Kamis, 28 Oktober 2010

Beberapa catatan tentang Max Weber

Konsep Weber tentang ”Tindakan Organisasi”

Pembahasan tentang organisasi dicantumkan Weber dalam buku Economy and Society setelah menguraikan apa itu tindakan sosial, relasi sosial, tindakan yang berorientasi, legitimasi, dan relasi dalam asosiasi. Bagi Weber, ciri yang mencolok dari relasi-relasi sosial adalah kenyataan bahwa relasi-relasi tersebut bermakna bagi mereka yang mengambil bagian di dalamnya. Kompleksitas hubungan-hubungan sosial yang menyusun sebuah masyarakat baru dapat dimengerti apabila mampu dicapai sebuah pemahaman mengenai segi-segi subjektif dari tindakan-tindakan sosial antara pribadi dari anggota masyarakat. Selanjutnya, khusus untuk legitimasi, Weber menyebut bahwa ada tiga tipe legitimasi yaitu yang berbentuk tradisional, kharismatik, dan legal/rasional. Penjelasan Weber tentang tindakan sosial pada hakekatnya menunjuk kepada tindakan individual, dimana penjelasan segala sesuatu tentang tindakan tersebut juga dicari dari diri si individual tersebut.

Tindakan sosial adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Weber menyatakan bahwa sosiologi sebagai studi tindakan sosial antara hubungan sosial. Sebuah tindakan dianggap sebagai tindakan sosial atau tidak tergantung dari ada atau tidaknya tujuan dibalik tindakan tersebut. Sepanjang tindakan tersebut mempunyai arti subyektifitas bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain.Tindakan manusia yang menjadi perhatian mengandung makna subyektif, diarahkan kepada satu atau beberapa orang, dan memperhatikan tindakan orang lain. Jadi, ia dapat sebagai respon dari situasi atau tindakan orang, atau dapat juga karena mengharapkan respon dari orang lain.

Jika pemikiran Weber disempitkan dalam satu konsep saja, maka orang akan menyebut pada ”tindakan sosial”. Inilah yang menjadi intisari dari sosiologi Weber. Dalam buku Economy and Society Weber membahas bahwa tindakan sosial juga terjadi dalam organisasi, dimana organisasi menjadi latar utama bagaimana tindakan orang-orang. Artinya, meskipun tindakan sosial sering dipahami dilatari semata oleh motivasi individu, di bagian buku ini Weber mengakui kuatnya peran pihak luar yang berperan menentukan dan membatasi tindakan seorang atau sekelompok individu. Pemikiran ini sedikit banyak memiliki kesejajaran dengan cara berfikir Durkheim, dimana masyarakat – atau struktur - lah yang menentukan bagaimana perilaku manusia.
Menurut Weber, perilaku orang dalam organisasi dipengaruhi oleh karakter spesifik atau prosedur dalam organisasi dimana mereka berada. Apa yang disebut dengan ”tindakan organisasi” adalah: (1) tindakan staf yang dilegitimasi oleh pihak eksekutif atau oleh mereka yang memiliki kekuatan representatif dan ditujukan untuk mencapai tujuan organisasi; dan (2) tindakan anggota organisasi sebagaimana diarahkan oleh staf. Disini terlihat bahwa tindakan yang dilakukan ditentukan oleh aturan organisasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa individu luruh dalam apa keinginan dan batasan yang dibuat organisasi. Individu tidak lagi sebagai aktor yang bebas belaka.

Bagaimana kondisi yang melingkupi dan tujuan dari tindakan individu dipaparkan Weber dalam berbagai bentuk sesuai dengan tipe dan jenis organisasi yang melingkupi orang bersangkutan. Tindakan organisasi misalnya terjadi baik di komunal ataupun asosiasi, dimana komunal dan asosiasi yang tertutup merupakan organisasi. Seseorang yang melakukan tindakan organisasi disebut Weber dengan ”person in authority”. Segala tindakannya mewakili organisasinya, karena ia adalah representatif dari organisasi di belakangnya.
Sebuah organisasi dapat berupa autonomus bila aturan-aturan dalam organisasi dibuat oleh anggotanya sendiri, dan disebut heteronomus bila aturan ditetapkan oleh pihak luar. Dalam hal bagaimana pemilihan kepemimpinan atau pengurus, disebut sebagai autocephalous bila dipilih dari anggota sendiri secara internal dan heterocephalous bila pimpinan ditetapkan oleh pihak luar. Organisasi-organisasi yang hidup di masyarakat merupakan kombinasi dari kedua dimensi tersebut.

Tindakan sosial yang lebih menjadi objek perhatian dalam sosiologi adalah tindakan yang terjadi secara berpola sehingga dapat diprediksi. Pola tersebut salah satunya dibentuk karena adanya aturan. Keteraturan dalam asosiasi ditegakkan dalam dua cara yaitu dengan kesepakatan sukarela atau ditentukan.
Pada bagian relasi komunal dan relasi asosiatif, Weber menjelaskan bahwa relasi sosial disebut sebagai “komunal” jika orientasi tindakan sosialnya didasarkan pada perasaan subjektif kelompok (parties). Sementara relasi sosial disebut asosiasi apabila tindakan sosial yang dijalankan didasarkan pada motivasi yang rasional yang sejajar dengan kesepekatan yang sudah dibuat. Orientasi itu sendiri dapat bersifat rasional nilai atau rasional pengharapan. Kedua tipe tindakan ini dapat dijalankan dalam relasi sosial yang terbuka atau tertutup. Relasi sosial yang tertutup atau mambatasi pihak luar disebut dengan organisasi jika regulasi tersebut didasarkan atas wewenang pihak tertentu yaitu pimpinan organisasi bersangkutan, yang mana wewenang tersebut diperoleh karena posisinya sebagai perwakilan dari anggota.

Organisasi merupakan salah satu fenomena sosial yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Oleh karena itu, manusia tidak bisa menolak kehadiran organisasi dalam kehidupannya. Organisasi membatasi sekaligus membentuk (govern) tindakan sosial. Dengan kesadaran ini, maka mempelajari tindakan sosial individu dengan mempertimbangkan apa dan dimana organisasi yang melingkupinya, akan sangat mempermudah pemahaman.

Weber juga menyebutkan bahwa sebuah organisasi dipengaruhi lingkungan masyarakat tempat dimana ia berada, sehingga menjadi organisasi teritorial. Konsep tekanan (imposed) yang dirasakan organisasi tumbuh dari aturan-aturan yang bersifat mayoritas. Seseorang – dan juga organissi - yang lahir dan besar di satu wilayah, otomatis berada dalam tekanan dari ”organisasi” masyarakat di sekitarnya, untuk bertindak sebagaimana diinginkan. Disini terlihat ada kesamaan dengan pemikiran Durkheim, dimana ada tekanan organisasi politik yang mewarnai suatu masyarakat. Sebuah organisasi yang formal sekalipun menghadapi banyak kekuatan luar yang menekannya.

