Kaitan positivism, post-positivism, dan metode kuantitatif.
Dari berbagai buku yang dijadikan referensi, hanya sedikit yang secara tegas menyatakan bahwa penelitian kuantitatif hanya untuk paradigma positivism, sedangkan penelitian kualitatif sesuai untuk post-positivism. Di antaranya, Amir (2004) menyebut bahwa positivism merupakan perspektif yang melingkupi penelitian kuantitatif; sedangkan Denzim (dalam Salim, 2006) dan Creswell (2007) menyebut pula secara tegas bahwa post-positivism diaplikasikan dalam riset dengan pendekatan kualitatif.
Secara umum dapat dikatakan, antara positivis dan post-positivism lebih banyak memiliki kesamaan dibandingkan perbedaan. Beberapa kesamaanya adalah sama-sama merasa sebagai good science, merasa lebih bebas bias dan sikap subjektif, dan menuduh post-modernism sebagai serangan terhadap rasio dan kebanaran. Dari sisi tujuan riset, keduanya juga bermaksud melakukan eksplanasi, yaitu meramalkan dan mengendalikan gejala. Menurut Creswell (2007), dalam post-positivism masih dilakukan reduksionis, mengutamakan hubungan logis, mengandalkan data empiris, berorientasi pada sebab dan akibat, serta menekankan teori. Artinya, dalam post-positivism masih sangat kental pendekatan kuantitatif.
Dari berbagai referensi lain, terlihat kecenderungan yang kuat bahwa penelitian kuantitatif berada dalam paradigma ilmu positivism. Hal yang belum disebutkan secara jelas adalah apakah post-positivism harus dilakukan dalam penelitian kualitatif saja ataukah bisa pula dengan kuantitatif. Sikap yang belum sepaham ini disebabkan karena dibandingkan dengan perspektif interpretatif, konstruksionis, dan kritis; post-positivism masih dekat dengan positivism. Untuk paradigma interpretatif, konstruksionis dan kritis disepakati bahwa penelitian kualitatif merupakan hal yang sesuai.
Ada beberapa alasan mengapa penelitian kuantitatif tidak dapat dijalankan pada paradigma post-positivism, salah satunya adalah karena nilai merupakan hal yang “masih” dipertimbangkan dalam post-positivism (Salim, 2006). Dengan kata lain, post-positivism tidak bebas nilai (=”gayut nilai”). Hal ini merupakan sesuatu yang ditolak dalam penelitian kuantiatif yang bebas nilai.
Pendekatan positivism berawal dari August Comte yang mengembangkan Sosiologi Positif sebagai paradigma pokok ilmu sosial dengan bertolak dari realitas sosial secara empiris. Hal ini terpengaruh oleh perkembangan dari ilmu-ilmu alam. Namun, positivisme juga berkembang sebagai respon dari kelemahan pendekatan filsafat yang bersifat spekulatif. Dalam perspektif positivism semua pengetahuan harus terbukti lewat bukti yang diperoleh melalui pengamatan secara sistematis. Peneliti dan objek yang diteliti harus memiliki jarak sedemikian rupa. Karena itu, segala pendapat yang tidak bisa diverifikasikan secara empiris tidak diterima dalam pendekatan ini.
Disamping berbagai persamaan, antara positivism dan post-positivism juga memiliki banyak perbedaan. Dalam hal pandangan tentang realitas (ontologis), positivisme memandang realitas dipersepsikan secara naif, realistis, dan kritis. Realitas ada di luar (out there) dan dapat ditangkap, dipelajari, dan dipahami. Sikap post-positivisme tentang realitas sama dengan positivism, namun bedanya adalah post-positivism memandang bahwa realitas tidak akan dapat dipahami sepenuhnya, hanya dapat dihampiri (Salim, 2006). Realitas diakui sebagai memang ada dalam kenyataan sesuai hukum alam – tidak dalam pikiran sebagaimana interpretatif misalnya – namun mustahil bagi peneliti melihat realitas tersebut secara benar. Post-positivitisme disebut memandang realitas sebagai critical realism. Disini terlihat bahwa perbedaan antara positivism dan post-positivism tidak banyak.
