Kamis, 05 Mei 2011

Bourdieu versus Gramsci

- Dalam banyak hal Gramsci mirip Marx. Namun, Gramsci = memposisikan civil society bukan pada basic material tetapi pada tataran suprastruktur, sebagai wadah kompetisi untuk memperebutkan hegemoni kekuasaan. Peran civil society sebagai kekuatan pengimbang di luar kekuatan negara.
- Gramsci lebih bernuansa ideologis ketimbang pragmatik.
- Konsep Gramsci dikembangkan oleh Habermas melalui konsep the free public sphere atau ruang publik yang bebas, rakyat memiliki akses atas setiap kegiatan publik.

- Gagasan merupakan faktor krusial dalam kehidupan sosial dimana perang dominasi antar berbagai kekuatan merupakan sebuah keniscayaan. Ini disampaikan Gramsci, Habermas dan Foucalt.
- Gramsci = Hegemoninya.
- Habermas = Relasi Ideologi dan Kekuasaannya.
- Foucault = Relasi Pengetahuan dan Kekuasaannya.

Teori Nasionalisme Gramsci vs Teori Dominasi Simbolik Bordieu

- Bourdieu dan Gramsci dikenal atas penelusuran mereka tentang “tanah tak bertuan” di antara paksaan di satu sisi, dan kesepakatan di sisi lain. Disini, paksaan tampak sama persis dengan kesepakatan. “Paksaan”, demikian tulis Gramsci, “hanya berlaku bagi orang-orang yang menolak, dan bukan bagi orang-orang yang menerimanya… orang yang satu mengatakan itu adalah paksaan, orang lain, yang religius, mengatakan bahwa itu adalah peziarahan yang dilakukan dengan kehendak bebas…” Bourdieu menyebut hal ini sebagai “kesalahan pengenalan” (misrecognition), yakni suatu konsep yang menunjukkan bagaimana proses-proses yang terjadi, sehingga banyak orang akhirnya terbiasa dengan kekuatan paksaan dari pasar (market forces’s coercion).

- Bagi keduanya, faktor pendidikan sangat berperan di dalam proses pembentukan dominasi.
Bourdieau = sekolah adalah institusi pendidikan yang melestarikan dominasi norma-norma sosial.

Gramsci = pendidikan adalah bagian dari proses politik, sama dengan partai politik. Oleh karena itu, keduanya sangat berperan dalam menyebarkan kekuasaan (socializing force). Ini memperlihatkan kedua teoritikus tersebut memandang relasi antara bahasa dan kebudayaan dalam menentukan identitas suatu bangsa.

Bourdieu = sekolah memiliki “kesewenangan kultural” (cultural arbitrary). Dari argumen ini, ia membangun teorinya tentang dominasi simbolik (symbolic domination).
Kontras dengan Bourdieu, Gramsci = tidak ada yang sewenang-wenang di dalam dominasi kebudayaan ataupun dominasi simbolik. Keduanya selalu bersifat politis, dan selalu melibatkan proses-proses sejarah tertentu, termasuk negosiasi dan kompromi politik. Gramsci dalam hegemoni = faktor kesepakatan dalam proses politik jauh lebih penting dari sekedar proses reproduksi kultural oleh institusi-institusi sosial.

-Gramsci = praktek kekerasan dan paksaan oleh negara hanya bisa dibenarkan, jika tindakan itu mendapatkan legitimasi dari kesepakatan mayoritas. Hal ini berlaku di negara-negara demokratis.
-Gramsci di dalam Selections from the Prison Notebooks = pergulatan pribadi Gramsci sebagai seorang intelektual dan aktivis partai. Kekecewaannya terhadap kegagalan Italia menciptakan nasionalismenya sendiri. Ia melihat bahwa budaya Italia bukanlah merupakan budaya otentik, melainkan budaya kosmopolitan gaya Eropa Barat. Dan budaya itu adalah semacam budaya asing yang dipaksakan untuk diterima oleh orang-orang Italia. Gramsci pun membandingkan kebudayaan asing Italia tersebut dengan kebudayaan Perancis yang berhasil melestarikan sastra-sastranya melalui novel, bahasa nasional, dan sebagainya.