Seorang pemimpin dalam asosiasi dapat menetapkan aturan baru, tentunya atas legitimasi dari anggota. Anggota memberi kuasa kepada pimpinan atau pengurus, lalu pengurus menyusun aturan. Aturan-aturan tersebutlah yang membentuk (govern) tindakan sosial, sehingga menghalangi aktor untuk ”menikmati” tindakan yang bebas. Aturan-aturan administratif menjadi pembentuk tindakan anggota. Contoh penerapan aturan-aturan yang ketat misalnya ditemukan pada masyarakat yang menerapkan ekonomi komunis.
Konsisten dengan cara berfikir Weber yang selalu menyusun tipe-tipe ideal, perusahaan (enterprise) adalah bentuk organisasi dimana tindakan-tindakan di dalamnya lebih rasional. Perusahaan dapat dijalankan oleh asosiasi-asosiasi sukarela (voluntary association) namun harus menerapkan level rasionalitas yang lebih tinggi (rational continuity). Pada bentuk lain, untuk asosiasi yang lebih rasional akan menjadi organisasi formal. Pada hakekatnya organisasi administratif harus mampu mencapai derajat efisiensi yang tinggi dalam operasinya dengan menerapkan rasionalitas.

Pada organisasi yang berupa asosiasi wajib (compulsory association), ia memainkan peranan yang cukup besar dengan mengatur banyak hal termasuk fasilitas yang bisa dipakai anggota. Mereka menjalankan kekuasaannya biasanya dengan menggerakkan organisasi-organisasi terorial, apabila organisasinya cukup besar. Namun demikian, hal ini berbeda dengan asosiasi sukarela dimana orang-orang tidak terlalu ditekan.
Tindakan seseorang dalam organisasi juga dipengaruhi bagaimana kekuatan (power) dan dominasi. Dengan kekuatan memungkinkan seseorang dalam posisi sosialnya untuk memaksakan sesuatu kepada orang lain. Sementara itu, dominasi menghasilkan disiplin bagi anggota organisasi. Kekuatan dijalankan dengan cara paksaan dari pihak eksternal, sementara disiplin mampu menjadi pendorong yang berada dalam diri individu. Dalam konteks ini dapat timbul apa yang disebut dengan ”ruling organization” yaitu organisasi yang begitu kuat mendominasi tindakan anggotanya. Jenis organisasi ini dapat menjadi organisasi politik jika beroperasi pada wilayah terbatas yang ditegakkan dengan kekuatan fisik. Pada akhirnya ruling organization menjadi negara ketika berhasil memonopoli legitimasi dan menggunakan kekuatan fisik dalam menjalankan aturan.

Kekuatan fisik tidak hanya ditemukan pada organisasi politik, karena juga dapat ditemukan pada organisasi kekerabatan dan rumah tangga. Satu bentuk yang sangat berbeda ditemukan pada organisasi hierarkhi yang menggunakan kekuatan psikis untuk mengendalikan tindakan anggota dengan iming-iming keuntungan religius misalnya.

Pada bagian lain pemikirannya, objek tentang organisasi ini diperluas Weber ketika membicarakan birokrasi. Weber menyebutkan bahwa birokrasi adalah suatu bentuk organisasi yang lebih matang dimana seluruh aktivitasnya dijalankan menurut prinsip-prinsip rasionalitas. Hal ini berperan terhadap kapitalisme, dimana tumbuhnya organisasi birokrasi di Eropa bersamaan dengan revolusi industri. Organisasi birokrasi dijalankan dengan prinsip rasionalitas, efisiensi, dan keuntungan ekonomis. Otoritas dan kekuasaan yang syah digunakan untuk mengontrol pihak lain yang berada di bawahnya.

Dalam menjelaskan berbagai bentuk organisasi, Weber memandang lingkungan organisasi sebagai sesuatu yang penting. Lingkungan organisasi adalah sesuatu yang eksternal, berada di luar organisasi, namun mempunyai hubungan dan berpengaruh secara timbal balik terhadap organisasi. Itulah kenapa dalam tipe-tipe yang diajukan Weber ada heteronomus dan heterocephalous, juga adanya organisasi politik yang memberi pengaruh terhadap organsisasi di wilayah tertentu. Dari penjelasan ini terlihat bahwa organisasi adalah juga seorang aktor yang tindakan-tindakannya tergantung kepada kondisi sosial dimana ia hidup. Lebih jauh kemudian, organisasi dengan beragam tipenya, merupakan lingkungan yang membatasi dan menekan tindakan sosial yang dijalankan individu yang menjadi anggota dari organisasi tersebut. Dengan kata lain, tindakan organisasi adalah juga suatu tindakan sosial individu namun terjadi pada level yang berbeda. Beberapa atribut dan penjelasan untuk tindakan sosial individu dapat pula diaplikasikan secara terbatas dalam menjelaskan tindakan organisasi, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu.

Buku “The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism” (Bagian I bab 1-3)

Buku ini tampaknya merupakan karya Max Weber yang paling dikenal orang, bahkan bagi mereka yang merupakan kalangan awam, atau bukan dari kelompok akademisi. Hal ini dimungkinkan karena isi buku ini banyak sekali dibahas pada berbagai tulisan, sehingga banyak orang yang tahu dengan teori ini walau belum sempat membaca buku aslinya, meski yang berbahasa Inggris sekalipun.

Kaitan antara Sikap Religius dengan Posisi di Industri Modern

Pada bagian awal buku ini Weber menyampaikan bahwa ada dua fakta sosial (= istilah Durkheim) yang muncul secara bersamaan sehingga dapat diduga saling berkaitan, yaitu pandangan religius dengan posisi dalam kegiatan ekonomi. Weber memaparkan kondisi ini dengan menyampaikan data-data - meskipun tidak berupa angka - dengan membandingkan beberapa kelompok masyarakat di Eropa. Cara penjelasan seperti ini sangat mirip dengan pendekatan Durkheim misalnya dalam buku The Suicide.

Weber memulai dengan kenyataan bahwa banyak pemimpin-pemimpin bisnis dan pemilik perusahaan, serta mereka yang memiliki keterampilan lebih tinggi: beragama Protestan. Hal ini dijumpai tidak hanya pada negara dimana orang Protestan mayoritas namun juga dimana mereka minoritas, sebagaimana di wilayah Jerman Timur antara suku bangsa Jerman dan Polandia (Poles). Terlihat jelas adanya partisipasi kalangan penganut Protestan dalam kepemilikan kapital, dalam kegiatan manajemen, dan pada level atas dari struktur pekerja di industri modern dan perusahaan-perusahaan komersial. Pada hakekatnya, para penganut Protestan lah yang menggerakkan kegiatan industri modern tersebut.

