Senin, 30 Mei 2011

Konsep dan Teori Sosiologi Pengetahuan

(Sumber: Coser bab 1,2,4,12 dan Dant bab 1,2,3)

Sosiologi pengetahuan merupakan “cabang baru” dalam sosiologi yang secara umum mulai ramai dikembangkan semenjak tahun 1960-an. Semenjak saat itu sampai kini, sosiologi pengetahuan tetap menarik perhatian, meskipun terjadi beberapa perubahan penekanan dalam perkembangannya. Paper berikut disusun dari Buku Coser dan Dant, khususnya berkenaan dengan penjelasan konsep dan sedikit perkembangan sosiologi pengetahuan yang “hanya” menjadi wacana di kawasan Eropa dan AS.

Posisi sosiologi pengetahuan dalam sosiologi dan perkembangannya

Secara sederhana, sosiologi pengetahuan dapat dimaknai sebagai upaya menjadikan pengetahuan sebagai objek perhatian dengan menerapkan perspektif sosiologi. Dalam bukunya, Tim Dant dijelaskan bahwa pengetahuan merupakan key factor dalam masyarakat. Ia merupakan komponen sehingga seklompok orang layak disebut ‘masyarakat”. Objek sosiologi pengetahuan berbeda dengan sosiologi dan juga discourse. Sosiologi pengetahuan adalah suatu perspektif yang menekankan tentang karakter sosial dari pengetahuan. Ia merefleksikan nilai-nilai dalam masyarakat yang ditransfer melaui diskursus.

Pengetahuan selalu dibentuk dalam konteks. Hal-hal yang secara subjektif dianggap benar, hanya benar secara subjektif. Dengan demikian, pengetahuan di satu masyarakat tidak bisa dibandingkan dengan di masyarakat lain. Demikian pula, pengetahuan orang awam tidak berarti lebih rendah dibandingkan ekspert.

Pada hakekatnya, dapat dikatakan bahwa sosiologi pengetahuan merupakan suatu cabang dari ilmu-ilmu sosiologi. Dalam bidang ini dipelajari bagaimana hubungan antara pengetahuan dan masyarakat, yaitu bagaimana pengetahuan diproduksi, didistribusi dan direpoduksi di tengah masyarakat melalui relasi-relasi sosial. Hal ini sangat berbeda dengan filsafat. Dalam filsafat, pengetahuan tidak berhubungan dengan masyarakat, ia disusun terpisah dari masyarakatnya. Ia “benar” dengan sendirinya, dan hanya menurut kalangan ahli filsafat. Pengetahuan bukan suatu yang relatif, karena ia menjadi satu kebenaran.

Dalam buku Tim Dant juga dipaparkan tentang perkembangan sosiologi pengetahuan dan sumbangan berbagai ahli. Ia menemukan bahwa sosiologi pengetahuan berakar dari pemikiran filsafat. Pada masa awal, disebutkan Merton telah mendiskusikan peran sosial dari intelektual dalam birokrasi politik. Ia melakukan studi sosiologis tentang science sehingga melahirkan apa yang dilabelinya ”ethos of science”. Selanjutnya perlu pula disebut peran Znaniecki yang mulai membahas ini semenjak tahun 1940-an. Sementara Parson tertarik dengan operasi nilai-nilai dalam lapangan pengetahuan. Di kalangan modern dapat misalnya disebut Neisse dan Eriksson yang mengembangkan metodologi bagaimana melakukan sosiologi pengetahuan sehingga menjadi ilmiah.

