Lalu di Universitas Princeton dan Universitas Harvard. Dalam "Orietalisme", Said, dengan meminjam pendekatan Foucault, membongkar cara pandang dunia Barat atas dunia Timur selama ini yang selalu dalam upaya penguasaan dan penindasan. Penguasaan Barat terhadap Timur dari cara pandang yang menganggap Timur sebagai "yang lain", baik itu karena bahasa, budaya, tradisi, dan segala hal yang berkaitan dengan dunia Timur. Bermutu lebih rendah, sehingga perlu dijadikan sama dengan Barat yang "lebih maju”.
Edwar Said, Orientalism. Part 3: “Orientalism Now”
Pertama-tama, orientalisme adalah hal-ikhwal tentang bagaimana Timur direpresentasikan atau dihadirkan oleh Barat sebagai yang lain (others). Lewat tulisan, novel atau karya sastera, kajian disiplin akademik, dan lain-lain, Timur menjadi objek pembacaan, objek pemahaman, objek kajian, objek perjalanan dan objek penulisan dari para penulis Barat. Karena Timur adalah hasil representasi, maka konstruksi ke-Timur-an itu sendiri bukanlah “the real Orient”. Timur adalah entitas yang direpresentasikan dalam sudut pandang, perspektif, kesadaran dan bias ideologi pengamat/pembaca Barat yang tersituasikan di dalam masyarakatnya, tradisi budaya dan lingkungannya beserta lembaga-lembaga yang menstabilkan kesadaran tersebut seperti sekolah, perpustakaan, dan pemerintah.
Menurut Said, orientalisme adalah doktrin politik yang diarahkan kepada Timur, pada saat mana Timur lebih lemah dan budaya Barat lebih dominan. Dalam konteks ini, Timur dihadirkan (direpresentasikan) dalam sifat-sifatnya yang despotik, sensual, pasif, terbelakang, mentalitas menyimpang, dan sebagainya. Pandangan semacam ini sudah terinstitusionalisasi sejak abad ke-18 sebagai satu sistem kebenaran, dan menurut Said, konsekuensinya, para pengamat Eropa cenderung rasis, imperialis dan etnosentrik terhadap yang lain (others). Pada akhir abad ke-19 Orientalisme membawa misi membantu kolonialisme.
Said membuat distingsi antara “latent orientalism” dan “manifest orientalism”. “Latent” di sini merujuk pada “struktur dalam” (deep structure) atau aspek “unconscious” dari orientalisme yakni positioning politik dan kehendak-untuk-berkuasa dari Barat untuk menguasai Timur di dalam diskursus. Sementara “manifest” menujuk pada detail permukaan atau aspek yang nampak dalam diskursus, seperti disiplin (sosiologi, sejarah, sastera, dll), produk budaya, sarjana dan tradisi bangsa. Aspek pengetahuan yang “manifest” dari orientalisme ini selalu berubah, sementara aspek “latent”-nya relatif konstan.
Aspek “latent” dari orientalisme terlihat dari karya-karya para pengarah Eropa yang menghadirkan Timur (yang berbeda dengan Barat) sebagai terbelakang, eksentrik, bodoh, sensual, tunduk, uncivilized, dan “as problems to be solved or confined or taken over”, dan karena itu perlu diperhatikan, dimajukan, bahkan diselamatkan oleh Barat (ini dilakukan bukan hanya karena takdir determinisme biologis tetapi juga panggilan moral-politik). (207).
Aspek “latent” lain dari orientalisme adalah konsepsi dunia maskulin. Orientalisme adalah kajian yang bias laki-laki, buta kelamin, yang mana perempuan oriental selalu digambarkan oleh para novelis dan pelancong sebagai pembangkit fantasi seksual laki-laki. Gambaran tentang Timur semacam ini diasumsikan bersifat statis, tetap yang tak mungkin berkembang dan berubah, dan merupakan bagian dari “Oriental Wisdom”.
Dalam karya-karya orientalis (misalnya, Jacob Buckhardt, von Ranke, Ignaz Goldziher, dll), Timur absen dalam representasi Barat. Ia menjadi objek penafsiran, objek penilaian dan pembelajaran, objek yang dihadirkan oleh Barat (yang tanpa Barat tak mungkin Timur hadir) sebagai lemah, sial, dungu, inferior, dan lain-lainnya. “We must not forget that the Orientalist’s presence is enabled by the Orient’s effective absence”. (hal. 208)
Geografi adalah material penting penyokong pengetahuan mengenai Timur. Geografi bukan hanya menjadi akar dari kekhasan Timur, tapi sekaligus menjadi daya tarik Barat untuk membedakan, menempati, dan menguasai Timur, dengan dalih merawat, menjaga, membebaskan dan melindungi perkembangan Timur yang lemah dan terbelakang. Timur adalah sebuah ruang geografis yang menjadi objek pendefinisian Barat lewat khazanah sains, kesarjanaan, pemahaman dan administrasi Barat yang kemudian membentuk apa yang sekarang ini disebut Timur.