Mereka biasanya berasal dari keluarga yang sejahtera, setidaknya secara material, yaitu dari keluarga Protestan yang sudah mapan semenjak abad ke 16. Weber ingin menjawab pertanyaan: mengapa pada wilayah dengan kemajuan ekonomi yang hebat, di sana juga terjadi revolusi dalam gereja. Ia mengakui jawaban untuk ini tidaklah mudah. Weber menjawabnya melalu analisis perbandingan sejarah. Kontrol gereja terhadap kalangan industriawan yang ia amati bukannya melemah, tapi yang terjadi sesungguhnya adalah timbulnya bentuk kontrol baru. Kontrol baru ini sesungguhnya jauh lebih ketat, dan langsung berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, Weber melihat pengaruh paham Calvinism di abad ke 16 yang semula di Geneva dan Skotlandia, lalu meluas sampai ke Belanda, lalu abad ke 17 sampai pula ke Inggris. Dan di Inggris ini, pengaruh Calvinism semakin menemukan bentuknya yang semakin kuat.

Weber melihat fenomena kelahiran kelas borjuis menengah yang banyak memegang peran dalam posisi sebagai pemilik usaha dan manajemen atas, dimana mereka ini datang dari kalangan keluarga yang tergolong sejahtera. Untuk memperlihatkan kondisi yang sebaliknya, Weber mengangkat contoh di Baden, Bavaria dan Hungaria; dimana mereka yang terdidik dan berasal dari keluarga menengah Katolik menekuni pekerjaan-pekerjaan kemanusiaan (humanistic Gymanasium affords). Sangat sedikit dari mereka yang dari keluarga Katolik menempati posisi di industri modern. Jika kalangan Katolik tetap pada posisi sebagai pekerja, namun golongan Protestan menempati posisi lebih tinggi sebagai pekerja terampil dan posisi administratif di pabrik. Secara sederhana dapat dikatakan, orang Katolik menjadi pekerjanya sedangkan bosnya dari Protestan.
Fakta ini meyakinkan Weber bahwa ini pastilah bukan sesuatu yang kebetulan. Sikap mental dan spritual tersebut diyakini tumbuh dari kondisi keagamaan (religious atmosphere) tertentu yang diperoleh dari lingkungan masyarakat dan rumah tangga (parental home). Faktor inilah yang menentukan pilihan pekerjaan dan karir profesional mereka. Intinya, Weber menyatakan bahwa kalangan Protestan baik pada posisi mayoritas maupun minoritas, menunjukkan kecenderungan spesial kepada ekonomi rasional yang tidak ditemui pada kalangan Katolik. Hal ini dipercaya berasal dari keyakinan keagamaan (religious beliefs) yang dianutnya. Hal ini dijelaskan dari fakta sejarah dengan periode waktu yang sudah cukup lama.

Kalangan Katolik cenderung memilih jalan hidup yang lebih terjamin meskipun dengan pendapatan yang sesungguhnya kecil namun juga beresiko kecil. Menghadapi pertanyaan apakah memilih makan enak atau tidur enak (“either eat well or sleep well”), penganut Protestan memilih makan enak, sedangkan Katolik memilih tidur enak (to sleep undisturbed). Mereka yang tergolong sebagai penganut Katolik seperti ini misalnya masyarakat lama di Inggris, Belanda dan kalangan Amerika Puritan; dimana mereka menolak kenikmatan dunia (joy of living). Protestan lebih memilih “dunia senang akhirat senang”, karena mereka meyakini keduanya bisa dicapai sekaligus. Sebaliknya, kalangan Katolik memilih “dunia susah akhirat senang”.
Weber melihat adanya hubungan yang kuat antara kesalehan yang tinggi dengan keseriusan dan kedisiplinan dalam kegiatan bisnis. Semangat untuk bekerja keras, mencapai kemajuan, dan sejenisnya; kelahirannya berkaitan dengan kalangan Protestan. Hal ini dijelaskan Weber dalam pendekatan penjelasan historical material.

Semangat Kapitalisme

Berkenaan dengan penjelasan Weber tentang semangat kapitalisme, dalam memahaminya ia juga menggunakan pendekatan analisa historik. Untuk itu, Weber berupaya membangun batasan tentang ini secara grounded, dan membebaskan diri dari berbagai anggapan-anggapan lama (free of preconceptions) tentang apa yang dimaksud dengan semangat kapitalisme itu sendiri.

Pada kalangan industriawan Protestan, mereka bekerja dengan memutarkan uang bukan semata demi uang itu sendiri, namun ada etos di dalamnya. Ini ditemukan di Eropa bagian Barat dan di kalangan kapitalis Amerika. Ada semangat kapitalisme baru dalam diri mereka yang berbeda dengan semangat kapitalisme sebelumnya. Hal seperti ini tidak ditemukan di China, India, Babylon dan dunia di abad pertengahan umumnya. Mencari uang itu sendiri adalah hal yan legal, dan merupakan implikasi dari ekspresi kebaikan dan kecakapan. Mereka menjalankan ini semua karena adanya panggilan (calling, atau beruf dalam bahasa Jerman).

Semangat kapitalisme yang dilihat Weber ini bercirikan bahwa terlibat dalam kegiatan ekonomi memiliki landasan moral yang jelas dan sangat kuat. Orang masuk kedalam kegiatan eknomi kapitalis bukanlah untuk sekedar menjalankan hidup, tapi sebagai sebuah ujian bagi dirinya sendiri, apakah ia tergolong sebagai orang yang diselamatkan atau tidak. Kaya, atau memperoleh banyak harta karena pekerjaan yang ditekuni, merupakan bukti ia diselamatkan. Hal ini telah dibahasa pula oleh Weber sebagian di dalam buku Ecomic and Society, yaitu pada bagian tentang keselamatan dalam agama.

Dari pembuktian beberapa fakta, Weber melihat bahwa penjelasan yang paling baik tentang berkembangnya semangat kapitalisme ini haruslah dikaitkan dengan berkembangnya pemikiran rasionalisme, khususnya pemikiran rasionalis bagaimana memandang hal mendasar dalam kehidupan. Rasionalisasi dalam bidang hukum perusahaan misalnya lahir dari usaha untuk menyederhanakan dan menata kembali sistem hukum yang ada.

