Kamis, 28 Oktober 2010

Community Development di Korea

Pendekatan yang Tepat untuk Pengembangan Komunitas dan Pengorganisasian Petani di Pedesaan

Sumber tulisan: Chang Soo Choe. 2005. Key Factors to Successful Community Development: The Korean Experience. Discussion Peper No. 39. Institute of Developing Economies. November 2005.

Program Saemaul Undong di Korea Selatan merupakan sebuah program pengembangan komuniats pedesaan yang telah dikenal luas sebagai suatu model program yang sukses di negara berkembang. Program ini dijalankan oleh pemerintah Korsel dalam upaya mengentaskan warganya dari kemiskinan. Konsep pertama Saemaul Undong sebagai pengembangan komunitas pedesaaan telah berubah dalam perjalannya, dan akhirnya telah diperluas dari sisi cakupan dan melibatkabn pula sektor perkotaan. Lebih jauh, ini telah menjadi gerakan nasional (nation-wide movement) untuk pembangunan ekonomi dan bangsa Korsel.

Karakteritsik Kegiatan Program

Program yang dimulai semenjak tahun 1970-an ini tak semata berhasil membangun komunitas pedesaan, namun juga dapat disebut sebagai sebuah modernisasi Korea. Studi ini bertujuan menemukan kunci-kunci keberhasilan program Saemaul Undong dalam program pengembangan pedesaan. Tim peneliti melakukan kajian historik serta mendeskripsikan karakteristiknya serta pencapaian-pencapaian utamanya. Bagaimana peran pemerintah pusat dan lokal merupakan fokus dalam studi ini agar dapat memahami secara baik pelaksanaan dan keberhasilan kegiatan di lapangan.

Kegiatan Saemaul Undong dirancang untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat desa, diman Presiden Park Chung-Hee menginstruksikan kepada menteri dan gubernur untuk melakukan studi dan merumsukan pendekatan untuk memandirikan (rural self-help) masyarakat desa dengan didasarkan kepada kerjasama antar petani dan masyarakat, pihak pemerintah, dan pemimpin-pemimpin petani.

Dalam perjalanannya, program ini berlangsung dalam 4 tahap, yaitu:
1. Tahap dasar dari tahun 1971 sampai 1973 dengan fokus pada peningkatan kondisi lingkungan dengan memperbaiki infrastruktur. Kegiatan di tahap awal ini belum langsung menciptakan pendapatan untuk masyarakat, namun lebih untuk mendorong keswadayaan dan peningkatan kerjasama antar warga.
2. Tahap kedua dimulai untuk mendorong petani mendapatkan pendapatan baru dalam bentuk pertanian bersama (joint farming), pengelolaan benih bersama (common seedbeds), pengembangan tanaman di luar musim, peternakan babi, pengembangan padang rumput, pengembangan hutan komunitas, serta membangun pabrik pengolahan dan fasilitas untuk pemasaran.
3. Tahap ketiga adalah pencerahan intelektual (spiritual enlightenment) untuk masyarakat desa. Tujuannya adalah untuk menginternalisasikan ke dalam diri masyarakat suatu motivasi untuk senang berinovasi. Perancang program berupaya memberikan keyakinan diri kepada masyarakat dengan semboyan “we can-do” melalui tiga komponen yakni ketekunan (diligence), mandiri (self-help) dan kerjasama (cooperation).
4. Tahap terakhir dimulai tahun 1980, yaitu ketika penanggung jawab kegiatan dialihkan dari semula pemerintah pusat ke tangan swasta dan masyarakat. Hal ini tidak semata merupakan pemisahan kegiatan dari pemerintah, namun lebih sebagai bentuk pembagian pekerjaan (division of labor) dengan pihak swasta.

Kunci Keberhasilan Program

Ada empat kunci yang menjadi pokok keberhasilan program ini, yakni: (1) karena adanya pedoman dan dukungan dari pemerintah nasional, (2) karena luasnya partisipasi yang dapat dijalankan oleh masyarakat, (3) karena peran pemimpin lokal yang dipilih oleh masyarakat secara demokratis, dan (4) karena adanya gerakan (movement) untuk reformasi spritual. Saemaul Undong telah membangkitkan dalam diri masyarakat semangat untuk berkerja keras, mandiri dan senang berkerjasama.

Keberhasilan pelaksanaan program ini dapat dijawab dengan mempelajari karakteristik kegiatannya. Beberapa karakteristik utama Saemaul Undong adalah dijalankan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi (integrated approach) yakni dengan mengkombinasikan pendekatan top-down dan bottom-up, pendekatan ini murni merupakan ide dari pemerintah dan masyarakat Korsel dalam arti menggunakan aspek positif dari tradisi dan kultur bangsa Korea, dan program ini mampu membuat warga desa keluar dari perangkap kemiskinan (escape from poverty). Biasanya antara bulan April sampai Juni sering dialami kelaparan ketika persediaan pangan menipis.

Point yang dapat dikatakan lebih penting adalah dalam hal gerakan reformasi spiritual (movement for spiritual reform) yakni merubah warganya dari malas menjadi tekun, dari tergantung menjadi mandiri, dan dari sifat individualis (individual selfishness) ke arah kerjasama. Kegiatan ini berada di bawah payung “Social Revolution of Korean Rural Society.”

