Selasa, 27 Desember 2011

Gampang-Gampang Susah Mengorganisasikan Petani

Buku Baru: "GAMPANG-GAMPANG SUSAH MENGORGANISASIKAN PETANI: Kajian Teori dan Praktek Sosiologi Lembaga dan Organisasi". Penerbit IPB Press, Bogor. Desember 2011 (sedang proses percetakan)



Kata Pengantar

Satu kekacauan yang terus berlangsung, namun akrab digeluti tiap hari adalah tentang penggunaan konsep dan teori ”lembaga” dan ”organisasi”. Kekacauan ini tidak hanya berlangsung di kalangan pemerintah, mulai dari Menteri sampai penyuluh pertanian; namun juga di kalangan akademisi. Bahkan, di luar sana, pada dunia internasional, hal ini juga terjadi. Konsep ”institution” dan ”organization” baru dua puluh tahun terakhir saja mulai dibedakan secara tegas. Sejak dulu, kedua objek ini tidak pernah clear. Sebagian menggunakan secara timbal balik (intercangeable), sebaguan menganggap sama, atau sebagian tidak sadar menggunakan konsep yang mana untuk pengertian apa.

Semenjak tahun 1992, di PSEKP telah dibentuk Kelompok Peneliti Kelembagaan dan Organisasi Pertanian. Beberapa orang peneliti sosiologi di dalam kelompok ini telah berupaya keras untuk merumuskan konsep, menjalankan penelitian, dan menulis laporan serta menyusun rekomendasi tentang bagaimana semestinya membangun petani dan pertanian melalui pendekatan bidang ilmu ini. Cukup besar harapan yang ditumpangkan pada kelompok ini.

Setelah belasan kali penelitian dijalankan, berbagai seminar dan diskusi digelar, serta beberapa dokumen disusun; buku ini berupaya merangkum seluruh perkembangan yang telah dijalankan, dan tugas yang sudah ditunaikan. Sejajar dengan perkembangan yang juga berlangsung paralel di dunia internasional; maka Kami merasa penting untuk menyusun buku ini sebagai bentuk tanggung jawab kepada negara yang telah memberi sekian milyar dana penelitian, kepada petani dan narasumber yang telah rela diwawancara, dan publik yang telah lama menanti-nantikan.

Inilah, sebuah buku yang disusun dengan segala daya yang ada mudah-mudahan bisa bermanfaat untuk semua. Buku ini dapat juga disebut sebagai ”penebusan dosa” saya selama ini dalam berbagai tulisan yang sering juga membuat bingung para publik pembaca. Pada banyak tulisan saya sebelumnya, termasuk tulisan-tulisan orang lain yang saya edit, penggunaan kedua konsep tersebut tidak sebagaimana dalam buku ini.

Penggunaan istilah ”institution” pada literatur berbahasa Inggris, ataupun istilah ”lembaga” dan ”kelembagaan” dalam literatur berbahasa Indonesia cenderung tidak konsisten dan tidak memperoleh pengertian yang sama antar ahli. Selain itu, penggunaan konsep ini seringkali bercampur dengan konsep ”organization”. Hal yang sama juga terjadi pada literatur berbahasa Indonesia, antara istilah ”lembaga, ”kelembagaan” dan ”organisasi”. Kekeliruan yang paling sering adalah menerjemahkan ”institution” menjadi ”kelembagaan”, sedangkan ”lembaga” dimaknai persis sebagai ”organisasi”.

Berdasarkan penelusuran referensi yang berkembang, semenjak era sosiologi klasik sampai dengan munculnya paham kelembagaan baru (new institionalism), maka ada tiga bagian pokok yang ada dalam lembaga, yaitu aspek normatif, regulatif, dan kultural-kognitif. Pendekatan kelembagaan dipandang lebih sesuai untuk organisasi dalam masyarakat (public sector organizations) karena lebih sensitif terhadap harapan normatif dan legitimasi.

Buku ini menjadi penting, karena sampai saat ini, konsep dan strategi pembentukan dan pengembangan berbagai organisasi di level petani misalnya (kelompok tani, koperasi, Gapoktan, dan lain-lain), belum memiliki konsep yang berbasiskan kepada kebutuhan dan kemampuan petani itu sendiri, namun bias kepada kebutuhan pihak “atas petani”. Untuk itu, buku ini berupaya memberikan peringatan dan arahan kepada semua pihak khususnya bagaimana organisasi yang aplikatif untuk untuk menjalankan agribisnis.

Selama Bimas, pengembangan organisasi menggunakan konsep cetak biru (blue print approach) yang seragam. Hal ini cenderung menghasilkan kegagalan. Pengembangan organisasi di tingkat petani cenderung parsial dan temporal. Ke depan, setidaknya perlu diperhatikan tiga aspek dalam pengembangan kelembagaan petani (tidak sekedar organisasi), yaitu konteks otonomi daerah, prinsip-prinsip pemberdayaan, dan kemandirian lokal.

Buku ini menggunakan bahasa yang poluler dan disusun secara sederhana sehingga mudah dipahami oleh berbagai kalangan, tidak hanya komunitas ilmiah (dosen dan peneliti), tapi juga kalangan birokrasi dan pelaksana di lapangan. Pihak yang akan memperoleh manfaat terbesar dengan membaca buku ini adalah kalangan yang bergerak dalam pembangunan pertanian dan pedesaan secara langsung yaitu para penyuluh pertanian dan kalangan penggiat di NGO misalnya; serta kalangan penyusun perencanaan dan pengambil kebijakan di tingkat nasional dampun lokal.

Bahan berasal dari berbagai literatur berupa buku, jurnal maupun hasil penelitian (termasuk penelitian penulis sendiri) berkenaan dengan pengembangan organisasi-organisasi di tingkat petani.Untuk memahami berbagai pengetahuan terbaru tentang bidang ini, dilakukan review dengan mengandalkan literatur dari luar. Sementara untuk kasus-kasus, digunakan hasil-hasil riset di Indonesia ditambah kasus lain yang dipandang mirip dengan konteks sosial ekonomi dan kultur petani Indonesia.

Bogor, Desember 2011
Penulis

(Syahyuti)



Daftar Isi

Bab I. Pendahuluan

Bab II. REKONSEPTUALISASI TEORI LEMBAGA DAN ORGANISASI
Subbab 2.1. Ketidakkonsistenan konsep di level akademisi
Subbab 2.1. Ketidakkonsistenan Istilah dalam Produk Legislasi Pemerintah
Subbab 2.3. Perumusan istilah dan rekonseptualisasi “lembaga dan organisasi” yang lebih operasional
Subbab 2.4. Pendekatan Kelembagaan Baru
Subbab 2.5. Konsep dan Teori Organisasi, serta Interaksinya dengan Kelembagaan

Bab III. KONDISI DAN PRAKTEK PENGEMBANGAN ORGANISASI PETANI
Subbab 3.1. Strategi dan Pola Pengembangan Organisasi Petani di Indonesia
Subbab 3.2. Intervensi negara berupa organisasi formal dan ”perlawanan” petani.
Subbab 3.3. Pengaruh Kultur Pasar Dalam Pembentukan Organisasi Petani
Subbab 3.4. Lokalitas dan Kemandirian
Subbab 3.5. Organisasi untuk Pemenuhan Permodalan
Subbab 3.6. Organisasi untuk menjalankan pemasaran
Subbab 3.7. Penyuluhan untuk Membentuk dan Menggerakkan Organisasi
Subbab 3.8. Pengorganisasian Petani untuk Kegiatan Anti Kemiskinan
Subbab 3.9. Mengorganisasikan Perempuan Petani

Bab IV. KUNCI-KUNCI PENGEMBANGAN ORGANISASI PETANI
Subbab 4.1. Faktor Waktu serta Pilihan Organisasi dan Konfigurasi Organisasi
Subbab 4.2. Pengembangan Gapoktan sebagai Intergroup Associaton
Subbab 4.3. Koperasi sebagai Organisasi Multiperan Untuk Petani Kecil
Subbab 4.4. Berbagai pertimbangan yang digunakan petani untuk berpartisipasi dalam organisasi formal
Subbab 4.5. Kepemimpinan: Dilema Antara Aktor Versus Organisasi
Subbab 4.6. Partisipasi dan Peran Pihak luar
Subbab 4.7. Mitos tentang Bantuan Uang
Subbab 4.8. Organisasi dan Social Capital
Subbab 4.9. Pengorganisasian sebagai Upaya Pemberdayaan
Subbab 4.10. Organisasi untuk Menjalankan Tindakan kolektif
Subab 4.11. Efektivitas Sanksi dalam Organisasi

Bab V PENGEMBANGAN ORGANISASI PETANI DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN BARU
Subbab 5.1. Konfigurasi dan Pilihan yang Dihadapi Petani dalam menjalankan Usaha Pertanian
Subab 5.2. Langkah-Langkah dan Prinsip Pembentukan dan Pengembangan Organisasi Petani
Subbab 5.3. Organisasi Hanyalah Alat, Bukan Tujuan
Subbab 5.4. Pengembangan Teori dan Praktek Lembaga dan Organisasi dalam Kerangka Ilmu Sosial

Daftar Pustaka
Lampiran







Kamis, 24 November 2011

Peta Pemikiran LEMBAGA (institution) dan ORGANISASI (organization)

Peta Pemikiran LEMBAGA (institution) dan ORGANISASI (organization)  menurut  Perspektif SOSIOLOGI

Dari berbagai literatur, maka secara sederhana, ini dibagi atas EMPAT kelompok besar pemikiran sebagai berikut. Untuk gambar yang lebih baik, boleh hubungi saya di email: syahyuti@yahoo.com terima kasih

Berbagai istilah terkait lembaga dan organisasi

Pembaca awam akan kesulitan jika membaca literatur berbahasa Inggris. Perkembangan yang berlangsung berkenaan dengan institution dan organization jauh lebih cepat dibandingkan dengan wacana di Indonesia. Berikut berbagai istilah umum berkenaan dengan “organisasi” yang saya coba jelaskan dengan bahasa sendiri.