Pada era tahun 1970-an, Merton mengatakan bahwa sosiologi mampu melihat pengetahuan, baik yang berupa scientific proposition maupun scientific community. Merton menemukan bahwa ada institusi keilmuan di dalam masyarakat. Ia pun melihat bahwa nilai-nilai yang dikembangkan di komunitas ilmiah sama dengan nilai-nilai yang dikembangkan melalui demokrasi. Masyarakat sebagai lokasi pengetahun berbeda dengan masyarakat sebagai sumber pengetahuan, dimana pada yang pertama dilahirkan kebijakan lokal (local wisdom).
Dari analisa sosiologi pengetahuan, disimpulkan bahwa apa yang diagung-agungkan sebagai sifat universalitas dari pengetahuan, sesungguhnya tidak lebih dari universalitas fikiran Barat, khususnya Eropa Barat. Kebenaran universal ini ini misalnya lalu dipakai dalam menyusun teori-teori developmentalis. Demikian pula, ilmu pengetahuan yang disusun dan berkembang di era kolonial cenderung mengklaim bahwa ilmu (mereka) universal.

Beberapa Konsep dan Teori Sosiologi Pengetahuan

Secara sadar atau tidak, objek sosiologi pengetahuan telah menjadi perhatian para ahli sosiologi, semenjak era sosiologi klasik. Comte misalnya memaparkan bahwa pengetahuan dan masayarakat saling mempengaruhi secara timbal balik. Karena relasinya yang timbal balik, maka pola-pola pengembangan masyarakat tercermin pula dari pola-pola pengetahuan yang dominan. Menurut Comte, pengetahuan bermula dari bentuk-bentuk teologis, berlanjut menjadi metafisik, dan akhirnya menjadi positivistik. Pada era teologis benda-benda merupakan sumber pengetahuan. Pembabakan ini hanya melihat modus intelektual yang dominan, karena sedikit banyak tipe pengetahuan yang tahayul misalnya masih tetap ada dalam satu masyarakat meskipun perkembangannya telah lanjut.

Selanjutnya Emile Durkheim, sebagaimana ide dasarnya “fakta sosial”, ia melihat bahwa pengetahuan dibentuk dalam relasi yang intersubjektif. Pengetahuan merupakan sesuatu yang berada di luar kontrol individu, dan melekat padanya berbagai atribut lain karena ia merupakan fakta sosial. Bahkan, agama juga merupakan suatu yang intersubjektif, karena berbentuk sebagai sebuah kesadaran. Agama, sebagaimana pengetahuan, berkembang seirama dengan corak solidaritas sosial di masyarakat bersangkutan. Agama totem misalnya berkembang pada masyarakat dengan ciri solidaritas mekanis. Durkheim melihat cukup besarnya peran agama dalam masyarakat, dimana ia menjelaskan masyarakat melalui agama yang dianutnya. Dalam konteks pengetahuan, Durkheim meyakini bahwa agama lah yang telah mengenalkan konsep ruang dan waktu pada masyarakat. Ia menjadi basis terbentuknya pengetahuan di masyarakat bersangkutan.

Demikian pula Karl Marx dengan ide besarnya tentang kelas dan mode of production. Menurut Marx, pengetahuan berkaitan dengan relasi produksi, dan ia pun menjadi modes of production. Relasi kelas yang eksis dapat dilihat juga sebagai sebuah relasi pengetahuan. Dengan kata lain, pengetahuan ada dalam modes of production, sebagai modal untuk memperoleh ekonomi. Di sisi lain, pengetahuan juga menjadi dasar untuk menjalankan modes of production tersebut. Marx berpendapat bahwa pengetahuan pada abad ke 20 dibentuk dari revolusi proletariat dan revolusi borjuasi. Clash of civilization telah menyebabkan pula lahirnya clash of development.
Satu tokoh yang cukup penting berkenaan dengan sosiologi pengetahuan adalah Karl Mannheim, yang sedikit banyak ikut dipengaruhi oleh Marx khususnya pemikirannya tentang ideologi. Sosiologi pengetahuan menurut Mannheim adalah studi secara sistematis terhadap pengetahuan, gagasan, dan fenomena intelektual secara umum. Mannheim mengaitkan gagasan tentang kelompok dengan pandangan tentang kelompok dalam struktur sosial.
Dalam pemikiran Mannheim, “ideologi” merupakan satu bentuk pengetahuan yang diberinya perhatian secara lebih. Dalam bukunya “Ideologi dan Utopia”, ideologi dimaknainya sebagai sistem gagasan yang berupaya menyembunyikan dan mempertahankan masa kini dengan menafsirkannya dari sudut pandang masa lalu.

