(Gerard Delanty bab 4,5,6 dan 7,
Key words: universitas, pengetahuan, Habermas, Gouldner, Bourdieu, Gibbons)
Peran universitas dalam memproduksi pengetahuan merupakan fakta historik. Namun pendapat para ahli tentang bagaimana peran itu dijalankan serta harapan untuk peran universitas cukup bervariasi.
Peran universitas dalam memproduksi pengetahuan: perbandingan gagasan Habermas, Gouldner, Bourdieu, dan Gibbons et al.
Semenjak berdiri, dan terutama sepanjang paruh kedua abad ke-20, universitas telah menunjukkan perannya sebagai institusi yang memproduksi pengetahuan. Berbagai pengetahuan penting, meskipun berbasis pada person-person istimewa yang telah berkerja keras, dapat dikatakan sebagai hasil berkerjanya sistem dalam universitas. Salah satu produk pokoknya adalah modernitas, yang diproduksi dalam perannya sebagai mode of knowledge dan juga kultural. Namun, universitas itu sendiri adalah juga buah dari modernitas.
Ide modernitas yang kemudian diorganisir oleh para agennya telah menghasilkan universitas moderen. Nilai-nilai demokrasi merupakan salah satu komponen dari modernitas. Nilai-nilai ini direproduksi dan ditransmisikan melalui universitas. Dengan demikian, universitas telah berperan sebagai kontributor bagi perubahan politik dan budaya dunia. Dalam Delanty dipaparkan beberapa pendapat ahli berkenaan dengan peran universitas dalam memproduksi pengetahuan.
Habermas lebih melihat peran universitas dalam pendidikan politik dan relasi power. Menurut Habermas, tugas universitas adalah memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dengan membangun kesadaran politik di antara civitas akademikanya, terutama untuk para mahasiswa. Mereka harus membangun kesadaran ini semenjak di bangku kuliah, sebagai bentuk pendidikan politik kepada masyarakat secara lebih luas. Universitas merupakan “komunitas komunikasi” dimana berlangsung interkoneksi antara mode produksi pengetahuan di universitas dengan di dunia praktek, serta dalam bentuk lain adalah melawan kekuatan instrumental pasar, birokrasi dan negara.
Pengetahuan berakar di dunia sosial yang dibentuk oleh kekuasaan, dimana universitas berperan dalam emansipasi dalam konteks komunikasi. Parson dan Habermas sepakat melihat universitas sebagai institusi yang berhubungan dengan masyarakat melalui citizenship dan komunikasi. Dalam hal ini ia terbalik dengan pandangan Bordieu.
Habermas memandang pentingya universitas melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat luas dan tidak mengasingkan diri. Dalam bagian ini Delanty membicarakan tentang satu dimensi peranan publik universitas. Universitas tidak semata-mata mereproduksi nilai-nilai sosial dan budaya tetapi juga mempersoalkan model budaya masyarakat. Peranan tersebut dalam universitas dimainkan oleh kaum intelektual. Intelektual dapat memainkan peranan penting dalam mengartikulasikan tatanan sosial dan politik yang baru.
Meski intelektual bertanggung jawab secara sosial tetapi tanggung jawab ini tidak boleh dikompromikan dengan keterikatan yang berlebihan pada misi politik. Tanggung jawab sosialnya yang utama adalah pada objek kultivasi kebudayaan, bukan di politik. Perkembangan terakhir, produksi pengetahuan tidak lagi bebas dari kepentingan sosial dan model-model budaya postmodernis. Universitas menjadi semakin kehilangan kemampuan istimewanya dalam mendefinisikan bidang pengetahuan dan malah semakin masuk dalam debat mengenai struktur kognitif masyarakat. Kemampuan intelektual universitas berhadapan dengan kekuatan intelektual di luar universitas yang semakin besar. Universitas tidak lagi bebas melakukan hegemoni.
