Kamis, 05 Mei 2011

Muzafer Sherif dan Carolyn Sherif:

Interdisciplinary Relationships in the Social Sciences

Pengantar:

- Buku ini ditulis oleh ahli masing-masing disiplin yg diundang dalam pertemuan khusus utk membicarakan interdisplin ilmu2 sosial. Ini merupakan pertemuan yang kesekian.
- Bab I membicarakan orientasi konseptual, teoritikal, dan masalah riset dalam upaya koordinasi interdisiplin dari perspektif psikologi sosial, sosiologi, dan antropologi. Bab II memuat secara lebih jelas berbagai area permasalahan yg dihadapi berbagai disiplin yaitu psikologi sosial, biologi perilaku, ilmu politik, sejarah, antropologi, dan ekonomi. Bab III tentang masalah yang dihadapi ilmu2 geografi manusia, linguistik, ilmu politik, sosiologi dan sejarah; terhadap ilmu2 lain.

- Dari sisi problem substantif, jelas bahwa antar berbagai ilmu sosial, mereka satu sama lain sulit menemukan sifat diskrete dan separasinya. Artinya, mereka saling bercampur satu sama lain. Contohnya: sosiologi ttg kelompok mempelajari bagaimana berjalannya kelompok sebagai sebuah unit sosial, sementara psikologi kelompok mempelajari anggota2 kelompok tersebut. Bukankah begitu banyak overlap antar kedua bidang ini? Masalahnya: tak ada seorang pun yang tahu dimana, apa dan bagaimana meminjam dari disiplin ilmu lain.
- Dari sisi ketidakpuasan pada kondisi saat ini: diakui bahwa ada ketidakpuasan dalam mempelajari satu fenomena jika hanya menggunakan view satu disiplin ilmu saja.

Part I bab 1: Koordinasi interdisiplin sebagai cek terhadap validitas.

- Buku ini bercerita ttg kalangan ilmuwan (knowledgeable) yang berupaya menemukan solusi terhadap masalah2 interdisiplin. Kita semakin membutuhkan cross-fertilization, yaitu satu upaya lintas batas keilmuan yang membangkitkan sumberdaya positif. Kita hidup dalam kondisi meningkatnya kontak dan perhatian terhadap interdisiplin.

- Sherif memiliki pandangan:
1. kolaborasi dan koordinasi interdisiplin tak bisa lagi dihindari
2. kita menghadapi isu substantif dalam konteks ini
3. tiap disiplin membutuhkan dari displin lain cek untuk validitas-nya
4. setelah isu subtantif diselesaikan, namun akan muncul isu-isu minor lain

- Kenapa kolaborasi interdisiplin begitu dibutuhkan? Karena ada tumpang tindih pada subjek matter atau topik dalam berbagai disiplin ilmu sosial. Dan, agar diperoleh validitas keilmuan yang lebih baik.
- Masalah pokok dalam interdisiplin ini adalah: menentukan apa temuan dan konsep yang harus dipinjam dari disiplin lain dan harus ditransaksikan dengan disiplin lain. Khusus untuk psikologi sosial yg level analisisnya individu, maka ‘pertemuan’ nya dengan disiplin lain adalah dalam level ini pula.
- Kenapa cek antar disiplin dibutuhkan untuk validitas? Karena jika satu generalisasi bisa dicapai satu disiplin dan disebut valid pada satu level analisis, maka itu akan valid juga pada level lainnya.
- Saat ini, prospek untuk memperkecil gap validitas semakin memungkinkan, karena kalangan ilmuwan sosial semakin concern untuk mendefinisikan kesalinghubungan di antara mereka. Juga semakin mendekatnya riset2 di laboratorium dengan riset lapangan.

