Karl Marx dikenal sebagai pemikir dan penulis tentang banyak hal. Berbeda dengan ahli lain, misalnya kalangan ekonom yang banyak dikritiknya, semasa hidupnya, Marx menggunakan pendekatan sejarah. Di sisi lain, meskipun keilmuannya menyumbang kepada berbagai bidang, namun minat utama Marx adalah kritiknya terhadap ekonomi politik. Beda dengan yang lain, Marx selalu melihat dan mendasarkan bangun keilmuan dan metodenya kepada adanya kontradisksi-kontradiksi. Kontradiksi yang pokok pada masyarakat kapitalisme adalah yang terjadi antara kelompok dominan yaitu pemilik pabrik (borjuis) dengan kelompok tersubordinasi yaitu buruh (proletar).
Dalam Turner (1981) disebutkan bahwa Marx membangun teorinya dari filsafat Hegel dan Feuerbach. Marx mengambil dialektika gagasan dari Hegel yang lalu dipadu dengan material religius dari Feuerbach, meskipun dalam hal tertentu ia menolak pemikiran kedua ahli tersebut. Dalam konsep dialektika Marx, ia melihat ada hubungan timbal balik antara materi dan pikiran. Melalui penggalian sejarah, Marx berkesimpulan bahwa sejarah manusia pada hakekatnya adalah sejarah perjuangan kelas.
Tulisan ini hanya membahas sebagian dari bangun teori Karl Marx, khususnya tentang organisasi sosial (social organization). Dalam menyusun model analisanya, Marx mendasarkan pada premis bahwa organisasi produksi pada hakekatnya mempengaruhi struktur sosial masayaarkat. Marx menekankan bahwa hal ini dapat dilihat secara gamblang.
Permasalahan organisasi sosial dibahas Marx baik pada buku German Ideology, Manifesto maupun The Capital; dimana sifat organisasi sosial merupakan pokok perhatiannya. Marx menguraikan pola-pola bagaimana organisasi sosial lahir, bertahan, dan berubah dalam perjalanan waktu. Ia ingin mengungkapakan bagaimana hal itu berjalan dalam sejarah manusia. Marx melihat adanya kesalinghubungan antara tingkat teknologi, produktivitas, diferensiasi sosial, ukuran populasi, tingkat diferensiasi, pemusatan kekuasaan, serta kepercayaan (beliefs) dan norma.
Hal seperti ini tentu bukan suatu yang baru, karena banyak pemikir sebelumnya juga telah melihat ini sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi. Satu sumbangan Marx yang penting dalam konteks ini adalah bagaimana integrasi dari sistem-sistem yang berbeda (differentiated systems) tersebut dapat dicapai. Untuk menjawab ini, berbeda dengan penjelasan ahli lain, ia melihat pengaruh dari tingkat diferensiasi, terpusatnya kekuasaaan, dan manipulasi dari sistem ide.
Sesuai dengan pemikiran Marx yang khas secara keseluruhan - yang berpusat pada kesenjangan, konflik dan semacamnya – Marx melihat distribusi kekuasaan yang tidak seimbang lah sebagai akar munculnya konflik kepentingan. Marx melihat kesejajaran antara keduanya, dimana konflik akan semakin berpeluang terjadi antara dua kelompok, yaitu kelompok mereka yang dominan dan kelompok yang tersubordinasi. Dalam masyarakat kapitalis, kedua kelompok dimaksud adalah pemilik perusahaan atau pemilik modal, dan kelompok buruh.
Hal ini disebut dengan prinsip kesenjangan dan perubahan dalam sistem sosial (Turner dan Beeghley, 1981). Kesenjangan menjadi semakin besar ketika pihak yang memiliki kekuasaan semakin mengkonsentrasikan kekuasaaannya sehingga menjadi semakin kuat, sehingga ia semakin mudah mengontrol sumberdaya ekonomi. Selain itu, kesenjangan distribusi terhadap sumberdaya yang langka terjadi karena pihak yang berkuasa tadi membatasi mobilitas kelompok yang tersubordinasi.
Benih konflik dimulai ketika kelompok yang dirugikan dan berada di posisi lebih rendah mempertanyakan keabsahan penguasaan sumber daya (yang cenderung langka) oleh kelompok yang dominan. Disini Marx meyakini bahwa semakin kelompok tersubordinasi merasa sadar, maka pertanyaan tentang legitimasi ini semakin menguat. Kesadaran ini semakin cepat tumbuh dan berkembang luas, jika mereka terkonsentrasi pada satu tempat secara geografis dan semakin mudahnya berkomunikasi. Kelompok-kelompok buruh yang tinggal berdekatan dan bermomunikasi secara intensif, menjadikan kesadaran tersebut semakin tumbuh cepat.
Pada rumusan lebih detail disebutkan bahwa para buruh akan mudah tumbuh kesadaran kolektifnya dengan mengembangan kesatuan sistem kepercayaannya (unifying systems of beliefs). Hal ini hanya dimungkinkan apabila di antara mereka terjalin komunikasi yang semakin baik, dan termasuk pengorganisasian diri di antara mereka. Para buruh harus bisa mengembangkan ideologi perjuangannya sendiri, dimana kecepatan pertumbuhannya tergantung kepada kemampuan untuk membangkitkan juru bicara, serta kemampuan kelompok dominan untuk mengendalikan proses sosialisasi dan komunikasinya. Dengan kata lain, semakin banyak campur tangan apalagi hambatan dari pihak pemilik pabrik, maka ideologi dimaksud menjadi semakin sulit berkembangan dan menyebar. Sepintas terlihat bahwa probabilitas-probabilitas ini disusun dalam bentuk linier, dan juga sangat determinan dari satu faktor ke faktor lain secra berantai.
Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok-kelompok buruh berkembang dari apa yang disebut dengan “class of it self” menjadi “class for itself”. Kesadaran kelas belum terjadi pada kondisi class-in-itself dimana orang-orang yang sama belum memiliki sadar kelas. Sedangkan kondisi class-for-itself tercapai saat mereka sadar penuh dan lalu mengorganisasikan diri. Syarat terbentuknya kelas adalah apabila ada kesadaran ditambah dengan tidak adanya kompetisi horizontal. Jadi, kesadaran kelas tercipta jika muncul kesadaran tentang kepentingan objektif di antara mereka.
Pengorganisasian diri kelompok tersubordinasi (dalam hal ini buruh) dan kepemimpinannya dapat menjadi inisiasi untuk terjadinya konflik terbuka. Dan ini berhubungan terbalik dengan pengorganisasian di kelompok dominan. Pada gilirannya, jika organisasi buruh semakin kuat, yang disertai pula dengan resistensi di kalangan kelompok dominan (penguasa atau pemilik modal), maka peluang konflik untuk muncul menjadi semakin besar.
Pada akhirnya, konflik ini akan merubah struktur sosial masyarakat. Disini Marx pada hakekatnya bermaksud menunjukkan bahwa perubahan dalam struktur dan sistem sosial masyarakat berasal dari perubahan dalam sistem produksi yang merupakan aktivitas ekonomi masyarakat. Jadi, oragnisasi sosial yang dimaksud pada hakekatnya adalah organisasi yang melayani agar aktivitas ekonomi masyarakatnya berjalan.