Dalam hal epistemologi, positivism menggunakan prinsip dualistik-objektif, dimana peneliti dan objek tidak saling mempengaruhi. Sedangkan post-positivism menolak prinsip dualisme namun tetap menerima prinsip objektif, meskipun objektivisme diyakini tidak selalu berhasil dicapai dengan memuaskan (Salim, 2006). Lebih jauh dalam Neuman (2000) disebutkan bahwa pendirian epistemologis kalangan positivism didasarkan pada pendekatan yang digunakan dalam ilmu alam, hanya berbeda dalam istilah yang digunakan. Hipotesa mengenai realita sosial dibuktikan melalui penelitian eksperimen. Dapat pula dikatakan bahwa pendekatan potivis bersifat nomotetis karena menggunakan seperangkat teknik dan prosedur yang sistematis dalam penelitian dan teknik kuantitatif untuk menganalisis data.
Dari sisi metodologi, Amir (2004) menyebutkan bahwa dalam positivism, riset dilakukan untuk mennangkap realitas sosial, serta menjelaskan penyebab dan akibat dari perilaku manusia. Dalam konteks ini, maka ditolak penelitian kualitatif untuk positivism karena kualitatif menerapkan metode dan prosedur yang tidak ketat.
Perbedaan rancangan penelitian dengan metode Kuantitatif dan Kualitatif
Topik utama: organisasi sosial (social organization)
Topik dalam penelitian kuantitatif:
”Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas organisasi milik petani dan efektifitasnya dalam pengembangan agribisnis”.
Topik dalam penelitian kualitatif:
“Organisasi petani sebagai bentuk perlawanan terhadap kooptasi negara dan intervensi ekonomi kapitalis”.
Penjelasan:
Penelitian kuantitatif dan kualitatif berbeda dalam banyak hal, namun sesungguhnya saling melengkapi. Perbedaan utama misalnya pada sifat data. Penelitian kuantitatif menggunakan hard data (angka) sedangkan penelitian kualitatif menggunakan soft data (kata, gambar, dll). Dengan melakukan riset dengan kedua topik di atas misalnya, maka akan diperoleh pemahaman tentang organisasi petani dari dua sisi yang berbeda namun saling melengkapi. Pada penelitian kuantitatif seperti contoh di atas akan dapat dipahami kondisi internal dalam organisasi petani, sedangkan dengan penelitian kualitatif akan diperoleh hal-hal berkaitan dengan posisi dan peran organisasi petani pada dinamika struktur ekonomi dan politik lokal.
Perbedaan lain adalah dalam hal asumsi kehidupan sosial (social life) dan perbedaan tujuan. Tujuan berupa eksplorasi umum dilakukan dalam peneltian kualitatif, sedangkan penelitian kuantitatif utamanya dilakukan untuk tujuan deskripsi dan eksplanasi. Dengan memahami berbagai sisi dari organisasi petani dalam penelitian kualitatif dalam tujuan eksplorasi, maka diperoleh berbagai konsep, varibel dan indikator yang selanjutnya dapat diterapkan dalam penelitian kuantitatif. Dengan demikian, pemahaman kita tentang organisasi petani menjadi kaya, dan kita dapat menyusun berbagai teori yang telah teruji kehandalannya.
Dalam hal menetapkan topik, menurut Neuman (2000), pada intinya yang harus dilakukan adalah mempersempit topik. Dalam konteks ini, ada perbedaan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif. Peneliti kuantitatif harus secara cepat memfokuskan dan menyusun pertanyaan spesifik di awal kegiatan saat menyusun proposal, sedangkan pada peneliti kualitatif bisa lebih fleksibel dan agak lambat melakukan fokus. Ia dapat melakukan proses fokusisasi (focussing) saat studi dijalankan.
Pada kalimat judul pada penelitian kuantitatif (yang menjelaskan topik) terbaca secara tidak langsung variabel utama yang digunakan, namun tidak pada penelitian kualitatif. Khusus untuk penelitian kuantitatif, untuk mempersempit topik dapat dicapai dengan mempelajari literatur lebih jauh, diskusi dengan pihak yang sesuai, memperkecil konteks (membatasi rentang waktu, geografis, dll.), atau dengan menetapkan tujuan penelitian.
Sementara dalam penelitian kualitatif, fokus terbentuk karena melakukan studi kasus (cases) dan mempersempit konteks. Dari konteks sosial yang telah sempit tersebut baru dikembangkan konsep-konsep dan teori. Cara lain adalah dengan melakukan komparasi, yaitu melakukan studi dengan objek yang sama pada beberapa lokasi.