Sosiologi pengetahuan di satu sisi menyingkap untuk memahami pemikiran dan perilaku, di sisi lain untuk mengembangkan teori untuk situasi kontemporer berkenaan dengan signifikansi faktor kondisi non teoritis dalam pengetahuan. Pengetahuan tidak mudah diidentifikasi secara empiris, berbeda dengan ideologi yang lebih mudah mengidentifikasinya. Ideologi merupakan pengetahuan khusus yang hidup di setiap masyarakat yang memiliki perspektf politik dan berkaitan dengan kelas dan strata politik.

Menurut Mannheim, “ideologi” merupakan pengetahuan yang tidak mencerminkan masyarakatnya. Pengetahuan melekat di kultur, dimana basisnya adalah masyarakat. Namun ideologi tidak memiliki basis sosial sama sekali. Ideologi hanya disusun oleh sebagian kecil elit, lalu disebarkan untuk diamini. Pengetahuan merupakan produksi kelompok (group product) karena membutuhkan pengakuan secara sosial. Mannheim tidak membedakan antara kultur dan pengetahuan ilmiah (scientific knowledge), sehingga juga tidak bisa membedakan sosiololgi pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan.

Karl Mannheim merupakan salah satu tokoh yang penting dalam sosiologi pengetahuan. Menurutnya, analisis struktural dari teori-teori pengetahuan itu sebenarnya tidak dirancang untuk membedakan teori pengetahuan dengan berbagai bentuk elemen pendukung dan katrakteristik yang ada pada setiap teori. Oleh karenanya, harus diupayakan untuk mengurangi perbedaan-perbedaan antara konsep liberalisme sebagai suatu sistem politik dan liberalisme sebagai suatu struktur pengetahuan. Atas dasar itu, harus ada keseimbangan antara konflik atau krisis dengan kompromi terutama yang menyangkut masalah-masalah politik dan kehidupan sosial. Di situ, harus ada keseimbangan antara janji-janji dan ancaman secara bersama-sama.

Mannheim telah berbicara mengenai konsep-konsep yang menyangkut sosiologi pengetahuan, ideologi, politik, dan kehidupan sosial. Secara jelas ia menerapkan konsepnya Marx berkenaan kesadaran kelas. Dalam kaitan ini ada dua hal penting yang harus diperhatikan, pertama adalah adanya konsep-konsep ideologi sebagai struktur kognitif yang dianggap lemah, karena hanya memiliki perspektif tunggal yang memerlukan koreksi dari perspektif lain. Kedua adalah bahwa sosiologi pengetahuan itu muncul dari isu-isu substansial yang terwujud karena berbagai ideologi yang ada memberikan kontribusinya secara langsung di dalam orientasi dan kehidupan politik.

Manheim menyebutkan betapa pentingnya sosiologi pengetahuan sebagai salah satu bidang kajian. Secara relatif, sosiologi pengetahuan merupakan bidang yang masih muda perkembangannya. Ia menyusun tahapan-tahapan dari satu ideologi menjadi wacana dalam sosiologi pengetahuan. Langkah-langkah tersebut diawali dengan mengeksplorasi filasafat kesadaran, dilanjutkan dengan meneguhkan perspektif historis, dan berakhir dengan analisa proses sosial historis. Melalui jalan ini, konsep totalitas dalam ideologi yang bersifat generalis perlahan-lahan bertransformasi ke sistem riset dan pengamatan dalam sosiologi pengetahuan.

Sumber Bacaan:
Coser, Lewis. 1977. Masters of Sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context. New York: Harcourt Brace Jovanovich.
Dant, Tim. 1991. Knowledge, Ideologi and Discourse: a Sociological Perspective. London: Routledge.

*****