Dari sisi kultural, kerjasama yang baik diperoleh dari beberapa dasar tradisi masyarakat korea yakni ”Doo-re” berupa tradisi menabung dan berbagi dalam komunitas, “Poomasie” yaitu kebiasaan mengerjakan ladang dan sawah bersama-sama antar tetangga, dan ”Hyang-yack” semacam etika komunitas untuk selalu berkerjasama dalam segala hal. Program Saemual Undong berhasil merevitalisasi kultur ini.

Pencapaian yang telah diperoleh dalam program ini di antaranya adalah membangun jalan desa, jalan untuk pertanian (farm road), membangun jembatan-jembatan berukuran kecil, kantor desa, gudang, peningkatan kualitas perumahan, peningkatan penyediaan listrik untuk masyarakat desa, dan pabrik pengolahan pangan. Secara umum, Saemual Undong telah sukses meningkatkan perekonomian pedesaan Korea. Untuk kegiatan tahap pertama saja, telah terjadi peningkatan pendapatan masyarakat desa dari 255.800 Won (US $ 243) menjadi 480,700 Won (US $ 457). Secara kumulatif, selama 10 tahun kegiatan telah terjadi peningkatan pendapatan rumah tangga pertanian sebanyak enam kali lipat.

Untuk menjamin pembangunan yang efektif, pemerintah memberikan dukungan untuk kebutuhan minimum, dan memberikan hadiah (reward) untuk komunitas yang berhasil sebagai insentif. Dukungan material diberikan secara cuma-cuma (grants) dan sebagian merupakan pinjaman yang harus dikembalikan. Dalam kegiatan ini, masyarakat diklasifikasikan atas tiga kategori yakni: belum berkembang (underdeveloped communities), sedang berkembang (developing communities), dan berkembang (developed communities).
Tidak kalah pentingnya adalah peran para pendamping lokal yang terdiri dari penyuluh pertanian, pekerja keluarga berencana, LSM, dan pemimpin-pemimpin lokal. Mereka memposisikan diri sebagai fasilitator dan sekligus menjadi pelayan segala kebutuhan msayarakat. Mereka bersama-sama dengan masyarakat mengidentifikasi masalah, memonitor perkembangan proyek, serta menyediakan jasa-jasa yang sesuai dengan kebutuhan. Untuk mendapatkan efisiensi kegiatan dilakukan berbagai pelatihan untuk masyarakat maupun untuk pendamping.

Khusus di sisi masyarakat, ada tiga organisasi penting yang berperan yakni kelompok ketetanggaan (neighborhood meeting) yang berisi 20 sampai 25 keluarga, pertemuan umum desa (general meeting of village) dimana seluruh warga dapat berpartisipasi di dalamnya, dan kelompok aparat desa (village development committee) yang merupakan representasi dari sekitar 15 organisasi di desa. Ada dua tipe organisasi dimana masyarakat dapat terlibat dan mengepresikan keinginannya, yakni pertemuan umum dimana semua orang boleh hadir dan memberikan pendapatnya, dan yang kedua adalah pertemuan perwakilan kelompok ketetanggaan dimana kehadiran 20-25 keluarga diwakili oleh seorang utusan.

Dari studi ini, penulisnya menyampaikan beberapa saran apabila ada yang ingin mengaplikasikan program seperti ini. Hal yang perlu diperhatikan adalah dukungan pemerintah yang kuat dan kontinyu, pencerahan spritual, adanya kerjasama dalam pembangunan maupun kemajuan (joint development and joint progress), serta adanya kegiatan yang dijalankan dengan pendekatan bertahap (step-by-step approach). Kegagalan di banyak negara selama ini adalah kegiatan yang terburu-buru (“to do too much too fast”). Progam juga harus disusun secara jelas bagi masyarakat (tangible and visible projects) mulai dari langkah awal dengan fokus pada peningkatan pendapatan. Peningkatan perolehan secara material (tangible material improvement) dan kebutuhan biaya yang lebih rendah merupakan objek yang membuat orang mau terlibat dan ingin berubah. Dibutuhkan pula upaya yang simultan untuk merubah perilaku petani melalui penyadaran dan perubahan sikap menuju nilai-nilai berbagi (shared values).

Catatan

Studi ini memberikan contoh bagaimana mengorganisasikan masyarakat desa agar berhasil dalam pengembangan komunitas pedesaan. Studi ini melihat secara komprehensif, tidak semata hanya dari sisi masyarakat, namun juga bagaimana pihak luar harus memperlakukan masyarakat.
Tulisan ini memberikan beberapa point yaitu bagaimana wadah untuk berpartisipasi tersedia, bagaimana pemerintah memilih pendekatan dan posisinya terhadap masyarakat, bagaimana organisasi di level komunitas disusun, dan bagaimana rancangan program memilih kegiatan-kegiatan yang keuntungan ekonominya mudah dilihat dengan jelas oleh masyarakat. Hal yang terakhir ini sangat penting untuk memotivasi peserta. Satu hal penting lain adalah apakah program memperhatikan pengembangan aspek spritual, khususnya dalam upaya membangkitkan kultur ketekunan, mandiri, dan kerjasama dalam diri petani.

*****