-kegagalan revolusi di Italia bermuara pada korupsi kultural. Gramsci = korupsi kultural = ruang kosong di antara kesepakatan dan paksaan. Korupsi kultural adalah situasi, di mana “fungsi-fungsi hegemoni sulit diterapkan, dan penggunaan paksaan terlalu beresiko.”
-Friedman: Gramsci berbicara korupsi sebagai pemalsuan dan penyuapan. Akan tetapi, Friedman kemudian memperluas arti korupsi dalam konteks korupsi bahasa, korupsi kebudayaan, dan korupsi ideologi. Dengan kata lain, korupsi sudah menjangkau semua dimensi kehidupan sosial masyarakat Italia.

-Bourdieu tentang pasar. Di dalamnya, ia sudah menyatakan secara gamblang, bahwa kebudayaan pada hakekatnya sudah mengandung korupsi. Korupsi itu paling jelas dilakukan oleh pihak-pihak yang elite yang hendak mempertahankan dominasi kultural mereka. Akibatnya, kelas-kelas sosial bawah hampir tidak memiliki kesempatan untuk melakukan reproduksi sosial sesuai dengan nilai-nilai yang mereka sendiri yakini. Mereka menjadi terasing.

-Gramsci: bagaimana berbagai ideologi di dalam suatu negara bersatu, mengendap, dan kemudian menjadi universal di dalam ideologi hegemoni negara (hegemonic ideology of the state). Di Italia, yang terjadi adalah revolusi pasif, revolusi yang hanya dijalankan oleh sebagian kelas sosial, terutama kelas-kelas sosial yang dominan dan memegang hegemoni. Akibatnya, yang terjadi adalah semakin kuatnya hegemoni kelas-kelas sosial dominan tersebut. Inilah yang disebut Gramsci sebagai blok historis. Dengan begitu, nasionalisme pun dipahaminya sebagai persekutuan blok historis. Disinilah letak perbedaan mendasar Gramsci dan Bourdieu.

- dalam pemikiran Bourdieu, kurangnya teori tentang proses politik. Lebih menekankan adanya “kesewenangan kultural”, dan tidak melihat kaitannya dengan proses politik. Ia secara gamblang mengandaikan adanya relasi vulgar antara kepentingan kelas dominan dengan dominasi kultural yang terjadi.
- Gramsci maupun Bourdieu = melihat pentingnya peran intelektual sebagai salah satu kunci penciptaan dan pelestarian hegemoni. Intelektual = guru, kaum berjubah (pemuka agama), politisi, dan teknokrat. Mereka mengkonstruksi “bahasa” dan kultur dari suatu bangsa, di mana bangsa dan kultur itu diciptakan untuk melestarikan hegemoni.

- Fenomena dominasi sosial dijelaskan Gramsci dengan teori hegemoninya, Bourdieu dengan teori dominasi simboliknya.
- Bourdieu = teori dominasi simbolik = bagaimana kelompok-kelompok pinggir (subaltern) pada akhirnya memeluk budaya dominan, dan sekaligus mengabaikan budaya mereka sendiri. Ia juga menjelaskan bagaimana budaya dominan itu menjadi suatu hegemoni, dan kemudian diproduksikan ulang.

- Gramscian = bahasa juga menjadi produk dari persekutuan politik dalam blok historis. Artinya, bahasa menjadi cermin dari kompromi kepentingan antara kelas dominan dan kelas marjinal. Jika logika bahasa ini berubah, maka berarti terjadi pergantian kelas sosial yang dominan.
-Dalam Selections from The Prison Notebooks, Gramsci = Fordisme Amerika adalah salah satu solusi untuk menggerakan roda revolusi yang seolah buntu pada waktu itu. Namun, walaupun efektif, fordisme Amerika masih harus dikontekstualisasikan lebih jauh di dalam kehidupan masyarakat Italia. Untuk menciptakan semacam “bahasa nasional” yang seragam, untuk menyatukan berbagai kepentingan di antara berbagai kelas sosial di Italia.
- Gramsci = ingin terciptanya kebudayaan nasional bersama Italia. Tetapi, sebagai korban dari Fasisme Italia yang waktu itu berkuasa, ia sadar akan bahaya dan kelemahan kebudayaan nasional itu. Nasionalisme Gramsci = nasionalisme kosmopolit yang lebih luas dari nasionalisme sempit ala fasisme.

