(Buku Moore-Gilbert chapter 3)
Konseptualisasi Moore-Gilbert tentang Pemikiran Spivak
Dari tiga pemikir utama postkolonial dalam buku Moore-Gilbert, ketiganya merupakan warga dari kelompok masyarakat yang diperjuangkannya, yaitu si Timur. Spivak merupakan salah satu pemikir postkolonial penting berdarah India yang juga banyak mengkonstruksi teori-teorinya dari masyarakat India. Salah satu konsepnya yang terkenal adalah “subaltern” yang basis metodologisnya diadopsi dari pemikir Antonio Gramsci.
Konsep subaltern ini hanya berasal dari sebuah artikel yang mengangkat kisah tragis adik neneknya (Bhuvaneswari Bhaduri) yang saat berusia sekitar 16-17 tahun menggantung diri di Calcutta Utara tahun 1926. Gantung diri ini dilatarbelakangi karena ketidakmampuannya menjalankan tugas pembunuhan politik yang dipercayakan kepadanya. Bagi Spivak inilah bukti sebuah ketidakmampuan berbicara, dan malah memilih membunuh diri.
Sublatern merupakan kelompok marjinal yang selalu menjadi objek bagi kelas yang dominan dan berkuasa. Merekalah kelompok yang tidak pernah ditulis dalam sejarah. Sebagaimana Berger dan Luckman memberi perhatian pada pengetahuan awam sehari-hari, maka Spivak juga menyuarakan ini. Sejarah kehidupan sehari-hari semestinya juga dilihat. Sejalan dengan Berger dan Luckman tersebut, hanya dengan inilah maka akan mampu menggali yang selama ini dilupakan (untuk melakukan debunking). Kelompok subaltern tidak monolitik, mereka mempunyai kompleksitasnya sendiri, dan meskipun mereka berbicara orang tidak menaruh perhatian pada kisahnya.
Pemikir kolonial memposisikan mereka yang terpinggirkan ini sebagai satu bentuk seragam, dimana mereka hanya dilabeli sebagai “masyarakat terjajah” atau “pribumi” tanpa mau tahu etnisnya, gender, pendidikan, dan lain-lain. Spivak ingin membuka mata dan fikiran terutama mereka yang dikelompokkan sebagai penyusun dan pendukung teori kolonial. Spivak memasukkan variabel perempuan, karena perempuan bahkan di masyarakat “normal” saja sudah dapat dikelompokkan sebagai subaltern yakni dalam masyarakat berstruktur patriarkhi.
Meskipun Spivak seorang feminis, namun ia juga mengkritik feminis lain. Ia mengkritik feminis Barat, yang sebagaimana teori lain mengklain sebagai sebuah kebenaran universal. Bagaimanapun teori kritis feminis Barat disusun oleh kalangan perempuan kulit putih Barat dari golongan menengah ke atas yang hidup di perkotaan. Satu kesalahan mereka menurut Spivak adalah karena memandang semua perempuan di dunia ketiga atau non Barat juga seragam dan monolitik. Feminis Barat tidak cermat melihat kondisi dan permasalahan yang khas dan kompleks pada perempuan non Barat. Ini sebuah kekeliruan metodologis; kata Spivak.
Spivak yang dipengaruhi pemikiran Barthez dan Foucault memperjuangkan pembebasan melalui penggalian kesadaran historis yang semestinya menjadi kesadaran yang tidak bisa dilepaskan dari diri masalah-masalah yang sangat lokal. Spivak membuat diskursus alternatif dengan menjadikan konsep “dharma” dalam keyakinan Hindu sebagai pembanding “ideologi Kristen”.
