Rabu, 09 Maret 2011

Metateori dalam Sosiologi

Metateori merupakan perkembangan baru dalam jajaran teori-teori sosiologi. Metateori dimaknai sebagai kegiatan melakukan kajian refleksif terhadap teori-teori yang berkembang dalam sosiologi itu sendiri. Beragam meta analisis dalam sosiologi disebut Ritzer dengan ”metasosiologi” yang dimaknai sebagai studi refleksif atas struktur yang mendasari sosiologi secara umum, serta berbagai komponen-komponen di dalamnya. Metasosiologi memasuki banyak bidang yaitu wilayah substantif, konsep struktur, metode, data, dan teori-teori. Dalam buku Ritzer ini, bagian appendiks, hanya dibahas ”metateori” saja.

Karakter dan perkembangan metateori dalam sosiologi

Dari perkembangan selama ini, ditemukan ada beberapa bentuk metateori. Pertama adalah metateori yang bertujuan untuk memperoleh pemahaman tentang teori, kedua mengkaji pengantar terhadap perkembangan teori, dan ketiga adalah yang mempelajari pada basis persepktif yang melingkupi teori-teori sosiologi. Ritzer menyebutkan bahwa ia hanya menguraikan tipe yang ketiga ini.
Beberapa sosiolog klasik, terutama Karl Marx, meskipun tidak menyebut atau tidak sadar sedang menyusun metateori, namun Ritzer menggolongkan pemikirannya selevel dengan metateori. Buku “Capital” yang ditulis Marx, menurut Ritzer, merupakan sebuah metateori karena memuat karya-karya atau pemikiran sosiologi Marx sebelumnya. Sebagian besar sosiolog klasik telah mengembangkan metateori yang membahas pengantar atas perkembangan teori (metateori tipe kedua).

Tokoh sosiologi kontemporer yang dipandang penting dalam konteks metateori ini adalah Piere Bourdieu yang bercirikan sosiologi refleksif. Menurut Bourdieu, sosiolog semestinya tahu apa yang sedang dilakukannya dan dimana posisi keilmuannya. Setiap sosiolog semestinya selalu melakukan refleksi atas pekerjaan dan hasil pekerjaannya. Bourdieu sendiri melakukan kajian refleksif atas berbagai teori sosiologi dan termasuk teorinya sendiri.
Berkembangnya metateori dalam sosiologi merupakan hasil atau pengaruh dari pemikiran Thomas Kuhn tentang paradigma ilmu pengetahuan. Jika sebagian besar ahli menganggap ilmu pengetahuan berkembang secara kumulatif, Kuhn menunjukkan bukti lain. Kuhn menyusun sebuah teori perkembangan paradigma dalam ilmu, yang menurutnya berproses mulai dari paradigma awal, berlanjut ke ilmu normal, lalu terjadi anomali, krisis, lalu revolusi, dan akhirnya melahirkan paradigma baru. Bertolak dari batasan paradigma Kuhn ini, Ritzer menyebut bahwa teori-teori sosiologi dikembangkan dalam beberapa paradigma sekaligus, atau disebut berparadigma ganda.

Paradigma ganda sosiologi

Ritzer menemukan bahwa ada tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi yakni paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya pada fakta-fakta atau struktur dan institusi sosial berskala makro. Model yang digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama dari buku The Rules of Sociological Method dan Suicide. Dalam buku ini, Durkheim menyebut bahwa fakta sosial terdiri atas struktur sosial dan pranata sosial. August Comte sebagai pencetus positivisme dalam ilmu-ilmu sosial memberi pengaruh pokok dalam berkembangnya paradigma ini. Penganut paradigma fakta sosial menggunakan metode wawancara dan analisis komparatif historis dalam riset-risetnya.

Paradigma kedua adalah paradigma definisi sosial. Paradigma ini bersumber dari pemikiran Max Weber tentang tindakan sosial (social action). Pokok perhatian sosiologi menurut Weber adalah bagaimana memahami tindakan-tindakan sosial dalam masyarakat, yang disebut dengan “tindakan yang bermakna”. Sosiolog mempelajari tindakan sosial dengan menggunakan metode observasi dengan melakukan penafsiran dan pemahaman terhadap data dan informasi. Beberapa teori yang tergolong dalam pradigma ini adalah teori tindakan, teori fenomenologis, interaksionalisme simbolis, etnometodologi dan eksistensialisme.
Terakhir, paradigma perilaku sosial dengan acuan pada psikolog B. F. Skiner. Teori behavioral dan teori pertukaran merupakan pendukung utama paradigma ini. Sosiologi pada paradigma ini menekuni perilaku individu yang tak terpikirkan oleh individu bersangkutan. Berbeda dengan dua paradigma yang lain, metode yang diterapkan adalah metode eksperimen.