Namun, dari pembahasan di atas sedikit disebut bahwa meskipun aktor perubahan sejarah adalah manusia, tapi teknologi dan perkembangan ekonomi juga berperan penting. Perkembangan teknologi membantu komunikasi antar buruh sehingga menjadi makin mudah dan intensif. Sementara perkembangan ekonomi yang cenderung terpusat di kota misalnya bersama-sama dengan perkembangan demografi juga memberikan kontribusi.
Dari uraian ini terlihat Marx berupaya memberikan analisis mengenai organisasi inti dari cara produksi kapitalis. Marx menyusun hukum gerak ekonomi dan perubahan sosial secara lebih luas dari masyarakat. Ia merumuskan hukum-hukum yang menentukan asal-usul, keberadaan, perkembangan dan kematian suatu organisasi sosial tertentu dan digantikan oleh organisasi sosial lain (yaitu sosialis). Terlihat dari paparan dalam buku Turner dan Beeghley (1981) ini bahwa cara produksi kapitalis itu sebagai suatu struktur yang berkembang-sendiri, yaitu lahir-sendiri namun akan hancur pula sendiri. Karena di dalam diri kapitalisme itu ada benih-benih yang dapat menghancurkanm dirinya sendiri.
Sebagaimana metode Marx yang menggunakan materialisme sejarah, ia mengurai abstraksi-abstraksi sistem dan dunia kehidupan dalam masyarakat kapitalis. Marx menjelaskan tentang struktur dasar sosial masyarakat melalui tinjauan kelas-kelas sosial beserta perjuangan-perjuangannya.
Hal ini juga sudah digarisbawahi dalma tulisan Mills (Inventory of Ideas; dalam Mills, 1962), dimana basis ekonomi dari suatu masyarakat menentukan struktur sosial masyarakat tersebut secara keseluruhan dan juga psikologi orang-orang di dalamnya. Basis ekonomi dimaksud terdiri atas 3 hal yaitu mode of production, substruktur, dan fondasi ekonomi.
Buruh sebagai Sumber Nilai Lebih dan Penumpukan Modal bagi Kapitalis
Tulisan ini hanya membahas sebagian dari bangun teori Karl Marx, yaitu tentang proses pertukaran dan pengembangan kapital atau modal dalam ekonomi industri. Sumber penulisan berasal dari tulisan Turner dan Beeghley (1981) terutama pada halaman 158 – 169. Marx menjelaskan hal ini melalui beberapa perhitungan sederhana berkenaan dengan nilai kapital, mesin, upah tenaga kerja dan keuntungan atau nilai lebih.
Turner dan Beeghley memulai paparan ini dengan menjelaskan sistem ekonomi sebelum kapitalisme. Pada sistem ekonomi sederhana yang belum mengenal uang, komoditas dipertukarkan langsung antar barang, dimana nilai barang yang dipertukarkan disamakan dengan nilai total barang dari pihak lain. Apabila per unit barang memiliki nilai yang berbeda, maka jumlah unitnya dapat berbeda antar pihak tersebut.
Ketika sudah dikenal uang, maka uang menjadi alat pengukur nilai yang dikandung barang, yaitu dengan melekatkan harga pada barang tersebut. Karenanya, uang akhirnya berkembang menjadi simbol kerja manusia yang melekat pada komoditas. Proses pertukaran pada tahap-tahap awal ini adalah berpola ”komoditas-uang-komoditas”. Uang semata-mata hanya difungsikan untuk memudahkan besar nilai barang, sehingga uang hanya membantu dalam pertukaran. Pola seperti ini kemudian berubah menjadi ”uang-komoditas-uang”.
Kapitalisme dicirikan oleh pola pertukaran yang kedua ini yaitu uang-komoditas-uang. Jika pada pola pertama uang hanyalah alat yang membantu pertukaran, pada pola kedua pertukaran dipersembahkan untuk uang. Orang membeli komoditas untuk kemudian dijual lagi adalah untuk mendapatkan uang lebih banyak. Tujuan pokoknya disini adalah memperbanyak uang. Dalam bahasa Marx disebut: ”commences with money and ends with money” (dimulai oleh uang dan diakhiri dengan uang). Hal ini terjadi ketika ”uang berikutnya” dalam pola uang-komoditas-uang lebih besar dibandingkan ”uang pertama”. Kapitalis membeli barang dengan harga murah dan lalu menjualnya lebih tinggi. Ini merupakan salah satu bentuk nilai lebih (surplus value).
Hal ini dicontohkan dalam produksi tekstil, dimana seorang penjahit membeli bahan kain seharga 1000 dollar, lalu memperkerjakan penjahit lain yang dibayar 500 dollar, dan lalu menjual hasilnya seharga 2000 dollar. Dari hasil ini setelah dikurangi total biaya, ia mendapat untung 500 dollar. Nilai ini merupakan surplus value dari kegiatan si penjahit tadi yang berperan sebagai pengusaha. Perbedaan yang penting disini yang harus dicatat adalah bahwa si penjahit sejak semula memang tidak berniat untuk memakai sendiri hasil jahitannya, namun semata-mata dalam tujuan memperoleh keuntungan (provit making). Kapitalisme pada hakekatnya adalah sirkulasi dari aktivitas ini yang berjalan secara terus menerus dan dalam skala luas.
Dalam konteks ini, nilai lebih (surplus value) tersebut sesungguhnya diperoleh dari tenaga kerja. Mereka yang diperkerjakan oleh si pemilik modal itulah yang sejatinya menjadi sumber pendapatan, bukan dari komoditas yang menjadi bahan baku. Meskipun dari harga pembelian bahan baku (commodity) dapat pula menjadi salah satu sumber nilai lebih, namun Marx menegaskan bahwa tenaga kerjalah yang sesungguhnya menjadi sumber nilai lebih. Tenaga kerja menjadi sumber perolehan nilai lebih untuk kapitalis, bukan yang lain. Dengan membayar buruh berupa upah, secara tidak langsung merupakan upaya menyembunyikan si buruh dari relasi langsung dalam sistem pertukaran. Dengan kata lain, si buruh dihalangi untuk terlibat langsung dalam sistem pasar dan ekonomi secara lebih luas. Implikasi lain, karena kapitalis menginginkan nilai lebih, maka ia akan menjual produk lebih tinggi. Harga yang ditawarkan ke pasar jauh lebih tinggi dibandingkan andai si buruh itu sendiri yang menjualkannya langsung.
Upah juga menyembnyikan nilai tenaga kerja sesungguhnya. Dengan membayar 3 shilling per hari kerja, seolah-olah nilai buruh memang hanya 3 shilling tersebut, padahal nilainya lebih besar. Marx juga menekankan bahwa sumber nilai lebih adalah karena pembedaan antara tenaga kerja (labor) dengan kemampuan tenaga kerja (labor power). Tenaga kerja adalah orang-orang yang berkerja pada kapitalis, sedangkan kemampuan tenaga kerja adalah nilai kapasitas si pekerja menurut kapitalis. Nilai tersebut sama dengan besar upah yang kapitalis bersedia memberikan kepada pekerja. Nilai tersebut sudah mencakup mental dan fisik si pekerja.