organization = secara sederhana bisa didefinisikan sebagai “….assembly of people working together to achieve common objective through a division of labour.”  Untuk mengefektifkan hidupnya, manusia  dengan sadar  dan keinginan sendiri membentuk organisasi, lalu berkomitmen  bersama-sama mencapai tujuan dengan mengikuti aturan yg disepakati. Meskipun dalam masyarakat ada reward dan sanksi, disini reward dan sanksi lebih tegas. Mereka bisa membuat reward dan sanksi tersendiri. Sesungguhnya tanpa berorganisasipun, dalam masyarakat sudah ada pedoman dalam berperilaku, karena sudah ada nilai, norma, aturan dan saknsi. Inilah yang disebut dengan “institution” (lembaga).  Jadi, dengan lembaga saja, petani sudah dapat menjalankan usahanya. Namun, jika membuat organisasi, diharapkan akan lebih efektif dan sistematis.
farmer organizations = istilah untuk menyebut organisasi yang anggotanya adalah petani, dibentuk dan dikembangkan oleh petani sendiri. Istilah ini dipakai untuk membedakan dengan organisasi milik warga lain di pedesaan, misalnya organisasi yang angotanya kalangan perempuan (woman organization).
individual organization = organisasi yang anggotanya berupa orang-orang secara individually. Contohnya adalah kelompok tani, KWT, dan koperasi primer.
inter-group associations = organisasi yang levelnya di atas individual organization. Ia mengkoordinasikan, melayani, dan mewakili seluruh kebutuhan individual organization ke luar. Contohnya adalah Gabungan Kelompok Tani, Induk Koperasi, dan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dalam program PNPM Mandiri. Anggotanya bukan orang-orang secara individual, namun organisasi.
small farmer groups (SFGs) = organisasi yang anggotanya petani yang lemah secara ekonomi, karena rendahnya penguasaan sumberdaya, terutama sempitnya penguasaan lahan. Organisasi ini memiliki karakter yang khas, dan akan sangat berbeda dengan organisasi yang anggotanya lebih bervariasi dari sisi level ekonomi. “Spontaneity is an important characteristic of such groups”. Ini adalah organisasi milik petani yang bersifat informal, dan merupakan kelompok yang niat pokoknya untuk saling membantu secara sosial (voluntary self-help group). Anggotanya biasanya 5 sampai 15 petani kecil yang biasanya tinggal berdekatan.
Small Farmer Group Association (SFGA): sama dengan intergroup association, menunjuk pada organisasi milik petani pada level lokal, berbentuk informal, serta bersifat voluntary dan mandiri (self-governing). Ia diciptakan dan didanai dengan kemampuan anggotanya sendiri. Anggota mau masuk untuk tujuan melayani diri mereka sendiri dan berharap dapat meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Ia dapat disebut sebagai organisasi level kedua ("secondary level") dari small farmer groups. Ada empat peran pokoknya, yaitu koordinasi dan pelatihan, pembelian input dan sarana usaha, penjualan hasil-hasil produk, dan simpanan serta pelayanan kredit. Jumlah organisasi optimal untuk diwadahi berjumlah 5 sampai 10 unit.
group promoters = kelompok pendukung. Adalah sejumlah orang atau pihak yang dengan posisi dan perannya membantu, secara langsung maupun tak langsung, kinerja organisasi petani. Mereka dapat berupa para pemimpin desa (pemerintah, agama, dan adat) dan berbagai agen perubahan (change agents) dari luar, misal petugas penyuluh, instansi Pemda, dan LSM. Mereka memliki kontak langsung dengan organisasi petani dan perduli untuk mengembangkan organisasi milik petani. Selama ini kita sering menyebutnya dengan stakeholders.
inter-group services = sama dengan group promoters, dimana mereka berusaha melayani seluruh kebutuhan individual organization dan intergroup association.
inter-organizational linkages = kesalinghubungan antar organisasi, misalnya apa relasi dan kerjasama yang terbangun antar dua Gapoktan di satu wilayah. Dalam konteks ini bisa dilihat apakah ada konflik di antara mereka, bagaimana efektivitas dan output dari relasi tersebut, dan seterusnya.
commodity organizations = organisasi petani yang basisnya adalah kesamaan komoditas yang diusahakan. Di Indonesia kita mengenal kelompok peternak dan kelompok petani ikan. Anggotanya ekslusif hanya para petani peternak domba saja misalnya, tidak dicampur dengan petani lain.
community-based and resource-orientated organization = dapat berbentuk koperasi di level desa atau asosiasi berkenaan dengan pemenuhan input oleh petani, dan kelompok pemilik sumber daya (resource owners) untuk meningkatkan produktivitas dan dan bisnis mereka berdasarkan lahan, air, atau hewan. Organisasi ini biasanya kecil, dibatasi secara geografis, dan umumnya berkaitan dengan masalah input. Namun kliennya (client group) sangat beragam dalam konteks tanaman dan komoditas. Pendapatannya diperoleh dari penjualan input (ke anggota) dan output.
commodity-based and market-orientated organization = organisasi petani yang basisnya karena melakoni pekerjaan yang sama, misalnya sama-sama mengusahakan tanaman sayuran, dan organisasi mereka berorientasi pasar. Organisasi dibentuk lebih untuk membantu anggota dalam memasarkan hasil pertaniannya.
organizational memory = memori organisasi, kadang-kadang digunakan untuk merefer pada apa yang eksis saat ini dalam social conventions, individuals, memories, dan lain-lain. Dapat juga dimaknai sebagai kapasitas baru organisasi. Pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki menjadi pelajaran penting untuk menjalankan organisasi saat ini dan ke depan. Organizational Memory System (OMS) sering dipertentangkan dengan Knowledge Management System (KMS).
credit union = sebuah lembaga kerjasama yang menyediakan pinjaman untuk anggotanya dengan suku bunga yang lebih rendah. Tujuannya adalah menyediakan kredit dengan suku bunga yang menyenangkan untuk anggota dibandingkan penyedia kredit lain. Seringkali, credit unions merupakan sebuah koperasi yang menggunakan dana dari anggota sendiri (funds deposited) yang dipinjamkan kepada yang membutuhkan. Contohnya adalah Koperasi Simpan Pinjam (KOSIPA). Arisan bukan merupakan CU karena tidak mengenal bunga, dan hanya giliran memperoleh uang tunai yang disetor oleh masing-masing anggota. Tidak ada nilai tambah berupa uang yang tercipta. Anggota CU terbatas hanya pada individu-individu yang berada pada area geografis tertentu atau karena kriteria tenaga kerja tertentu.
self-help organization = secara definisi adalah organisasi yang berupaya mandiri tanpa bantuan pihak luar. “……. the act of helping or improving yourself without relying on anyone else”. Istilah self-help” merefer kepada individu atau kelompok apapun, misalnya berupa support group, yang berupaya mencapai kondisi yang lebih baik bagi hidup mereka dari sisi ekonomi, intelektual, dan juga emosional.
self-organization adalah sebuah organisasi dengan upaya, strategi, atau tekad untuk mandiri. Esensial dari sebuah Self-Organisation adalah bahwa struktur sistemnya tidak berada di bawah tekanan atau kendali dari luar. Dengan demikian, jika ditemui kendala dan permasalahan, mereka akan mencarikan solusinya dari internal sistem belaka. Mereka bersikap bahwa apapun yang terjadi adalah akibat dari interaksi antar komponen di dalam organisasi itu sendiri, bukan dari luar. Mereka berupaya menyelesaikan sendiri masalahnya. Bukan berarti mereka menolak sama sekali bantuan luar, namun itu bukan pilihan pokoknya (critical point). Ini bisa dimaknai sebagai prinsip. Maka, sebuah organisasi yang memegang prinsip self organization, berupaya mengembangkan dirinya dengan memfokuskan ke dalam. Makin lama semakin menguat kemampuan organisasinya, karena kuatnya struktur dan keberfungsian tiap komponen di dalam dirinya.
mutual organization = adalah sebuah organisasi kerjasama (cooperative organization) yang umumnya berupa perusahaan atau usaha bisnis yang didasarkan kepada prinip-prinsip mutualitas atau kesalinguntungan. Contohnya dalah clubs. Organisasi ini ada karena tujuan tertentu misalnya untuk mengumpulkan dana, dari keanggotaan atau pelanggan suatu produk, yang dapat digunakan untuk menyediakan pelayanan yang bersifat umum untuk seluruh anggotanya. Organisasi ini dimiliki oleh anggota dan dijalankan untuk kepentingan anggota, sehingga tidak ada pihak luar yang terlibat. Di level petani, Credit Unions bekerja dengan prinsip mutualitas ini.
organizational performance = kinerja organisasi. Setiap organisasi akan berusaha untuk mencapai tujuannya yang disesuaikan dengan sumber daya yang dimilikinya. Kinerja organisasi yang baik (“good performance”) adalah apabila semua bagian organisasi bekerja secara benar, efektif, dan efisien, untuk mencapai tujuan tersebut. Kinerja organisasi dapat dipelajari dengan memperhatikan seberapa efektif organisasi bergerak maju menuju misi dan tujuannya sendiri, bagaimana kinerja organisasi dalam hal pencapaian tujuan utama (major achievements), tingkat produktifitas organisasi dalam kaitannya dengan misi dan nilai-nilai dalam organisasi, dan daya guna produk-produknya (utilization of results); serta seberapa efisien organisasi dalam menuju misinya dan bagaimana ketersediaan dan dukungan keuangan dalam organisasi.
 organizational motivation = motivasi organisasi. Tidak ada dua organisasi yang sungguh-sungguh serupa.  Setiap organisasi memiliki sejarah perkembangan yang berbeda, juga visi, misi, kultur, serta sistem insentif dan penghargaannya (reward system). Level motivasi organisasi dapat dilihat dari sejarah organisasi, misi organisasi, kultur organisasi (the organization’s culture), serta sistem insentif  dan penghargaan yang berlaku di dalamnya.
organization’s culture = kultur organisasi, yakni bagaimana sikap organisasi (seluruh orang dalam organisasi) secara umum terhadap “kerja”, sikap terhadap kolega (colleagues), klien, atau stakeholders yang berkepentingan dengan organisasi; kepercayaan terhadap nilai-nilai yang dimiliki, serta norma-norma dalam organisasi yang mendasari dan menjadi pedoman dalam berjalannnya organisasi.
organizational capacity = kapasitas keorganisasian. Kapasitas yang dimiliki organisasi menjadi basis tempat berdirinya kinerja organisasi. Kapasitas organisasi dapat dipahami melalui kekuatan dan kelemahan strategi kepemimpinan (strategic leadership) dalam organisasi, manajemen keuangan, struktur keorganisasian, sarana dan prasarana yang dimiliki, sistem perekrutan, serta proses atau dimensi sumberdaya manusia, program dan manajemen pelayanan, manajemen proses, dan hubungan antar organisasi (inter-organizational linkages).
*****

Senin, 30 Mei 2011

Karakter Pengetahuan dan Rasionalitas Tindakan Ekonomi Petani

Kondisi yang Dihadapi

Dalam kegiatan pemberdayaan petani selama ini di Indonesia, mengorganisasikan petani secara formal dalam bentuk asosiasi-asosiasi merupakan pendekatan utama yang digunakan oleh hampir semua pelaku pemberdayaan di pedesaan, baik pemerintah maupun LSM. Mereka sebagai inisiator dan pendamping lapangan membangun kelompok-kelompok formal, baik baru ataupun memperbaiki yang lama, untuk menjalankan program-program pembangunan dan pemberdayaan di pedesaan. Peserta program disyaratkan untuk berkelompok, dimana kelompok menjadi alat untuk mendistribusikan bantuan (material atau uang tunai), dan sebagai wadah untuk berinteraksi baik antar peserta maupun dengan pelaksana program. Untuk mewujudkan pendekatan ini, telah dihabiskan anggaran dan tenaga lapang yang cukup besar, namun hasilnya tidak sebanding. Hasil yang dicapai tidak sebanding dengan usaha yang telah dilakukan.

Pola seperti ini digunakan oleh berbagai departemen, termasuk di Departemen Pertanian. Kegiatan pembangunan pertanian yang salah satunya berupa pemberdayaan petani dan keluarganya hampir selalu menggunakan pendekatan dengan membentuk organisasi formal petani. Dari empat kegiatan saat ini (P4K, PIDRA, P4MI dan Primatani) yang dijalankan Deptan beberapa tahun terakhir, selalu dimasukkan komponen penguatan organisasi lokal. Keempat kegiatan menjadikan pengembangan organisasi petani sebagai prasyarat dalam kegiatanny. (Badan SDM Deptan, 2007; Balitbangtan, 2006).

Fakta yang dihadapi adalah, kelompok-kelompok bentukan tersebut tidak berkembang sesuai harapan, sehingga tidak mampu mendukung pencapaian tujuan program secara keseluruhan. Lemahnya keorganisasian petani tersebut bahkan telah menjadi faktor utama yang menyebabkan kegagalan pelaksanaan program secara keseluruhan (PSEKP, 2006). Hal ini karena terbentuknya asosiasi-asosiasi petani merupakan prasyarat utama dalam rancangan kegiatan secara keseluruhan.

Berbagai sumber menyebutkan bahwa kondisi dan permasalahan seperti ini relatif serupa di banyak belahan dunia (Grootaert, 2001). Pengalaman berbagai lembaga membuktikan berbagai kelemahan pendekatan selama ini dalam pengembangan kerganisasian petani. Penyebab yang sudah berhasil diidentifikasi cukup beragam. Taylor dan Mckenzie (1992) menyebutkan, salah satu penyebabnya adalah karena kurang dihargainya inisiatif lokal dalam penguatan keorganisasian petani. Sesuai dengan prinsip kemandirian lokal, organisasi petani seharusnya dibangun dan dikelola dengan lebih mengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan semangat pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005).