Namun, Moore-Gilbert melihat bahwa Spivak tetap tidak bisa melepaskan diri dari epistemologi pemikiran Barat, khususnya post strukturalis dan postmodern. Spivak dalam beberapa kesempatan sering tidak konsisten dengan posisi pemikirannya. Kontradiksi Spivak juga terlihat ketika ia mengatakan bahwa kelompok subaltern merupakan entitas yang strukturnya terpisah dari sistem ekonomi global yang terbentuknya berawal dari kolonialisme. Ia menyebut subaltern sebagai empty space (ruang kosong) yang lepas dari tatanan ekonomi global dunia; padahal ia menyebut bahwa tubuh perempuan telah menjadi komoditas yang diperdagangkan.
Selama ini, penulisan sejarah telah meminggirkan subaltern, karena selain tidak penting bagi sejarah kemanusiaan juga sulit melacak catatan-catatan tertulis tentang mereka. Elitlah yang menyusunkan sejarah untuk mereka.
Secara sederhana, dualitas elit-subaltern dapat dianalogkan dengan dualitas Barat-Timur, sehingga sejarah Timur juga disusun oleh Barat yang ditulis dengan pemahaman sepihak dan bias-bias yang menutup penulisan sejarah yang sesungguhnya. Malangnya, penulisan tersebut, bahkan oleh ahli hanya mengandalkan catatan-catatan tentara penjajah. (Hal ini misalnya dilakukan Max Weber dalam menulis agama Timur yang hanya mengandalkan catatan tentara dan catatan perjalan orang-orang Barat yang mengunjungi negeri Timur). Akibatnya, mereka tidak pernah benar-benar paham siapa dan bagaima sesunguhnya Timur, dan juga subaltern.
Namun Moore-Gilbert melihat lain, sedikit banyak subaltern juga ditulis meskipun sangat terbatas, misalnya tentang resistensi dan perlawanan terhadap berbagai kebijakan kolonial. Jadi, perjuangan emansipatoris tersebut sebenarnya ada, dan sejarahpun telah mencatatnya. Moore-Gilbert juga melihat bahwa Spivak tidak pernah benar-benar lepas dari pola berfikir biner, meskipun inilah yang menjadi basis kritik poskolonial. Spivak masih tetap menggunakan dikotomi, meskipun hal itu merupakan dikotomi baru.
Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Spivak dan Said
Satu hal yang khas dari Spivak dibandingkan dengan Said (dan Bhabha) adalah perhatiannya pada perempuan sebagai variabel penting. Ini karena Spivak tergolong sebagai pemikir feminis, meskipun ia mengkritik keras feminis Barat yang mengklaim diri sebagai feminis universal.
Spivak mempertanyakan kembali peran intelektual pasca kolonial yang sering dikatakan bisa menyampaikan suara rakyat tertindas atau suara kaum subaltern. Namun, betulkah demikian? Betulkah kaum subaltern bisa berbicara? Subaltern adalah istilah untuk kelompok tertentu di masyarakat yang berada di posisi paling rendah. Ia merupakan kelompok inferior, dan menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Contohnya adalah buruh baik buruh pabrik maupun buruh tani. Mereka tidak memiliki akses kepada kekuasaan yang menghegemoninya. Spivak menekankan, bahwa seharusnya sejarah juga menuliskan tentang sejarah kelas-kelas subaltern ini. Dinamika dan permasalahan kelas subaltern ini cukup kompleks. Mereka memang tidak pernah masuk di “sejarah resmi” negara.
Spivak merupakan ahli kajian kritis mengenai budaya (critical cultural studies) dan teori-teori dekonstruksi. Dalam satu kesempatan ia menyebut dirinya sebagai kritikus sastra.
Di sisi lain, analisis dan perhatian Spivak dapat dikatakan lebih kaya dibandingkan Said. Tema kajiannya lebih luas, mulai dari politik mikro di sekolah sampai narasi makro imperialisme. Ia berupaya melintasi oposisi biner dan menolak mengekslusi pihak yang berbeda darinya. Jika Said cenderung pada analisis level makro, Spivak berupaya mengeksplorasi sampai kepada level yang lebih rendah, dan ia selalu menemukan adanya relasi dominan-subordinasi pada setiap level tersebut.
Bacaan:
Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso.
*******