Pada hakekatnya, kemampuan tenaga kerja tersebut adalah komoditas, yang maknanya menjadi serupa dengan komoditas lain. Dalam bahasa yang lebih lugas dikatakan bahwa itulah yang tenaga kerja bisa jual dari dirinya. Dalam sistemn kapitalis, tenaga kerja hanya bisa menjual tenaganya tersebut kepada kapitalis yang memiliki alat produksi (means of production). Nilai tenaga kerja - atau harga jualnya (selling price) – ditentukan berbagai faktor terutama nilai komoditas lain serta jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu perkejaan. Satu pertimbangan lain yang dipakai adalah berapa kebutuhan hidup si buruh, baik untuk makanan, pakaian dan perumahan. Kenapa ini harus diperhatikan? Karena si buruh harus dijaga sedemikian rupa sehingga ia bisa dan siap kembali ke industri atau dalam bahasa ekonomi disebut kembali ke pasar kerja.
Tambahan lain lagi, kapitalis juga harus mempertimbangkan agar terjamin regenerasi tenaga kerja. Untuk itu, harus dihitung juga berapa yang harus dibayarkan ke buruh agar anak-anaknya nanti di masa berikutnya siap untuk menjadi tenaga kerja seperti orang tuanya.
Marx menyebut bahwa sumber dari nilai lebih sesungguhnya adalah buruh yang dipaksa berkerja lebih lama dibandingkan kebutuhannya untuk hidup subsisten. Kapitalis hanya membeli kemampuan tenaga kerja (power labor) itu belaka. Upah yang dibayarkan kapitalis semata-mata untuk menjaga kapasitas tenaga kerja, yaitu agar mereka tidak sakit sehingga produktivitas kerjanya menurun. Jika hanya untuk bertahan hidup seorang buruh cukup bekerja 6 jam per hari, si kapitalis membuatnya bekerja 12 jam, sehingga si kapitalis memperoleh nilai lebih. Jadi, nilai lebih tersebut datang dari jam kerja buruh yang dipanjangkan.
Nilai lebih dapat pula diperoleh kapitalis dengan menekan nilai modal vairabel (variable capital) yaitu dari tenaga kerja. Dengan berkerja lebih produktif, berarti nilai modal variabel menjadi rendah. Jadi, disini terjadi eksploitasi tenaga kerja oleh kapitalis. Peningkatan produktivitas tenaga kerja dapat dicapai melalui dua cara, yaitu dengan menata organisasi produksi sehingga menjadi lebih efisien misalnya dengan sistem ban berjalan, dan kedua dengan menerapkan teknologi yang lebih baik. Dengan memakai teknologi lebih baik – yang lebih efisien dan cepat misalnya – kapitalis juga dapat lebih bersaing dibandingkan kapitalis lain yang menjadi kompetitornya.
Namun, inovasi teknologi bukanlah sesuatu yang permanen, karena pemilik industri lain dengan mudah dapat menirunya. Karena itu, hal ini tidak dapat diandalkan sebagai sumber nilai lebih yang mantap. Kreatifitas dan daya inovatif industriawan tidak dapat menjadi sumber perolehan keuntungan yang dapat diandalkan. Karena alasan itulah, sumber nilai lebih kembali datang dari tenaga kerja atau buruh. Analisa dari data-data ekonomi kapitalis sepanjang abad ke-19 membuat Marx menyimpulkan bahwa produktivitas atau pertumbuhan ekonomi meningkat secara mantap melalui eksploitasi kaum proletar, bukan dari penerapan teknologi dan lain-lain. Buruh lah mesin ekonomi yang sesungguhnya, demikian kira-kira maksud Marx.
Dalam membicarakan akumulasi kapital, Marx menyebut ada dua hal yang saling berhubungan berkenaan dengan sifat nilai lebih, yaitu reproduksi sederhana (simple reproduction) dan konversi nilai lebih menjadi kapital (conversion of surplus value into capital). Konversi nilai lebih menjadi kapital disebut Marx sebagai proses penumpukan kapital. Proses ini diprediksi Marx memiliki tiga konsekuensi yang saling berhubungan, yaitu kalangan proletar terpisah dari kepemilikan dan kontrol terhadap barang-barang privat dan bahkan terhdap kerjaannya sendiri (=teralienasi), buruh yang semakin miskin karena mesin menggantikan kerja buruh, dan kecepatan keuntungan akan semakin menurun sehingga akan menuju pada krisis.
Pada bagian akhir dari buku ini, Marx menjelaskan tentang bagaimana asal terbentuknya kapitalisme, yang dikutip Turner dan Beeghley (1981) dari buku The Capital. Terbentuknya kapitalisme menurut Marx merupakan suatu proses yang dilabelinya dengan istilah primitive accumulation. Dalam menjelaskan ini Marx menyebut bahwa perlu dipelajari sekaligus bagaimana tumbuhnya kaum proletar dan borjuis bersama-sama. Marx menggunakan pendekatan struktural dalam menjelaskan ini. Kelahiran kalangan proletar bisa dirunut dari abad ke 15 dan 16 ketika tercerabutnya petani-petani mandiri (self supporting) ke kota dan lalu menjadi kelompok yang tidak memiliki pegangan. Bersamaan dengan itu, juga terjadi beberapa perubahan dalam sistem perekonomian beserta institusi-institusinya misalnya sistem kredit.
Dari penjelasan ini terlihat bahwa Marx telah menemukan jawaban bagaimana kapitalisasi berlangsung. Perolehan nilai lebih bagi kalangan kapitalis pada hakekatnya berasal dari tenaga kerja yang disekploitasi sedemikian rupa terutama dengan memperpanjang waktu kerjanya dan selalu berupaya menekan upahnya. Kondisi ini jelas sangat merisaukan Marx. Karena itu, ia meyakini bahwa pada saatnya sistem kapitalisme ini akan menemukan kehancurannya sendiri. Akar penyebabnya adalah karena sistem ini tidak manusiawi. Marx dalam posisinya sebagai teoritikus dan aktor lapangan sekaligus berupaya mewujudkan mimpinya ini, yaitu menggantikan sistem kapitalisme menjadi komunisme yang diyakini akan lebih manusiawi.
Prinsip-Prinsip Teoritikal Marx: Organisasi Sosial, Ketimpangan dan Perubahan Sosial
Paper ini didasarkan atas buku Turner dan Beeghley (1981) khususnya berkenaan dengan sub bab prinsip-prinsip teori Marx (hal. 183-190). Bagian ini menjelaskan apa dasar-dasar Marx dalam membangun teorinya, setelah pada bagian-bagian sebelumnya dipaparkan berbagai hal berkenaan dengan dasar filsafat Marx, serta bangun dasar dari teorinya tentang sistem kapitalisme. Menurut Turner dan Beeghley, secara jelas Marx telah mneguraikan dalam berbagai bukunya, bagaimana organisasi produksi memberi pengaruh pokok kepada terbentuknya struktur sosial dalam masyarakat. Sistem produksi kapitalisme, meskipun sejatinya hanya berlangsung dalam aktvitas-aktivitas di pabrik, namun secara tidak langsung juga memberikan warna kepada kehidupan di masyarakat secara luas.