Pada hakekatnya, sampai saat ini, apa penyebab kegagalan tersebut belum banyak disadari dan dipahami sepenuhnya. Secara umum, kegagalan pengembangan kelompok tersebut disebabkan oleh dua aras utama yaitu pada pihak pelaku pengembangan dan dalam diri masyarakat desa itu sendiri. Kegagalan seperti ini selalu terjadi semenjak era Bimas tahun 1970-an sampai sekarang yang menggunakan pendekatan ”pemberdayaan” (empowerment) dan ”pengembangan komunitas” (community development). Ironisnya, berbagai kebijakan baru misalnya berupa undang-undang dan peraturan menteri masih tetap menjadikan organisasi formal sebagai keharusan.

Kekeliruan ini berakar dari pengetahuan dan paradigma yang kurang tepat karena lemahnya pemahaman terhadap desa dan masyarakatnya. Mereka telah jatuh dalam berbagai perangkap prasangka (Chambers, 1987; Nordholt, 1987). Pihak luar cenderung bersikap kurang kritis terhadap masyarakat desa.

Di sisi sebaliknya, saat ini masyarakat pedesaan telah berkembang sedemikian rupa dimana peningkatan pendidikan, ekonomi dan politik lokal telah membentuk suatu karakter sosial, ekonomi, dan politik tersendiri. Mereka mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dan sekaligus memaknai kondisi yang dihadapi berdasarkan pengetahuannya tersebut. Semestinya, dibutuhkan pengembangan keorganisasian yang sesuai, termasuk keorganisasian di bidang ekonomi. Ekspansi ekonomi pasar ke pedesaan membutuhkan bentuk-bentuk pengorganisasian mayarakat yang efisien dan mampu bersaing, serta harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik komoditas yang dikembangkan serta karakter pasar yang berkembang. Rekayasa kelembagaan (dengan membangun organisasi-organisasi) pada tingkat petani, baik sebagai pembudidaya, pengolah, maupun pelaku pemasaran; membutuhkan pemahaman secara sosiologis yang mendalam. Keorganisasian seperti apa yang sesungguhnya sesuai bagi mereka perlu dipelajari dengan memahami pengetahuan dan cara berfikir petani itu sendiri secara langsung.

Dalam menjalankan agribisnis, petani menjalin relasi-relasi dengan berbagai pihak. Relasi tersebut dapat berupa relasi horizontal yaitu dengan sesama petani, dan relasi vertikal dengan pemasok sarana produksi, permodalan, dan teknologi serta dengan pelaku pengolahan dan pedagang hasil pertanian. Dalam setiap relasi petani memiliki dua pilihan yaitu relasi yang bersifat individual atau relasi kolektif dalam bentuk aksi kolektif. Pertimbangan yang dipakai petani adalah manakah pola relasi yang efisien dan efektif untuk menjalankan usaha pertaniannya. Hal ini berbeda dengan keyakinan pihak luar (misalnya tenaga lapang pemerintah), dimana relasi kolektif dalam organisasi formal diyakini pasti lebih baik. Ketidaksamaan persepsi – karena perbedaan pengetahuan - inilah yang menarik dipelajari yang mungkin menjadi penyebab utama pemborosan dan kesia-siaan selama ini. Pengetahuan tentang bagaimana petani mengkonstruksi jaringan relasinya dan rasionalitas di baliknya, merupakan pengetahuan yang sangat berguna untuk memperbaiki pendekatan pemberdayaan di masa mendatang.

Pengetahuan Petani sebagai objek Sosiologi Pengetahuan

Secara sederhana, sosiologi pengetahuan dapat dimaknai sebagai upaya menjadikan pengetahuan sebagai objek perhatian dengan menerapkan perspektif sosiologi. Menurut Dant (1991), pengetahuan merupakan key factor dalam masyarakat. Ia merupakan komponen sehingga sekelompok orang layak disebut ‘masyarakat”. Sosiologi pengetahuan adalah suatu perspektif yang menekankan tentang karakter sosial dari pengetahuan. Ia merefleksikan nilai-nilai dalam masyarakat yang ditransfer melalui diskursus. Dalam bidang ini dipelajari bagaimana hubungan antara pengetahuan dan masyarakat, yaitu bagaimana pengetahuan diproduksi, didistribusi dan direpoduksi di tengah masyarakat melalui relasi-relasi sosial.
Secara sadar atau tidak, objek sosiologi pengetahuan telah menjadi perhatian para ahli sosiologi semenjak era sosiologi klasik. Comte misalnya memaparkan bahwa pengetahuan dan masayarakat saling mempengaruhi secara timbal balik. Karena relasinya yang timbal balik, maka pola-pola pengembangan masyarakat tercermin pula dari pola-pola pengetahuan yang dominan. Menurut Comte, pengetahuan bermula dari bentuk-bentuk teologis, berlanjut menjadi metafisik, dan akhirnya menjadi positivistik. Pada era teologis benda-benda merupakan sumber pengetahuan. Pembabakan ini hanya melihat modus intelektual yang dominan, karena sedikit banyak tipe pengetahuan yang tahayul misalnya masih tetap ada dalam satu masyarakat meskipun perkembangannya telah lanjut. Selanjutnya Emile Durkheim, sebagaimana ide dasarnya “fakta sosial”, ia melihat bahwa pengetahuan dibentuk dalam relasi yang intersubjektif. Pengetahuan merupakan sesuatu yang berada di luar kontrol individu, dan melekat padanya berbagai atribut lain karena ia merupakan fakta sosial.
Marx dengan ide besarnya tentang kelas dan mode of production, berpendapat bahwa pengetahuan berkaitan dengan relasi produksi, dan ia pun menjadi modes of production.

Relasi kelas yang eksis dapat dilihat juga sebagai sebuah relasi pengetahuan. Dengan kata lain, pengetahuan ada dalam modes of production, sebagai modal untuk memperoleh ekonomi. Di sisi lain, pengetahuan juga menjadi dasar untuk menjalankan modes of production tersebut.
Sosiologi pengetahuan menurut Mannheim (dalam Dant, 1991) adalah studi secara sistematis terhadap pengetahuan, gagasan, dan fenomena intelektual secara umum. Mannheim mengaitkan gagasan tentang kelompok dengan pandangan tentang kelompok dalam struktur sosial. Meskipun Karl Mannheim dikenal sebagai tokoh utama yang membangun fondasi kerangka teori sosiologi pengetahuan, namun sosiologi pengetahuan semakin memperoleh perhatian besar di Amerika ketika Peter L. Berger dan Thommas Luckmann menulis buku “Social Construction of Reality”. Berger dan Luckman memaknai pengetahuan sebagai hal-hal yang dianggap bernilai dan bermanfaat untuk memecahkan masalah individu.

Berger dan Luckmann (1979) mengupas tentang adanya dua objek pokok yaitu realitas objektif sebagai fakta sosial dan realitas subjektif berupa pengetahuan. Ada hubungan dialektis antara realitas objektif dengan realitas subjektif. Realitas subjektif berupa pengetahuan individu akan berproses menjadi realitas objektif yakni ketika menjadi pengetahuan bersama. Dalam proses ini, bisa terjadi realitas subjektif yang dinegosiasikan dan ada pula yang dipaksakan. Realitas objektif berlaku umum, dan sebagai fakta sosial ia memiliki kemampuan memaksa, sebagaimana hukum fakta sosial menurut Durkheim.

Ada kaitan antara pengetahuan dan kehidupan dan kesalingketerkaitan antara pikiran dan tindakan. Dengan demikian, pengetahuan tidak pernah merupakan produk sosial yang bebas dari unsur-unsur nilai dan kepentingan, karena ia selalu berkait dengan keanggotaan kelompok dan lokasi dari individu-individu. Sementara, “realitas” adalah suatu kualitas yang terdapat dalam berbagai fenomena yang mempunyai level keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia. Dalam konteks ini, pengetahuan menjadikan fenomena-fenomena tadi itu menjadi real dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik. Kenyataan sosial adalah hasil eksternalisasi dari internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan dalam kehidupan sehari-sehari. Proses eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge yang dimilikinya.

Pada intinya, sosiologi pengetahuan menganalisis berbagai hal yang dimaknai sebagai pengetahuan dalam masyarakat dan berusaha memahami bagaimana proses-proses itu berlangsung. Dapat dikatakan, sosiologi pengetahuan melakukan analisa pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality). Dalam hal ini, dunia ide (pengetahuan) menjadi penentu dunia materi.

Sosiologi pengetahuan, dalam pemikiran Berger dan Luckman (1979), memahami dunia kehidupan selalu dalam proses dialektis, antara the self (individu) dan dunia sosio kultural. Proses dialektis itu mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan internalisasi dimana individu-individu mengidentifikasi melalui lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat ia berada. Dari proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan tadi dan ditambah adanya legitimasi, maka kenyataan sosial telah menjadi suatu konstruksi sosial ciptaan masyarakat itu sendiri.

Kehidupan sehari-hari menyediakan dan menyimpan kenyataan termasuk pengetahuan. Ia menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas obyektif yang lalu diberi berbagai makna subyektif. Namun, kehidupan sehari-hari juga merupakan suatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu, dan dipelihara sebagai hal yang “nyata” oleh pikiran dan tindakan tersebut.
Berger dan Luckmann menjadikan interaksi sosial sebagai perhatian pokok sosiologi. Interaksi ini melibatkan hubungan individu dengan masyarakat, dimana individu senantiasa bertindak secara aktif. Tindakan individu dilandaskan pada makna-makna subyektif yang dipercayai dan dipegang aktor tentang tujuan yang hendak dicapainya, cara atau sarana untuk mencapai tujuan, dan situasi serta kondisi yang melingkupi pada sebelum dan/atau saat tindakan itu dilaksanakan.

Realitas sosial berupa pengetahuan yang bersifat keseharian seperti konsep, kesadaran umum dan wacana publik merupakan hasil konstruksi sosial. Kenyataan itu sendiri bersifat plural, dinamis dan dialektis. Pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari terdistribusi secara sosial, yang mana ditentukan oleh tipe individu. Struktur relasi yang dijalankan sehari-hari merupakan struktur pendistribusian pengetahuan pula. Struktur itulah yang menjadi media atau saluran pengetahuan sehingga pengetahuan terdistribusi secara horizontal maupun antar generasi.

Pengetahuan merupakan basis bersikap dan bertindak individu maupun kelompok. Karena itulah, dalam kegiatan pemberdayaan, berbagai aktivitas berkenaan dengan pengetahuan merupakan satu hal esensial, yaitu berupa pengalihan, peningkatan, maupun penggunaan pengetahuan sebagai alasan untuk berpartisipasi. Dalam penelitian Dewulf et al. (2005), dari suatu aktivitas pemberdayaan, diketahui bahwa pengetahuan terbuka (explicit knowledge) maupun tertutup (tacit knowledge) telah berhasil saling dipertukarkan antar pelaku. Pengetahuan tentang panduan untuk organisasi irigasi dibawa oleh NGO dipertemukan dengan ilmu teknik dari universitas. Berbagai pengetahuan yang selama ini tersimpan (tacit knowledge) yang dimiliki berbagai komunitas petani pun berhasil dibongkar atau diekternalisasi (externalized). Pertukaran pengetahuan berjalan melalui dua arah, yaitu pihak pengguna atau petani menjadi paham bagaimana pihak ahli teknik memaknai software, dan pihak pembangun software juga tahu apa harapan pengguna terhadap software tersebut.
Dijumpai pula bagaimana akhirnya interaksi antar pihak semakin menjadi logis dari waktu ke waktu. Peran universitas yang semula hanya penelitian di bidang software (general ‘research on’ software), berubah menjadi posisi “meneliti dengan” (‘research with’). Terjadi proses refleksi bersama (joint reflection), pembangunan bersama (joint development) dan pengujian bersama (joint testing) dari teknologi yang akan digunakan. Komunikasi berlangusng melalui beragam jenis event mulai dari berupa rapat biasa, saat memasang instalasi, dan berkerjasama di depan komputer. Berlangsungnya praktek bersama melalui relasi yang berkualitas telah memungkinkan mengkomunikasikan secara langsung pengetahuan-pengetahuan yang tersembunyi, serta memungkinkan mengkomunikasikan pengetahuan yang terbuka.