Part I bab 3: Bias teoritis dan substantif dalam penelitian2 sosiologi

- Begitu banyak bias dalam riset. Selain bias dalam pengumpulan data, juga bias yang terkait karena masalah teoritis dan substantif. Ini terjadi karena misalnya tekanan dalam memilih masalah riset, formulasi desain penelitian, dan interpretasi data. Selengkapnya, ada beberapa bias sebagai berikut:
- Pada etnocentrisme. Bias terjadi karena riset-riset etnosentrisme bertolak dari masyarakat yang barat, kota, dan masy industrial. Kita men-generalisasi temuan kita sebagai suatu yang ‘human group’ padahal kita hanya meneliti terbatas pada orang dewasa, kelas menengah, kulit putih, urban, dan laki-laki. Intinya, itu tak cukup universal (inadequate universes).
- Bias karena alat yg digunakan. Kita ibarat anak kecil yang berkerja dengan palu, paku, dan papan; tapi ia tak tahu bangunan apa yg ingin ia bangun. Semestinya, teori yg kita pakai menunjukkan kita apa bangunan yg sesungguhnya ingin kita bangun, dan memimpin kita untuk memilih alat yang tepat untuk pekerjaan tsb. Masalahnya: tak ada alat yg betul2 tepat. Kelemahannya: metode adalah semata hal yg berkaitan dengan strategi, bukan MORAL.
- Alat-alat yg kita pakai juga lack of historical perspective. Begitu mudah bagi kita membandingkan kondisi pada dua titik waktu, namun sulit menerangkan bagaimana itu terjadi dalam kurun waktu tsb.

- Bias karena begitu nafsu untuk men-debunking. Masalah yang ditimbulkannya adalah menjadi sulit untuk membangun teori secara sistematis. Selain itu, karena nafsu tadi, maka yg diteliti hanya seputar objek tertentu saja, yaitu misalnya penari, pemusik, para pengacara di wall street. Namun tak pernah kita pelajari misalnya para pekerja dengan ketrampilan rendah, para pekerja kerah putih tapi di level rendah, dst.
- Perangkap teori (theory-shynes). Teori biasanya disusun atas apa-apa yang telah berlangsung. Sesuatu yg telah terjadi. Riset kita sering hanya mencocok-cocokkan data statistik dengan teori/temuan kita.

- Selain itu, bias juga terjadi karena kita cenderung menggunakan variabel2 yg sudah kita kenal. Bias lain, adalah karena memposisikan kultur sebagai kelas dari observasi kita. Pada hakekatnya, kultur tidak bisa dijadikan untuk menganalisa (?)
- Penggunaan analisis fungsional juga melahirkan bias, karena dengan prinsip keseimbangannya ia telah gagal menghubungkan dengan realitas sosial yg sesungguhnya. Ia menjauhkan kita dari masalah sebenarnya.

Part I bab 5: Mitos dan inter relasi dalam ilmu sosial: ilustrasi menurut sosiologi dan antropologi.

- Dalam konteks interdisiplin, maka kita akan berhadapan dengan perihal bagaimana menghubungkan disiplin kita masing-masing dengan apa yang kita sebut dengan social science; serta bagaimana itu didefinisikan dan dikelompokkan.
- Antara mitos dan ilmu, maka ilmu adalah sesuatu yg lebih muda.
- Tiga saingan metodologis. Pada hakekatnya, batas-batas antara disiplin dalam ilmu sosial tidak menunjukkan sesuatu yang secara sistematis berbeda. Ia lebih sebagai saling melewati (cut across them) dibandingkan jika kita sebut sebagai memiliki batas-batas (boundaries).
- Antara tiga bidang dimaksud adalah antara interaksionisme simbolik, teori sistem, dan etnometodologi. Ketiganya bicara hal yang lebih kurang sama, yakni: makna dan simbol, sistem dan homeostasis, serta pola dan perbandingan.