Penjelasan dan prediksi Marx sangat jelas tentang kapitalisme. Marx melihat bagaimana fenomena perkembangan yang besar dalam kepitalisme diikuti oleh fenomena terbaginya masyarakat atas dua kelas utama (buruh dan majikan kapitalis), serta timbulnya alienasi (keterasingan) dan pemiskinan buruh. Kedua hal ini, serta berbagai perkembangan yang mengikutinya, pada waktunya akan menyebabkan tingkat keuntungan kapitalis semakin rendah sehingga menimbulkan krisis yang meluas. Pada tahap terakhir dari proses ini, akan lahir revolusi komunis. Revolusi ini dipercaya Marx akan menghancurkan sistem kapitalis, sehingga merubah secara besar-besaran baik struktur di pabrik maupun di tengah masyarakat.
Meskipun sepanjang hidup Marx, dan pola sejarah secara umum, hal ini tidak terjadi, namun Turner dan Beeghley melihat bahwa bebarapa prinsip yang disampaikan Marx tetap berlaku. Prinsip-prinsip tersebut berkenaan dengan dua hal, yaitu sistem keorganisasian dalam sistem sosial, dan adanya ketimpangan serta perubahan dalam sistem sosial.
Prinsip Organisasi Sosial
Dalam menyusun model analisanya, Marx mendasarkan pada premis bahwa organisasi produksi pada hakekatnya mempengaruhi struktur sosial masayarakat. Marx menekankan bahwa hal ini bukan sesuatu yang rumit, namun dapat dilihat secara gamblang. Bagaimana pengaruh sistem keorganisasian dalam aktivitas industri secara mudah terlihat pengaruhnya kepada terbentuknya sistem keorganisasian masyarakat di tempat mana kapitalisme tersebut dipraktekkan.
Marx secara luas membahas persoalan ini pada berbagai buku yaitu buku German Ideology, Manifesto maupun The Capital; dimana sifat organisasi sosial merupakan pokok perhatiannya. Marx menguraikan pola-pola bagaimana organisasi sosial lahir, bertahan, dan berubah dalam perjalanan waktu. Marx mendapatkan bahwa hal itu berjalan dalam sejarah manusia. Ia juga melihat adanya kesalinghubungan antara tingkat teknologi, produktivitas, diferensiasi sosial, ukuran populasi, tingkat diferensiasi, pemusatan kekuasaan, serta kepercayaan (beliefs) dan norma.
Hal seperti ini tentu bukan suatu yang baru, karena banyak pemikir sebelumnya juga telah melihat ini sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi. Satu sumbangan Marx yang penting dalam konteks ini adalah bagaimana integrasi dari sistem-sistem yang berbeda (differentiated systems) tersebut dapat dicapai. Untuk menjawab ini, berbeda dengan penjelasan ahli lain, ia melihat pengaruh dari tingkat diferensiasi, terpusatnya kekuasaaan, dan manipulasi dari sistem ide.
Dalam menjelaskan bagaimana organisasi sosial sistem kapitalis mempengaruhi sistem sosial masyarakat, Marx menggunakan beberapa proposisi. Marx melihat adanya kesejajaran dan hubungan timbal balik yang positif antara penerapan tingkat teknologi dengan tingkat produktivitas yang dapat dicapai suatu masyarakat. Produktivitas yang meningkat menyebabkan terjadinya diferensiasi sosial. Kedua fenomena ini juga saling berhubungan secara positif.
Selanjutnya, dengan semakin tingginya produktivitas dan stratifikasi sosial, maka semakin kuat kemampuan sistem tersebut untuk mendukung kehidupan populasi penduduk yang semakin besar. Pada gilirannya, populasi yang besar lalu menekan kepada kebutuhan untuk semakin meningkatkan produktivitas, serta juga semakin tegas dan meluasnya stratifikasi sosial.
Populasi yang lebih besar dengan derajat stratifikasi yang juga besar, menyebabkan tercapainya integrasi sosial yang kuat, setidaknya dalam jangka pendek. Hal ini terjadi melalui diferensiasi dan kosentrasi kekuasaan. Selanjutnya, kedua hal ini – diferensiasi dan konsentrasi kekuasaan – menjadikan bahwa norma dalam sistem dikontrol dan dikuasai oleh mereka yang memiliki keuasaan besar. Mereka menggunakan ini untuk melegitimasi ketimpangan distribusi sumber daya yang langka yang juga berkaitan dengan diferensiasi.
Ketimpangan dan Perubahan Sistem Sosial
Marx secara panjang lebar mengupas bagaimana ketimpangan atau ketidakadilan yang berlangsung dalam sistem kapitalis menuju kepada terjadinya konflik, dan dengan demikian menjadi sumber untuk perubahan. Kekuasaan (power) merupakan akarnya, sehingga dengan adanya ketimpangan kekuasaan – antara buruh dan kapitalis – akan menuju kepada distribusi yang juga tak seimbang. Hal ini menjadi sinyal kepada lahirnya konflik kepentingan. Marx menyusun beberapa proposisi berkenaan dengan ini.
Sesuai dengan pemikiran Marx yang khas secara keseluruhan - yang berpusat pada kesenjangan, konflik dan semacamnya – Marx melihat distribusi kekuasaan yang tidak seimbang lah sebagai akar munculnya konflik kepentingan. Marx melihat kesejajaran antara keduanya, dimana konflik akan semakin berpeluang terjadi antara dua kelompok, yaitu kelompok mereka yang dominan dan kelompok yang tersubordinasi. Dalam masyarakat kapitalis, kedua kelompok dimaksud adalah pemilik perusahaan atau pemilik modal, dan kelompok buruh.
Semakin tidak seimbang distribusi sumberdaya dalam sebuah sistem sosial, maka akan melahirkan konflik kepentingan yang juga lebih besar antara kalangan yang dominan dan tersubordinasi tersebut. Marx melihat bahwa kekuasaan yang besar memudahkan konsolidasi kontrol terhadap sumber daya. Hal ini sejajar dengan semakin timpangnya distribusi kekuasaan terhadap sumber daya.
Marx menyebut ini dengan prinsip kesenjangan dan perubahan dalam sistem sosial. Kesenjangan menjadi semakin besar ketika pihak yang memiliki kekuasaan semakin mengkonsentrasikan kekuasaaannya sehingga menjadi semakin kuat, sehingga ia semakin mudah mengontrol sumberdaya ekonomi. Kesenjangan distribusi terhadap sumberdaya yang langka terjadi karena pihak yang berkuasa membatasi mobilitas kelompok yang tersubordinasi. Hal ini merupakan strategi yang mudah dipahami, karena kontrol terhadap sumber daya merupakan hal pokok yang akan menentukan posisi dalam struktur ekonomi.
Konflik sesungguhnya terjadi ketika kelompok yang dirugikan dan berada di posisi lebih rendah (subordinat) mempertanyakan keabsahan penguasaan sumber daya langka oleh kelompok yang dominan. Marx melihat bahwa semakin kelompok tersubordinasi merasa sadar, maka pertanyaan tentang legitimasi ini semakin menguat. Kesadaran ini semakin cepat tumbuh dan berkembang luas, jika mereka terkonsentrasi pada satu tempat secara geografis. Mereka menjadi mudah berkomunikasi satu sama lain.