Ditemukan pula bagaimana telah terjadi peningkatan transformasi kerja sebagai stakeholders yang menemukan konteksnya dalam penciptaan pengetahuan, serta menjembatani batas keterlibatan komunitas dalam praktek. Ini terjadi melalui proses eksternalisasi pengetahuan-pengetahuan yang berguna (externalizing mutual knowledge) dan membagi pengetahuan dengan terlibat dalam praktek-praktek sehari-hari dengan memperhatikan kualitas hubungan (quality of relationships).

******

Moore-Gilbert tentang Homi K. Bhabha

(buku Moore-Gilbert chapter 4;

Key words: postkolonialisme. Bhabha, pasca Orde baru)


Karakter teori postkolonialisme Homi Bhabha

Kajian postkolonialisme Bhabha dipengaruhi oleh para pemikir poststrukturalis seperti Jacques Derrida dan Michel Foucault, serta dari psikoanalisis Sigmen Freud. Dari perspektif Freud ia berhasil mengungkap bahwa penjajah memiliki kebanggaan tersendiri yang bersifat psikologis begitu berhasil mencapai keinginannya. Namun, menurut Moore-Gilbert, Bhabha tidak berhasil memaparkan psikoanalisisnya dengan baik dalam keseluruhan teorinya. Bentuk lain psikoanalisis adalah dimana subyek-subyek yang menjajah memiliki kemampuan memahami masyarakat terjajah, namun semata hanya untuk maksud untuk melanjutkan kuasa penjajahannya.

Dalam teori-teorinya, Bhabha bermaksud meluruskan pertentangan yang keliru antara teori dengan praktek politik dalam wacana kolonialisme. Sebagaimana dekonstruksinya yang mengkritik oposisi biner ”penjajah - terjajah” sebagai sesuatu yang terlalu disederhanakan, ia sekaligus mempertanyakan anggapan-anggapan metodologis dari para teoritikus postkolonial. Bhabha mengajukan model liminalitas untuk menghidupkan ruang persinggungan antara teori dan praktek kolonisasi dalam upaya menjembatani hubungan timbal balik antara keduanya.
Menurut Bhabha, teori dan praktek tidak dapat dipisah untuk dikritik, karena keduanya saling bersebelahan. Dengan menyandingkan keduanya Bhabha berusaha menemukan pertalian dan ketegangan antara keduanya yang melahirkan hibriditas. Konsep “hibrid” digunakan untuk menggambarkan bergabungnya dua bentuk yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk, dan sekaligus juga meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Namun, postkolonialitas selain melahirkan hibriditas, juga menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan negosiasi baru antar pelaku.

Terminologi dunia ke tiga dan dunia pertama juga menjadi dua kata kunci dalam teori Bhabha. Bhabha menemukan “mimikri” sebagai bukti bahwa yang terjajah tidak melulu diam, karena mereka memiliki kuasa untuk melawan. Konsep “mimikri” digunakan untuk menggambarkan proses peniruan atau peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Fenomena mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, tetapi peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi tersebut. Ini terjadi karena mimikri selalu mengindikasikan makna yang tidak tepat dan juga salah tempat. Ia adalah imitasi sekaligus subversi. Dengan demikian, mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi penjajah. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegasikan dominasinya. Dari mimikri inilah terlihat bahwa ia adalah dasar sebuah identitas hibrida.

Fakta ketidakstabilan kebudayaan dan identitas dalam globalisasi menunjukkan bahwa kebudayaan dan identitas selalu merupakan kontestasi dari berbagai kebudayan yang berbeda. Hibriditas merupakan suatu keniscayaan. Hibriditas adalah pengaburan batas-batas kebudayaan yang mapan dan dibuat menjadi tidak stabil.

Konsep Bhabha dan pertanyaan untuk penelitian tentang Indonesia pasca rezim Orde Baru

Indonesia pasca Orde Baru ditandai kebebasan dalam banyak segi, termasuk kebebasan berekpresi secara verbal dan kultural. Dengan demikian, kita bisa mengamati gejala-gejala dengan mata telanjang, misalnya konsep mimikri dan hibriditas.
Perilaku mimikri merupakan strategi dalam menghadapi praktik dominasi budaya. Pelaku meniru atau meminjam berbagai elemen kebudayaan dominan dengan sekaligus menolak ketergantungan atas kebudayaan yang dominan itu. Sikap dan perilaku mimikri dapat dijadikan objek studi, karena selain mudah dilihat, juga menjadi bukti nyata dampak kolonialisme yang masih berlanjut sampai sekarang. Psikologis sebagai kaum terjajah, sedikit banyak juga karena pemitosan oleh pemikir orientalis, masih menghinggapi masyarakat dunia ketiga.

Hibridisasi merupakan fenomena yang umum terjadi, namun dapat dicermati lebih detail bagaimana perimbangan hibriditas tersebut berlangsung. Dalam kondisi saling kontestasi antar kultur saat ini, bagaimana pola hibriditas yang berlangsung. Dari dua pola gejala localized globalization dan globalized localization; manakah yang lebih mendominasi?
Secara konseptual, grand tour questions adalah pertanyaan yang membutuhkan penjelasan mendalam (in-depth) yang menjelaskan event secara series, menjelaskan sekelompok orang, menceritakan bagaimana mereka terlibat dalam sebuah atau serangkaian aktivitas, menggunakan sebuah objek, atau berjalan melalui berbagai event dalam suatu periode waktu. Dalam pertanyaan ini membutuhkan deskripsi verbal hal-hal penjelasan signifikan suatu kultur. Pertanyaannya lebih general dan berkenaan dengan pola. Ada tiga jenis grand tour questions yakni example questions, experience questions, dan native language questions untuk mengeksplor tentang istilah khusus misalnya. Sementara empirical question adalah jawaban deduktif yang berasal dari kondisi empiris.

Bertolak dari kedua bentuk pertanyaan ini, maka berkenaan dengan konsep Bhabha untuk masyarakat Indonesia saat ini, pertanyaan yang bisa diajukan misalnya adalah bagaimana proses kemunculan dan bertahannya kultur kalangan remaja sebagaimana dapat dilihat saat ini? Secara fisik, kita bisa melihat bahwa mereka mengadopsi berbagai kultur, baik lokal maupun bukan, namun seberapa jauh kah makna sikap dan perilaku yang mereka tunjukkan tersebut? Seberapa jauh bahwa kultur yang mereka pertontonkan tersebut merupakan gejala hibriditas atau bukan? Lebih jauh, apakah ini merupakan representasi dari sesuatu yang lebih besar dan makro, dan kalau ya apa yang mereka representasikan sesungguhnya?
Selain pada kalangan remaja, pertanyaan serupa dapat pula diajukan kepada segmen masyarakat yang lain. Apakah gejala perilaku yang ditunjukkan mereka merupakan sisa-sisa dari dampak kolonialisme masa lalu, atau merupakan gejala hibriditas baru? Sementara, dalam hal politik, kita bisa mempertanyakan bagaimana proses terbentuknya struktur kepartaian dan struktur politik secara umum saat ini? Bagaimana menjelaskan ini dengan kacamata postkolonial, yakni apakah ini merupakan peniruan-peniruan yang tidak kritis belaka, atau merupakan sebuah proses dan penciptaan yang sudah berakar dari kondisi dan kebutuhan kita sendiri yang khas?

Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, maka pertanyaan lebih detail adalah pada kelompok remaja mana hibriditas berlangsung, dan bagaimana proses keberlangsungannya tersebut? Faktor-faktor psikoanalisa dan lingkungan riel apa yang mendorong perilaku-perilaku tersebut? Pertanyaan ini menark diajukan untuk mengetahui dampak dari kolonialisme yang sudah berlangsung puluhan tahun lampau, pada masyarakat Indonesia yang secara relatif mengalami penjajahan yang tergolong berat.

Sumber bacaan :
Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso.

*****

Moore-Gilbert tentang Gayatri Spivak

(Buku Moore-Gilbert chapter 3)

Konseptualisasi Moore-Gilbert tentang Pemikiran Spivak

Dari tiga pemikir utama postkolonial dalam buku Moore-Gilbert, ketiganya merupakan warga dari kelompok masyarakat yang diperjuangkannya, yaitu si Timur. Spivak merupakan salah satu pemikir postkolonial penting berdarah India yang juga banyak mengkonstruksi teori-teorinya dari masyarakat India. Salah satu konsepnya yang terkenal adalah “subaltern” yang basis metodologisnya diadopsi dari pemikir Antonio Gramsci.

Konsep subaltern ini hanya berasal dari sebuah artikel yang mengangkat kisah tragis adik neneknya (Bhuvaneswari Bhaduri) yang saat berusia sekitar 16-17 tahun menggantung diri di Calcutta Utara tahun 1926. Gantung diri ini dilatarbelakangi karena ketidakmampuannya menjalankan tugas pembunuhan politik yang dipercayakan kepadanya. Bagi Spivak inilah bukti sebuah ketidakmampuan berbicara, dan malah memilih membunuh diri.

Sublatern merupakan kelompok marjinal yang selalu menjadi objek bagi kelas yang dominan dan berkuasa. Merekalah kelompok yang tidak pernah ditulis dalam sejarah. Sebagaimana Berger dan Luckman memberi perhatian pada pengetahuan awam sehari-hari, maka Spivak juga menyuarakan ini. Sejarah kehidupan sehari-hari semestinya juga dilihat. Sejalan dengan Berger dan Luckman tersebut, hanya dengan inilah maka akan mampu menggali yang selama ini dilupakan (untuk melakukan debunking). Kelompok subaltern tidak monolitik, mereka mempunyai kompleksitasnya sendiri, dan meskipun mereka berbicara orang tidak menaruh perhatian pada kisahnya.

Pemikir kolonial memposisikan mereka yang terpinggirkan ini sebagai satu bentuk seragam, dimana mereka hanya dilabeli sebagai “masyarakat terjajah” atau “pribumi” tanpa mau tahu etnisnya, gender, pendidikan, dan lain-lain. Spivak ingin membuka mata dan fikiran terutama mereka yang dikelompokkan sebagai penyusun dan pendukung teori kolonial. Spivak memasukkan variabel perempuan, karena perempuan bahkan di masyarakat “normal” saja sudah dapat dikelompokkan sebagai subaltern yakni dalam masyarakat berstruktur patriarkhi.
Meskipun Spivak seorang feminis, namun ia juga mengkritik feminis lain. Ia mengkritik feminis Barat, yang sebagaimana teori lain mengklain sebagai sebuah kebenaran universal. Bagaimanapun teori kritis feminis Barat disusun oleh kalangan perempuan kulit putih Barat dari golongan menengah ke atas yang hidup di perkotaan. Satu kesalahan mereka menurut Spivak adalah karena memandang semua perempuan di dunia ketiga atau non Barat juga seragam dan monolitik. Feminis Barat tidak cermat melihat kondisi dan permasalahan yang khas dan kompleks pada perempuan non Barat. Ini sebuah kekeliruan metodologis; kata Spivak.

Spivak yang dipengaruhi pemikiran Barthez dan Foucault memperjuangkan pembebasan melalui penggalian kesadaran historis yang semestinya menjadi kesadaran yang tidak bisa dilepaskan dari diri masalah-masalah yang sangat lokal. Spivak membuat diskursus alternatif dengan menjadikan konsep “dharma” dalam keyakinan Hindu sebagai pembanding “ideologi Kristen”.

Namun, Moore-Gilbert melihat bahwa Spivak tetap tidak bisa melepaskan diri dari epistemologi pemikiran Barat, khususnya post strukturalis dan postmodern. Spivak dalam beberapa kesempatan sering tidak konsisten dengan posisi pemikirannya. Kontradiksi Spivak juga terlihat ketika ia mengatakan bahwa kelompok subaltern merupakan entitas yang strukturnya terpisah dari sistem ekonomi global yang terbentuknya berawal dari kolonialisme. Ia menyebut subaltern sebagai empty space (ruang kosong) yang lepas dari tatanan ekonomi global dunia; padahal ia menyebut bahwa tubuh perempuan telah menjadi komoditas yang diperdagangkan.