Weber menjelaksan bahwa konsep calling sebagai bentuk tertinggi dari kewajiban moral bagi individu Protestan adalah memenuhi tugasnya dalam urusan duniawi. Konsep ini memproyeksikan perilaku religius dalam aktivitas keduniaan sehari-hari. Dalam Protestan, ide ini sebetulnya dikembangkan oleh beberapa aliran. Dari berbagai aliran tersebut, aliran Calvinisme mempunyai pandangan yang paling berpengaruh dalam merumuskan strategi calling tersebut. Dalam Calvinism hal ini dikaitkan dengan teologi tentang takdir. Doktrin mereka menyatakan bahwa "hanya orang-orang terpilih yang bisa diselamatkan dari kutukan, dan pilihan itu telah ditetapkan jauh sebelumnya oleh Tuhan". Namun, kita bisa melihat pada tanda-tandanya saja. Jika kita diberi kekayaan, itulah sebuah tanda yang penting bahwa kita tergolong orang yang diselamatkan. Dari doktrin ini Weber melihat bahwa keinginan untuk menjadi orang-orang terpilih tersebut, telah menumbuhkan suatu dinamika yang progresif pada kaum Protestan.

Semua berlomba menjadi orang terpilih, sehingga para pastoral sendiri harus mempunyai keyakinan tinggi dan komitmen yang kuat dalam kerja sebagai aktivitas duniawi. Kesuksesan calling dalam hal ini merupakan tanda untuk menentukan orang itu terpilih atau tidak. Kalau mereka dinamis dan progresif, mereka akan menjadi kaum terpilih. Mereka yang malas dan pasrah tidak akan mendapatkan keselamatan ini.
Pada bab 3, yaitu konsep tentang panggilan (calling), Weber memaparkan perlunya memahami makna ini secara kritis, karena rupanya telah lahir beberapa pemaknaan yang berbeda terhadap konsep ini. Makna yang berkembang dalam masyarakat Jerman berbeda dengan makna modern yang datang dari penerjemahan Bible.
Peran penerjemah menjadi penting disini. Konsep panggilan (calling) ditemukan oleh Luther dari penerjemahan injil. Pada akhirnya, terjadi sekularisasi istilah. Makna panggilan tersebut tetaplah sebuah panggilan suci, namun konsep suci itu sendiri menjadi lebih luas, karena suci juga mencakup segala aktivitas di dunia sehari-hari. Luther mengembangkan suatu ajaran baru bahwa seseorang yang menjalankan tugasnya di dunia dengan setia dan bertanggungjawab sudah dianggap mencapai taraf tinggi dalam kesempurnaan moral yang didambakan oleh setiap orang yang ingin mencapai kesempurnaan hidup.

Mencari dan menambah jumlah uang dan kekayaan, bukan saja diperbolehkan dalam ajaran Luther, tetapi menjadi kewajiban yang diharuskan oleh panggilan. Pekerjaan sehari-hari, juga dalam ekonomi dan pemupukan modal mendapatkan arti dan nilainya secara religius, karena seorang yang bekerja sebagai seorang kapitalis, harus melihat kedudukannya sebagai panggilan, yaitu sebagai pekerjaan yang dikehendaki Tuhan untuk dirinya. Untuk mencapai posisi yang benar, orang harus memenuhi segala persyaratan-persyaratan termasuk pengekangan diri terhadap kesenangan yang berlebihan, menggunakan waktu secara baik, jujur, dan melaksanakan tugas dengan tanggungjawab. Tugas-tugas duniawi tersebut telah mendapat landasan moral dan keagamaan sekaligus. Pekerjaan duniawi itu sendiri adalah jalan kepada kesempurnaan manusia. Ajaran Luther ini kemudian diperkuat oleh ajaran Calvinisme, yang lalu menjadi dasar bagi ajaran-ajarannya yang kemudian memainkan peranan besar dalam perkembangan semangat kapitalisme (bukan struktur kapitalisme).

Buku “The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism” (Bagian I bab 4)

Pada paper ini dipaparkan empat aliran pada agama Kristen Protestan yang keempatnya menerapkan askestis di dunia ini (worldly asceticism), yaitu Calvinisme, Pietisme, Metodisme, dan Baptisme. Sebagaimana disebutkan dalam buku ini, keempat praktek moral tersebut tidaklah begitu tegas perbedaannya satu sama lain. Dibandingkan dua yang lain, Baptisme memiliki perbedaan yang lebih mencolok terhadap Calvinisme. Weber mempelajari perbedaan khususnya tentang bagaimana masing-masing melihat pengaruh sanksi psikologis yang berasal dari kepercayaan dan praktek religi, terhadap arah individu dalam kehidupan ekonomi sehari-hari. Keempat gerakan atau aliran ini dipilih Weber - dari banyak gerakan atau aliran yang lain - dalam upaya memenuhi kebutuhannya untuk menyusun tipe-tipe ideal.

Calvinisme

Ajaran Calvinisme pada akhirnya menjadi sebuah kepercayaan. Ini dicapai setelah melalui perjuangan politik dan kultural sepanjang abad ke-17 dan 18 di beberapa negara maju, yaitu di Belanda, Inggris dan Perancis. Ajaran Calvin membawa kepada kesunyian rohani, dimana manusia pada posisi yang sendiri dihadapan Tuhan. Hal ini tampak pada ungkapan “No one could help him. No priest, for the chosen one can understand the word of God only in his own heart” (hal 61). Kebaktian di gereja pada hakekatnya juga bukan untuk manusia yang menajalankannya, namun hanya semata-mata demi kemuliaan Tuhan. Inilah yang lalu menimbulkan ketidakpuasan bagi umat, sehingga melahirkan beberapa aliran baru.
Dalam Calvinisme dipercaya bahwa Tuhan hanya membantu mereka yang membantu dirinya sendiri (“… God helps those who help themselves” – hal. 69). Jadi, tiap orang harus mencari dan menciptakan keselamatan untuk dirinya sendiri. Inti ajaran Calvin berkenaan dengan posisi kedaulatan dan kemuliaan Tuhan. Tuhan Allah menciptakan alam (dunia dan manusia) demi untuk kemuliaanNya. Maka, segala peribadatan manusia hanyalah untuk memuliakan Tuhan.

Dalam ajaran Calvinis, Weber menemukan adanya hubungan yang kuat antara legalisasi ajaran dengan kemunculan perusahaan-perusahaan yang aktif yang dibangkitkan oleh pengusaha-pengusaha kapitalis borjuis. Dengan kata lain, ajaran Calvinis yang cenderung membuat manusia merasa sunyi dan ”jauh” dari Tuhan, justeru melahirkan sikap berekonomi yang penuh dengan semangat dan dinamis.