Posisi dan Penggunaan teori dalam penelitian kuantitatif.
Peranan teori dalam penelitian kuantitatif sangat penting, tidak sebagaimana dalam penelitian kualitatif. Teori merupakan kerangka penelitian secara keseluruhan dalam penelitian kuantitatif. Lebih detail disebutkan Creswell (1994) bahwa pada hakekatnya riset kuantitatif adalah menguji teori, hipotesa dan pertanyaan disusun dari teori, operasionalisasi konsep dan variabel juga diturunkan dari teori, dan instrumen yang dipakai untuk mengukur variabel juga berasal dari teori-teori yang digunakan atau diacu. Ulasan dan review terhadap teori dapat diposisikan secara terpisah tersendiri, namun dapat pula dimuat di bagian pendahuluan, tinjauan pustaka, setelah pernyataan hipotesa, sebagai pengantar pertanyaan penelitian, dan tentu saja di bagian pembahasan. Jadi, teori merupakan isi dan jiwa dari penelitian kuantitatif itu sendiri. Keberhasilan dan kegagalan penelitian kuantitatif sangat tergantung kepada bagaimana peneliti bersangkutan melakukan review dan memahami teori yang sesuai dengan kegiatan risetnya. Kesalahan dalam memilih dan menerapkan teori berimplikasi kepada kesalahan menggunakan variabel, sehingga salah pula dalam menyusun hipotesa.
Akibatnya, penarikan kesimpulan pun menjadi salah pula, atau tidak berguna karena tidak dapat menyumbangkan apapun pada ilmu pengetahuan.
Menurut Neuman (2000), teori sosial (social theory) adalah sistem yang saling menghubungkan abstraksi atau ide yang diorganisasikan untuk ilmu pengetahuan berkenaan dengan dengan dunia sosial (social world). Sementara menurut Punch (2006), teori adalah separangkat proposisi yang secara bersama-sama mendeskripsikan dan menerangkan (explain) fenomena yang diteliti. Lebih jauh, menurut Kerlinger (1979: dalam Creswell (1994) teori adalah serangkaian variabel, difinisi dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis tentang fenomena dengan menyatakan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena ilmiah. Variabel-variabel (bebas, terikat, mediasi) menjadi hipotesa dan pertanyaan penelitian, yang menyatakan jenis hubungan (positif, negatif) dan ukuran (rendah, tinggi).
Teori dinyatakan dalam kalimat “jika-maka” atau secara visual. Dalam penelitian kuantitatif kedudukan teori sangat penting. Teori digunakan secara deduktif dan diposisikan di awal penelitian. Hakekat penelitian kuantitatif adalah untuk menguji teori, dibandingkan dengan tujuan pengembangan teori. Review dan penerapan teori merupakan langkah yang sangat krusial. Menurut Punch (200) teori yang diacu dalam riset kuantitatif dapat berupa metateori (berkenaan dengan paradigma dan perspektif) serta teori substantif (deskripsi dan eksplanasi).
Peran teori dalam sebuah penelitian tergantung kepada dua pertanyaan utama, yaitu apakah teori untuk mendeskripsikan atau lebih jauh untuk eksplanasi; atau apakah bermaksud untuk verifikasi teori ataukah menciptakan (generation) teori (Punch, 2006). Deskripsi lebih terbatas dari eksplanasi. Kita dapat hanya melakukan deskripsi tanpa eksplanasi, namun tidak sebaliknya. Eksplanasi merupakan kegiatan yang lebih jauh dari deskripsi. Deskripsi berkenaan dengan pertanyaan what, sedangkan eksplanasi untuk menjawab pertanyaan why dan how.
Penelitian kuantitatif umumnya adalah untuk menguji teori, yaitu menguji hipotesis yang diturunkan dari teori-teori yang menjadi landasan berfikir. Penciptaan teori lebih banyak dihasilkan dalam riset kualitatif terutama pada pendekatan grounded research. Khusus untuk penelitian kuantitatif, dalam proses penciptaan teori baru dilakukan verifikasi (atau falsifikasi) teori lama terlebih dahulu. Jadi, bukan tidak mungkin dalam penelitian kuantitatif juga bisa dihasilkan suatu teori baru.