Selama ini, penulisan sejarah telah meminggirkan subaltern, karena selain tidak penting bagi sejarah kemanusiaan juga sulit melacak catatan-catatan tertulis tentang mereka. Elitlah yang menyusunkan sejarah untuk mereka.
Secara sederhana, dualitas elit-subaltern dapat dianalogkan dengan dualitas Barat-Timur, sehingga sejarah Timur juga disusun oleh Barat yang ditulis dengan pemahaman sepihak dan bias-bias yang menutup penulisan sejarah yang sesungguhnya. Malangnya, penulisan tersebut, bahkan oleh ahli hanya mengandalkan catatan-catatan tentara penjajah. (Hal ini misalnya dilakukan Max Weber dalam menulis agama Timur yang hanya mengandalkan catatan tentara dan catatan perjalan orang-orang Barat yang mengunjungi negeri Timur). Akibatnya, mereka tidak pernah benar-benar paham siapa dan bagaima sesunguhnya Timur, dan juga subaltern.
Namun Moore-Gilbert melihat lain, sedikit banyak subaltern juga ditulis meskipun sangat terbatas, misalnya tentang resistensi dan perlawanan terhadap berbagai kebijakan kolonial. Jadi, perjuangan emansipatoris tersebut sebenarnya ada, dan sejarahpun telah mencatatnya. Moore-Gilbert juga melihat bahwa Spivak tidak pernah benar-benar lepas dari pola berfikir biner, meskipun inilah yang menjadi basis kritik poskolonial. Spivak masih tetap menggunakan dikotomi, meskipun hal itu merupakan dikotomi baru.

Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Spivak dan Said

Satu hal yang khas dari Spivak dibandingkan dengan Said (dan Bhabha) adalah perhatiannya pada perempuan sebagai variabel penting. Ini karena Spivak tergolong sebagai pemikir feminis, meskipun ia mengkritik keras feminis Barat yang mengklaim diri sebagai feminis universal.
Spivak mempertanyakan kembali peran intelektual pasca kolonial yang sering dikatakan bisa menyampaikan suara rakyat tertindas atau suara kaum subaltern. Namun, betulkah demikian? Betulkah kaum subaltern bisa berbicara? Subaltern adalah istilah untuk kelompok tertentu di masyarakat yang berada di posisi paling rendah. Ia merupakan kelompok inferior, dan menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Contohnya adalah buruh baik buruh pabrik maupun buruh tani. Mereka tidak memiliki akses kepada kekuasaan yang menghegemoninya. Spivak menekankan, bahwa seharusnya sejarah juga menuliskan tentang sejarah kelas-kelas subaltern ini. Dinamika dan permasalahan kelas subaltern ini cukup kompleks. Mereka memang tidak pernah masuk di “sejarah resmi” negara.

Spivak merupakan ahli kajian kritis mengenai budaya (critical cultural studies) dan teori-teori dekonstruksi. Dalam satu kesempatan ia menyebut dirinya sebagai kritikus sastra.
Di sisi lain, analisis dan perhatian Spivak dapat dikatakan lebih kaya dibandingkan Said. Tema kajiannya lebih luas, mulai dari politik mikro di sekolah sampai narasi makro imperialisme. Ia berupaya melintasi oposisi biner dan menolak mengekslusi pihak yang berbeda darinya. Jika Said cenderung pada analisis level makro, Spivak berupaya mengeksplorasi sampai kepada level yang lebih rendah, dan ia selalu menemukan adanya relasi dominan-subordinasi pada setiap level tersebut.

Bacaan:
Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso.

*******

Moore-Gilbert tentang Edward Said

(Buku Moore-Gilbert chapter 2)

Edward Said dapat dikatakan sebagai tokoh utama dalam teori post-kolonialisme, dan merupakan salah satu pendiri penting kritik budaya dan analisa wacana. Said lahir di Yerusalem tahun 1935, merupakan putra seorang pedagang Arab makmur. Ia kemudian banyak mendapat pendidikan Barat, yang kemudian justeru banyak ditentangnya. Karya Said, Orientalisme (1978), diposisikan sebagai the founding texts of postcolonialism theory. Lewat buku “Orientalisme”, Said memberikan banyak inspirasi bagi kajian-kajian poskolonial. Said menegaskan bahwa identitas bukan sesuatu yang given, sebagaimana The Orient yang merupakan socially and politically contructed.

Perspektif postkolonial merupakan konsep kunci dalam rangkaian pengembangan diskursus kritik (critical discourse) yang ramai semenjak akhir 1970-an. Gerakan postkolonial merupakan sikap resistensi terhadap otoritarianisme kolonialisme secara militer, politik, maupun kultur.

Pandangan Moore-Gilbert tentang gagasan Said

Terbitnya buku ”Orientalisme” Said merupakan tonggak penting lahirnya kritik terhadap kolonialisme dan orientalisme. Dalam buku ini dipaparkan hubungan antara kultur Barat dengan kolonialisme dan juga imperialisme. Namun point pokoknya adalah pada pengetahuan Barat yang basisnya begitu bias. Ada relasi kuat antara pengetahuan Barat di satu sisi dengan kekuasaan politik disisi lain.

Dalam buku ini dikupas bagaimana Timur direpresentasikan atau dibangun oleh Barat. Hal ini terbaca melalui berbagai karya teks baik sastra maupun ilmiah. Timur menjadi objek yang dibaca, dipahami, dikaji, dan diangkat menjadi karya novel misalnya oleh para penulis Barat. Mereka merasa berhak mekonstruksi Timur, namun kemudian terbukti sudut pandang, perspektif, kesadaran dan ideologi pembaca Barat ini begitu bias. Mereka salah melihat Timur, begitu kira-kira inti argumen Said (dan para ahli postkolonial lain).

Orientalisme Said adalah doktrin politik yang berisi betapa Timur lemah dan Barat dominan. Timur direpresentasikan dalam sifat-sifatnya yang bodoh, despotik, statis, terbelakang, dan seterusnya. Pandangan semacam ini sudah tertanam sejak lama yaitu dimasa penjajahan dulu. Pandangan ini sengaja dibuat demikian sebagai alasan moral Barat menjajah Timur. Pengetahuan ini dianggap sebagai suatu kebenaran. Konsekuensinya adalah ilmuwan (dan rakyat Barat) cenderung rasis, imperialis dan juga etnosentrik. Mereka meninggikan etnis sendiri dan merendahkan etnis lain (Timur).

Ide postkolonoalis Said diawali dengan merujuk pada Joshep Bristow tentang fenomena mayoritas kaum akademisi kulit putih (the majority of white academic). Said juga menggunakan perspektif Foucault dalam hal power dan bagaimana cara kerjanya. Instrumen kunci dari power menurut Foucault adalah ”pengetahuan”. Said mengadopsi cara kerja Foucault tentang diskursus sebagai media dimana pengetahuan dikonstruksi.
Dalam Orientalism dipaparkan bentuk-bentuk hegemoni Barat terhadap Timur. Di sisni jelas digambarkan pembedaan identitas Timur dan Barat sebagai bentuk dikotomi antara Eropa dengan Asia dan Afrika. Perspektif biner Timur dan Barat ini merupakan kunci dalam teori postkolonial. Apa yang disebut ”Timur” sesunggunya hanya rekaan Barat. Dengan menggambarkan Timur sebagai bagian dunia yang lebih rendah, terbelakang, dan irasionalitas; Barat mendapat ”landasan moral” untuk menentukan nasib Timur. Inilah yang kita lihat pada paradigma developmentalis, dimana Baratlah yang menentukan dan hanya mereka yang tahu bagaimana memperlakukan (=membangun) Timur. Timur sendiri dianggap tidak paham dan tidak tahu bagaimana membangun dirinya. Barat mempersepsikan dirinya sebagai kelas yang unggul, dinamis progresif, dan rasional. Jadi, mengikuti Foucalt, Said meyakini kekuasaan dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Klaim Barat tentang pengetahuan Timur yang rendah telah memberikan landasan moral bagi Barat untuk mengendalikan Timur.

Kritik dan kelemahan komentar Moore-Gilbert tentang E. Said

Moore-Gilbert memiliki perspesi positif kepada Said terutama berkenaan dengan sumbangan metodologisnya sehingga mampu membongkar kepalsuan relasi Barat-Timur. Namun demikian, Moore-Gilbert melihat ada ketidakkonsistenan dalam pemikiran Said. Kritiknya berkenaan dengan perspektif politik yakni praktek politik imperalisme, dimana pengetahuan tentang Timur disusun dari perspektif Barat yang tidak netral karena ada orientasi politik penguasaan yang kuat.

Kritik lain dari Moore-Gilbert berkenaan dengan hal latent dan manifest dari Orientalisme. Konsep ”latent” dipakai Said untuk merepresentasikan struktur yang dalam atau aspek yang tidak disadari dari orientalisme yakni soal memposisikan politik dan kehendak berkuasa Barat untuk menguasai Timur di dalam diskursus. Sedangkan ”manifest” menujuk pada detail permukaan atau aspek yang nampak dalam diskursus, seperti disiplin (sosiologi, sejarah, sastera, dll), produk budaya, sarjana dan tradisi bangsa. Aspek pengetahuan yang manifest dari orientalisme ini selalu berubah, sementara aspek latent relatif konstan. Bentuk-bentuk aspek latent dari orientalisme terlihat dari karya-karya para pengarah Eropa yang menghadirkan Timur sebagai terbelakang, bodoh, tunduk, irasional dan uncivilized; maka itu perlu diperhatikan, dimajukan, bahkan diselamatkan oleh Barat. Subjek lah yang menciptakan objek.
Moore-Gilbert mempertanyakan bagaimana kebenaran pengetahuan didapatkan. Said mendapatkan pengetahuan tersebut dari teks-teks, padahal Said sendiri mengatakan bahwa analisa mesti diperoleh di luar teks. Jadi, ada ketidakkonsistenan Said menurut Moore-Gilbert. Jika ingin tahu Timur semestinya lakukan studi langsung ke Timur, jangan dari teks-teks belaka. Selain itu, Moore-Gilber juga melihat ketidakkonsistenan Said dalam menggunakan perspektif Marxis.

Berkenaan dengan konsep laten orientalism dan manifest orentalism, Moore-Gilber mengkritisi derajat kedalaman dari laten dan manifes; karena Said membedakan kedua ini dalam hal kedalamannya. Menurut Moore-Gilber kedua ini memiliki derajat yang berbeda, sehingga tidak bisa dianalisis bersamaan.

Bacaan:
Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso.

Teori POSTKOLONIALISME

(review buku Moore-Gilbert dan Hobsaw dan Ranger)

Teori Postkolonial terkait dengan konsep utamanya yaitu persoalan relasi yang berbentuk “dominasi-subordinasi”. Relasi ini terjadi mulai dari level makro sampai mikro, mulai dari antar negara sampai dengan antar level masyarakat dan bahkan sampai dengan antar jenis kelamin.

Karakter teori dan perspektif Postkolonial

Dalam Moore dan Gilbert dipaparkan bahwa Teori Poskolonial yang lahir pada paruh kedua abad ke-20 sering disebut sebagai metode dekonstruktif terhadap model berpikir dualis (biner), meskipun mereka yang mengaku sebagai ahli dengan perspektif postkolonial tidak benar-benar mampu lepas dari jerat ini. Model berpikir dualis yang mengendap dalam ilmu pengetahuan Barat, terutama dalam kajian masalah Timur (orientalism), senantiasa menempatkan kedudukan Barat, penjajah, self, pengamat, dan subyek memiliki posisi yang unggul dibandingkan dengan Timur. Timur adalah terjajah, orang luar, obyek, yang diceritakan, dan seterusnya. Orang Barat modern merasa mereka berbeda dengan orang Timur yang dipandang irasional, emosional, dan kurang beradab (misalnya dalam politik disebut dengan “despotis Timur”).

Teori postkolonial merupakan teori kritis sebagai salah satu bentuk dari kelompok teori-teori postmodern. Postkolonial menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai “dunia ketiga” tidaklah seragam. Ada heterogenitas baik karena wilayah, manusianya, dan kulturnya. Ia juga menunjukkan bahwa ada resistensi tertentu dari Timur kepada Barat. Salah satu bentuk yang sangat terkenal adalah apa yang disebut “subaltern” oleh Spivak. Intinya, post kolonial menyediakan kerangka untuk mendestabilisasi bahwa ada asumsi tersembunyi (inherent assumptions) yang melekat dalam pemikiran Barat yang selama ini selalu mengklaim diri sebagai kebenaran tertinggi dan juga universal. Teori postkolonial dikembangkan secara grounded dengan mengangkat berbagai bukti riel hasil kolonialisme, baik secara fisik, politis maupun kultur.

