Rabu, 09 Maret 2011

Fungsi Bahasa Dalam Logika

Logika merupakan basis dari prosedur dalam kegiatan keilmuan. Di dalamnya, penggunaan bahasa dengan segala kaidahnya menjadi penentu, sehingga penggunaan bahasa mestilah menjadi titik tolak dalam memahami dan membangun ilmu. Tulisan ini terbatas hanya diambil dari Buku Irving M Copi (1969) yaitu bab 1 sampai 4 bagian I.

Esensialitas Bahasa dalam Logika

Logis, atau masuk akal, merupakan ukuran yang hampir selalu dipakai dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya dalam kegiatan berilmu. Dalam pembicaraan yang tidak penting pun lawan bicara kita selalu menuntut penjelasan yang logis. Dalam berilmu, yaitu mengembangkan, memahami dan mengkomunikasikan ilmu; logis atau tidak merupakan ukuran mutlak. Inilah alat ukurnya, sebagaimana termometer digunakan untuk mengukur suhu tubuh misalnya.

Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu, yaitu proses pemikiran yang bernalar. Proses berpikir tersebut mesti dilakukan dengan cara tertentu, karena itulah selalu disebut dengan “displin ilmu”. Proses menuju kesimpulan hanya dianggap sahih jika dilakukan menurut cara tertentu yang disebut logika. Jadi, secara sederhana, logika dapat didefinisikan sebagai pembicaraan tentang bagaimana berfikir secara sahih (valid). Atau, dalam ungkapan lain, dapat juga disebut dengan aturan bagaimana berfikir secara benar (correct).
Inilah inti dalam kajian logika. Ukuran-ukuran logika menjadi penentu untuk menguji apakah seseorang telah berfikir secara benar atau salah. Cara mengujinya adalah melalui serangkaian hukum atau pola. Pola dasarnya adalah bagaimana pengetahuan baru disusun dari pengetahuan lama. Disinilah peran premis dan kesimpulan. Logika bertolak dari sejumlah premis yang sudah diketahui untuk menghasilkan satu pengetahuan yang baru. Dalam kegiatan ini, logika mengendalikan gerak fikiran supaya tetap mengikuti pola yang sudah distandarisasi.

Standariasasi berlaku secara keilmuan atau menurut ilmu bersangkutan. Standarisasi tiap ilmu tidak persis sama, meskipun dalam ketentuan dasarnya sama.
Logika sebagai cara menarik kesimpulan, bekerja dalam bentuk kata, istilah, dan kalimat. Kata-kata dipilih dan disusun secara tepat. Pemilihan dan penempatannya akan menentukan makna yang dikandungnya. Semua ini termasuk dalam lingkup berbahasa. Satu hal mendasar dalam konteks ini adalah tentang premis dan kesimpulan. Premis adalah apa yang dianggap benar sebagai landasan untuk menarik kesimpulan. Ia menjadi dasar pemikiran dan alasan atau dapat juga disebut dengan asumsi. Dalam pengertian formal, premis adalah kalimat atau proposisi yg dijadikan dasar dalam menarik kesimpulan secara logis. Kesimpulan yang benar diperoleh bila premisnya benar pula, dan sebaliknya; meskipun proses logika tetap terpenuhi.

Bahasa memiliki peran yang sangat esensial dalam konteks logika dan berilmu. Ia sangat membantu, namun secara bersamaan juga dapat sangat mencelakakan, yaitu jika penggunaannya tidak tepat. Kegiatan berilmu akan mati bila terjadi kekeliruan penerapan bahasa di antara para penggiatnya. Ini karena bahasa bagi manusia merupakan pernyataan pikiran atau perasaan yang paling komunikatif. Gerak tubuh dan mimik muka dapat menginformasikan sesuatu, namun sangat terbatas penerapannya.