Contoh proposal disertasi dengan metode kuantitatif
Judul:
”Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Petani dalam Mengorganisasikan Kegiatan Agribisnis Pedesaan: Penerapan Prinsip Rasionalitas dalam Membangun Organisasi Formal Petani”
(1) Latar Belakang
Membangun organisasi formal baik baru ataupun bukan merupakan pendekatan pokok yang lazim digunakan dalam menjalankan program-program pembangunan di pedesaan baik. Dalam menjalankan program, peserta program disyaratkan untuk berkelompok dalam sebuah organisasi formal. Pembangunan organisasi formal tersebut berguna selain untuk mendistribusikan bantuan berupa material atau uang tunai, juga sebagai wadah interaksi antara pelaksana program dengan peserta dan antar peserta.
Permasalahan yang dijumpai di selama ini adalah, bahwa keberadaan kelompok-kelompok penerima seringkali tidak mampu berkembang sesuai dengan harapan sehingga tidak mampu mendukung pencapaian tujuan program secara memuaskan. Kondisi keorganisasian kelompok-kelompok tersebut lemah, sehingga alih-alih mempercepat pencapaian tujuan program justeru telah menjadi faktor penyebab kegagalan pelaksanaan program secara keseluruhan.
Sampai saat ini pemahaman tentang bagaimana permasalahan dan penyebab kegagalan tersebut belum banyak dipahami. Kesadaran dan pemahaman para pengambil kebijakan berkenaan dengan hal ini juga tidak semakin berkembang.
Di sisi lain, masyarakat pedesaan telah berkembang dinamis dimana perkembangan pendidikan, ekonomi dan politik lokal telah membentuk suatu karakter sosial, ekonomi, dan politik tersendiri. Hal ini menuntut pengembangan keorganisasian yang sesuai. Ekspansi ekonomi pasar ke pedesaan membutuhkan bentuk-bentuk pengorganisasian mayarakat yang efisien dan mampu bersaing, serta harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik komoditas yang dikembangkan serta karakter pasar yang berkembang. Rekayasa kelembagaan (dengan membangun organisasi-organisasi) pada tingkat petani, baik sebagai pembudidaya, pengolah, maupun pelaku pemasaran; membutuhkan pemahaman secara sosiologis yang mendalam.
Dalam menggerakkan ekonomi, dalam hal ini agribisnis, para petani diharuskan menjalin relasi-relasi sosial dengan berbagai pihak. Relasi tersebut berupa relasi horizontal yaitu dengan sesama petani, dan relasi vertikal dengan pemasok sarana produksi, permodalan, dan teknolgi serta dengan pelaku pengolahan dan pedagang hasil pertanian. Untuk itu setiap petani memiliki berbagai bentuk pilihan yaitu relasi yang bersifat individual atau relasi kolektif melalui organisasi-organisasi formal atau non formal.
Dalam keorganisasian, pertimbangan utama adalah membangun relasi yang efisien dan efektif. Petani menggunakan seperangkat informasi yang diperolehnya lalu dianalisa dan diputuskan secara rasional. Karena itu, apa yang rasional menurut petani, sangat berbeda tergantung kepada informasi yang dimiliki, kondisi sosial ekonomi, keberadaan kelembagaan lokal, dan lain-lain. Pengorganisasi usaha petani cenderung spesifik. Karena itulah, menurut Taylor dan Mckenzie (1992) pentingnya inisiatif lokal dihargai dalam penguatan keorganisasian petani. Upaya pemberdayaan dengan prinsip sentralisasi, deterministik, dan homogen semestinya dihindari. Organisasi petani seharusnya dibangun dan dikelola dengan lebih mengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan semangat pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005).
