Rabu, 09 Maret 2011

Pradigma Pluralisme dan Teori-Teori Sosiologi Turunannya

Dari tiga paradigma yang dijelaskan dalam buku Perdue, bagian bab paradigma pluralisme berisi berbagai teori yang disusun atas pandangan bahwa manusia adalah makhluk rasional, bebas dan bertujuan (purposive actor). Paper ini hanya membahas bab 9 sampai 13 yang berisi penjelasan tentang paradigma pluralis, divergen, politik pluralis, interaksionisme simbolik, dan sosiologi interpretatif.

Karakteristik Paradigma Pluralisme

Manusia, sebagai individu dan masyarakat, merupakan dua objek penting dalam perkembangan sosiologi. Sebagian ahli menekankan pada manusia sebagai individu, dan sebagian pada manusia sebagai masyarakat. Pada hakekatnya dari sinilah titik tolak munculnya paradigma pluralis. Manusia dan kelompok (menjadi masyarakat dalam arti luas) adalah dua hal yang berbeda. Keduanya merupakan objek yang berbeda, meskipun satu objek bisa diterangkan melalui objek lainnya.

Berbeda dengan pradigma keteraturan (order), penyimpangan atau deviasi dalam masyarakat merupakan hal yang wajar, bukan suatu masalah. Perbedaan-perbedaan yang muncul merupakan objek yang menarik perhatian kalangan pluralis. Dunia tidak dipandang melalui kacamata yang kaku, namun sebuah subjective world. Masalah bukan pengganggu keseimbangan, dan bukan suatu penyakit yang harus dibuang. Masyarakat merupakan realitas sosial, dimana pernyataan kesadaran didasarkan pada ide-ide bersama. Hubungan dalam masyarakat merupakan proses timbal balik dengan berpedoman pada seperangkat gagasan, hukum dan peraturan bersama.

Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya. Tindakan manusia sulit diprediksi, karena adanya kesadaran yang berbeda antar manusia. Manusia sebagai aktor sosial menafsirkan dunia empiris mereka sendiri secara bebas dan berbeda satu dengan lain. Dengan demikian, aspek kualitatif lebih dikedepankan dibandingkan aspek kuantitatif.

Immanuel Kant merupakan filosof utama yang dijadikan basis paradigma pluralis. Menurut Kant, manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang suka berteman sekaligus juga berkompetisi, namun manusia tetap senang dengan harmoni. Manusia bertindak atas kesadaran subyektif, dan memiliki kebebasan menafsirkan realitas di lingkungannya secara aktif. Sementara, menurut J. Rousseau, masyarakat adalah sebuah kontrak sosial. Ada struktur internal yang membentuk kesadaran manusia, dimana kontrak sosial merupakan sebuah mekanisme untuk melakukan kontrol.

Sejalan dengan konsep manusia Kant, Rousseau mengembangkan teori kontrak sosial. Dalam teori ini, terbentuknya negara (masyarakat politik) karena anggota masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Sumber kewenangan disini adalah masyarakat itu sendiri.

Meski pada prinsipnya manusia sama, namun alam dan lingkungan lain telah menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki beberapa orang tertentu. Mereka lebih kaya, lebih dihormati, dan lebih berkuasa. Untuk menghindari ketidaktoleranan dan kelabilan, masyarakat mengadakan kontrak sosial. Ini merupakan kehendak bebas dari semua untuk memantapkan keadilan dan pencapaian moralitas terbaik. Melalui kontrak sosial individu akan dapat mempertahankan dirinya agar tetap jadi manusia merdeka.

Dalam pradigma pluralis, manusia merupakan makhluk dengan ciri dualisme yaitu sebagai makhluk sosial (sociable) sekaligus berkesadaran secara individu (self assetive). Bukannya eksternal tidak mampu menekan manusia, namun perilaku manusia adalah makhluk yang intentional sekaligus voluntary. Kebebasan lebih dimaknai sebagai hal yang personal dan individual, bukan sebagai hal yang kolektif.

Dalam memandang masyarakat, paradigam ini melihat bahwa realitas sosial merupakan dunia yang subjektif, yang dibentuk karena ada ide dan makna yang saling didistribusikan. Karena makna yang dibagi tidak sealu sama, maka yang terbentuk adalah masyarakat heterogen. Resiprositas dalam arti luas merupakan basis relasi dalam masyarakat, dimana tiap orang berorientasi pada orang lain.

Dalam hal metodologi, paham idealisme merupakan basis dalam melihat manusia. Karena perilaku manusia sulit diprediksi, maka ia menolah determinisme. Dengan demikian, penyusunan pola, hukum dan statistik sulit dipakai; meskipun ia tidak menolak generalisasi. Ia berupaya memahami bagaimana realitas dikonstruksi, dengan fokus pada kesadaran (consciousness) manusia dimana objek riset adalah manusia individu.

Mengikuti filsafat idealisme, tindakan manusia diyakini tidak dapat diprediksi. Karena itulah metode verstehen Weber menjadi relevan. Menurut Weber, tiap orang berkesempatan menegosiasikan struktur masyarakatnya sendiri. Tiap individu bisa mengajukan perubahan-perubahan sesuai keinginannya. Mengikuti paradigma pluralis ini, manusia dipandang sebagai interaksionis sekaligus sebagai pribadi khas. Inilah yang dimaksud dengan sifat dualisme. Tekanan-tekanan eksternal tidak begitu saja langsung membentuk sikap-sikapnya, karena ada kekuatan dalam diri si manusia itu sendiri yang tidak tunduk pada tekanan eksternal.