Hal ini merupakan fenomena yang umum di wilayah industri, dimana kelompok-kelompok buruh yang tinggal berdekatan berpeluang dapat bermomunikasi secara lebih intensif. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan kesadaran tumbuh semkain cepat pula. Selain itu, para buruh yang tersubordinasi akan mudah tumbuh kesadaran kolektifnya apabila berkembang kesatuan sistem kepercayaannya (unifying systems of beliefs). Hal ini hanya dimungkinkan apabila di antara mereka terjalin komunikasi yang semakin baik, dan termasuk pengorganisasian diri di antara mereka.
Perkembangan ini baru bisa tercapai jika para buruh bisa mengembangkan ideologi perjuangannya. Cepat atau lambatnya pertumbuhan ideologi ini tergantung kepada beberapa hal, misalnya kepemimpinan buruh. Kemampuan kelompok dominan untuk mengendalikan proses sosialisasi dan komunikasinya dapat berperan sebaliknya, atau bisa memperlambat laju penyebaran ideologi dan kesadaran. Artinya, dengan semakin banyak campur tangan dan hambatan dari pihak kapitalis, maka ideologi dimaksud menjadi semakin sulit berkembang dan terdistribusi di kalangan buruh.
Pergerakan buruh sesungguhnya tercapai bila terjadi perkembangan dari “class of it self” menjadi “class for itself”. Kondisi class-for-itself tercapai saat buruh sadar secara penuh dan lalu mengorganisasikan diri dengan baik. Jadi, kesadaran kelas hanya tercipta jika muncul kesadaran tentang kepentingan objektif di antara mereka sesama buruh. Pada gilirnanya pula, pengorganisasian buruh ini dapat menjadi inisiasi untuk terjadinya konflik terbuka. Jika organisasi buruh semakin kuat, maka konflik berpeluang untuk semakin besar dan luas.
Konflik yang pada mulanya terjadi di lingkungan pabrik atau aktivitas ekonomi, akan merubah struktur sosial masyarakat. Jadi, sekali lagi, Marx memperlihatkan bagaimana perubahan dalam struktur dan sistem sosial masyarakat sesungguhnya berasal dari perubahan dalam sistem produksi. Perubahan aktivitas ekonomi masyarakat di pabrik, menjadi pemicu perubahan sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain, perubahan material menjadi sumber perubahan sosial di masyarakat.
Pada hakekatnya Marx berupaya menganalisis mengenai organisasi pokok dari cara produksi kapitalis. Marx menyusun hukum gerak ekonomi dan perubahan sosial secara lebih luas. Marx telah berhasil menyusun hukum-hukum yang menentukan asal-usul, proses, dan arah perubahan sosial dalam masyarakat. Ia menguraikan berbagai abstraksi-abstraksi sistem kehidupan sosial dalam masyarakat kapitalis. Keorganisasian cara berproduksi sistem kapitalis di pabrik-pabrik merupakan penyebab utama perubahan sosial, berupa kemajuan maupun kehancuran, yaitu kehancuran sistem kapitalis itu sendiri. Bersama dengan ini, ketimpangan dalam struktur pabrik, yang pada hakekatnya juga merupakan struktur dari keorganisasian pabrik, juga menjadi pemicu perubahan sosial di masyarakat.
Konsep Marx tentang Perubahan Sosial
Karl Marx dikenal sebagai pemikir dan penulis tentang banyak hal. Berbeda dengan ahli lain, misalnya kalangan ekonom yang banyak dikritiknya, semasa hidupnya, Marx menggunakan pendekatan sejarah. Di sisi lain, meskipun keilmuannya menyumbang kepada berbagai bidang, namun minat utama Marx adalah kritiknya terhadap ekonomi politik. Beda dengan yang lain, Marx selalu melihat dan mendasarkan bangun keilmuan dan metodenya kepada adanya kontradisksi-kontradiksi. Kontradiksi yang pokok pada masyarakat kapitalisme adalah yang terjadi antara kelompok dominan yaitu pemilik pabrik (borjuis) dengan kelompok tersubordinasi yaitu buruh (proletar).
Dalam Turner (1981) disebutkan bahwa Marx membangun teorinya dari filsafat Hegel dan Feuerbach. Marx mengambil dialektika gagasan dari Hegel yang lalu dipadu dengan material religius dari Feuerbach, meskipun dalam hal tertentu ia menolak pemikiran kedua ahli tersebut. Dalam konsep dialektika Marx, ia melihat ada hubungan timbal balik antara materi dan pikiran. Melalui penggalian sejarah, Marx berkesimpulan bahwa sejarah manusia pada hakekatnya adalah sejarah perjuangan kelas.
Tulisan ini hanya membahas sebagian dari bangun teori Karl Marx, khususnya tentang organisasi sosial (social organization). Dalam menyusun model analisanya, Marx mendasarkan pada premis bahwa organisasi produksi pada hakekatnya mempengaruhi struktur sosial masayaarkat. Marx menekankan bahwa hal ini dapat dilihat secara gamblang.
Aktivitas Ekonomi sebagai Pembentuk Organisasi Sosial dalam Masyarakat
Permasalahan organisasi sosial dibahas Marx baik pada buku German Ideology, Manifesto maupun The Capital; dimana sifat organisasi sosial merupakan pokok perhatiannya. Marx menguraikan pola-pola bagaimana organisasi sosial lahir, bertahan, dan berubah dalam perjalanan waktu. Ia ingin mengungkapakan bagaimana hal itu berjalan dalam sejarah manusia. Marx melihat adanya kesalinghubungan antara tingkat teknologi, produktivitas, diferensiasi sosial, ukuran populasi, tingkat diferensiasi, pemusatan kekuasaan, serta kepercayaan (beliefs) dan norma.
Hal seperti ini tentu bukan suatu yang baru, karena banyak pemikir sebelumnya juga telah melihat ini sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi. Satu sumbangan Marx yang penting dalam konteks ini adalah bagaimana integrasi dari sistem-sistem yang berbeda (differentiated systems) tersebut dapat dicapai. Untuk menjawab ini, berbeda dengan penjelasan ahli lain, ia melihat pengaruh dari tingkat diferensiasi, terpusatnya kekuasaaan, dan manipulasi dari sistem ide.
Sesuai dengan pemikiran Marx yang khas secara keseluruhan - yang berpusat pada kesenjangan, konflik dan semacamnya – Marx melihat distribusi kekuasaan yang tidak seimbang lah sebagai akar munculnya konflik kepentingan. Marx melihat kesejajaran antara keduanya, dimana konflik akan semakin berpeluang terjadi antara dua kelompok, yaitu kelompok mereka yang dominan dan kelompok yang tersubordinasi. Dalam masyarakat kapitalis, kedua kelompok dimaksud adalah pemilik perusahaan atau pemilik modal, dan kelompok buruh.
