Rabu, 09 Maret 2011

Logika Induktif: Ciri dan Keterbatasannya

Logika penarikan kesimpulan secara induktif bersama-sama dengan silogisme deduktif merupakan dua metode berfikir yang berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial. Derivasi dari kedua metode ini melahirkan berbagai aliran metodologi riset dengan kekuatan dan kelemahan masing-masing.

Karakteristik Logika Induktif

Secara sederhana, metode induktif merupakan metode yang digunakan untuk sampai pada pernyataan yang universal dari hal-hal yang bersifat individual. Kesimpulan ditarik dari hal-hal yang khusus untuk menuju kesimpulan yang bersifat umum. Tidak seperti penalaran deduktif, dalam penalaran induktif, kerja akal atau fikiran beranjak dari pengetahuan sebelumnya mengenai sejumlah kasus sejenis yang bersifat spesifik, khusus, individual, dan nyata yang ditemukan oleh pengalaman inderawi kita. Ia berangkat dari sesuatu yang riel, lalu dari berbagai kenyataan tersebut disimpulkan pengetahuan baru yang bersifat lebih umum. Jadi, generalisasi dalam logika induktif ini selalu berdasar pada hal-hal yang empiris.

Logika induktif adalah sebuah proses penalaran yang sesungguhnya telah dilakukan manusia semenjak dahulu, bersama-sama dengan penalaran deduksi. Keduanya memiliki perbedaan logika penalaran, namun sesungguhnya saling melengkapi. Dalam pengembangan keilmuan, kedua proses dijalankan secara bergantian. Secara tidak langsung prinsip berfikir deduktif menyumbang kepada kerja logika induktif, demikian pula sebaliknya.

Jika premis pada penalaran deduktif sangat mementingkan kebenarannya (truth), pada penalaran induktif tidak. Panca indera sebagai alat penting dalam menyusun premis pada penalaran induktif hanya dapat menerimanya, namun tidak mampu mempersoalkan benar tidaknya fakta tersebut. Perbedaan penting lain, dalam logika induktif kesimpulannya tidak dapat disebut valid atau tidak valid. Kesimpulannya tidak mengikat dan harus diterima. Namun demikian, kesimpulan induktif dipandang sebagai lebih penting dan lebih bermakna, karena premisnya disusun atas fakta. Ilmu haruslah bertolak dari fakta, terlepas apakah panca indera kita sudah cukup mengenalinya, dan bukan dari “kesepakatan-kesepakatan” belaka.

Setiap argumen dari hasil kerja induktif memiliki tiga ciri khas, yakni sintesis, umum (general), dan aposteriori. Ciri sintesis terlihat ketika kesimpulan ditarik, yaitu dengan jalan mensinstesiskan atau menggabungkan kasus-kasus yang terdapat dalam premis-premis yang diperoleh. Ciri umum adalah karena kesimpulan yang ditarik selalu meliputi jumlah kasus yang lebih banyak atau yang lebih umum sifatnya dibandingkan jumlah kasus yang terkumpul dalam premis-premisnya. Terakhir, ciri aposteriori adalah karena kasus-kasus konkret lah yang dijadikan landasan atau titik tolak argumen. Semua kasus tersebut merupakan buah hasil pengamatan inderawi, bukan kebenaran-kebenaran fikiran belaka..

Studi logika induktif kemudian berkembang menjadi logika peluang atau probabilistik. Hal ini karena kebenaran yang diperoleh bukanlah sesuatu yang pasti namun hanya “mungkin”. Namun, tingkat ”kemungkinannya” sedemikian sehingga mendekati pasti. Pengetahuan yang ditarik tidak pernah sampai pada tingkat ”pasti secara mutlak” namun sudah dapat disebut sebagai sebuah kebenaran keilmuan.

Nilai probablitias konklusi berkisar antara tingkat rendah sampai tinggi. Nilai probablititas akan semakin tinggi bila: (1) semakin besar jumlah fakta yang dijadikan penalaran, (2) makin sedikit jumlah faktor analogi dalam premis, (3) makin besar jumlah faktor disanalogi dalam premis, dan (4) semakin sempit konklusinya. Konklusi terbagi atas analogi induktif yang berguna untuk mengkarakteristikkan fakta-fakta, dan generalisasi induktif yang kemudian dapat dijadikan sebagai bahan untuk menyusun teori. Teori pada gilirannya dapat pula dijadikan sebagai hipotesa, sedangkan hipotesa dapat menjadi premis dalam silogisme deduktif .

Cara befikir dalam logika induktif adalah melalui analogi, yaitu persamaan antar bentuk yang menjadi dasar terjadinya bentuk-bentuk yang lain. Dalam analogi kita mempersamakan dua hal yang sebenarnya tidak sama persis. Analogi membandingkan dua hal atau lebih yang memiliki kesamaan tertentu pada beberapa segi dan menyimpulkan keduanya memiliki kesamaan dalam segi yang lain.

Memang terdapat kritikan terhadap metode ilmiah ini, khususnya pada apa yang disebut kebenaran umum (general truth), yaitu kesimpulan umum yang terdapat dari hasil penyelidikan atau metode berpikir induktif. Dari serangkaian fakta, betapapun banyaknya dan betapapun besarnya fakta tersebut, namun sesungguhnya tetap tidak pernah diperoleh atau disimpulkan suatu kebenaran umum (general truth).