Ada dua metode yang digunakan Orientalisme untuk membawa Timur ke dalam amatan dunia Barat. (i) lewat persebaran kapasitas pembelajaran modern berikut aparatusnya seperti profesi, universitas, masyarakat profesional, organisasi eksplorasi dan geografikal serta industri penerbitan. Ini melibatkan prestise para sarjana, pelancong dan penyair pertama yang membentuk Timur esensial. Menurut Said, ini semua adalah manifestasi doktrinal dari “latent Orientalism” yang memberikan para orientalis itu kapasitas enunciative untuk bicara dalam bahasa yang rasional mengenai Timur. (ii) lewat bertemunya pengetahuan orientalis dengan kekuasaan Barat. Orientalis adalah “agen khusus” kekuasaan Barat, “penasehat” yang memasok pengetahuan untuk penciptaan kebijakan kolonial di dunia jajahannya. “The discoveries of Westerner about the manifest and modern Orient acquired a pressing urgency as Westerner territorial acquisition in the Orient increased” (223). Kolaborasi antara orientalis dan penguasa kolonial pada akhirnya mengafirmasi pandangan Foucault mengenai ketakterpisahan pengetahuan dan kekuasaan. Begitu pengetahuan tentang Timur diproduksi oleh Orientalis, ia langsung diafirmasi, diperkuat dan menjadi faktual oleh administrasi kolonial.
Orientalisme dibentuk secara “latent” oleh kategori identitas yang bersifat oposisional: “kita” dan “mereka”. Kita adalah Eropa, kulit putih, yang dideskripsikan oleh para orientalis sendiri sebagai liberal, benar, ramah, terdidik, dan rasional. Di sisi yang lain, identitas ini diperkuat dan dibedakan oleh liyan mereka (their others) yang digambarkan sebagai terbelakang, primitif, bodoh dan seterusnya. Dengan label semacam itu, seolah-olah “only an Occidental could speak of Oriental, for example, just as it was the White Man who could designate and name the colored, or nonwhites”(228), dimana keyakinan ini disokong dan diperkuat oleh sains atau diskursus (231). Diskursus oriental ini terutama dimungkinkan oleh teknik saintifik dan vocabulary of sweeping generalities, yang berperan ganda untuk membeda-bedakan masyarakat berdasarkan bahasa, budaya, mentalitas, pikiran dan tubuh mereka, dan sekaligus meletakkan kategori-kategori perbedaan itu di dalam generalisasi-generalisasi yang beku dan statis. Misalnya, orang Islam atau orang Yahudi tidak hanya dibedakan dari yang lainnya, tetapi juga secara internal dibekukan di dalam kategori yang tunggal, seragam dan utuh. Melalui kategorisasi, klasifikasi, identifikasi, dan generalisasi ini, “..the main issue for them was preserving the Orient and Islam under the control of the White Man” (238).
Mengacu pada teknik diskursus Orientalisme di atas, Said membedakan antara vision dan narrative history. Visi pengamat Barat tentang Timur adalah sebuah sistem yang statis, seragam, utuh, esensialis, sejarah sinkronis. Visi semacam itu tak memberi ruang pada historisitas masyarakat Timur, pada narativitas sejarah yang dinamis, berkembang, dan berubah. Menurut Said, karya-karya orientalis menunjukkan apa yang ia sebut sebagai “the defeat of narrative by vision” (239). Karya mereka (fiksi maupun nonfiksi/akademik) disemangati oleh vision konservatif tersebut untuk kepentingan kekuasaan mereka.
Said memperlihatkan bahwa pergeseran dukungan para orientalis kepada masyarakat Timur (negeri jajahan) agar lebih aktif yang nampak begitu humanis, sebenarnya disertai dengan prejudice, ketakutan, karakter opresif yang menjadi vision mereka.
The Latest Phase (tahap lanjut):
Apa yang disebut Edwar Said sebagai “Orientalisme tahap lanjut” ini merujuk pada pergeseran pusat kekuasaan produksi pengetahuan orientalis dari Inggris dan Perancis yang berlangsung mulai dari abad ke-19 sampai akhir PD II, ke Amerika Serikat setelah PD II. Pada fase ini giliran citra populer Amerika dan ilmu-ilmu sosialnya yang merepresentasikan Muslim Arab.