Hal ini disebut dengan prinsip kesenjangan dan perubahan dalam sistem sosial (Turner dan Beeghley, 1981). Kesenjangan menjadi semakin besar ketika pihak yang memiliki kekuasaan semakin mengkonsentrasikan kekuasaaannya sehingga menjadi semakin kuat, sehingga ia semakin mudah mengontrol sumberdaya ekonomi. Selain itu, kesenjangan distribusi terhadap sumberdaya yang langka terjadi karena pihak yang berkuasa tadi membatasi mobilitas kelompok yang tersubordinasi.
Benih konflik dimulai ketika kelompok yang dirugikan dan berada di posisi lebih rendah mempertanyakan keabsahan penguasaan sumber daya (yang cenderung langka) oleh kelompok yang dominan. Disini Marx meyakini bahwa semakin kelompok tersubordinasi merasa sadar, maka pertanyaan tentang legitimasi ini semakin menguat. Kesadaran ini semakin cepat tumbuh dan berkembang luas, jika mereka terkonsentrasi pada satu tempat secara geografis dan semakin mudahnya berkomunikasi. Kelompok-kelompok buruh yang tinggal berdekatan dan bermomunikasi secara intensif, menjadikan kesadaran tersebut semakin tumbuh cepat.
Pada rumusan lebih detail disebutkan bahwa para buruh akan mudah tumbuh kesadaran kolektifnya dengan mengembangan kesatuan sistem kepercayaannya (unifying systems of beliefs). Hal ini hanya dimungkinkan apabila di antara mereka terjalin komunikasi yang semakin baik, dan termasuk pengorganisasian diri di antara mereka. Para buruh harus bisa mengembangkan ideologi perjuangannya sendiri, dimana kecepatan pertumbuhannya tergantung kepada kemampuan untuk membangkitkan juru bicara, serta kemampuan kelompok dominan untuk mengendalikan proses sosialisasi dan komunikasinya. Dengan kata lain, semakin banyak campur tangan apalagi hambatan dari pihak pemilik pabrik, maka ideologi dimaksud menjadi semakin sulit berkembangan dan menyebar. Sepintas terlihat bahwa probabilitas-probabilitas ini disusun dalam bentuk linier, dan juga sangat determinan dari satu faktor ke faktor lain secra berantai.
Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok-kelompok buruh berkembang dari apa yang disebut dengan “class of it self” menjadi “class for itself”. Kesadaran kelas belum terjadi pada kondisi class-in-itself dimana orang-orang yang sama belum memiliki sadar kelas. Sedangkan kondisi class-for-itself tercapai saat mereka sadar penuh dan lalu mengorganisasikan diri. Syarat terbentuknya kelas adalah apabila ada kesadaran ditambah dengan tidak adanya kompetisi horizontal. Jadi, kesadaran kelas tercipta jika muncul kesadaran tentang kepentingan objektif di antara mereka. Pada tulisan Mills (1962) disebutkan bahwa kesempatan untuk terjadinya revolusi akan terbuka hanya bila kondisi objektif (objective condition) bertemu dengan kesiapan subjektif (subjective readiness).
Pengorganisasian diri kelompok tersubordinasi (dalam hal ini buruh) dan kepemimpinannya dapat menjadi inisiasi untuk terjadinya konflik terbuka. Dan ini berhubungan terbalik dengan pengorganisasian di kelompok dominan. Pada gilirannya, jika organisasi buruh semakin kuat, yang disertai pula dengan resistensi di kalangan kelompok dominan (penguasa atau pemilik modal), maka peluang konflik untuk muncul menjadi semakin besar.
Pada akhirnya, konflik ini akan merubah struktur sosial masyarakat. Disini Marx pada hakekatnya bermaksud menunjukkan bahwa perubahan dalam struktur dan sistem sosial masyarakat berasal dari perubahan dalam sistem produksi yang merupakan aktivitas ekonomi masyarakat. Jadi, oragnisasi sosial yang dimaksud pada hakekatnya adalah organisasi yang melayani agar aktivitas ekonomi masyarakatnya berjalan.
Namun, dari pembahasan di atas sedikit disebut bahwa meskipun aktor perubahan sejarah adalah manusia, tapi teknologi dan perkembangan ekonomi juga berperan penting. Perkembangan teknologi membantu komunikasi antar buruh sehingga menjadi makin mudah dan intensif. Sementara perkembangan ekonomi yang cenderung terpusat di kota misalnya bersama-sama dengan perkembangan demografi juga memberikan kontribusi.
Dari uraian ini terlihat Marx berupaya memberikan analisis mengenai organisasi inti dari cara produksi kapitalis. Marx menyusun hukum gerak ekonomi dan perubahan sosial secara lebih luas dari masyarakat. Ia merumuskan hukum-hukum yang menentukan asal-usul, keberadaan, perkembangan dan kematian suatu organisasi sosial tertentu dan digantikan oleh organisasi sosial lain (yaitu sosialis). Terlihat dari paparan dalam buku Turner dan Beeghley (1981) ini bahwa cara produksi kapitalis itu sebagai suatu struktur yang berkembang-sendiri, yaitu lahir-sendiri namun akan hancur pula sendiri. Karena di dalam diri kapitalisme itu ada benih-benih yang dapat menghancurkanm dirinya sendiri. Pemaparan seperti ini juga disampaikan Turner (1982) terutama di bawah bab ”Contrasting Theoritical Proposition”.
Sebagaimana metode Marx yang menggunakan materialisme sejarah, ia mengurai abstraksi-abstraksi sistem dan dunia kehidupan dalam masyarakat kapitalis. Marx menjelaskan tentang struktur dasar sosial masyarakat melalui tinjauan kelas-kelas sosial beserta perjuangan-perjuangannya.
Hal ini juga sudah digarisbawahi dalma tulisan Mills (Inventory of Ideas; dalam Mills, 1962), dimana basis ekonomi dari suatu masyarakat menentukan struktur sosial masyarakat tersebut secara keseluruhan dan juga psikologi orang-orang di dalamnya. Pada hakekatnya, ekonomi menjadi penentu utama untuk seluruh sisi kehidupan suatu masyarakat baik politik, religi dan institusi legal serta dunia ide, images, dan ideologi. Semua adalah refleksi dari bagaimana ekonomi dijalankan dalam masyarakat bersangkutan. Basis ekonomi dimaksud terdiri atas 3 hal yaitu mode of production, substruktur, dan fondasi ekonomi. Ketiga ini berbeda dengan bagian lain dari masyarakat yang disebut dengan superstruktur atau institusi dan bentuk-bentuk ideologi.
Adanya institusi kepemilikan privat merupakan sumber dimulainya relasi antara kelas, yaitu kelas yang menguasai dan yang tidak. Hal ini menjadi basis pula untuk terwujudnya bagaimana kekuatan produksi.
Disebutkan dalam Mills bahwa kekuatan produksi dalam masyarakat merupakan sesuatu konsep yang kompleks, dimana di dalamnya tercakup sekaligus elemen materi maupun sosial. Pada bagian berikut dipaparkan pula bahwa dinamika perubahan sejarah adalah hasil dari konflik antara kekuatan produksi dengan relasi produksi.