- Perpaduan antara sejarah dan sosiologi = menjadi sosiologi historik (historical sociology).
- Beberapa point kesimpulan. Sosiologi lahir sebagai respon dari masyarakat yang lahir dari revolusi industri. Namun, saat ini kualitas pada asosiasi manusia telah berubah begitu cepat dan drastis. Setiap manusia semakin terkait satu sama lain. Marx dan sosiologi dapat dipandang sebagai yang telah merefleksikan revolusi sosial dengan baik.
- Struktural fungsional memiliki banyak kekurangan. Misalnya sifatnya yang pure science sehingga tak bersinggungan dengan politik dan dinamika moral yg sedang berlangsung di tengah masyarakat. Ia lebih sebagai suatu yang saintifik dibandingkan ideologi.
- Mitos dan ideologi masih tetap mempengaruhi perkembangan ilmu sosial. Dan, dialog antar disiplin masih kurang dan belum cukup kritis.

Part III bab 16: obstacles to …..(hambatan2 untuk pertautan sejarah dan sosiologi: menurut kacamata sosiologi)

- Kalangan sejarah dan sosiologi sering mengeluh tentang hasil yang mereka peroleh dari displin mereka sendiri; namun antar mereka jarang melakukan suatu perbaikan yg berarti. Satu pertemuan telah dijalankan, dan disimpulkan bahwa kolaborasi antara kalangan ilmu sejarah dan sosiologi sangat memungkinkan dan diyakini akan lebih efektif.
- Meskipun demikian, setelah ditunggu sekian lama, pertautan antara keduanya belum juga tercapai. Tak ada baik kalangan sejarawan maupun sosiolog yang saling mempelajari disiplin pihak lain.

- Universitas Columbia misalnya telah melahirkan banyak disertasi dengan basis sosiologi sejarah, namun dikritik karena belum menggunakan sosiologi secara utuh. Jadi, banyak yg belum paham apa itu sosiologi historik sesungguhnya.
- Contoh sosiologi historik yg paling bagus adalah apa yang dikerjakan Max Weber. Tesisnya tentang kapitalisme modern dihasilkan dari lingkungan sejarah yang mencakup pertimbangan2 religi. Ia secara hati2 telah mengelaborasi magik, ritual, moral dan elemen religi yang menyebabkan lahirnya kapitalisme industrial. Weber telah menerapkan pendekatan baru kala itu, yaitu apa yang kita sebut dengan sosiologi historik. Sayangnya, tampaknya, tak ada yang memepelajari sosiologi historik Weber ini dengan sungguh-sungguh.
- Yang banyak terjadi, sosiologi yang tak memperhatikan historik. Ada anggapan di kalangan sosiolog, bahwa lebih mudah mempelajari apa yang terjadi sekarang (the present) dibanding yang lalu (the past). Karena lebih mudah mengontrol informasi. Namun, kenapa tidak, sosiologi mengembangkan satu metode bagaimana memanfaatkan koran-koran lama misalnya sebagai suatu dokumen yang hidup.

- Kalangan sosiologi menjauh dari cara kerja sejarawan karena dinilai sejarawan tak punya metode. Sebaliknya, sejarawan tak terkesan dengan hasil kerja sosiologi, karena mereka cenderung menolak penggunaan data kuantitatif. Untuk tercapainya keterpaduan dalam sosiologi historik, maka kalangan sejarawan mesti merubah orientasinya dari yg tradisional ke sesuatu yang drastis.
- Ilmu sejarah dapat menjadi science. Ia dapat memproduksi sesuatu yang ‘bermakna’ universal daripada sekedar sesuatu yang unik belaka.

- Kesimpulannya, teori sosiologi dan metode sosiologi dapat berhubungan dengan fenomena sejarah. Kenapa ? Karena sosiologi telah memiliki metodologi, konsep, dan beberapa teori. Kalangan ahli sejarah dapat belajar dari sosiologi, sehingga bisa paham apa yang mereka akan catat dan dimana mereka akan menemukannya.