Hubungan Kausalitas dan Kritik Terhadapnya

Hubungan kausalitas merupakan basis dalam berfikir induktif, dimana suatu fakta merupakan suatu akibat yang ditimbulkan oleh satu atau lebih sebab. Tidak ada satu kejadian tanpa dapat dijelaskan penyebabnya. Ada dua bentuk penyebab yaitu kondisi yang perlu (necessary condition) yang harus selalu ada agar sebuah persitiwa terjadi, dan kondisi yang memadai (sufficient condition) yang keberadaanya tetap dibutuhkan namun tidak wajib ada. Kondisi yang perlu atau mutlak pasti menimbulkan sebab, sedangkan kondisi yang memadai hanya dapat dikatakan tentu akan menimbulkan akibat. Dua kondisi yang hadir secara sendiri-sendiri hanya sebagai kondisi yang memadai, namun jika terjadi secara bersama-sama dapat menjadi kondisi yang mutlak.

Dari banyak sebab yang bisa dikumpulkan, satu metode untuk menentukan manakah sebab yang paling tepat adalah dengan melihat karakter ”kejauhannya” (remote) dan ”kedekatannya” (proximate). Sebab yang lebih dekat, karena posisinya lebih langsung, merupakan sebab yang diyakini sebagai sebab sesungguhnya dari satu peristiwa. Suatu kejadian merupakan hasil dari serangkaian sebab akibat yang panjang, namun sebab yang sesungguhnya dari kondisi yang menjadi objek pokok adalah sebab yang langsung saja.

Satu metode klasik yang mendasari penarikan kesimpulan dalam logika induktif adalah yang dikembangkan oleh Jon Stuart Mill. Metode tersebut terdiri atas lima bentuk yaitu metode persamaan, metode perbedaan, metode gabungan, metode residu atau sisa, dan metode variasi. Ini adalah metode penarikan kesimpulan induktif yang sangat dasar, dan menjadi basis berbagai metode ilmiah. Terdapat dua kritik terhadap metode Mill ini, sebagaimana disebut dalam buku Irving, yaitu metode Mill gagal untuk memenuhi klaim kebenaran yang dibuatnya sendiri, dan kurang cukup untuk menarik kesimpulan bagi metode ilmiah. Dua prinsip penting dalam hubungan kausalitas, yaitu upaya untuk menyingkap (discovering) dan membuktikan atau menunjukkan (proving or demonstrating) penyebabnya, telah gagal dicapai dengan metode Mill ini. Kegagalan dalam menyingkap penyebab sebenarnya disebabkan karena ia tidak bisa membedakan antara analisis yang tepat atau tidak (a proper and an improper analysis).

Namun, metode Mill membela diri dengan menyatakan bahwa pada hakekatnya metode Mill hanya dapat digunakan dengan hipotesis, yaitu bila kondisi lingkungan yang disebutkan adalah relevan. Jika tidak relevan ia hanya akan menjadi sebuah kebetulan belaka (kesalahan spouriusnes). Hipotesis yang tepat, yang diterima secara pengetahuan, merupakan syarat penting untuk menjalankan metode Mill ini. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan eksakta atau ilmu alam, terbukti metode Mill telah cukup banyak membantu, sampai saat ini.

Berkenaan dengan polemik metode Mill ini, Irving menyebut bahwa hukum kausalitas atau preposisi umum tidak pernah mampu disingkap oleh Metode Mill, serta juga tidak mampu menunjukkannya dengan mudah dan tepat. Namun, metode Mill telah membantu dalam menyediakan pola dasar untuk usaha apapun untuk mendapat kesimpulan yang bisa dikonfirmasi atau tidak (hal. 363). Semua pekerjaan keilmuan membutuhkan hipotesis, dan itulah syarat yang sangat penting dalam logika induktif. Demikian pembelaan untuk Metode Mill ini.

Hipotesa dan Peluang Kebenaran (Probability)

Sebagaimana diuraikan di atas, hipotesa merupakan alat keilmuan yang sangat penting, dimana ia menjadi dasar dalam menarik kesimpulan induktif. Sesungguhnya dalam berfikir sehari-hari kita juga selalu menggunakan anggapan atau sesuatu yang dianggap benar. Dari situlah titik tolak kita berfikir.

Peluang kebenaran menjadi sangat bermakna ketika kesimpulan induktif tidak pernah mencapai benar seratus persen. Berbagai metode dikembangkan untuk mencapai peluang kebenaran yang paling tinggi. Hal ini dikembangkan secara luas dalam ilmu matematika.
Sesuatu kebenaran secara keilmuan adalah apabila dapat dijelaskan secara logis, dimana hipotesis yang tepat merupakan kunci dalam hal ini. Disebutkan bahwa ada lima kriteria agar sebuah hipotesa dapat diterima, yaitu: relevan, dapat diuji, bersesuaian dengan hipotesa sebelumnya yang sudah dikenal, memiliki kekuatan memprediksi, dan sederhana.

Berkembangnya logika induktif melengkapi kelemahan logika deduktif. Premis yang lemah sebagai basis penarikan kesimpulan menyebabkan inferensi deduktif secara keseluruhan menjadi lemah, meskipun silogismenya benar. Untuk ilmu sosial, berkembangnya logika induktif telah menghasilkan berbagai metode dengan pendekatan studi mendalam terhadap fenomena sosial. Metode untuk mendapatkan kesimpulan induktif mensyaratkan pengalaman partisipatif bagi pelakunya. Si peneliti harus menjadi bagian langsung suatu kejadian sosial, bukan sebagai pihak luar (the outer). Jadi, penerapan argumen induktif telah dapat memperluas pengetahuan faktual kita tentang dunia sosial.

Daftar Pustaka

Copi, Irving M. 1969. Introduction to Logic. 3rd Edition. The Macmillan Company, Collier Macmillan Limitted, New York.