Pietisme

Sama dengan Calvinisme, doktrin predestinasi juga merupakan titik tolak dari paham asketis pada ajaran Pietis. Karena itulah agak sulit menemukan garis pemisah antara Pietisme dan Non-Pietisme Calvinis. Dalam Pietisme, mereka mencari cara bagaimana mendapatkan kepastian yang lebih pasti bahwa mereka adalah orang yang diselamatkan. Dan kedua, mereka juga meyakini bahwa Tuhan akan memberi tanda tentang siapa yang diselamatkan tersebut.
Ajaran Pietisme lahir di Inggris dan Belanda. Ajaran ini memisahkan diri dari ajaran Calvinisme, namun merupakan transisi dari ajaran Luthearian secara gradual. Mereka melakukan reformasi gereja, namun berlawanan dengan paham predestinasi, dimana rasionalisasi tentang kehidupan lebih lemah dibandingkan dengan di Calvinisme. Ajarannya bergerak dari Francke, ke Spener lalu ke Zinzendorf. Inti filsafat Zinzendorf adalah rasionalisasi kehidupan.

Sesungguhnya Pietisme adalah sebuah gerakan di lingkungan Lutheranisme, yang berlangsung mulai akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-18. Gerakan ini berpengaruh di seluruh Protestanisme dan Anabaptisme. Pietisme mengilhami lahirnya gerakan Methodis dan juga gerakan Brethren. Gerakan Pietis ditandai kesalehan pribadi, dan kehidupan Kristen yang berkobar-kobar. Piety dalam bahasa Inggris bermakna kesalehan atau kealiman. Para pencetus gerakan Pietis dilatabelakangi kondisi kekurangan-kekurangan gereja dan menginginkan kebangkitan kembali kekristenan dengan lebih saleh. Gerakan pietis memberi penekanan kepada perasaan yang kuat atau fenomenal. Ia bertolak dari kondisi lesu yang dialami umat diakibatkan oleh ajaran Calvin, yang disebut dengan “kesunyian rohani”.

Metodisme

Metodisme sesungguhnya bukan gerakan baru, namun hanya sebuah semangat baru. Mereka berbeda dengan Anglikan, tapi berhubungan dengan Pietisme kontinental. Gerakan Pietis-lah yang mempengaruhi kelahiran Metodisme.
Inti ajaran metodisme berkenaan dengan aspek yang sangat penting tentang bukti bagi keselamatan pribadi. Para pengajarnya menekankan pentingnya kepastian di lubuk hati. Kepastian ini datang dari pengalaman emosional yang luar biasa dan yang dianugerahkan oleh Tuhan. Sebagaimana tiga ajaran yang lain, disini juga ditekankan hal tentang keselamatan pribadi.
Aliran metodisme lahir di Inggris pada pertengahan abad ke-18 sebagai respon dari pengaruh gerakan Pietisme. Gerakan ini disebut ”metodis” karena para pendirinya menerapkan studi yang ketat dan metodis dalam mempelajari dan mempraktekkan Injil. Dalam pandangannya, keselamatan diperoleh hanya karena kebaikan Tuhan, bukan karena suatu perbuatan atau kebaikan manusia. Pendeta penganjur gerakan metodis menekankan pentingnya memperkaya kehidupan rohani umat. Caranya adalah dengan mempelajari Alkitab secara mendalam. Mereka mempelajari kitab suci secara disiplin dan ketat, atau disebut sangat “metodis”.
Berkenaan dengan kesucian dan kesempurnaan hidup, ajaran Metodis cukup moderat dibandingkan ajaran lain. Kesempurnaan merupakan tujuan yang mesti diupayakan pencapaiannya dalam kehidupan saat ini. Namun disadari pula bahwa upaya menuju kesempurnaan ini merupakan hal yang tidak pernah berakhir. Jadi, kesempurnaan tersebut harus diusahakan dan diupayakan terus menerus sepanjang hidup. Hal ini tentu saja membuat mereka memiliki semangat yang kuat dan tabah dalam menjalani hidup.

Baptisme

Baptisme dipandang sebagai sumber kebebasan kedua tentang asketis Protestan selain Calvinisme. Baptisme memberikan sumbangan besar pada rasionalisasi religiusitas kehidupan dunia. Semenjak awal perkembangannya, gerakan Baptisme memang muncul sebagai respon dari kelesuan yang dibawa oleh Calvinisme. Aliran ini mulai di awal abad ke-17 di Inggris, sebagai upaya mengkoreksi terhadap Gereja Anglikan yang dekat dengan kalangan kerajaan. Meskipun di awal merupakan protes terhadap Calvinisme, namun akhirnya juga mendekat lagi dengan Calvinisme. Mereka juga bukan gereja baru tapi hanya sekte.
Gereja Baptis ini muncul karena kurang puas dengan apa yang telah dicapai Luther maupun Calvin, dan menginginkan perubahan yang radikal. Mereka merubah tatanan antara gereja dan negara dan juga pelaksanaan baptis. Sebagian menerima ajaran tentang predestinasi dari Calvinisme, sementara yang lainnya menolak ajaran itu dan menerima ajaran tentang kehendak bebas dari Arminianisme.
Umat pengikut ajaran ini terlebih dahulu mengikuti ritual baptis, namun sebelumnya telah mengaku bertobat. Mereka inilah yang dipandang telah diselamatkan, sehingga bisa bergabung dengan gereja. Kebebasan gereja dan setiap umat menjadi inti keyakinan dalam aliran ini. Umat memiliki hubungan langsung dengan Yesus Kristus. Dengan kata lain, gereja dan umat tidak di bawah negara atau kerajaan.

Telaahan Kritis Weber terhadap Metode dalam Pengembangan Ilmu Sosial

Tulisan ini merupakan telaahan dari bab III buku Weber “The Methodolgy of The Social Science”. Pada intinya, di bab ini Weber berupaya menyusun suatu metode dalam memahami perilaku manusia yang khas yang harus berbeda dengan imu alam. Di bagian ini, Weber membahas secara luas pemikiran Eduard Meyer tentang metode dalam ilmu sejarah. Weber menolak pendekatan sejarah tersebut dan mengedepankan sebuah metode yang dipandang lebih sesuai. Weber melihat bahwa pendekatan metode sejarah dalam menjelaskan fenomena sosial ekonomi tidaklah cukup. Karena itu, pendekatan yang dipakai Eduard Meyers tersebut ditolak, karena didalamnya terdapat permasalahan logika yang menurut Weber lemah.

Bab ini ditulis dengan memperlihatkan bagaimana metode sejarah melakukan penjelasan terhadap realitas sosial, dan lalu apa yang dipandang Weber lebih tepat. Dengan kata lain, Weber berangkat dari bagaimana metode historik dijalankan, untuk lalu diperlihatkan kekurangannya, dalam upayanya memperlihatkan betapa perlunya menemukan “pola yang memiliki keteraturan” (rules dan laws) dalam fenomena sosial. Dengan cara ini, Weber sekaligus menujukkan bahwa ilmu sosial (sosilogi khususnya) tidak sama dengan ilmu alam dalam menentukan apa yang disebut “faktor pengaruh”, namun juga berbeda dengan ilmu sejarah dalam menjelaskan masyarakat. Dari tinjauan metode historik tersebut Weber menuju kepada hubungan kausalitas (causal relationship) yang merupakan cara yang semestinya dilakukan oleh kalangan ahli sosial.