Berbeda dengan Habermas, Alvin Gouldner mempelajari lahirnya kelas baru dan kaitannya dengan universitas. Gouldner memperhatikan fenomena kelahiran kalangan intelektual sebagai aktor sosial yang mentransmisikan ide, meskipun batas antara ide kultural dan ideologi politik masih merupakan hal yang kabur. Ia membedakan antara intelektual dan intelegensia. Intelektual memiliki ketertarikan dengan sisi emasipatoris dan pengetahuan kritis (critical konowledge) dan berkontribusi langsung pada kepemimpinan revolusioner.
Intelektual dan intelegensia secara bersama-sama membentuk kelas baru (new class) yang merupakan jenis elit baru yang lahir di dunia postindustri. Mereka adalah borjuis kultural yang memiliki kekuasaan dan sedikit banyak mengontrol pendidikan di masayarakat. Institusi pendidikan dipercayainya mampu mereproduksi keteraturan sosial, namun khusus untuk penguruan tinggi ia lebih sesuai bila dipandang sebagai aparat ideologi negera.
Bourdieu melihat peran struktural universitas secara berbeda. Ia mengedepankan teori pendidikan sebagai bentuk reproduksi sosial dan diskusi. Ia seorang ahli uiversitas modern, dimana universitas sebagai praktek-praktek sosial yang melayani klasifikasi kultural yang memungkinkan kekuasaan bersirkulasi dalam kontek antar kelembagaan. Teorinya tentang universitas berkaitan dengan power, yakni bagaimana power diproduksi, distribusikan dan direproduksi. Ini sejalan dengan konsep Parson tentang relasi antara pengetahuan dan citizenship. Pendidikan diyakini mampu mengurangi ketimpangan, melalui fungsi universitas memproduksi pengetahuan yang secara mendalam melekat pada produksi kapital kultural. Bourdieu menganalisa pengetahuan dalam relasi kekuasaan, mengikuti Foucault yakni “knowledge is power”.
Menurut pandangan Bourdieu, universitas adalah institusi yang di dalam sistem sosial masyarakat berupaya membangun posisi dan mempertahankan dirinya sendiri melalui berbagai jenis kekuasaan yang diproduksi, reproduksi dan bersirkulasi. Universias berada dalam situasi dimana kekuasaan-kekuasaan saling berkontestasi. Dalam kondisi demikian, ia berjuang mereproduksi diri.
Bourdieu pun melihat bahwa universitas selama ini telah berperan dalam mereproduksi ketimpangan. Ini karena universitas sebagai dasar untuk mereproduksi status, sarana mempengaruhi dan menjadi kekuasaan ekonomi. Pendidikan merupakan alat legitimasi distribusi sumberdaya sosial melalui akses yang berbeda pada modal budaya. Bourdieu menggarisbawahi bagaimana relasi intelektual dan produksi budaya. Analisa Bourdieu tentang pendidikan berpusat ada struktur internal kekuasaan dalam universitas, yang menghasilkan jenis kekuasaan yang berbeda. Bourdieu menunjukan kecenderungan umum dalam transformasi pendidikan tinggi melalui tiga jenis modal simbolis yaitu kekuasan akademik, kekuasaan ilmiah dan intelektual. Pendidikan tinggi mencerminkan ketimpangan dalam masyarakat dengan sistem stratifikasi internalnya. Hal ini tergambar pada ranking universitas-universitas.
Dalam konteks ini, universitas sebagai produsen pengetahuan terkait erat dengan produksi modal budaya. Kekuasaan yang diproduksi dan dipertahankan secara simbolis dengan model-model budaya menjadikan universitas menduduki posisi yang sangat penting di masyarakat.
Terakhir, Gibbons et al. melihat pada kenyataan bahwa produksi pengetahuan telah memasuki fase baru. Fase ini terutama mulai nampak pada akhir abad ke-20. Gejala baru tersebut adalah apa yang dikenal dengan model 2 produksi pengetahuan yang bercirikan refleksif, transdisiplin, dan juga heterogenitas. Dalam kondisi ini universitas tidak lagi mendominasi produksi pengetahuan. Pengguna (user) pengetahuan memiliki posisi yang semakin berarti, dan secara bersama-sama ia ikut memproduksi pengetahuan.
Bacaan:
Delanty, Gerard. 2001. Challenging Knowledge; The University in The Knowledge Society London: Open University Press.
******