Tujuan pengembangan teori postkolonial adalah melawan sisa-sisa dampak dari terjadinya kolonialisme dalam pengetahuan termasuk pada sisi kultur. Postkolonial berorientasi pada terwujudnya tata hubungan dunia yang baru di masa depan. Postkolonial merupakan teori yang berasumsikan dan sekaligus mengeksplor perbedaan fundamental antara negara penjajah dan negara terjajah dalam menyikapi arah perkembangan kebudayaannya. Teori ini diterapkan untuk mengkaji karakter budaya yang lahir terutama pada negara-negara dunia ketiga atau negara bekas jajahan pada dekade setelah penjajahan berakhir.

Postkolonial dapat pula dipandang sebagai ancangan teoritis untuk mendekonstruksi pandangan kaum kolonialis Barat (disebut dengan kaum orientalis) yang merendahkan Timur atau masyarakat jajahannya. Secara tegas Edward Said menyebut bahwa teori-teori yang dihasilkan Barat tidaklah netral dan obyektif. Teori tersebut sengaja didesain sebagai sebuah rekayasa sosial-budaya demi kepentingan dan kekuasaan mereka. Edward Said membongkar kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur ini dengan menunjukkan adanya bias kepentingan, dan power yang terkandung dalam berbagai teori yang disusun kaum kolonialis dan orientalis. Kalangan ilmuwan zaman penjajahan bersikap kurang kritis, dan banyak yang mengandalkan pada catatan-catatan tentara dan staf yang tidak memiliki metodologi yang netral. Satu contohnya adalah pandangan ”negatif” Weber terhadap agama Timur termasuk Islam, meskipun ia mengakui bahwa teorinya tersebut belum memadai secara ilmiah.
Menurut Edward Said, orientalisme dapat didefinisikan dengan tiga cara yang berbeda yaitu memandang orientalisme sebagai mode atau paradigma berfikir yang berdasarkan epistemologi dan ontologi tertentu dalam upaya membedakan timur dengan barat, sebagai gelar akademis; dan sebagai lembaga resmi yang pada hakekatnya peduli pada timur. Saat ini kita bisa melihat betapa pemikiran kolonial, khususnya orientalisme, telah menciptakan sejarah pahit menyangkut hubungan Eropa dan Asia-Afrika.

Orientalis cenderung merendahlan cara berpikir Timur yang dianggap tidak selaras dan sederajat dengan mereka. Epsitemologi orientalis memposisikan dirinya sebagai subyek (self), sementara yang lain adalah obyek (the other). Sampai dengan akhir abad ke-20 pun, saat penjajahan telah lama berakhir, alih-alih menyesal dengan perbuatannya, pemikir kolonial masih tetap merendahkan timur. Untunglah lahir pemikir postkolonial untuk menunjukkan borok-borok itu semua.

Sesungguhnya, sebagai wacana postcolonial telah muncul pada era penjajahan. Namun teori poskolonial mewujud untuk memberikan kritik lama setelah itu. Perspektif postkolonial memberikan kesadaran akan pentingnya identitas kebangsaan, pentingnya nilai-nilai kemerdekaan dan juga humanisme. Jadi, teori ini lahir untuk membongkar relasi kuasa yang membungkus struktur yang didominasi dan dihegemoni oleh kolonial. Sumbangan besar datang dari karya Edward W. Said bertajuk Orientalism yang mengawali pembongkaran ”kebusukan” pandangan Barat dalam melihat Timur selama ini.

Inti kritik dari postkolonial (terhadap kolonialisme) sesungguhnya bukan dalam bentuk penjajahan secara fisik yang telah melahirkan berbagai kesengsaraan dan penghinaan hakekat kemanusiaan, melainkan pada bangunan wacana dan pengetahuan termasuk bahkan bahasa. Postkolonial juga mengritik pendekatan dikotomi yang merupakan simplifikasi yang menyesatkan.

Edward Said melakukan dekonstruksi yang mengagetkan kaum antikolonialisme dengan membawa slogan “kesadaran tandingan” dengan paradigma orientalismenya. Said menyampaikan bahwa ”Timur” tak lebih dari sebentuk panggung yang didirikan oleh Barat dengan sesuka-sukanya. Orientalisme yang didengungkan sebagai pengetahuan universal, bagi Said hanya wacana yang dibentuk oleh motif-motif kekuasaan belaka. Bersama dengan Edward Said, Homi Bhaabha dan Spivak merupakan tokoh penting dalam ranah kajian postkolonial.

Kultur masyarakat terjajah menurut Postkolonial

Hasil dari berkerjanya kolonialisme selama lebih dari tiga abad sangat banyak dan beragam. Melalui perspektif postkolonial lah semua dampak buruk tersebut bisa terungkap. Dampak tersebut tidak hanya berbagai penderitaan fisik dan batin sepanjang berlangsungnya penjajahan, namun sampai dengan saat ini setelah lebih dari setengah abad penjajahan berakhir. Dampak-dampak tersebut hanya kelihatan setelah meggunakan kacamata teori postkolonial. Salah satu ”temuan” teori postkolonial adalah misalnya fenomena ”hibriditas” yang berlangsung semenjak era kolonial sampai dengan sekarang.

Satu bentuk lain adalah sebagaimana diangkat salah seroang tokoh postkolonial yaitu Gayatri Spivak yang paling terkenal dengan konsep ”subaltern”. Subal¬tern adalah sebutan untuk seluruh subjek yang tertekan, lemah, dan marjinal. Mereka adalah kaum terjajah yang inferior dan bisu. Dari fenomena sublatern Spivak berhasil menunjukkan bahwa dalam kolonialisme tidak hanya terjadi penaklukan fisik, namun juga penaklukan pikiran, jiwa, dan budaya.
Malangnya, cara berfikir kolonialis, atau Barat, atau orientalis diadopsi pula oleh sebagian masyarakat timur, yang sayangnya adalah para elit. Mereka menelan berbagai ilmu kolonial tanpa mengunyahnya. Salah satu agennya adalah universitas dengan semua sivitas akademikanya. Barat dengan cerdik mencetak agen-agennya sendiri di Timur, yang tanpa sadar misalnya melakukan mimikri. Mereka menjadi kaum yang tergantung dan mangagungkan Barat intelektual dan cara berfikir barat. Ketika berbicara, mereka lebih menunjukkan suara barat dari pada kepentingan mereka sendiri. Untuk mengatasi ini, menurut Spivak, dibutuhkan transformasi epistemologis dengan mengganti imperalisme pemikiran tersebut.

Dari buku Hobsbawm dan Ranger, berjudul ”The Invention of Tradition” yang merupakan kumpulan artikel berkenaan dengan konstruksi simbol dan tradisi seremonial pada abad lalu terutama yang dijalankan oleh Inggris (British), diperlihatkan temuan baru yang menolak perspektif kehebatan Barat. Tradisi Scottish "Highland" yang dipraktekkan tahun 1730 yang disebut dengan pola petak-petak kaum (clan tartans) dianggap sebagai temuan abad ke-19 yang dibawa penjajah Inggris dalam kolonialismenya. Penulis buku ini menemukan hal serupa di Afrika namun mengalami modfikasi karena pengaruh lokal. Ranger melakukan studi tradisi massa di Eropa mutakhir sampai dengan perang dunia pertama, dalam bentuk festival, liburan, monument, gerakan pekerja dan kelahiran kelas menengah.

Tadisi penemuan (invented traditions) juga muncul dalam sejarah bangsa-bangsa terjajah. Tradisi yang muncul atau diklaim berasal dari masa lampau. Apa yang disebutnya dengan “invented traditions” adalah sekumpulan praktek, yang secara normal diatur secara terbuka atau secara diam-diam diterima sebagai aturan (rules) dan merupakan bagian dari sebuah ritual atau sifat simbolik, yang merupakan proses penenaman norma-norma dan nilai-nilai yang tertentu dari perilaku melalui pengulangan, dan secara otomatis menyiratkan kesinambungan dengan masa lalu.

Dalam buku ini disebutkan bahwa tradisi penemuan lebih sering terjadi pada waktu berlangsungnya transfomasi secara cepat, yakni ketika tradisi lama menghilang. Maka dengan menggali ini sangat mungkin menemukan berbagai tradisi baik di masyarakat tradisional maupun modern. Semua tradisi penemuan menggunakan referensi masa lalu tak terbatas hanya untuk kohesi kelompok tapi juga legitimasi tindakan.

Dari temuan-temuan ini, Hobsbawm dan Ranger menyarankan agar ahli sejarah harus menghargai berbagai sumber, termasuk ingatan dan pengalaman langsung mereka yang mengalami selain bahasa tertulis. Metode sejarah harus memberi ruang yang lebih luas lagi. Setiap orang semestinya berpartisipasi dalam memberi informasi, karena setiap orang adalah sejarawan. Sejarah dan memori menjadi semakin dekat dalam posisinya untuk mendapatkan making sense of the past untuk saat ini.

Sumber bacaan:
Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso.
Hobsbawm, Eric and Terence Ranger (editors). 2004. The Invention of Tradition. Cambridge: Cambridge University Press.

******

Masa Depan Sosiologi Pengetahuan sebagai Analisis Discourse

(Tim Dant bab 12)

Khusus pada Bab 12, Dant memaparkan narasinya tentang bagaimana masa depan sosiologi pengetahuan dalam konteks sebagai analisa diskursus. Pemaparannya dimulai dari keterbatasan humanisme (meskipun mampu melahirkan science), momen refleksif, overview tentang isi buku, serta diakhiri dengan pandangann tentang masa depan permasalahan ini.
Dalam keseluruhan bukunya, Dant menjelaskan apa dan bagaimana tiga objek (pengetahuan, ideologi dan diskursus) saling berrelasi. Ketiganya melekat pada sistem sosial dan merupakan sesuatu yang socially constructed. Pengetahuan misalnya, dikonstruksi dalam berbagai kekuatan berupa kekuasaan, individual, sosialisasi, kultur, bahasa, dan struktur sosial. Begitu banyak kekuatan yang ikut membentuknya. Dalam sosiologi pengetahuan, ia diposisikan objek sekaligus produk dari sistem sosial. Sementara, teori diskursus meyakini bahwa dalam segala aktivitas keseharian manusia, struktur kekuasaan juga berperan saat kita berbicara dan dan berbahasa. Dengan mengamati bagaimana orang berbahasa, kita bisa mengindikasikan bagaimana struktur kekuasaan berkerja pada dirinya.

Karena analisa diskursus hanya membatasi pada bahasa, atau tepatnya sesuatu yang visual dalam berbahasa (yaitu berbicara, teks, dan lain-lain), maka sesungguhnya ia menyempitkan pandangannya. Pengetahuan manusia jauh lebih luas dari itu. Memperlajari pengetahuan manusia hanya dari analisa diskursus, tidak akan menemukan keseluruhan kompleksitas pengetahuan tersebut. Apalagi, apa yang disebut dengan “sosiologi pengetahuan” itu sendiri, juga memiliki keterbatasan. Keterbatasan tersebut datang dari paradigma humanismenya, serta konteks kultural (Eropa Barat) tempat ia tumbuh dan berkembang dan kurang memberikan perhatian pada keragaman dunia lain.

Analisa pengetahuan sebagai Ideological Discourse

Dant menjelaskan bagaimana menganalisa pengetahuan sebagai ideological discourse di Bab 11 dan juga 12. Perlu diingat pula bahwa pengetahuan di sisi lain juga berpraktek sebagai wacana ideologi. Dalam berkomunikasi, selain dapat dilakukan analisa diskursus, juga ada ideologi terlihat di dalamnya.