Pada intinya, Weber menjelaskan bagaimana melakukan kegiatan ilmiah secara logis sehingga dapat menunjukkan hubungan kausalitas yang eksis antara komponen-komponen esensial sebagai efeknya. Apa yang disebut dengan komponen yang eksis dan berhubungan secara kausalitas ini tentu tidak terlihat secara visual, tapi melalui proses abstraksi. Kelemahan metode sejarah berkenaan dengan menemukan soal apa yang signifikan. Cara metode sejarah menemukan hal yang signifikan dipandang Weber tidak jelas dan juga tidak logis.

Metode sejarah tidak melihat hal yang signifikan tersebut. Kalangan ahli sejarah mengumpulkan bahan-bahan apa yang disebut sebagai fakta, lalu menyusun menjadi sesuatu yang disebut dengan ”nyata” (riel), yang akan dicapai di akhir proses kegiatan ilmiahnya. Namun mereka tidak perduli dengan aturan (rules) dan konsep. Weber menekankan bahwa ilmu hanya akan berkembang - termasuk metodenya - hanya jika mampu memecahkan problem substantif. Penggunaan konsep yang jelas dan tegas merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai ini. Hal seperti ini tidak ditemui dalam kajian sejarah yang bersifat antideterministik dan tanpa justifikasi logika; meskipun metode sejarah mencari kemungkinan-kemungkinan untuk memutuskan mana kemungkinan yang penting yang dicapai dengan menyusun konstruksi iamjinatif. Jadi, dalam metode sejarah juga dilakukan proses abstraksi terhadap data yang dikumpulkan.

Weber menggunakan istilah kemungkinan objektif (objective possibility), dimana prinsip objektif diposisikan sebagai basis penilaian (judgement) dalam melihat realitas. Objektifitas akan berada pada beberapa level gradasi, dimana komponen yang memiliki peran kausalitas dapat diisolasi dan dibedakan dari sistem secara total. Sesuatu dapat disebut memiliki hubungan kausalitas apabila mampu sampai pada taraf kepastian (certainty) tertentu. Hal ini lah yang bisa dipertimbangkan sebagai dampak yang mungkin (possible efect). Ia akan semakin kuat sebagai faktor kaulsalitas yang penting jika ditemui pengulangan – atau hal yang sama - di tempat lain. Dengan demikian, hal tersebut mencapai apa yang disebut dengan level tertinggi (absolute chance). Hal ini dicontohkan untuk kasus Battle of Marathon, dimana kemajuan yang berbeda dari kaum Helenic dan kebudayaannya telah (”would have” been) menjadi sebab yang cukup yang berkaitan dengan kemenangan yang diperoleh Persia.

Apa yang dijelaskan pada bab 3 ini perlu pula melihat bagian sebelumnya, yaitu pada bab 2 buku ini, dimana Weber menyatakan bahwa ia berupaya untuk merumuskan suatu metode yang sesuai dalam upayanya untuk menghubungkan antara ilmu sosial dengan kebijakan sosial (social policy), khususnya berkenaan dengan bagaimana menetapkan penilaian (judgement) terhadap realitas sosial. Masalah ini menjadi tidak mudah karena ilmu-ilmu sosial selalu berkaitan dengan praktek, sehingga soal nilai menjadi penting. Implikasinya, terjadi perdebatan antara pengetahuan eksistensial (what is) dengan pengetahuan normatif (should be). Masaalah lainnya adalah karena apa yang normatif berimpit dengan yang eksis. Data sosial ekonomi yang terkumpul tidak lagi objektif, tapi merupakan keinginan (interest) dari kita sendiri yang dipengaruhi oleh signifikansi kultur kita, dimana kita memberi atribut pada satu kejadian.

Semua ilmu selalu berupaya menata datanya dalam suatu sistem konsep. Hal ini diperoleh melalui observasi empiris secara metodis. Konsep bukanlah akhir dari proses, tapi sesuatu yang bermakna pada akhir dari pemahaman terhadap fenomena yang signifikan dari sisi pandang individual secara konkret. Konsep dibentuk dan ditetapkan sedemikian rupa sehingga fenomena yang dibicarakan dapat diterangkan. Dalam hal ini, konsep yang tegas sangat esensial. Agar sebuah konsep – sebagai abstraksi dari realitas sosial - dapat dengan baik menjelaskan fenomena, maka konsep dapat disusun ulang oleh peneliti sesuai kebutuhan. Untuk menjelaskan fenomena yang memang baru, dan dipandang tidak ada konsep yang pas, maka dapat dibuat konsep baru atau merombak konsep lama.

Weber pada hakekatnya berupaya menyatukan science atau ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften) dengan ilmu humaniora (Geisteswissenchaften). Caranya adalah dengan menggunakan epistemologi Neo-Kantian. Kedua ilmu ini digunakan oleh Weber karena dipandang akan lebih tepat menjelaskan apa itu realitas. Dengan metode bebas nilai, Weber berupaya menjembatani ilmu nomotetis dengan idiografis, yaitu dengan menerapkan ilmu alam kepada subjek manusia. Melalui pendekatan penjelasan dan interpretasi, Weber berupaya mendapat prinsip-prinsip umum dengan menggunakan pendekatan sejarah sekaligus mendapatkan kausalitas. Dengan ini maka diperoleh pengertian yang lebih dekat kepada realitas. Istilah ”pengertian” dipilih Weber dalam upaya menghindari positivisme. Perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu sosial-budaya adalah terutama pada objek, dimana objek ilmu alam adalah proses ekternal dunia material, sementara ilmu sosial-budaya menyelidiki proses internal akal manusia.

Untuk meneliti persoalan-persoalan manusia dibutuhkan metode yang tepat bagi tataran makna yang sangat berbeda dengan penampakan yang dipakai pada ilmu alam (dan juga aliran positivisme). Menurut Weber, fungsi utama ilmu sosial adalah melakukan interpretasi terhadap persoalan-persoalan sosial dengan memahami makna subjektif dari aktivitas sosial. Untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subjektif tindakan sosial tersebut dibutuhkan empati, yaitu kemampuan menempatkan diri dalam kerangka berfikir orang lain yang perilakunya akan dijelaskan tersebut. Situasi yang melingkupinya serta tujuan-tujuan dari tindakan pun dilihat menurut perspektif tersebut. Jadi, disini dituntut kemampuan peneliti untuk masuk ke dalam struktur mental orang lain atas dasar tanda-tanda yang diberikan oleh mereka.
Pada bagian akhir Weber menyebutkan bahwa pengetahuan pada hakekatnya adalah berkaitan dengan kategori-kategori dari realitas. Hubungan kausalitas merupakan hal yang penting dalam memahami realitas, sekaligus untuk pengembangan ilmu. Apa yang disebut memiliki kaitan kausalitas adalah sesuatu yang memiliki ciri yang spesial dalam kaitan dengan pertanyaan kecukupan faktor penyebab. Hal ini dilakukan dalam upaya memahami seberapa sering hal-hal yang tidak pasti masuk dalam kemungkinan (judgement of possibility) bersesuaian dengan klaim validitas. Tujuannya adalah menyusun konstruksi yang berguna untuk menjelaskan hal-hal yang tidak pasti (uncertainty of the content) yang ditemui dalam dunia sosial.