Berbagai Teori dengan Paradigma Pluralis

Purdue mengumpulkan berbagai teori yang dilahirkan dari paradigma pluralis. Salah satu teori utama soiologi yang tergolong menggunakan pradigma pluralis adalah teori Interaksionisme Simbolik. Teori ini dikenal dalam lingkup sosiologi interpretatif yang berada di bawah payung teori tindakan sosial (action theory), yang dikemukakan Weber. Intinya, bahwa tindakan sosial bermakna berdasarkan makna subyektifnya yang diberikan individu-individu. Tindakan individu mempertimbangkan perilaku orang lain yang lalu diorientasikan dalam perilakunya sendiri. Kehidupan sosial berjalan atas dua lingkaran: kelompok primer dan sekunder. Relasi sosial berjalan di atas kesadaran masing-masing individu (self consciousness). Manusia membagi dengan menusia lain berbagai simbol-simbol yang abstrak baik yang objektif maupn subjektif. Dengan demikian, realitas sesungguhnya adalah realitas yang dibangun secara sosial (socially constructed).

Georg Simmel, sebagai sosiolog Jerman, berhadapan dengan sosiologi positivistik Comte serta teori evolusi Spencer. Teori Simmel bertolak dari konsep atomisme logis. Masyarakat dipersepsikan lebih sebagai sebuah interaksi individu-individu dibandingkan sebuah interaksi substansial. Ia memfokuskan pada atom-atom empirik, dengan berbagai konsep dan individu-individu di dalamnya, serta kelompok-kelompok yang kesemuanya berfungsi sebagai suatu kesatuan. Masyarakat, pada hakekatnya dapat ditemukan di dalam individu-individu yang melakukan interaksi.

Interaksi merupakan konsep dasar sosiologi, termasuk Simmel. Konsepnya yang mikro menyangkut bentuk-bentuk (forms) di mana interaksi yang terjadi di dalamnya melibatkan berbagai tipe dan ini menyangkut individu yang terlibat di dalam interaksi itu.
Kelompok teori yang tergolong sebagai interaksi simbolik juga bertolak dari hal yang paling elemen yakni ”relasi”. Dalam teori ekologi manusia musalnya, dipelajari hubungan timbal balik mahluk hidup dengan lingkungannya. Dalam tiap jejaring kehidupan berlangsung kompetisi antar mahluk hidup untuk bertahan hidup dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Ekologi manusia dalam Robert E. Park dipusatkan pada keseimbangan dan tekanan mutu dari kehidupan spesies di dalam habitat yang sama. Hubungan yang terjadi antar individu dalam suatu masyarakat merupakan hubungan timbal balik dari kebiasaan interaksi manusia dengan lingkungannya. Melalui proses ini individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Dengan adanya hubungan interaksi antara satu dengan yang lain akan terjadi simbiosis yang didasarkan pada kompetisi dan kultural.

GH Mead dengan teori ”Fikiran, Diri, dan Masyarakat” juga satu ahli ynag membangun teorinya berbasiskan paradigma pluralis. ”Fikiran” dalam konsep Mead adalah fenomena sosial yang muncul dalam proses sosial. Demikian pula dengan ”diri” (self).

Terakhir, beberapa teori sosiologi digolongkan Perdue sebagai kelompok sosiologi interpretatif, yaitu Alfred Schutz (Sosiologi Fenomenologi), Peter Berger (Konstruksi Sosial), serta juga Harold Garfinkel dan ErvingGoffman. Fenomenologi dalam teori Schutz memperhatikan pengalaman subjektif dari manusia. Teori ini memahami makna peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang dalam situasi-situasi tertentu. Fokusnya pada fenomena-fenomena yang melingkupi satu subyek melalui sisi subjektif dari perilaku manusia. ”Pemahaman” merupakan kata kunci dalam konteks ini.

Sementara, Peter Berger juga memfokuskan pada interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana tradisi pluralisme, Berger meyakini bahwa sosiologi mesti mempelajari gejala sosial yang sarat makna oleh aktor yang terlibat dalam gejala sosial tersebut. Dalam bukunya The Social Construction of Reality, Berger pada hakekatnya berupaya menyusun teori tentang masyarakat. Teori ini memahami pengetahuan sebagai produk histroris yang dikonstruksi secara sosial. Masyarakat sebagai realitas sekaligus sebagai entitas subjektif fdan objektif.
Teori Berger bertolak di atas faham humanis dari Weber, meskipun sebagai mana sering disebut ia mencari titik temu antara gagasan Marx, Durkheim dan Weber sekaligus. Dalam buku Perdue ini disebut, bahwa di titik inilah timbul kritik terhadap Berger, karena penyatuan dua paradigam merupakan sesuatu yang tak mungkin mengingat adanya perbedaan yang substansial dalam hal asumsi tentang manusia, masyarakat, dam metodologi.

Daftar Pustaka:

Perdue, William D. 1986. Sosiological Theory: Explanation, Paradigm, and Ideology. Mayfield Publishing Company. Palo Alto, California.

*****