Bahasa juga penting dalam pembentukan penalaran ilmiah, karena penalaran ilmiah mempelajari bagaimana caranya menyusun uraian yang tepat dan sesuai dengan pembuktian-pembuktian secara benar dan jelas. Untuk kelompok tertentu, agar komunikasi di antara mereka lebih efisien dan efektif, mereka menciptakan bahasa tersendiri. Mereka menciptakan dan menyepakati kata-kata, baik kata yang diambil dari kata-kata yang sudah ada dalam kehidupan sehari-hari, atau secara sengaja membuat kata-kata yang baru sama sekali.

Logika sangat terkait dengan konsep bahasa. Di sisi sebaliknya, setiap bahasa memiliki logikanya sendiri. Bahasa yang disusun oleh sekelompok masyarakat mengandung kekhasan dimana berbagai kultur – dalam arti luas – menjadi basis pembentukan bahasa tersebut. Inilah salah satu point yang harus dipertimbangkan misalnya dalam proses penerjemahan satu pemikiran dari satu bahasa ke bahasa lain.

Menurut Irving Copi, bukan berarti seseorang dengan sendirinya mampu menalar atau berpikir secara tepat hanya dengan mempelajari logika, meskipun ia sudah memiliki pengetahuan mengenai metode dan prinsip berpikir. Dalam logika dibutuhkan pengetahuan serta keterampilan. Pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir harus dimiliki bila seseorang ingin melatih kemampuannya dalam berpikir. Sebaliknya pula, seseorang hanya bisa mengembangkan keterampilan berpikirnya bila sudah menguasai metode-metode dan prinsip-prinsip berfikir.

Tanpa bahasa manusia tidak mampu berfikir. Bahkan ketika masih ”dalam kepalanya”, sebelum diucapkan sekalipun, manusia sudah menggunakan bahasa. Ada tiga fungsi bahasa yang utama yaitu untuk mengkomunikasikan, mengekspresikan perasanaan, dan membangkitkan atau mencegah perilaku tertentu. Adakalanya ketiga fungsi ini dapat dijalankan sekaligus, namun dapat juga terpisah, atau dua di antaranya. Dalam dunia ilmiah, harus dihindari berbagai kesalahan (atau kesesatan), dimana berbahasa secara tepat dan tidak emotif menjadi salah satu pedoman yang harus dipatuhi. Hanya dengan bahasa yang netral, maka informasi yang disampaikan dapat diterima dengan tepat.

Ketrampilan berargumen, terutama argumen deduktif, merupakan syarat pokok dalam berilmu. Melalui nalar deduktif diperoleh kesimpulan (conclusion) sehingga dapat menyimpulkan apakah sesuatu yang disampaikan dapat dinilai kebenarannya (benar atau salah) dan kevalidannya (valid atau tidak valid).

Penetapan Definisi untuk Mengurangi Kekeliruan Berpikir (fallacy)

Tanpa sadar kita sering melakukan kekeliruan dalam proses berfikir. Faktor bahasa dapat menjadi satu sumber kekeliruan. Makna kata yang jamak dan kesalahan penempatan kata dalam sebuah kalimat, menyebabkan makna kalimat bersangkutan menjadi bercabang atau membingungkan (ambiguity).

Dalam bukunya ini, Irving Copi menyebutkan ada 13 bentuk kesesatan relevansi. Kesesatan ini timbul apabila seseorang menarik kesimpulan yang tidak relevan dengan premis yang ada. Dari sisi logika dapat dikatakan, kesimpulan yang ditarik tidak merupakan implikasi dari premisnya. Jadi, tidak ada sama sekali hubungan logis antara premis dan kesimpulannya.

Kekeliruan juga terjadi karena berbagai sebab lain. Misalnya kekeliruan argumentum ad hominem yang terjadi bila seseorang berusaha untuk menerima atau menolak suatu gagasan bukan berdasarkan faktor penalaran yang terkandung dalam gagasan tersebut, melainkan berdasarkan alasan yang berhubungan dengan pribadi dari orang yang melontarkan gagasan (’argument directed to the man’). Contoh lain adalah kekeliruan argumentum ad populum yaitu penalaran yang diajukan untuk meyakinkan para pendengar dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat atau orang banyak (”to the people).