Sosiologi Agama Weber: Pembahasan Buku I ”Economy and Society”: Bab VI ”Religious Group (The Sociology of Religion)”

Paper ini hanya memuat sebagian kecil dari bab VI buku I, yaitu terbatas hanya pada sub judul ”The Religious Propensities of Peasantry, Nobility and Bourgeoisie”. Bagian ini menarik diangkat karena tampaknya jarang dibahas dalam berbagai literatur populer saat ini.

Penjelasan Weber dalam bab VI (sosiologi agama) berisi tentang bagaimana praktek agama dan pengaruhnya pada ekonomi penganutnya. Pembahasan mencakup beberapa agama besar dunia yaitu Protestan, Konfusianisme dan Taoisme di China, Hindu dan Budha di India, Yudaisme Kuno, dan sedikit Islam. Dalam pembahasannya, beberapa tema yang dibahasnya adalah bagaimana pengaruh dari pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi masyarakat, tentang stratifikasi sosial dan kaitannya dengan pemikiran agama, dan perbandingan karakteristik budaya Barat dengan Timur. Penjelasan Weber tidak deterministik, tapi cenderung probabilistik. Dalam konteks ini Weber hanya menyatakan bahwa pemikiran agama memiliki pengaruh pada perkembangan sistem ekonomi suatu masyarakat, namun bukan merupakan faktor penyebab satu-satunya.
Dalam menjelaskan bagaimana masyarakat beragama, Weber menyebutkan magis (magical) sebagai bentuk tertua dari religi. Transformasi dari magis menuju bentuk yang dapat disebut sebagai agama didorong oleh berbagai faktor, di antaranya adalah meningkatnya populasi dan perubahan sistem produksi. Petani - yang diulas tidak banyak di buku ini - merupakan sebuah contoh dimana masyarakatnya masih mempraktekkan magis secara intensif. Dalam kondisi ini, Weber melihat bahwa magis tidak mampu memberikan dorongan kepada perubahan dalam perilaku ekonomi. Etos kerja pada masyarakat petani jauh lebih rendah dari etos kerja kalangan menengah pada sistem kapitalis. Tidak sebagaimana Protestanisme, petani memaknai agama sebagai laku yang menolak terhadap urusan duniawi.

Dalam membahas petani, Weber mengambil beberapa contoh yaitu petani Israel masa awal (Ancient Israel), Zoroastrianism, dan petani di beberapa negara Eropa. Menurut Weber, petani yang hidup secara alamiah dalam pola tradisional memiliki orientasi yang lemah kepada sistem rasional. Hal ini terjadi pada semua petani, baik petani di Eropah maupun Asia seperti terlihat di Israel, Roma, India dan Mesir. Weber mengatakan bahwa pada hakekatnya petani jauh dari agama, karena masih mempraktekkan magis. Petani dekat dengan agama, atau menggunakan agamanya, hanya jika merasa dirinya terancam, baik anacaman dari luar maupun dalam keluarganya sendiri. Dengan kata lain, agama petani (magis) tidak berfungsi untuk ekspansi ekonomi, namun hanya untuk keselamatan hidup agar tidak jatuh dibawah kebutuhan subsistensi.
Di Israel misalnya, petani mendapat ancaman oleh kekuatan luar yang memperbudak (enslavement) mereka. Ancaman lain adalah dalam konflik perebutan sumber daya tanah dengan tuan tanah. Dalam dokumen disebutkan bagaimana perjuangan petani Israel yang berebut tanah dengan Palestina (Philistines). Mereka juga berhadapan dengan pemilik tanah orang kota dan kaum ningrat. Perjuangan mereka mengacu kepada moral sosial dari Mosaic Law yang memuat di dalamnya mengenai persamaan status sosial. Dengan semangat ini mereka berupaya memperbaiki tatanan agraria dengan memperjuangkan hak-hak yang lebih besar bagi mereka.

Dokumen yang paling tua, terutama sekali “Nyanyian dari Deborah”, mengungkapkan unsur-unsur yang khas dari perjuangan petani Israel yang memiliki kesamaan dengan petani dari Aetolians, Samnites, dan Swiss. Titik persamaan yang lain dengan orang Swiss adalah situasi dimana mereka berhadapan dengan bangsa Palestina dalam perebutan ruang geografis dan sumber-sumber ekonomi. Kndisi historis ini perlu dipertimbangkan, terutama peranan kepemimpinan dari Yahweh dan para juru selamat agama (Messiahs, Gideon, dan Judges). Agama Judaisme Israel berasal dari zaman pra kenabian (pre-prophetic). Dengan latar belakang pragmatisme yang religius mereka berada pada kondisi pemujaan agraris yang besar, dimana petani masuk ke dalam kealiman yang religius. Weber menyebut petani sebagai golongan yang cenderung pasif. Semakin masyarakat agraris jatuh kedalam suatu pola teladan dari tradisionalisme, maka semakin sedikit peluang agama mereka akan menjangkau rasionalisasi etis.

Petani tetap hidup dalam iklim yang magis, magis animistik atau ritualisme. Contoh ritualisme yang penting adalah dimana agamanya membutuhkan pengorbanan binatang dalam setiap kegiatan ritual. Kegiatan sehari-hari masyarakat kental dengan suasana magis. Pada masyarakat Persia (Parsees) misalnya, hanya bertani yang lepas dari sisi pendang sebagai kegiatan magis (magical point of view), karena itu bertani dipandang sebagai kegiatan yang menyenangkan (pleasant) Tuhan.

Selaras dengan sikap magis yang tidak rasional tersebut, para petani memegang sikap anti-urban sebagai doktrin etika sosial. Petani-petani Israel sangat menyanjung pertanian sebagai sesuatu aktivitas yang sesuai dengan perkenan Tuhan, dan mengambil posisi ”pertentangan” dengan kehidupan dan kultur perkotaan. Demikian pula dengan petani Slavophile, dimana mereka mengambil posisi sebagai melawan kapitalisme dan sosialisme modern. Pada hakekatnya mereka berusaha melawan berkembangnya paham rasionalitas modern yang dibawa oleh masyarakat kota.