(2) Pokok Permasalahan
Penelitian ini bertolak dari permasalahan berikut, yaitu: Pertama, permasalahan terkait dengan penerapan konsep dan teori dalam pembentukan dan pengembangan organisasi petani di pedesaan:
a. Kalangan penyusun kebijakan tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang konsep dan teori pengembangan organisasi, sehingga lemah dalam penetapan proses pengembangan, pendekatan dalam pendampingan, indikator penilaian kemajuan, serta variabel dan analisis dalam mempelajari kondisi organisasi petani.
b. Konsep dan teori yang selama ini digunakan dalam penyusunan kebijakan lemah dan tidak didasarkan kepada kondisi sosial ekonomi dan rasionalitas masyarakat pedesaan secara spesifik. Pemahaman yang lemah berakibat kepada ketidaktepatan proses penumbuhan organisasi petani, indikator dalam menilai kemajuannya, langkah-langkah dalam meningkatkan kapasitas organisasi, serta solusi yang diambil dalam menyelesaikan permasalahan yang ditemui.
c. Konsep dan teori yang telah digunakan dalam penyusunan kebijakan tersebut memiliki implikasi kepada lemah dan gagalnya pembentukan dan pengembangan keorganisasi masyarakat pedesaan dalam menjalankan agribisnis.
Kedua, permasalaan terkait dengan proses pengembangan keorganisasian petani di pedesaan:
a. Pembentukan dan pengembangan organisasi petani selama ini lemah dan tidak mampu berperan sebagai mana mestinya.
b. Pembentukan dan pengembangan organisasi yang lemah disebabkan oleh kelemahan dan ketidaksesusaian konsep dan teori yang digunakan dengan prinsip-prinsip rasionalitas petani di pedesaan.
c. Lemahnya kondisi organisasi milik petani juga disebabkan karena kurang mempertimbangkan latar belakang sosial, ekonomi, dan politik masyarakat setempat, serta karakter dari jenis usaha yang dikembangkan petani.
(3) Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian adalah mendapatkan faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh petani dalam memilih untuk menjalankan kegiatannya dalam organisasi formal. Dengan kata lain, ingin dipahami bagaimana rasionalitas yang dimaknai dan dijalankan petani dalam kegiatan usahanya. Secara lebih detail tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendapatkan faktor-faktor dalam diri individu petani yang dijadikan pertimbangan dalam membuat keputusan keterlibatannya dalam organisasi formal.
2. Mendapatkan faktor-faktor berkenaan dengan karakteristik usaha (komersialisasi) yang mempengaruhi keterlibatan petani dalam organisasi formal.
3. Mendapatkan faktor-faktor berkenaan dengan kohesivitas sosial di masyarakat yang mempengaruhi keterlibatan petani dalam organisasi formal.
4. Mendapatkan faktor-faktor berkenaan dengan ketersediaan prasarana pelayanan dalam menjalankan usaha agribisnis sebagai hal yang mempengaruhi petani dalam keputusan keterlibatan dalam organisasi formal.
(4) Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan pokok yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah apa saja faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh petani dalam memilih untuk menjalankan kegiatannya dalam organisasi formal atau tidak (secara individual atau organisasi non formal) ? Dengan kata lain, bagaimana ciri rasionalitas yang dimiliki petani dalam kegiatan usahanya secara umum? Pertanyaan penelitian lebih detail adalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apakah dalam diri individu petani yang menjadi pertimbangannya untuk terlibat dalam organisasi formal?
2. Faktor-faktor apakah yang berkaitan dengan karakteristik usaha agribisnis yang dijalankan petani yang mempengaruhi keterlibatan petani dalam organisasi formal.
3. Faktor-faktor apakah yang berkaitan dengan kohesivitas sosial di masyarakat yang mempengaruhi keterlibatan petani dalam organisasi formal.
4. Faktor-faktor apakah yang berkenaan dengan ketersediaan prasarana pelayanan dalam menjalankan usaha agribisnis sebagai hal yang mempengaruhi petani dalam keputusan keterlibatan dalam organisasi formal.
Daftar Bacaan:
Amien, Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Amir, Marvasti B. 2004. Qualitative Research in Sociology. SAGE Publications; London, Thousand Oaks, New Delhi.
Creswell, John W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Approaches. Second edition. SAGE Publications; Tousand Oaks, London, New Delhi.
Creswell, Jhon W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. Sage Publication. Londeon, New Delhi.
Neuman, W Laurence. 2000. Social Research Methods Qualitative and Quantitative Approaches. 4th edition. Needham Heights.
Punch, Keith F. 2006. Developing Effective Research Proposal. Second edition. SAGE Publications; London, Thousand Oaks, New Delhi.
Salim Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Sumber Buku untuk Penelitian Kualitatif. Edisi kedua. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta.
Taylor, D.R.F. dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London Routledge. Chapter 1 dan 10.
*****