Kamis, 05 Mei 2011

Moore-Gilbert tentang Edward Said

Buku Moore-Gilbert chapter 2)

Edward Said tokoh utama dalam teori post-kolonialisme, pendiri penting kritik budaya dan analisa wacana.
Orientalisme (1978), diposisikan sebagai the founding texts of postcolonialism theory. Lewat buku “Orientalisme”, Said memberikan banyak inspirasi bagi kajian-kajian poskolonial. Said menegaskan bahwa identitas bukan sesuatu yang given, sebagaimana The Orient yang merupakan socially and politically contructed.
Perspektif postkolonial merupakan konsep kunci dalam rangkaian pengembangan diskursus kritik (critical discourse) yang ramai semenjak akhir 1970-an. Gerakan postkolonial merupakan sikap resistensi terhadap otoritarianisme kolonialisme secara militer, politik, maupun kultur.

Pandangan Moore-Gilbert tentang gagasan Said

Terbitnya buku ”Orientalisme” Said merupakan tonggak penting lahirnya kritik terhadap kolonialisme dan orientalisme. Dalam buku ini dipaparkan hubungan antara kultur Barat dengan kolonialisme dan juga imperialisme. Namun point pokoknya adalah pada pengetahuan Barat yang basisnya begitu bias. Ada relasi kuat antara pengetahuan Barat di satu sisi dengan kekuasaan politik disisi lain.

Dalam buku ini dikupas bagaimana Timur direpresentasikan atau dibangun oleh Barat. Hal ini terbaca melalui berbagai karya teks baik sastra maupun ilmiah. Timur menjadi objek yang dibaca, dipahami, dikaji, dan diangkat menjadi karya novel misalnya oleh para penulis Barat. Mereka merasa berhak mekonstruksi Timur, namun kemudian terbukti sudut pandang, perspektif, kesadaran dan ideologi pembaca Barat ini begitu bias. Mereka salah melihat Timur, begitu kira-kira inti argumen Said (dan para ahli postkolonial lain).

Orientalisme Said adalah doktrin politik yang berisi betapa Timur lemah dan Barat dominan. Timur direpresentasikan dalam sifat-sifatnya yang bodoh, despotik, statis, terbelakang, dan seterusnya. Pandangan semacam ini sudah tertanam sejak lama yaitu dimasa penjajahan dulu. Pandangan ini sengaja dibuat demikian sebagai alasan moral Barat menjajah Timur. Pengetahuan ini dianggap sebagai suatu kebenaran.

Konsekuensinya adalah ilmuwan (dan rakyat Barat) cenderung rasis, imperialis dan juga etnosentrik. Mereka meninggikan etnis sendiri dan merendahkan etnis lain (Timur).

Ide postkolonoalis Said diawali dengan merujuk pada Joshep Bristow tentang fenomena mayoritas kaum akademisi kulit putih (the majority of white academic). Said juga menggunakan perspektif Foucault dalam hal power dan bagaimana cara kerjanya. Instrumen kunci dari power menurut Foucault adalah ”pengetahuan”. Said mengadopsi cara kerja Foucault tentang diskursus sebagai media dimana pengetahuan dikonstruksi.

Dalam Orientalism dipaparkan bentuk-bentuk hegemoni Barat terhadap Timur. Di sisni jelas digambarkan pembedaan identitas Timur dan Barat sebagai bentuk dikotomi antara Eropa dengan Asia dan Afrika. Perspektif biner Timur dan Barat ini merupakan kunci dalam teori postkolonial. Apa yang disebut ”Timur” sesunggunya hanya rekaan Barat. Dengan menggambarkan Timur sebagai bagian dunia yang lebih rendah, terbelakang, dan irasionalitas; Barat mendapat ”landasan moral” untuk menentukan nasib Timur. Inilah yang kita lihat pada paradigma developmentalis, dimana Baratlah yang menentukan dan hanya mereka yang tahu bagaimana memperlakukan (=membangun) Timur. Timur sendiri dianggap tidak paham dan tidak tahu bagaimana membangun dirinya. Barat mempersepsikan dirinya sebagai kelas yang unggul, dinamis progresif, dan rasional.

Jadi, mengikuti Foucalt, Said meyakini kekuasaan dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Klaim Barat tentang pengetahuan Timur yang rendah telah memberikan landasan moral bagi Barat untuk mengendalikan Timur.

Kritik dan kelemahan komentar Moore-Gilbert tentang E. Said

Moore-Gilbert memiliki perspesi positif kepada Said terutama berkenaan dengan sumbangan metodologisnya sehingga mampu membongkar kepalsuan relasi Barat-Timur. Namun demikian, Moore-Gilbert melihat ada ketidakkonsistenan dalam pemikiran Said. Kritiknya berkenaan dengan perspektif politik yakni praktek politik imperalisme, dimana pengetahuan tentang Timur disusun dari perspektif Barat yang tidak netral karena ada orientasi politik penguasaan yang kuat.

Kritik lain dari Moore-Gilbert berkenaan dengan hal latent dan manifest dari Orientalisme. Konsep ”latent” dipakai Said untuk merepresentasikan struktur yang dalam atau aspek yang tidak disadari dari orientalisme yakni soal memposisikan politik dan kehendak berkuasa Barat untuk menguasai Timur di dalam diskursus. Sedangkan ”manifest” menujuk pada detail permukaan atau aspek yang nampak dalam diskursus, seperti disiplin (sosiologi, sejarah, sastera, dll), produk budaya, sarjana dan tradisi bangsa. Aspek pengetahuan yang manifest dari orientalisme ini selalu berubah, sementara aspek latent relatif konstan. Bentuk-bentuk aspek latent dari orientalisme terlihat dari karya-karya para pengarah Eropa yang menghadirkan Timur sebagai terbelakang, bodoh, tunduk, irasional dan uncivilized; maka itu perlu diperhatikan, dimajukan, bahkan diselamatkan oleh Barat. Subjek lah yang menciptakan objek.

Moore-Gilbert mempertanyakan bagaimana kebenaran pengetahuan didapatkan. Said mendapatkan pengetahuan tersebut dari teks-teks, padahal Said sendiri mengatakan bahwa analisa mesti diperoleh di luar teks. Jadi, ada ketidakkonsistenan Said menurut Moore-Gilbert. Jika ingin tahu Timur semestinya lakukan studi langsung ke Timur, jangan dari teks-teks belaka. Selain itu, Moore-Gilber juga melihat ketidakkonsistenan Said dalam menggunakan perspektif Marxis.

Berkenaan dengan konsep laten orientalism dan manifest orentalism, Moore-Gilber mengkritisi derajat kedalaman dari laten dan manifes; karena Said membedakan kedua ini dalam hal kedalamannya. Menurut Moore-Gilber kedua ini memiliki derajat yang berbeda, sehingga tidak bisa dianalisis bersamaan.

Sumber Bacaan: Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso.

*****