Untuk memaparkan teori-teori sosiologi apa yang berkembang dan lebih “menjanjikan” pada masa-masa terakhir ini, diakui Ritzer tidaklah mudah, karena teori-teori tersebut baru saja bermunculan dan juga sulit membedakan satu sama lainnya. Beberapa teori terlihat signifikan dibanding yang lain dan tampaknya lebih berpeluang semakin berkembang di masa mendatang. Teori globalisasi, meskipun masih memberi ruang untuk diperdebatkan, tampaknya akan menjadi teori yang penting di masa depan. Dari berbagai teori sosiologi mutakhir, Ritzer memilih empat teori, yaitu teori queer (aneh), teori kritis tentang ras dan rasisme, teori aktor network, dan teori praktek. Keempat teori dimaksud dipaparkan dalam paper ini secara ringkas.
Teori Queer
Dalam kamus, “queer” berarti aneh, kacau, abnormal, dan tidak disukai. Dengan demikian, Teori Queer berkenaan dengan relasi-relasi yang aneh atau yang tidak biasa. Jika “relasi sosial” merupakan objek pokok dalam sosiologi, maka ia hanya membicarakan relasi-relasi yang normal; atau tepatnya, relasi-relasi manusia normal. Sebagian ahli tidak merasa cukup dengan teori-teori yang telah ada tentang relasi sosial yang normal ini. Mereka merasa perlu menciptakan teori khusus berkenaan dengan manusia-manusia yang “tidak biasa” tersebut.
Dalam teori queer, ingin diungkapkan bagaimana bentuk relasi yang paling otentik dan juga radikal. Bagaimana seorang lesbian dan seorang gay berhubungan sesamanya merupakan objek dalam teori ini. Sangat menarik mempelajari relasi seperti apa yang terjadi ketika seorang lesbian berelasi dengan sesamanya, dengan seorang gay, dan seterusnya. Namun kemudian, teori ini mencoba menyumbang pada teori sosiologi pada umumnya, dengan salah satunya mengusung konsep pluralisme misalnya. Mungkin maksudnya adalah melalui pelajaran dari relasi-relasi yang sumbang ini ingin menyumbangkan pengetahuan betapa ada relasi-relasi yang khas, yang mungkin dapat memperkaya bahkan “teoritisi normal” untuk memperkaya teori-teori mereka.
Teori queer berakar dari materi bahwa identitas tidak bersifat tetap dan stabil. Identitas bersifat historis dan dikonstruksi secara sosial. Dalam konteks teori, teori ini dapat digolongkan sebagai sesuatu yang anti identitas. Ia bisa dimaknai sebagai sesuatu yang tidak normal atau aneh. Dalam teori ini terdapat tiga makna intelektual dan politik, meskipun sulit membuat batasan-batasannya. Arlene Stein dan Ken Plummer mencatat ada empat tiang atau penanda dari teori queer ini, yaitu:
1. Melakukan konseptualisasi seksualitas yang mempelajari kekuasaan seksual dalam berbagai level kehidupan sosial, dan membicarakan bagaimana relasi power seksual berlangsung.
2. Problem seksual dan kategori gender dan identitas secara umum
3. Menolak strategi hak-hak sipil. Sebagai contoh, klaim politik berbasis identitas misalnya mengangkat gerakan hak-hak kaum lesbian.
4. Keinginan untuk menjadikan seksualitas sebagai analisis untuk setiap bidang yang diteliti, misalnya festival musik, kultur pop, gerakan sosial, dan lain-lain.
Teori queer mempelajari gay dan lesbian, dimana homoseksual diposisikan sebagai subjek. Disinilah stand point teori queer. Karena posisinya inilah, maka ada yang menyebut bahwa ini bukan institusi pengetahuan, tapi semata hanya proses dekonstruksi. Teori ini lahir sebagai hasil dari pengaruh arkeologi pengetahuan dan genealogi kekuasaan pada akhir 1980-an sampai dengan sepanjang 1990-an.