Penetapan dan Peran HARGA POKOK dalam sistem Produksi Kapitalis
Dalam buku “Capital” volume III, khususnya pada Part I bab I ini, Marx telah menguraikan bagaimana sesungguhnya rasionalitas yang dikandung pada fenomena proses produksi kapitalis berlangsung. Ia menemukan serta membahas dan menyajikan bentuk kongkrit yang berasal dari proses gerakan kapital secara keseluruhan yang merupakan kesatuan dari proses produksi dan proses sirkulasi kapitalis. Konfigurasi kapital ini mendekati bentuk yang ada dimasyarakat yang terlihat dalam persaingan dan dalam kesadaran sehari-hari pelaku produksi itu sendiri.
Nilai suatu komoditi C yang diproduksi dengan cara kapitalis dapat dilukiskan oleh rumusan C=c+v+s. Jika kita mengurangi dari nilai produksi ini nilai-nilai s, maka tersisa sekedar suatu kesetaraan atau penggantian nilai dalam komoditi untuk nilai kapitalis c+v yang dikeluarkan untuk unsur-unsur produksi. Jika diandaikan bahwa produksi suatu barang tertentu memerlukan suatu pengeluaran kapital sebesar £500, itu berasal dari £20 untuk biaya keausan perkakas-perkakas kerja, £380 untuk bahan mentah, ditambah £100 untuk tenaga kerja. Jika kita anggap tingkat nilai lebih £100, maka nilai produksi adalah 400+100 +100 = £600.
Dalam contoh ini, nilai komoditi adalah sebesar £500. Besar nilai harga pokok ini semata-mata adalah unutk menggantikan pengeluaran kapital (c+v), atau di luar nilai lebih.. Bagian ini sangat esensial, karena nilai inilah yang menggantikan harga alat-alat produksi yang dikonsumsi dan tenaga kerja yang digunakan. Uang sejumlah ini semata-mata untuk menggantikan ongkos komoditi itu bagi si kapitalis sendiri. Oleh karena itu, nilai ini merupakan harga pokok (cost price) dari komoditi yang dihasilkan. Dengan kata lain, jika si kapitalis tidak memperoleh nilai lebih sekalipun, usahanya tidak akan bangkrut. Dengan menjual seharga ”harga pokok”, artinya biaya mesin, bahan baku, dan upah tenaga kerja sudah ditutupi.
Namun demikian, cerdiknya kapitalis adalah, ongkos komoditi tersebut bagi si kapitalis dan apa ongkos sebenarnya untuk memproduksi satu komoditi, adalah dua kuantitas yang sepenuhnya berbeda. Bagian dari nilai komoditi yang terdiri atas nilai lebih tidak berongkos apapun bagi si kapitalis, justru karena itu ongkos si pekerja untuk kerjanya yang tidak dibayar. Tetapi karena pekerja itu, dalam situasi produksi kapitalis, dirinya sendiri merupakan unsur dari kapitalis produktif, yang diposisikan sebagai milik si kapitalis, maka si kapitalislah produsen komoditi yang sesungguhnya. Dalam kondisi ini, harga pokok komoditi itu niscaya tampil baginya sebagai ongkos sesungguhnya dari komoditi itu sendiri. Jika kita menyebutkan harga pokok itu k, maka rumusannya menjadi C=k+s, atau nilai komoditi = harga pokok + nilai lebih.
Namun demikian, kategori harga pokok tidak ada sangkut-paut apapun dengan pembentukan nilai komoditi atau proses valorisasi kapital. Jika diketahui bahwa lima-per-enam dari suatu nilai komoditi sebesar £600 yaitu £500, adalah hanya suatu kesetaraan, suatu nilai pengganti, bagi kapitalis sebesar £500 yang telah dikeluarkan, dan oleh karena itu hanya cukup untuk membeli kembali unsur-unsur material dari kapital itu. Jadi, harga pokok di dalam ekonomi kapitalis menyajikan kemiripan palsu dari suatu katagori sesungguhnya dari produksi nilai.
Lebih detail, terbaca pula dari bagian ini bahwa nilai dari produk yang baru terbentuk (£600) terdiri atas niai yang muncul kembali dari kapital konstan £400 yang dikeluarkan untuk alat-alat produksi, dan sebagai suatu nilai yang baru diproduksi sebesar £200. Harga pokok komodoti itu (£500) merupakan £400 yang muncul kembali ditambah separuh dari nilai yang baru diproduksi sebesar £200. Dua bagian ini merupakan unsur-unsur dari nilai komoditi yang sepenuhnya berbeda, baik asal usulnya maupun perannya bagi perkembangan usaha kapitalis.
Perbedaan antara kapital tetap dan kapital variabel, dalam hubungan dengan kalkulasi harga pokok, dengan demikian hanya menegaskan asal usul harga pokok dalam nilai kapital yang dikeluarkan. Atau, dapat juga dimaknai sebagai harga dari unsur-unsur produksi, termasuk kerja yang menjadi ongkos kapitalis itu sendiri. Pembentukan nilai tersebut merupakan bagian variabel dari kapitalis yang dikeluarkan untuk tenaga kerja. Hal ini secara jelas teridentifikasikan dengan kapital konstan (bagian dari kapital yang terdiri atas bahan-bahan produksi), dibawah judul kapital yang beredar, dan dengan demikian proses valorisasi kapital secara sempurna dimistifikasikan.
Disamping harga pokok, komponen yang lain adalah nilai lebih (surplus value). Nilai lebih pada mulanya adalah suatu kelebihan dari nilai komoditi, sehingga nilai jual komoditi menjadi di atas harga pokok. Harga pokok setara dengan nilai dari kapital yang dikeluarkan dan terus menerus di transformasi kembali menjadi unsur-unsur material. Dalma kondisi ini, nilai tambahan ini adalah suatu nilai yang termasuk pada kapital yang dikeluarkan dalam produksi komoditi dan kembai dari proses sirkulasinya.
Dalam rumusan yang disusun Marx terlihat bahwa sekalipun nilai lebih (s) pada hakekatnya hanya merupakan suatu tambahan pada kapital variabel, namun sekaligus juga merupakan suatu tambahan nilai pada c+v. Artinya, nilai lebih adalah tambahan terhadap seuruh kapital yang dikeluarkan dalam proses produksi. Rumusan c+(v+s) yang menandakan bahwa s diproduksi dengan mentransformasi nilai kapital v tertentu yang dikeuarkan dimuka berupa tenaga kerja menjadi suatu besaran variabel, dapat juga digambarkan sebagai (c+v)+s.
Namun begitu nilai-lebih merupakan suatu tambahan tidak saja pada bagian kapital yang dikeluarkan di muka (investasi), tetapi juga pada bagian yang tidak memasuki proses ini. Yaitu suatu tambahan nilai tidak saja pada kapital yang digunakan yang telah diganti dari harga pokok komoditi itu, melainkan juga kapital yang digunakan untuk produksi pada umumnya.