- Ada tegangan internal dalam pemikiran Gramsci: kecenderungan kosmopolitanisme vs kencenderungan pendekatan historis partikular. Ini sejalan dengan: tegangan antara modernitas vs kritik terhadap modernitas.
- Habermas kurang lebih serupa. Baginya, semua proyek nasionalisme sudah mengandung tegangan antara universalisme dan partikularisme. Nasionalisme adalah sebuah konsep yang dirumuskan untuk meredakan tegangan-tegangan yang terjadi di dalam proses pembentukan negara. Habermas = perjuangan untuk menciptakan nasionalisme yang sehat tidaklah dapat terjadi secara maksimal, jika ikatan di antara warga negara masih merupakan ikatan kultural saja.

Simpulan: adanya tegangan antara “yang universal” (nilai-nilai modernitas yang bersifat rasional-legal) vs “yang partikular” (kebudayaan nasional yang bersifat partikular-lokal). Gramsci berada di dalam tegangan ini.
Teori Hegemoni Gramsci berkembang melalui refleksinya tentang linguistik. Ini tampak di dalam buku Selections from the Prison Notebooks. Alih-alih merumuskan oposisi antara kesepakatan spontan dan paksaan koersif, Gramsci merumuskan distingsi antara grammar normatif yang sungguh menggambarkan atau sungguh berhasil menciptakan kehendak kolektif rakyat dan grammar yang gagal tetapi justru harus dipaksakan. Grammar normatif adalah hasil dari revolusi pasif yang ada karena inkoherensi grammar-grammar yang ada sebelumnya. Gramsci kemudian menggunakan grammar yang bersifat imanen dan spontan untuk menentukan tingkatan dari grammar normatif, atau dari relasi-relasi hegemonial.

- Tujuan Gramsci = mewujudkan suatu gerakan pekerja, di mana tegangan antara grammar yang bersifat normatif dan grammar yang bersifat spontan bisa diredakan. Caranya dengan “melihat secara penuh perhatian proses pembentukan dan pelestarian grammar normatif.” Jika tegangan ini bisa diredakan, maka apa yang dilakukan oleh pihak yang berkuasa akan tampak sebagai sesuatu yang wajar di hadapan rakyat pada umumnya, termasuk juga tindakan-tindakan paksaan maupun kekerasan vulgar. Inilah yang disebut sebagai rekonsiliasi antara grammar normatif dan grammar spontan. Nah, jika hegemoni sudah terjadi, maka kekerasan menjadi tidak diperlukan. Hanya di dalam proses pembentukan nasionalisme dan hegemoni yang belum selesailah kekerasan diperlukan. Dan tetap harus diingat, bahwa proses pembentukan nasionalisme adalah suatu proses politis untuk menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan terciptanya nasionalisme tersebut. Dalam proses itu, Gramsci berpendapat bahwa haruslah dibentuk suatu mekanisme untuk mendidik masyarakat, supaya terbentuk semacam struktur normatif (normative structure) yang melandasi kebudayaan masyarakat tersebut. Struktur normatif inilah yang nantinya berkembang menjadi hegemoni, di mana tindakan penguasa, baik yang berdasarkan paksaan ataupun tidak, menjadi tampak sah dan wajar di hadapan rakyat.

-Gramsci berpendapat bahwa kelas-kelas sosial yang minoritas atau kelas sosial yang rendah, atau yang disebut sub altern, juga harus mendapatkan tempat di dalam pembentukan budaya “organik”. Oleh karena itu dibutuhkanlah intelektual organik, yakni kaum intelektual yang dapat mengartikulasikan sekaligus menyebarluaskan kepentingan dari kelas-kelas subaltern. Gramsci, intelektual organik = kepentingan yang diartikulasikan oleh intelektual organik tidak terbatas hanya pada kepentingan kelas pekerja semata, tetapi juga bisa melampaui kepentingan partikular kelas tersebut, dan dapat menembus tembok-tembok yang memisahkan kepentingan kelas-kelas subaltern.