Diskursus merupakan fenomena sosial, dimana pengetahuan dapat dibagi dan dimiliki bersama. Dalam proses diskursus dijumpai adanya dampak ideologis. Diskursus hanya mampu melihat sebagian dari kompleks pengetahuan suatu masyarakat, yaitu hanya dari bahasa. Diskursus tidak pernah melihat misalnya musik dan tari, yang sesungguhnya merupakan bagian dari pengetahuan masyarakat bersangkutan.

Walaupun sulit menghindari efek ideologi, namun ada cara untuk mengidentifikasi perspektif pengetahuan dan menghubungkannya dengan konteks pengucapannya sebagai diskursus. Ada relasi antara isi pengetahuan dan konteks sosialnya (relationism). Jika isi pengetahuan diperlakukan seperti dalam diskursus maka hubungan antara pengetahuan dan konteksnya dapat dianalisis dengan mempelajari diskursus.
Pada hakekatnya, penjelasan dalam diskursus bukan hanya penjelasan mengenai dunia tetapi juga praktik manusia yang membentuk dunia tersebut. Diskursus merefleksikan sisi statis dan dinamis sistem sosial yang membentuknya. Dalam diskursus terjadi tranformasi makna antar orang dan kelompok orang.

Ada otoritas dalam pembentukan dan pendistribusian makna, dimana struktur kekuasaan menjadi latar di belakangnya. Karena itulah, dengan melakukan analisa diskursus, sesungguhnya kita bisa menemukan ideologi di dalamnya. Ideologi merupakan hal yang melekat dalam setiap berbagai aktivitas, termasuk aktivitas berkomunikasi.


Lingkup penjelasan Dant tentang Sosiologi Pengetahuan Masyarakat

Dant menyebutkan bahwa, pengembangan ilmu (science) sebagai realitas empiris dimungkinkan setelah “matinya agama”. Meskipun demikian, bahaya lain pun muncul, dimana terjadi keseragaman dalam etika model universal tentang kebebasan, sebagaimana diyakini oleh Mannheim dan Foucault. Mestinya, kebebasan tak sekadar opsi “kiri, tengah, dan kanan”; andai saja mampu diungkap berbagai bentuk rahasia-rahasia dan bentuk-bentuk kebebasan. Penggalian kekayaan ide manusia dikhawatirkan akan menjadi lebih sempit, sehingga terlihat menjadi seragam dan universal. “Putih, barat, dan Eropa Barat” semakin mendominasi. Mereka merasa merekalah yang paling berhak menjelaskan apa yang dipahami sebagai “manusia” (man).

Dant menyebutkan bahwa sosiologi pengetahuan yang berkembang kurang memberi perhatian pada aspek Tuhan dan Timur (Orient). Ia tak bisa menerangkan masyarakat dimana eksis berbagai hal yaitu cultural discourse, serta agama yang diadopsi dalam masyarakat. Hal ini menghasilkan moralitas tertentu. Bahwa agama di wilayah non-Eropa Barat memberi pengaruh pada pengetahuan masyarakat, tidak mampu dilihat oleh sosiologi pengetahuan.
Pengetahuan yang religius (religious knowledge) bukan objek dari sosiologi pengetahuan. Mereka beralasan, jika semua karena semua Tuhan, maka determinisme sosialnya tidak akan lagi tampak. Ini harus dihindari karena ia bukan objek yang bisa diperdebatkan dan dikritik, karena sifat transedentalnya. Jika semua aktivitas dimaknai sebagai aktivitas religi, maka akan menimbulkan bias dan mis-informasi. Pada intinya, sosiologi pengetahuan melahirkan human sciences, namun secara bersamaan mematikan perspektif religius manusia. Ia tidak melihat manusia secara utuh.

Terbukti bahwa sosiologi pengetahuan bukan jalan menuju kebenaran yang sempurna dan ia kurang mampu menghasilkan pengetahuan yang lebih baik. Pandangan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh sosiologi pengetahuan hanyalah salah suatu saja dari banyak perspektif lain. Karena itulah, bagi ahli yang melihat sosiologi pengetahuan dari perpekstif lain, yang lebih transendental atau epistemologis, sosiologi pengetahuan terlihat sebagai kritik yang tidak konstruktif.

Di sisi lain, perhatian pada masalah diskursus sangat penting untuk sosiologi pengetahuan, namun membawa konsekuensi tersendiri. Diskursus mengobservasi bentuk-bentuk visual materil dari interaksi sosial yang sesungguhnya memiliki dinamika dan konteks sosial yang jauh lebih besar daripada situasi langsung tersebut.

Masa depan Sosiologi Pengetahuan

Tentang masa depan sosiologi pengetahuan, menurut Dant, sosiologi pengetahuan bisa memberikan perbaikan terhadap struktur institusi yang memproduksi pengetahuan. Dant mengutip berbagai pandangan dalam menyusun persepsinya tentang masa depan sosiologi pengatahuan. Dari kalangan strukturalis tumbuh pandangan bahwa pengetahuan merupakan sesuatu yang dikonstruksi. Dari Mannheim, ia menganalisa pengetahuan sebagai objek ilmiah dengan metode diskursus.

Dari pendekatan linguistik, disumbangkan peran kontek sosial dari diskursus dan peran bahasa terhadap pembentukan ideologi. Meskipun diskursus juga bukan merupakan truth, namun ia merupakan cara menjelaskan dunia yang memungkinkan kelompok-kelompok manusia saling berbagi.

Buku Dant tidak hanya bicara tentang proses pengetahuan, tapi juga tentang klaim pengetahuan. Pengetahuan terbentuk dalam garis-garis kekuasaan (lines of power). Buku ini juga telah membahas pertukaran makna di level ide dan konsep, juga level pertukaran antar tema pengetahuan. Ideologi dan diskursus menyediakan diri sebagai teks. Diskursus hanya melihat ketika pengetahuan muncul dalam bahasa, sedangkan bentuk-bentuk lain diabaikan.
Sosiologi pengetahuan juga banyak mengalami kehilangan. Menurut Alfed Weber, epistemologinya tidak sistematis, dan debat tentang konsep sosiologi pengetahuan itu sendiri pun belum tuntas. Debat bahwa ideologi merupakan false knowledge, dan science sebagai true knowledge juga tidak berlanjut.

Kalangan strukturalisme mengangkat berbagai kontradiksi antara mitos, ideologi dan pengetahuan dengan penggunaan di masyarakat. Ia melihat bagaimana peran penting mitos, meskipun ia juga bukan tergolong sebagai “true knowledge”.
Kedepan diharapkan sosiologi pengetahuan dapat mengembangkan pluralitas klaim pengetahuan. Untuk itu, penelitian empiris sosiologi pengetahuan perlu dikombinasikan dengan studi tentang religi, seni, keterampilan, musik, dan lain-lain. Tambahan lain, selain melihat apa yang visual melalui analisa diskursus, juga harus dipelajari apa fakta di belakang yang melahirkannya. Hanya dengan pendekatan inilah sosiologi pengetahuan akan dapat memberikan sumbangan yang lebih besar. Ini penting karena secara substantif, “pengetahuan” dalam arti bagaimana dimiliki, dibentuk, dan didistribusikan dan berperan dalam masyakat; merupakan hal yang selalu eksis dalam banyak disiplin ilmu sosial.

Pustaka:
Dant, Tim. 1991. Knowledge, Ideology, and Discourse: a Sociological Perspective. London: Routledge.

Pengetahuan, Ideologi, dan Diskursus

(Tim Dant bab 10)

Pada bagian awal bukunya, Tim dant telah memaparkan bahwa pengetahuan merupakan penjelasan kunci (key featureI dalam masyarakat. Ia merupakan komponen penting pada sekelompok manusia sehingga dapat disebut sebagai “masyarakat”. Sosiologi pengetahuan yang mulai berkembang tahun 1960-an memiliki posisi yang kontras dengan ideologi dan diskursuis (discourses). Pengetahuan merupakan perspektif yang menekankan tentang karakter sosial dari masyarakat, dan ia merefleksikan nilai-nilai dalam masyarakat.

Pengetahuan ditransfer secara horizontal dan vertikal antar generasi melalui diskursus.
Selanjutnya pada bab 10, Tim Dant menjelasakan tentang konsep Knowledge, Ideology and Discourse. Ketiganya merupakan konsep yang melekat di seputar pengetahuan. Ideologi dan diskursus menjadi jalan untuk memahami bagaimana pengetahuan dalam satu masyarakat.
Era 1980-an dapat disebut masa kebangkitan kembali gairah kepada sosiologi pengetahuan, karena di masa inilah muncul riset-riset kualitatif, analisis wacana, dan analisis kultural. Semua perkembangan ini menyumbang kepada pengetahuan. Pengetahuan dapat dipersepsikan sebagai objek atau sebagai sebuah produk. Pengetahuan dibentuk melalui berbagai kekuatan yakni struktur kekuasaaan, individual, sosialisasi, kultur, bahasa dan struktur sosial.

Secara sederhana, ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan abstrak yang hidup di satu masyarakat. Ideologi dapat pula dianggap sebagai visi yang komprehensif dalam memandang segala sesuatu. Tujuan pokok yang tersembunyi di balik ideologi adalah menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ia diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti konsep politik. Dengan demikian, setiap pemikiran politik mesti mengandung ideologi tertentu.

Dengan cara lain, ideologi bisa dipandang sebagai buah pikiran yang lebih tegas dibanding filsafat, sudah berupa keyakinan atau cita-cita, yang berisi ajaran yang pasti dan jawaban-jawaban yang mutlak terhadap masalah kehidupan manusia. Dant memberi pemahaman yang agak lebar tentang konsep ideologi ini.
Tim Dant membuat uraian yang cukup panjang tentang sosiologi pengetahuan Mannheim. Teori Mannheim dipengaruhi oleh Marx berkenaan dengan ideologi. Menurut Mannheim, sosiologi pengetahuan merupakan studi secara sistematis terhadap pengetahuan, gagasan, serta fenomena intelektual secara umum. Ia mengaitkan gagasan tentang kelompok dengan pandangan tentang kelompok dalam struktur sosial. Dalam bukunya tentang ideologi dan utopia, ideologi dimaknai sebagai sistem gagasan yang berupaya menyembunyikan dan mempertahankan masa kini dengan menafsirkannya dari sudut pandang masa lalu. Sosiologi pengetahuan di satu sisi menyingkap untuk memahami pemikiran dan perilaku manusia, di sisi lain berupaya mengembangkan teori dan situasi kontemporer berkenaan dengan signifikansi faktor kondisi non teoritis dalam pengetahuan.

Pengetahuan merupakan sesuatu yang tidak mudah diidentifikasi secara empiris. Ideologi justeru lebih mudah dijelaskan. Ideologi beradala dalam ranah perspektif politik dan berkaitan dengan klas atau strata politik.
Beberapa ahli menyumbang pada pengembangan sosiologi pengetahuan. Merton misalnya mendiskusikan peran sosial intelektual dalam dalam birokrasi publik. Dari hasil studi sosiologisnya tentang science, ia melahirkan konsep etos keilmuan (”ethos of science”). Selanjutnya, dapat pula dicatat Znaniecki yang mulai berkembang dari tahun 1940-an, lalu Parson yang tertarik pada operasi nilai-nilai dalam lapangan pengetahuan. Sementara di kalangan yang lebih modern, adalah Neisser dan Erickson yang mengembangkan metodologi bagaimana mengembangkan sosiologi pengetahuan sehingga menjadi sesuatu yang ilmiah.
Lebih jauh, pada bab 10 Dant menyebutkan bahwa sosiologi pengetahuan merupakan perspektif yang memandang pengetahuan sebagai hal yang memiliki karakter sosial. Pengetahuan tidak berasal dari ruang kosong, karena ia dibentuk oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat. Bahkan pengetahuan tentang agama sedikit banyak juga merupakan socially constructed. Karena itulah, karakter sosiologis masyarakat akan sangat menentukan bagaimana isi pengetahuan pada masyarakat tersebut. Karena itu pula, pengetahuan tidak ada yang bersifat benar secara universal dan sebaliknya salah. Demikian cara pandang perspektif sosiologi pengetahuan.