Kondisi mental petani tersebut juga datang dari andil para penguasa, Kalangan kerajaan dan tuan tanah hanya tertarik kepada kemampuan petani membayar pajak, dan tidak memperdulikan apa keinginan dan kebutuhan petani. Bahkan kalangan gereja juga kurang memperdulikan mereka. Bagi kalangan Kristen awal (ancient Christiany), kehidupan pedusunan dipandang sebagai kehidupan yang kafir dan penyembah berhala (paganus). Oleh pihak gereja mereka diposisikan sebagai jamaah Kristen yang rendah. Petani malah mengambil posisi melawan gereja, karena gereja menjadi pelindung keuangan dan rohani kaum bangsawan yang menerapkan pajak tanah.

Weber melihat pesimis pada kemampuan petani. Bahkan pada perkembangan lanjut dari agama Yahudi (Judaism) dan Kristen, petani tak pernah terlihat sebagai masyarakat yang membawa etika rasional. Kehidupan Asia Timur memiliki karakter seperti ini, terutama dalam hal lemahnya rasionalitas.
Dari beberapa kasus di Eropa dan Israel, terdapat hubungan yang kuat antara agama petani (peasant religion) dan reforma agraria. Namun, hal seperti ini tidak terjadi di Asia. Agama tidak mampu membantu petani melepaskan diri dari struktur sosial yang menekannya, terutama misalnya di India. Dalam paham agama keselamatan Budha, dalam konsep ahimsa yang penuh dengan larangan, dilarang membunuh apapun yang hidup. Hal ini tentu menghambat ekonomi. Selain itu, ada kendala dalam mobilisasi sosial. Golongan pariah, baik di Hindu maupun Yahudi adalah kelompok yang rendah (disprivilege), dimana mereka dilarang kawin dengan golongan lain. Dalam kondisi demikian mereka hanya bisa pasrah, dan hanya berharap pada kehidupan kembali setelah mati (rebirthI. Pada kelahirannya nanti mereka hanya bisa berharap agar dilahirkan pada kasta yang leih tinggi. Dari sini terlihat bahwa tidak ada inner-wordldly ascetisism sama sekali di agama Hindu dan Budha. Weber membagi agama atas pemahaman tentang penyelmatan di dunia (this wordly atau inner-wordldly) atau bukan (other-wordly atau world-rejecting). Agama-agama di Timur tergolong pada kelompok yang kedua, demikian pula dengan agama petani secara umum.

Weber melihat bahwa agama kenabian (prophetic religion) sama sekali tidak mampu menghasilkan pengaruh kepada permasalahan keagrariaan (pertanian). Seperti halnya di China, agama tidak mampu menghasilkan suatu pergerakan petani. Sangat jarang ditemui petani bertindak sebagai hasil dari semangat berdasarkan agama dibandingkan sihir. Petani dalam agama Judaisme dan Kristen tidak tampak sebagai sosok yang membawa nilai-nilai etika rasional.

Di China kapitalisme tidak muncul meskipun disebut bahwa syarat-syarat lahirnya kapitalisme di masyarakat mereka cukup tersedia. Agama Konfusianisme dan Taoisme dipandang sebagai penyebab mengapa kapitalisme tidak berkembang di wilayah ini. Meskipun mereka seperti di Eropa memiliki pusat perdagangan dan kerajinan, namun mereka tidak pernah mendapatkan otonomi politik. Hambatan lain datang dari kekuatan ikatan-ikatan kekerabatan dan keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Para warga tidak pernah menjadi suatu kelas status terpisah seperti para warga kota Eropa.

Hal sebaliknya terdapat dalam agama Protestan. Weber menyimpulkan bahwa semangat dan munculnya kapitalisme menunjukan adanya hubungan erat antara nilai nilai ajaran agama dengan pengaruh perilaku ekonomi masyarakat. Perubahan dimulai dengan kesadaran rasionalitas dan etos kerja masyarakat, sebagai pendorong dalam pencapaian usaha. Nilai agama (etika) Protestan telah menumbuhkan dorongan untuk bekerja keras sebagai suatu tugas keagamaan untuk mencapai kesejahteraan hidup dalam konsep asketisisme dunia (inner-wordldly ascetisism). Keyakinan agama mendorong kaum Protestan untuk bekerja keras dan bersikap hemat. Prinsip yang berawal dari kepercayaan agama ini kemudian mendorong prinsip-prinsip kapitalisme murni, meskipun dalam perkembangan lebih jauh kapitalisme lebih bersifat sekuler. Protestan menciptakan kultur yang pada gilirannya berpengaruh pada lahirnya kapitalisme. Akar dari nilai-nilai protestan yang menyumbang pada kapitalisme adalah hidup harus bertujuan utamanya untuk menghasilkan uang, kerja menjadi tujuan itu sendiri, dan hidup diukur secara kalkulatif.

Meskipun secara umum sikap beragama petani anti rasionalitas, namun juga ditemukan kondisi yang berbeda khususnya bagi petani yang beragama Kristen. Bagi kelompok ini tumbuh pemuliaan terhadap hal yang religius sebagai hasil dari pengembangan sikap terhadap modernitas. Hal ini merupakan karakter dari Lutheranism seperti halnya orang Rusia dengan ketaatan yang berlebihan pada agama modern. Khususnya pada ideologi Slavophile yang religius di Rusia, perhatian utama petani adalah perjuangan melawan sosialisme dan kapitalisme yang modern, namun menerima rasionalitas. Petani berhadapan dengan dua kelompok sekaligus, yaitu intelektual yang rasionalis dan terhadap gereja yang birokratis yang hanya melayani golongan yang berkuasa. Jadi, perjuangan kaum agraris mencakup keduanya yang dijalankan dengan semangat penuh dilingkupi suasana hati yang religius.

Dari pemaparan di atas terlihat bahwa petani mempersepsikan kota sebagai tempat bagi kalangan alim, baik pihak gereja maupun kaum intelektual. Agama Kristen awal (ancient Christiany) adalah agama yang identik dengan kota, dan ini tentu dalam posisi ”berlawanan” dengan petani di desa. Kota sebagai tempat penguasa gereja dan kalangan intelektual, berhimpit dengan kenyataan bahwa kaum bangsawan juga tinggal di kota yang selama ini juga menjadi objek perlawanan petani. Kota dari sisi religi dan ekonomi menjadi penguasa bagi desa dan pertanian.

Daftar Pustaka:

Weber, Max. 1949. The Methodolgy of The Social Science. Translated and edited by E.A. Shils and H.A. Finch. The Free Press, New York.

Weber, Max. The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism. Translated by Talcott Parson. London and New York.

Weber, Max. 1914. Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Edited by Guenther Roth and Claus Wittich. University of California Press: Berkeley, Los Angeles, London.

******