Sebagai contoh perhitungan, jika sebelum proses produksi kita mempunyai suatu nilai kapital sebesar £1.200. Nilai ini datang dari £20 sebagai nilai keausan mesin, ditambah £1180 dari kapital beredar berupa bahan-bahan produksi dan upah-upah. Setelah proses produksi, diperoleh sebanyak £1.180 sebagai komponen nilai dari kapital produktif, ditambah suatu kapital komoditi sebesar £600. Jika ditambahkan kedua jumlah nilai itu, maka si kapitalis kini memiliki suatu nilai sebesar £.780. Jika ia mengurangi dari satu jumlah kapital sebesar £1.680 yang telah dikeluarkannya dimuka, maka tersisa suatu nilai tambahan sebesar £100. Nilai lebih £100 merupakan juga suatu tambahan pada seluruh kapital yang digunakan sebesar £1.680 seperti pada pecahan darinya, dan £500 yang habis digunakan dalam proses produksi itu.
Jadi, nilai tambahan ini berasal dari kegiatan produktif yang dilakukan dengan kapital yang sudah dimilikinya. Nilai ini berasal dari kapital itu sendiri karena setelah proses produksi itu ia tetap mempunyainya, padahal sebelum proses produksi ia tidak mempunyainya. Berkenaan dengan kapital yang sesungguhnya habis digunakan dalam proses produksi, nilai lebih tersebut tampak berasal secara sama dari unsur-unsur berbagai nilai dari kapital ini, baik alat-alat produksi maupun kerja. Kedua unsur itu sama-sama terlibat di dalam pembentukan harga pokok. Kedua-duanya menambahkan nilai masing-masing, yang hadir sebagai kapital yang dikeluarkan di muka, pada nilai produk itu dan tidak dibeda-bedakan sebagai besar-besaran konstan dan variabel. Ini menjadi nyata jika kita mengendalikan untuk sesaat bahwa semua kapital yang digunakan akan terdiri atas khususnya upah-upah ataupun khususnya atas nilai alat-alat produksi.
Nilai lebih sebenarnya adalah bentuk laba yang ditransformasi. Ia merupakan kapital jika ia diinvestasikan untuk memproduksi suatu produk, atau sebagai kemungkinan lain laba lahir karena suatu jumlah nilai digunakan sebagai kapital. Jika laba dilambangkan dengan ”p”, maka rumusan C= c+v+s= k+s diubah menjadi rumusan C=k+p, atau nilai komoditi=harga pokok + laba.
Laba merupakan hal yang sama seperti nilai lebih kecuali suatu bentuk yang dimistifikasi, sekalipun suatu yang niscaya lahir dari cara produksi kapitalis. Karena tiada perbedaan yang dapat dikenali antara kapital konstan dan kapital variabel dalam membentuk harga pokok, maka asal usul perubahan nilai yang terjadi dalam perjalanan proses produksi digeser dari kapital variabel pada kapital secara menyeluruh. Pergeseran ini karena harga tenaga kerja tampak pada suatu kutub dalam bentuk upah-upah yang ditranspormasi, dan nilai lebih tampak pada kutub lainnya dalam bentuk laba yang ditransformasi.
Batas minimum bagi harga jual suatu komoditi ditentukan oleh harga pokoknya. Jika ia dijual dibawah harga pokok, maka komponen-komponen kapital produktif yang telah dikeluarkan tidak dapat sepenuhnya digantikan dari harga jual produk. Jika proses ini berlangsung cukup lama, maka nilai kapital yang dikeluarkan dimuka akan sepenuhnya hilang. Kapitalis akan bangkrut.
Dari sudut pandang ini, si kapitalis cendrung untuk memperlakukan harga pokok sebagai nilai internal yang sesungguhnya dari nilai komoditi itu, karena ia adalah harga yang diperlakukan semata-mata untuk mempertahankan kapitalnya. Namun dalam konteks ini ditambahkan kenyataan bahwa harga pokok komoditi itu adalah harga beli yang si kapitalis itu sendiri telah membayar untuk produksinya. Yaitu harga beli yang ditentukan oleh proses produksi itu sendiri, dan kelebihan ekses nilai atau nilai lebih yang diwujudkan dengan penjualan komoditi itu. Dengan demikian tampak bahwa si kapitalis telah menentukan harga diatas nilainya. Ini merupakan suatu kelebihan dari nilai atas harga pokoknya. Terlihat bahwa nilai lebih yang tersembunyi didalam komoditi itu tidak semata-mata diwujudkan dengan penjualannya, namun sesungguhnya berasal dari penjuaan itu sendiri.
Laba tidak berasal dari produksi. Karena jika itu yang terjadi maka ia akan termasuk didalam ongkos produksi dan tidak akan menjadi suatu lebihan diatas dan melampaui ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan. Laba tidak dapat berasal dari pembayaran komoditi, kecuali ia sudah hadir sebelum terjadinya pembayaran.
Harga pokok komoditi adalah harga sesungguhnya yang bersumber dari penjualan komoditi. Komoditi dijual menurut nilainya manakala harga jualnya setara dengan harga pokoknya, yaitu setara dengan harga alat-alat produksi yang dikonsumsi didalamnya, ditambah upah-upah. Dalam kenyataan, pereduksian nilai-nilai komoditi pada harga-harga pokoknya merupakan landasan bagi operasional bank. Komponen dari nilai komoditi dapat diwakili oleh bagian-bagian sebanding dari produk itu sendiri.
Jika semua komoditi dijual menurut harga pokoknya, hasilnya dalam kenyataan akan sama jika mereka semuanya dijual diatas harga-harga pokok tetapi menurut nilainya. Karena bahkan jika nilai tenaga kerja, panjangnya hari kerja dan tingkat ekploitasi dianggap sebagai sama dimana-mana, namun jumlah-jumah nilai lebih yang dikandung berbagai jenis komoditi yang berbeda-beda adalah tidak setara.
Pada intinya, Marx ingin menunjukkan darimana ia bisa membangun rumusannya tentang apa itu sistem kapitalis. Ia dengan detail menunjukkan bagaimana kompleksitas proses produksi, yang pada hakikatnya merupakan ranah material, menjadi landasan terbentuknya sistem kapitalis yang berlangsung. Bagaimana buruh dieksploitasi terlihat dari kesengajaan si kapitalis menambahkan nilai lebih (s) dalam memutuskan berapa harga jual komoditi hasil produksinya. Sebenarnya bisa saja ia cukup memperhitungkan biaya tetap ditambah biaya variabel, dan usahanya tidak akan bangkrut. Namun, si kapitalis ingin keuntungan yang lebih. Keuntungan ini adalah dengan mengeksploitasi tenaga buruh.
Sumber bacaan:
- Marx, Karl. Capital: A Critic of Political Economy. Volume 3. Penguin Classics and New Left Review. Translated by David Frenbach.
- Mills, C. Wright. 1962. The Marxist. Dell Publishing Co. Dalam: Ransford. Social Stratification.
- Stiglitz, Joseph. 2006. Dekade Keserakahan: era 90-1n dan awal mula petaka ekonomi dunia. Penerbit Marjin Kiri. Judul asli: ”The Roaring Nineties, Towards a New Paradigm in Monetary Economics”.
- Turner, Jonathan H. 1982. The Structure of Sociological Theory. Third edition. The Dorsey Press, Homewood Illinois dan Irwin-Dorsey Limited, Georgetown, Ontario
- Turner, Jonathan H. dan Leonard Beeghley. 1981. The Emergence of Sociological Theory. The Dorsey Press, Homewood Illinois dan Irwin-Dorsey Limited, Georgetown, Ontario.
*****