Dant memaknai pengetahuan sebagai sebuah srtuktur relasi dari berbagai entitas abstrak berupa pengalaman manusia. Pengetahuan ini dimiliki bersama-sama melalui proses komunikasi. Melalui pengetahuan, dapat dipahami karakter manusianya dan lebih jauh dapat pula untuk menduga tindakannya (insiviudla dan kelompok). Pengetahuan dalam perspektif sosiologi pengetahuan berkaitan erat dengan determinasi eksistensial, dimana potensi-potensi kognitif manusia untuk membentuk atau mendapakan pengetahuan dibatasi oleh lingkungan sosial manusia.

Dalam terminologi Dant, ideologi adalah hubungan-hubungan determinatif antara eksistensi sosial dan materil, serta hubungan-hubungan abstraks yang dibangun dalam pengetahuan. Hubungan-hubungan abstrak ini berupaya menyederhanakan sesuatu yang kompleks. Ia pun berusaha mempermudah pemahaman kita tentang berbagai kontradiksi pada karakter sosial dan materil kita. Karena sifatnya yang menyederhanakan itulah ideologi bisa menyembunyikan berbagai kerumitan dan kontradiksi yang melingkupi pengetahuan masyarakat.

Selanjutnya, diskursus dimaknai Dant sebagai proses produksi pengetahuan yang melibatkan berbagai sikap dan tindakan baik berupa persetujuan, atau sebaliknya ketidaksetujuan, debat, serta negosiasi antar individu dan kelompok. Objeknya adalah apa yang dianggap sebagai truth (kebenaran). Debat berkenaan klaim tentang kebenaran ini tidak semata berkutat pada praktek sosial normatif, namun juga relativis. Jadi, dalam diskursus tidak hanya sekedar mempertukarkan makna, tetapi juga adu subyektifitas masing-masing pihak tentang sesuatu berdasarkan konteks yang melingkupi kehidupan mereka bersama.

Diskursus adalah isi atau materi ucapan yang dipertukarkan dalam konteks sosial sehari-hari. Dalam materi percakapan tersebut melekat makna sebagai dimaksud oleh yang menyatakannya. Di sisi lain, makna ini mengalami kontestasi dengan partisipan lain.
Secara sederhana, diskursus adalah perbincangan, namun perbincangan yang mengandung bentuk komunikasi yang reflektif. Komunikasi sehari-hari merupakan sebuah diskursus. Melelui media inilah pengetahuan berkembang, khususnya pengetahuan publik atau pengetahuan awam (istilah Berger dan Luckmann). Di sisi lain, diskursus membuat permasalahan menjadi semakin dalam dan juga rasional.

Tiap masyarakat memiliki seperangkat pengetahuan, ideologi, dan juga diskursus. Ketiga komponen ini selalu eksis dalam tiap social being, yaitu sekelompok manusia dengan satu ciri bersama. Diskursus berlangsung karena adanya bahasa yang sama dalam percakapan yaitu melalui proses komunikasi. Pengetahuan yang pada hakekatnya adalah kumpulan pengalaman manusia, dibentuk dan dikembangkan melalui diskursus. Dalam konsep Dant, pengetahuan dimaknai secara luas, mencakup apa yang disebut dengan rasionalitas, pengetahuan sehari-hari dan pengetahuan yang lebih tingkat tinggi (intelektual).

Tiap masyarakat memiliki pengetahuan yang berbeda-beda, karena pengetahuan lahir dari konteks historis dan sosial yang berbeda. Selain karena konteks historis dan sosial, pengetahuan yang berbeda-beda terbentuk dari pola diskursus yang juga berbeda.
Ada satu bentuk pengetahuan yang khusus, yakni pengetahuan yang diciptakan kalangan ahli. Pengetahuan ini berada di tingkat lebih tinggi, spesialis, lebih abstraks, dan lebih terasing dari masyarakat kebanyakan. Dengan posisi ini ia memiliki kapasitas untuk membentuk dan juga mengkritisi ideologi. Ia memiliki peluang membongkar ideologi yang lama menggayuti masyarakat yang mungkin telah menjadi penyakit atau sumber penyakit sosial.
Dalam konteks inilah pemahaman terhadap pengetahuan dan sosiologi pengetahuan suatu masyarakat menjadi penting. Menurut Dant, sosiologi pengetahuan mampu memberikan kritik terhadap berbagai hal, termasuk memperbaiki struktur kelembagaan produksi pengetahuan. Ia juga mampu memperbaiki struktur dan keefektifan diskursus dalam satu masyaakat. Karena itulah, perhatian pada diskursus menjadi esensial dalam sosiologi pengetahuan.

(Tim Dant bab 11;
Key words: pengetahuan, ideologi, diskursus)

Pokok-pokok gagasan Dant tentang pengetahuan, ideologi dan diskursus; serta hubungan timbal balik antar ketiganya

Sebagaimana perspektif dasar sosiologi pengetahuan, pengetahuan adalah objek yang memiliki karakter sosial. Pengetahuan dibentuk dalam masyarakat, direproduksi dan juga didistribusikan menggunakan struktur dan kultur sosial Pengetahuan merefleksikan entitas abstrak pengalaman manusia bersangkutan. Tidak ada yang mutlak benar, bahkan agama sendiri juga dibentuk melalui kesepakatan-kesepakatan sosial. Pengetahuan dibagi dengan orang lain, dan bahkan generasi berikutnya, dan pengetahuan menjadi pedoman bertindak dalam suatu masyarakat.

Sementara, ideologi menurut Dant adalah apa yang melingkupi pengetahuan masyarakat. Ideologi merupakan ide dasar yang benbentuk relasi determinatif umum antara kodisi eksistensi sosial dan materiil. Semua ini dibangun dalam pengetahuan. Ideologi adalah upaya menyederhanakan kompleksitas pengetahuan sekolompok masyarakat. Selain menyederhanakan, ia juga menutupi berbagai kontradiksi yang sessungguhnya tetap eksis dalam masyarakat bersangkutan.

Terakhir, diskursus dimaknai Dant sebagai upaya mempelajari objek materi ucapan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam diskurus berlangsung pertukaran konteks sosial dan makna yang dimaksud oleh yang menyatakannya. Ia mengkontestasikan makna dan nilai sosialnya dalam percakapan dan komunikasi sehari-hari.
Ketiga komponen ini (pengetahuan, ideologi dan diskursus) selalu dapat dijumpai pada tiap masyarakat. Ia dapat diidentifikasi bahkan dari pembicaraan dua orang dari kelompok masyarakat yang sama. Identifikasi ini bisa terjadi karena mereka merupakan sebuah “social being”, yaitu sekelompok orang yang memiliki karakteristik bersama, terutama budaya dan bahasa yang sama. Hanya melalui bahasa dan kulur yang sama lah diskursus dapat berlangsung. Komunikasi efektif mensyaratkan hal itu. Bahasa dan budaya yang sama pula yang memungkinkan pengetahuan dan ideologi didistribusikan dan dipelihara bersama.
Pada bab 11 “Analysing Knowledge as Ideological Discourse”, Dant menjelaskan tentang bagaimana makna saling dipertukarkan melalui beberapa segemn percakapan. Dari setiap perbincangan dapat disarikan dan dianalisis materinya, serta ideologi apa di belakangnya. Ideologi yang dimaksud disini dalam makna luas. Dari caontoh-contoh ini diperlihatkan bagaimana diskursus berlangsung, dan pengetahuan nampak sebagai fenomena sosial sehari-hari. Selain bahwa dari diskursus terlihat ideologi, proses diskursus juga bisa memiliki akibat-akibat ideologis. Ini bisa terjadi karena dalam diskursus interrelasi antar unsur struktur sosial disajikan dalam bahasa yang digunakan.

Dari diskursus dapat diidentifikasi perspektif pengetahuan, dan akan terlihat pula adanya koneksi kuat antara isi pengetahuan dan konteks sosialnya. Dengan demikian, bika materi dalam pengetahuan diperlakukan serupa, maka hubungan relasi pengetahuan deengan konteksnya dapat pula dianalisis. Banyak hal bisa dipelajari dari diskursus, karena mampu merefleksikan ciri statis dan dinamis dunia sosial.

Satu point penting dalam diskursus adalah berlangsungnya pertukaran makna. Sepanjang proses diskursus berbagai unsur-unsur yang bermakna saling dikontestasikan. Melalui inilah kemudian pengetahuan terbentuk. Kebenaran keilmuan adalah kebenaran yang intersubjektif, atau sesuatu yang secara sosial dikontruksi sebagai “benar”. Jadi, pengetahuan diproduksi dan direproduksi dalam proses saat para pelaku yang terlibat menukarkan dan mentransfromasi makna mereka masing-masing. Makna yang hilir mudik selama percakapan kemudian akan menjadi milik bersama. Pada akhirnya, stok pengetahuan berubah, baik karena berambah atau karena ada yang direvisi.

Dalam contoh yang diangkat Dant - tentang hidup, kesehatan, dan seks- dipelihatkan bagaimana persoalan moral yang muncul saling berelasi dengan moralitas dari agama, perihal reproduksi, dan juga penyakit. Dari narasi itu pula terlihat bagaimana pengetahuan pada awalnya, sebelum percakapan, adalah anggapan; yang kemudian mengalami proses penerimaan sosial. Pengetahuan yang kemudian diterima mestilah diterima secara kesepakatan, dimana pembentukan ini pun tidak lepas dari struktur dan relasi power antar partisipan.

Mempelajari diskursus penting karena melalui inilah pengetahuan terbentuk. Diskursus paling tepat untuk mempelajari bagaimana relasi pengetahuan dalam konteks sosialnya. Analisa diskursus Dant fokus pada isi diskursus, karena dengan analisa ini mampu menghubungkan dunia pengalaman dan tindakan. Dant mencontohkan analisis pengetahuan untuk menunjukkan bagaimana sifat pertukaran terhadap makna bekerja. Bagaimana metoda kekuasaan dipraktekkan untuk mendapatkan efek pengetahuan juga menjadi nampak sekali pada saat pengungkapan kebenaran pernyataan atau kelompok pernyataan ditunda.
Penerapan metode dalam sosiologi pengetahuan pada intinya bermaksud mendapatkan perspesi sosial yang lebih luas. Sejatinya, sosiologi pengetahuan meyakini bahwa pengetahuan merupakan hasil dari proses sosial, dan ia bukan bermaksud mencari kebenaran mutlak. Melalui sosiologi pengetahuan dapat dijelaskan interrelasi meskipun dikaburkan oleh proses sosial yang mengitari pengetahuan.

Sosiologi pengetahuan berkerja dalam lingkungan begitu banyaknya perspektif lain dalam menemukan kebenaran. Namun, metode sosiologi ilmu pengetahuan cukup berbeda, dan ia tidak mudah dipatahkan. Dant optimis dengan kemampuan sosiologi pengetahuan, termasuk kemampuannya untuk memperbaiki bangun kelembagaan yang memproduksi pengetahuan. Dant melihat gejala banyaknya kelompok lain yang sesungguhnya menggunakan perspektif sosiologi pengetahuan.

Bagaimanapun, diskursus merupakan objek yang sangat penting dalam sosiologi pengetahuan. Pengetahuan dibangun secara sosial karena adanya diskursus. Karena alasan inilah, bagi Dant diskursus merupakan titik masuk yang sesuai untuk alat analisa sosiologi pengetahuan. Kalangan sosiolog (pengetahuan) bisa mengungkap pengetahuan dan juga ideologi masyarakat melalui analisa diskursus.

Dari penjelasan di atas terlihat Dant berupaya menunjukkan bahwa antara pengetahuan, ideologi dan diskurusus sesungguhnya berbicara tentang objek yang sama, namun berbeda dalam pendekatan. Sosiologi pengetahuan mesti memperhatikan ketiga objek ini, sehingga aplikasi metodologi sosiologi pengetahuan menjadi optimal manfaatnya. Melalui diskursus, pengetahuan terbentuk, dan melalui diskursus pula dapat diungkap berbagai hal termasuk ideologi dan pengetahuan.

Bacaan:
Dant, Tim. 1991. Knowledge, Ideology, and Discourse: a Sociological Perspective. London: Routledge.

******