-Konsep nasionalisme Gramsci mencakup pula kepentingan kelas-kelas subaltern yang telah diartikulasikan oleh kaum intelektual organik, sehingga bisa ikut serta dalam proses politik untuk mewujudkan nasionalisme yang ideal. Kepentingan kelas-kelas subaltern tersebut tidak lagi terkotak-kotak seturut dengan kelas-kelas sosial saja, tetapi juga mampu melampaui pengkotakan tersebut, dan memiliki tujuan serta kepentingan yang sama.

Bourdieu dan Dominasi Simbolik

- Gramsci = dua cacat dalam teori-teori liberal, yang tujuannya adalah ntuk membenarkan dan memberi legitimasi bagi sistem pasar bebas. (1) konsep tersebut didasarkan konsep ekonomistik dari negara dan masyarakat sipil; dan (2) teori ini bertentangan dengan realitas, karena liberalisme “laiisez-faire” juga harus dibatasi oleh hukum, melalui intervensi dari kekuatan politik; ini adalah suatu tindakan dari kehendak, dan bukan fakta ekonomi yang bersifat spontan dan otomatis.”

- menurut Gramsci dan Bourdieu, masyarakat sipil harus dibayangkan bukan sebagai ruang kebebasan (sphere of freedom), melainkan sebagai ruang hegemoni (sphere of hegemony). Ketika kelas sosial yang dominan menguasai pemerintahan, maka mereka akan menggunakan kekuasaan yang ada untuk mendapatkan kesepakatan (consent) dari masyarakat sipil. Jika tidak memiliki kekuasaan sebesar itu, mereka akan mencari cara lain untuk memperoleh kesepakatan dari kelas-kelas sosial lainnya di dalam masyarakat.

Gramsci = timbulnya hegemoni di dalam ranah sosial, baik negara maupun masyarakat sipil, melalui revolusi pasif, blok historis, maupun perang posisi (war of position)
Bouridie = teori dominasi simbolik tidak lagi memproblematisir konsep-konsep tertentu yang ia gunakan, seperti “negara” dan ruling classes. Ia seolah mengandaikan, bahwa konsep-konsep itu selalu sudah ada di dalam realitas sosial. Untuk berasumsi bahwa negara selalu menemukan hegemoni linguistiknya untuk keuntungan mereka sendiri, adalah juga berarti berasumsi bahwa relasi historis antara negara, kelompok yang dominan, dan modal simbolik bisa diprediksi dan tidak historis….saya berpendapat bahwa bahwa adalah halangan ideologis dan historis di dalam konsep ini.” ( = pemikiran Gramsci bisa digunakan untuk ‘menambal’ kelemahan teori Bourdieu).

- Membaca pemikiran Bourdieu dari sudut pandang pemikiran Gramsci. Analisis Gramsci, dengan konsep-konsep dasarnya seperti blok historis, hegemoni, yang bisa dilihat jejak-jejak epistemologisnya di dalam analisisnya tentang nasionalisme, sangat menekankan dimensi historis, di mana kelas-kelas yang berkuasa akan menciptakan hegemoni. Hegemoni dari kelas sosial yang berkuasa tersebut adalah semacam aliansi yang bersifat historis dan kontinual antara berbagai kelas-kelas sosial lainnya, termasuk kelas-kelas subaltern.

- Bourdieu = agak mengabaikan dimensi historis ini. Maka, teori Hegemoni Gramsci bisa digunakan untuk memberi penjelaskan tentang aspek historis dari konsep-konsep, seperti tentang negara, tentang kekuasaan, dan tentang masyarakat, yang begitu saja diandaikan oleh Bourdieu.

- Di sisi lain, analisis Bourdieu tentang dominasi simbolik dari kelas-kelas dominan bisa membantu kita memahami terjadinya dominasi kultural kelas-kelas dominan terhadap kelas-kelas sosial minoritas, atau dalam bahasa Bourdieu disebut sebagai “kesewenangan kultural”, yang terjadi. Dua teori ini bisa dijadikan pisau analisis untuk memahami kompleksitas masyarakat saat ini.

***********