Definisi merupakan langkah pertama untuk menghindari kekeliruan, terutama kekeliruan yang disebabkan oleh faktor bahasa. Pada hakekatnya, definisi merupakan komponen dari ilmu pengetahuan yang merumuskan dengan singkat dan tepat tentang sesuatu objek. Definisi yang disusun dan disepakati menjadi alat dan prasyarat untuk berfikir dengan logis. Definisi bertugas menetukan batas suatu pengertian dengan tepat, jelas dan singkat. Definisi terdiri atas dua bagian, yaitu definiendum (kata yang didefinisikan) dan definiens (sejumlah kata yang menjelaskan batasannya).

Menurut Copi, ada lima tujuan orang membuat definisi, yaitu:

1. Menambah perbendaharaan kata. Alasannya adalah karena pada hakekatnya bahasa merupakan suatu instrumen yang rumit dan terus berkembang, padahal perannya sangat esensial. Dalam konteks ini, sangat mungkin satu kata akan berkembang mempunyai arti baru atau suatu kejadian akan menimbulkan suatu istilah baru. Istilah baru dibutuhkan untuk satu fenomena baru misalnya. Hal ini memperkaya perbendaharaan bahasa.
2. Menghilangkan kerancuan atau ambiguitas. Tujuan ini sangat penting karena dengan menggunakan kata-kata yang rancu, maka argumen yang dihasilkan juga menjadi rancu.
3. Memperjelas arti suatu kata. Dengan menetapkan definisi, setidaknya sementara, kita menjadi tidak ragu lagi dalam menggunakan kata yang bersangkutan. Hal ini lebih menjamin efektivitas berkomunikasi, dimana argumen yang diproduksi akan lebih tepat dan benar (secara logika).
4. Menjelaskan secara teoritis. Definisi ini merupakan jenis definisi yang khusus dibuat untuk menjelaskan teori yang didapat dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Penjelasannya tidak semata menarasikan, tapi lebih berteori.
5. Mempengaruhi tingkah laku. Adakalanya definisi juga dibuat untuk mempengaruhi pikiran, perbuatan atau mengendalikan emosi seseorang. Kembali kepada tiga fungsi bahasa di bagian awal bukunya Copi, disini bahasa lebih untuk fungsi ekspresif dibandingkan fungsi informatif.

Bersesuaian dengan lima tujuan di atas, Copi mengatakan bahwa ada lima jenis bentuk definisi, yaitu definisi stipulatif, definisi leksikal, definisi ketepatan, definisi teoritis, dan definisi persuasif. Dalam merumuskan definisi suatu istilah perlu diperhatikan beberapa syarat agar definisi yang dirumuskan tersebut secara tepat mengungkapkan pengertian yang didefinisikan sehingga jelas dan mudah dipahami.

Definisi yang baik dapat menjalankan fungsi ekspresif dan sekaligus informatif. Beberapa kekeliruan bersifat verbal, atau karena kekeliruan berbahasa. Bahasa yang buruk menyesatkan dan sekaligus membatasi efektifitas penyampaian. Perselisihan (disputes) misalnya dapat terjadi karena tiga hal, yaitu ketidaksepakatan pada apakah proposisinya benar, pada istilah yang menimbulkan kebingungan, atau pada problem ambiguitas yang tidak berhasil dipecahkan. Dalam bahasa sehari-hari, kita sering menggunakan kata-kata yang ambigu dan juga kata-kata yang tidak jelas, namun kita cenderung membiarkannya. Dalam tatanan ilmiah, semetinya kata yang ambigu dan tidak jelas dhihindari, yaitu dengan menetapkan definisi yang jelas dan mudah dipahami.

Daftar Pustaka

Copi, Irving M. 1969. Introduction to Logic. 3rd Edition. The Macmillan Company, Collier Macmillan Limitted, New York.

*****