Teori ini tidak hanya menyangkut sisi gender tetapi juga seks. Ia mengkaji kombinasi dari berbagai kemungkinan dari tampilan gender serta tentang proses yang berfokus pada gerakan yang melampaui ide, ekspresi, hubungan, tempat dan keinginan yang menginovasi berbagai perbedaan cara penjelmaan di dunia sosial. Model queer ini dijadikan kerangka kerja dalam mempelajari isu-isu gender, seksualitas dan bahkan politik identitas.
Dalam Ritzer disebutkan, kritik terhadap teori queer adalah bahwa ia tidak berbentuk sebagai politik inklusi dan menolak karakter tunggal tentang identitas seperti ras, kelas, atau peran seks dalam aksi politik. Di sisi lain, ada sebagian ahlinya yang berusaha agar teori ini menjadi lebih sensitif secara sosial. Adam Isaiah Green menyebut bahwa ada dua tegangan terhadap teori queer yakni dekonstruksionisme radikal dan subversi radikal.
Toeri Kritis tentang Ras dan Rasisme (CTRR)
Perkembangan teori ras dan rasisme akhir-akhir ini semakin memposisikan diri berada di belakang teori feminis. Teori ras kritis awalnya merupakan hasil dari gerakan hak-hak sipil. Pada era 1960-an ia berupaya melahirkan teori baru tentang ras, yang akarnya dari banyak sumber termasuk Marx, postrukturalisme, teori feminis, dan konstruksi Du Bois.
Secara sederhana, ”ras” adalah pengelompokkan manusia atas keturunan dan ciri-ciri fisik. Sementara, ”rasisme” adalah gagasan yang menyatakan bahwa ada hubungan langsung antara nilai-nilai, perilaku dan sikap kelompok tertentu, sesuai dengan garis keturunan dan ciri fisik-fisiknya. Lain lagi, secara konseptual, rasialisme adalah suatu penekanan pada ras atau pertimbangan rasial dalam berbagai pemikiran. Dari sisi akademis, istilah rasialisme digunakan untuk menekankan perbedaan sosial dan budaya antar ras. Walaupun istilah ini kadang digunakan sebagai kontras dari rasisme, istilah ini dapat juga digunakan sebagai sinonim rasisme.
Jika rasisme merujuk pada sifat individu dan diskriminasi institusional, rasialisme biasanya merujuk pada suatu gerakan sosial atau politik yang mendukung teori rasisme. Pendukung rasialisme menyatakan bahwa rasisme melambangkan supremasi rasial dan karenanya memiliki maksud tidak baik, sedangkan rasialisme menunjukkan suatu ketertarikan kuat pada isu-isu ras tanpa konotasi-konotasi tadi. Kalangan rasialis menyatakan bahwa fokus mereka adalah pada kebanggaan ras, identitas politik, atau segregasi rasial. Pada intinya, mereka menentang segala bentuk rasisme.
Dasar-dasar teori ras kritis di antaranya berakar dari fakta eksisnya rasisme di tengah masyarakat, dimana kaum kulit putih memperoleh keuntungan ekonomi dari kondisi ini. Ras bukanlah sesuatu yang objektif namun merupakan sesuatu yang dikonstrusi secara sosial. Dalam masyarakat yang rasis hadir kelompok dominan yang memiliki power lebih kuat atas kelompok yang lemah. Sebagaimana teori feminis, teori ras juga bersifat interseksionalitas dan anti esensialisme, dimana mereka menolak relaitas tunggal. Pada akhirnya, tujuannya adalah untuk mengeliminasi tekanan rasial itu sendiri.
Teori kritis tentang ras dan rasisme masih sedang dikembangkan saat ini. Dapat dikatakan bahwa teori tersebut mungkin dapat dikatakan belum terbentuk, namun akan semakin mengkristal di tahun-tahun depan.