Part IV bab 18 : Melakukan observasi secara interdisiplin dalam ilmu

- Bab ini berisi tentang pelaksanaan kolaborasi interdisiplin selama ini di universitas, dibahas tiga hal yaitu orang-orangnya, masalah yang dihadapi, dan tentang waktu yang tepat untuk menjalankannya.
- Mereka yang terlibat umumnya adalah yang memiliki keyakinan bahwa memang ada konvergensi dalam ketertarikan antar ilmu, serta adanya peningkatan kompleksitas dan masalah yang saling bekait dalam ilmu sosial.
- Ada peningkatan kebutuhan untuk menunjukkan relevansi konsep teoritis atau struktur kepada hal yang tergolong vital dan berbagai permasalahan kontemporer dalam masyarakat.
- Organisasi universitas dalam menjalankan program interdisiplin. Ada keterlibatan kalangan peneliti muda. Keanggotaan dalam pekerjaan2 riset yang lebih fleksibel dapat mendorong peneliti dalam pekerjaan2 interdisiplin.

Part IV bab 19: Displin etnosentrisme dan model fish-scale yang hebat

- Hambatan disini datang dari disiplin etnosentrisme itu sendiri. Dan, model fish-scale dianggap sebagai solusi dari permasalahan tersebut. Telah terjadi miskomunikasi dan gap antara kelompok-kelompok disiplin. Gambar 1a menggambar kondisi tersebut. Sedangkan kondisi yang ideal adalah sebagaimana ambar 1b.
- Interdisiplin yang mau dituju adalah yang terlepas dari frame yang sempit dan terlalu spesialis sebagaimana dijalankan banyak ahli selama ini.
- Lokus pengetahuan sosial.

- Pengorganisasian peneliti dan penelitian akan mempengaruhi efektifitas pencapaian interdisiplin. Dengan menerapkan tipe organisasi arbitrasi paralel masih dijumpai berbagai batasan-batasan. Jurnal-jurnal ilmiah yang diterbitkan juga jatuh dalam perangkap hanya melayani kelompok disiplin tertentu. Tata komunikasi yang lebih kondusif sangat dibutuhkan agar tercapai interdisiplin dimaksud.
- Demikian pula dari sisi anggaran. Tata aturan anggaran mesti disusun sedemikian rupa sehingga kelompok2 riset interdisiplin dapat dijalankan. Pada intinya, kita membutuhkan sebuah rekayasa organisasi agar kegiatan interdisiplin dapat berlangsung dengan efektif. Tata organisasi dimaksud mencakup staf, pengelompokkan staf, program, penerbitan jurnal, serta penganggaran.

******

Dari berbagai sumber lain:
Sinopsis:

- Interdisciplinary collaboration in the social sciences is obviously essential to scientific progress, but discontent and practical difficulties hinder collaboration in research and training.
- Many of the problems arise from the failure in the separate disciplines to understand the basis on which collaboration is necessary and possible. In an effort to shed light on the situation, these original essays by eminent scholars - economists, geographers, psychologists, political scientists, sociologists, anthropologists, and others - demonstrate effective means of achieving interdisciplinary coordination in studying human behavior and delineating promising areas - for cooperative research.

- The book provides a sophisticated guide to the nature of knowledge in social science as applied to its core disciplines.Since the social sciences separately are studying and theorizing about many of the same kinds of human behavior, the contributors propose that scholars can avoid possible duplication of effort and increase the validity of their formulations by consulting the related findings and methodology from other disciplines before embarking on a research problem. The contributors maintain that this interchange, by broadening the total knowledge of each discipline, represents the best approach toward fulfilling the goals of social scientific inquiry.The individual chapters give valuable insight into the theoretical overlaps among the disciplines and outline specific research areas - such as group interaction, political attitudes, and intergroup relations - that require interdisciplinary cooperation to produce valid formulations.

- A major step toward creating a dialogue among disciplines, the book will enable every social scientist to understand more clearly the current state and future direction of interdisciplinary relationships and their indispensable future in social scientific though.

Muzafer Sherif

- Lahir 29 July 1906 in Turkey seorang penemu social psychology. Ia membantu mengembangkan social judgment theory dan realistic conflict theory.
Modern social psychology yang ia kembangkan memiliki beberapa teknik yg unique and powerful untuk memahami social processes, terutama social norms and social conflict.

******