Menurut Said, fase ini juga ditandai oleh pergeseran bentuk dan peran Orientalisme. Kini orientalisme mengambil bentuk social sciences yang mengkaji wilayah (dan dukungan para pakar kajian kewilayahan) yang pada saat yang sama berperan dalam melayani kebijakan pemerintah Amerika dan organisasi bisnisnya. (hal. 285). Orientalisme fase ini diwarnai oleh “transference of a popular anti-Semitic animus from a Jewish to an Arab target…since the figure was essentially the same’ (286). Kini Arab dan Islam menjadi objek stereotyping Barat-Amerika.
Dalam film, Arab = haus darah, licik, curang, tidak jujur, bejat, sadis dan oversexed. Penjual budak, penunggang unta, money changer, sosok bajingan. Tak punya personalitas, massa atau kerumunan yang mengancam dengan Jihad. Adapun bahasanya sendiri, oleh penulis Amerika, diasosiasikan dengan kekerasan, menjadi pembunuh, yang sudah menjadi bagian dari gen dan pikiran orang-orang Arab. (hal. 286-287). “..few people of this (Arab) area even know that there is a better way to live”.
Sarjana Barat = merepresentasikan Islam dan dunia Arab sebagai entitas homogen, statis dan esensialis. “For them [Arabists and Islamologists] there are still such things as an Islamic society, an Arab mind, an Oriental psyche” (p.301).
Salah satu figur penting yang disebut Edward Said adalah Morroe Berger, profesor sosiologi dan kajian Timur dekat di Princeton. Pada tahun 1967, ia membuat laporan tentang pentingnya Timteng bagi Amerika baik secara politik, ekonomi dan strategi dan meminta pemerintah Amerika dan lembaga pendanaan swasta untuk membiayai program kajian tersebut di universitas. Dalam laporan itu, Berger membuat kesimpulan, yang dinilai oleh Said sebagai perilaku khas orientalis, bahwa Timteng (dan juga Afrika Utara) bukanlah pusat kebudayaan besar dan tak punya signifikansi apapun di masa depan. Namun ketika ia tahu Amerika menimpor 10% minyak nasional dari sana, lalu ia menegaskan pentingnya orang seperti dirinya sebagai orientalis yang tahu banyak tentang Timteng. Said = gagasan Berger mengandung sikap merendahkan dan antipati terhadap objek yang ia kaji sendiri, “he confronted the East... and held it at bay on behalf of the West.” (290).
Secara umum, Said menyimpulkan beberapa dogma prinsipil kaum Orientalis dalam mengkaji Islam dan dunia Arab: (i) pembedaan absolut dan sistematis antara Barat yang rasional, maju, ramah, superior; dan Timur yang mengimpang, terbelakang, dan inferior. (ii) gambaran mengenai kenyataan dunia Timur modern dibentuk dari teks-teks dari peradaban Timur “klasik”. (iii) Timur bersifat eternal, seragam, dan tak mampu mendefinisian dirinya sendiri tanpa bantuan Barat. (iv) Timur itu hina dan rendah yang mengundang ketakutan dunia Barat dan karena itu perlu dikontrol lewat penelitian, pembangunan dan pacification dan kalau mungkin di okupasi)
Para ilmuwan sosial, seperti Berger ini, menurut Said, menghindari teks-teks sastra dalam mengkaji Timur, dan karena itu membuat bidang kajian sosial ini “conceptually emasculated, reduced to “attitudes”, “trends”, statistics: in short dehumanized’ (291). Timur, lewat kuasa dan rekayasa ilmu-ilmu sosial, menjadi isu administratif dan penting bagi kebijakan baik untuk pemerintah maupun untuk kepentingan korporasi.
Orientalisme dengan demikian tetap merupakan diskursus Eurocentrik yang membangun Timur melalui akumulasi pengetahuan generasi para sarjana dan para penulis yang dimungkinkan di dalam kuasa nilai-nilai superiror mereka
Terhadap berbagai fase Orientalisme ini, Said menaruh curiga dan menyerukan kepada para intelektual agar ‘sensitive to what is involved in representation, in studying the Other, in racial thinking, in unthinking and uncritical acceptance of authority and authoritative ideas, in the socio-political role of intellectuals, in the great value of skeptical critical consciousness’ (327).
The Orient Writes Back
Lewat buku “Orientalisme”, Said memberikan banyak inspirasi bagi apa yang belakangan disebut sebagai kajian poskolonial. Di India, kajian ini berkembang di kalangan teorikus dan sejarawan kiri yang tergabung dalam geng Subaltern Studies Group. Mereka berupaya menulis kembali sejarah India dan membebaskannya dari dominasi elit nasionalis dan merekam peran penting kaum miskin kota dan masyarakat pedesaan. Mereka menggeser kajian dari penulisan sejarah kanonik ke arah sejarah dari bawah. Said menegaskan bahwa identitas dan definisi tak pernah fixed, sebagaimana The Orient yang socially and politically contructed. Ia selalu dikontestasikan. *****