Paradigma terpadu

Ritzer berupaya menyusun satu paradigma yang lebih integratif dari berbagai teori, bahkan dari ketiga paradigma sebelumnya. Ritzer tidak bermaksud menggantikan paradigma-pradigma yang lama, namun ia lebih bermaksud untuk melengkapi. Dengan kata lain, Ritzer tidak menghilangkan keragaman, malah ia menyebut bahwa paradigma terpadu yang disusunnya tersebut dalam upaya melengkapi paradigma-pradigma lain sebelumnya (dan termasuk untuk yang akan datang). Ritzer melihat bahwa pradigma sebelumnya hanya melihat dari satu sisi dan melupakan sisi dan level-level yang lain. Kelemahan ini menyebabkan terkotak-kotaknya hasil pengetahuan tiap paradigma, sehingga tidak bisa saling mendukung.
Kunci paradigma terpadu ini ada pada level analisis sosialnya. Level analisis merupakan point penting dalam menyusun teori ataupun paradigma, meskpun pada kenyataannya level-level tersebut tidak benar-benar riel di dunia sosial. Ritzer menggunakan dua dimensi kontinuum, yakni level mikrokospis-makrokospis dan objektif-subjektif. Kontinuum mikro-makro tidak sulit memahaminya, bahkan orang awam sekalipun paham dengan hal ini. Pada level mikro terdapat individu dengan segala atribut dan aksinya, sedangkan pada level makro adalah entitas sosial yang besar-besar misalnya negara bahkan sistem dunia. Sementara, subjektif merujuk pada ranah ide, gagasan, pemikiran, dan lain-lain yang abstrak; sedangkan objektif merujuk pada segala hal yang berkaitan dengan materi dan peristiwa-peristiwa visual yang riel.

Jadi, paradigma integratif Ritzer berupaya menggabungkan semua paradigma, dengan unit analisis meliputi semua tingkatan realitas. Dari dua dimensi di atas dihasilkan empat bidang yakni: (1) makro-obyektif berupa masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur, teknologi, dan bahasa; (2) makro-subyektif berupa nilai, norma, dan budaya; (3) mikro-obyektif berupa pola perilaku, tindakan, dan interaksi; serta (4) mikro-subyektif berupa persepsi, keyakinan dan berbagai segi konstruksi sosial tentang realitas.

Ritzer menggabungkan dua dimensi dari paradigmanya tersebut yang melahirkan empat bidang dengan tiga paradigma sebelumnya. Paradigma fakta sosial fokus pada level makro-objektif dan makro-subjektif, paradigma definisi sosial pada mikro–subjektif dan mikro-subjektif yang terkait dengan proses-proses mental, sedangkan paradigma tindakan sosial berkaitan dengan mikro-objektif namun yang tidak melibatkan proses mental atau berfikir.
Lebih jauh, Ritzer juga menyampaikan bagaimana menggunakan paradigma terpadunnya tersebut. Ia melihat bahwa tidak semua teori sosiologi mesti menggunakan paradigma terpadu tersebut. Ritzer mengingatkan agar kalangan teoritis sosiologi hati-hai menerapkan paradigma ini dalam menyusun teori-teorinya.

Namun demikian, beberapa kritik juga telah dialamatkan kepada hasil kerja Ritzer ini. Salah satu kritik adalah karena pendekatan integratif yang digunakan, misalnya menempatkan perspektif konflik dalam paradigma yang sama dengan struktural fungsional. Bagi banyak kalangan, kedua pendekatan ini tidak bisa disatukan. Paradigma integratif sebagai upaya konsensus antar paradigma berbeda masih dapat diperdebatkan, karena ia berupaya memaksakan berbagai aliran untuk bersepakat dalam satu aras. Karena alasan inilah, sebagian pihak mengusulkan agar paradigma integratif ini diposisikan sebagai paradigma tersendiri yang terpisah.

Bacaan:
Ritzer, George. 1996. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.
******