Teori Aktor-Jaringan (ANT), Posthumanisme, dan Postsosialitas
Ritzer menyebutkan bahwa, teori aktor-jaringan lebih sebagai metode daripada teori. Teori ini berakar dari strukturalisme dan post strukturalisme. Ide pokok teorinya berkenaan dengan bagaimana objek material diciptakan dan memperoleh makna dalam relasi jaringan dengan orang lain. Teori ini mesti dipahami sebagai semiotika materialitas, dimana ia diproduksi dalam relasi. Ia lebih ke post strukturalisme, sehingga ia juga tergolong sebagai anti esensialisme.
Teori ANT merupakan respon dari kritik terhadap kekurangan-kekurangan pandangan strukturasi. Terakhir, banyak keberatan terhadap teori ANT misalnya terhadap arah yang diambilnya. Law misalnya memberi perhatian terhadap penamaan, kesederhanaannya, dan hilangnya kompleksitas. Ada empat hal yang tidak dicakup dalam teiori ANT yaitu kata aktor itu sendiri, jaringan, teori dan tanda penghubung (hyphen). Inti dari teori ini adalah bahwa segala hal dapat dilihat sebagai keterkaitan antar aktor, baik manusia dengan manusia, maupun dengan bukan manusia. Teori ini dapat membantu kita memahami bagaimana ide, nilai, atau pun norma masyarakat manusia tertanam di dalam sebuah objek kultural.
Berkaitan dengan teori ANT adalah posthumanisme dan postsosialitas. Posthumanisme adalah lawan dari humanisme, atau berupaya keluar dari konsep humanisme tersebut. Ia menolak pemisahan antara humanitas atau kemanusiaan dengan dunia non-manusia. Jika humanisme berdiri di atas basisnya yaitu sosiologi terutama mikrososiologi, posthumanisme berupaya melampaui itu dan dapat dipandang sebagai kesempatan untuk memperluas sosiologi dengan menempatkan aktor manusia dalam kerangka yang.lebih luas dan mengaitkan dengan fenoman lain, dan lalu membingkainya dalam satu kerangka. Berbeda dengan positivis yang berusaha memproduksi hukum sosial yang berlaku abadi, teori humanis lebih interpretatif, dengan mencoba memahami tindakan sosial pada level makna yang dipandang sebagai hal yang relatif, plural, dan dinamis.
Ide tentang postsosialitas sesungguhnya juga dengan semangat yang sama untuk mengkritisi pendekatan tradisioanl sosialitas. Kehadiran teori ini berkaitan dengan berkembangnya beberapa tipe baru pekerjaan dan latar konsumsi. Salah satu bentuknya adalah “virtual organization” dimana orang berkerja tanpa ada satu kontrol pusat dan struktur yang hierarkhis. Mereka bekerja dengan cara mereka sendiri dan terhubungan melalui berbagai alat komunikasi.
Teori Praktek (Practice Theory)
Teori praktek merupakan pendekatan terhadap fenomena sosial dengan melihat pada bagaimana menemukan solusi antara pendekatan strukturalis tradisional dan pendekatan lain semisal individualisme, dan berusaha menerangkan fenomena tersebut dalam konteks tindakan individual. Teori ini terkait erat dengan sosiolog Perancis Pierre Bourdieu tentang habitus.
Apa yang disebut dengan teori praktek oleh Ritzer berasal dari pemikiran Bourdieu, Foucault, Giddens, Garfinkel, Latour dan Butler; yang berkaitan dengan postrukturalisme, teori strukturasi, etnometodologi, teori aktor-jaringan, dan teori performativitas. Ditambah dengan pemikiran-pemikiran lain, Ritzer mengakui tak mudah mendefiniskan Teori Praktek ini.
Teori Praktek merupakan salah satu varian dari teori-teori kultural. Namun, teori ini memfokuskan pada praktek dalam makna sehari-hari, yaitu bagaimana kita mengelola diri kita, menjelaskan sesuatu, mengelola objek, dan bagaimana memahami dunia. Selain itu, ”praktek” juga berkaitan dengan fikiran atau aktivitas mental. Sampai saat ini, Teori Praktek belum menjadi teori besar (grand theory), namun peluang teori ini untuk lebih berkembang menurut Ritzer cukup terbuka.
Bacaan:
Ritzer, George. 2004. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.
*****