Rabu, 09 Maret 2011

Teori Ras Kritis

Sebagaimana kritik gender terhadap teori-teori sosiologi, teori ras kritis juga bertolak dari pengalaman subjektif kelompok-kelompok ras dan etnik tertentu yang tertindas sebagai landasan kritik. Teori yang ada dipandang tidak mampu menerangkan kondisi yang dihadapi mereka, dan bagaimana agar mereka keluar dari situasi tersebut. Sebagaimana laki-laki dan perempuan, ras hitam dan putih adalah juga suatu kategori sejarah, politik, dan kebudayaan. Ia merupakan socially constructed yang merupakan hasil pertarungan ideologis antara kelas-kelas sosial dalam masyarakat.

Perjuangan politik kaum kulit hitam di Amerika, sebagaimana kaum perempuan dalam koteks gender, merupakan respon dari kondisi ketidakadialn dan ketidaksaamaan yang dialami mereka. Namun, tidak sebagaimana perjuanagn gender yang didominasi kulit putih, terutama dari perempuan kelas menengah, perjuangan kaum kulit hitam dimotori oleh mereka yang tergolong miskin, kelas pekerja, dan marjinal. Terdapat perbedaan tipe dan pola gerakan kulit hitam di bagian Selatan dan Utara. Di bagian Selatan mereka lebih memperjuangkan hak-hak sipil dan persamaan secara sosial dengan ulit putih. Paper ini terbatas hanya disusun dari bab 15 buku Seidman (2008).

Beberapa Pemikiran tentang Ras Afrika (di AS)

Teori ras kritis yang dibahas dalam buku Seidman ini menjadikan Teori Afrocentrism sebagai titik tolak. Perkembangan teori ini dipimpin oleh Asante. Intinya, ia menyebut bahwa pengalaman sebagai orang Afrika telah memberikan seperangkat nilai-nilai yang unik dan perspektif sosial kepada kulit hitam. Dalam teori ini, Eurocentrism maupun Afrocentrism mestilah dipandang sebagai dua hal berbeda sehingga hanya valid jika kita masuk melalui pengalaman dunia mereka sendiri.

Berkembangnya teori ini dimulai tahun 1970-an, ketika perjuangan untuk keadilan sosial kaum Afrika-Amerika terhalang. Kaum kulit hitam merasakan adanya politik rasisme di semua tempat kota dan kampus-kampus di seluruh wilayah. Kondisi kulit hitam cukup berat menghadapi ini yang terlihat dari ketidakstabilan keluarga, penggunaan obat-obatan terlarang dan kesejahteraan yang rendah. Kulit hitam secara langsung juga menghadapi gerakan anti kulit hitam.

Sebagaimana konsep ”Hitam” dimaknai dari istilah Afrika-Amerika, kaum akademisi mengembangkan konsep ”Afrocentrism” yang dimaknai sebagai gerakan yang luas untuk menghadapi persepsi tentang inferioritas kaum kulit hitam dan ketidak berdayaan politik. Kaum akademisi menjadikan konsep ”Afrocentrism” ini sebagai bentuk kritik terhadap ilmu sosial dan sebagai paradigma alternatif pengetahuan.

Dominasi kalangan Eurocentrism di Amerika merupakan sebuah kultur kolonisasi, dimana imprealisme simbolik telah meminggirkan dan mengalienasi kulit hitam dari masyarakat mereka sendiri. Konsep Afrocentism menyediakan kaum turunan Afrika perspektif dan tradisi yang memberdayakan dengan merefleksikan kebudayaan mereka sendiri. Asante melihat bahwa kulit hitam memiliki nilia-nilai harmonis, kesatuan (unity), dan spritualisme. Asante menjadikan identitas Afrika ini sebagai titik tolak teorinya, dimana ada seperangkat nilai dan tradisi yang mejadi basis lahirnya identitas Afrika tersebut. Ia meyakini sepenuhnya ada unit dan sesuatu yang unik pada identitas Afrika. Ini berbeda sekali dengan identitas ras-ras lain, misalnya Eropa.
Berikutnya adalah Konsep ”Multiple Standpoitn” dari Collins dengan fokus pada pemikiran feminis kulit hitam. Ia melihat adanya kebutaan gender di kalangan Afrocentrism dan marjinalisasi ras dalam feminisme. Ia menawarkan konsep feminis Afrocentrism. Ia berpandangan bahwa gender tidak dapat dan tidak akan dilihat sebagai terpisah dari ras. Laki-laki dan perempuan, pada hakekatnya mestilah diposisikan sebagai laki-laki dan perempuan dalam ras tertentu, klas, seksualitas, dan nasionalitas. Perbedaan inilah yang menjadi jatung identitas sosial.

Teorinya ini bertolak dari kondisi yang dialami oleh kalangan perempuan berkulit hitam yang selalu terpinggirkan dalam kehidupan. Posisi yang saat ini dihadapi perempuan kulit hitam tidak hanya karena sejarah mereka sebagai orang Afrika, namun juga karena andil atau relasi dengan perempuan kulit putih di rumah dan tempat kerja.

Teori ketiga berasal dari Appiah yang melakukan dekonstruksi identitas Afrika. Menurutnya apa yang disebut dengan ”identitas Afrika” oleh ahli terdahulu tidaklah sesuatu yang nyata. Tidak ada yang disebut identitas Afrika sebagai satu bentuk, karena ia menemukan tiap wilayah di Afrika telah menghasilkan identitas-identitas tertentu yang berbeda kepada manusianya. Karena itu, ia menemukan ada identitas Nigeria, Rwanda, Afrika Selatan, dan lain-lain. Ia menolak basis biologis dalam penyusunan konsep dan teori feminisme Afrika sentris (Afrocentrism feminism).

Beberapa Pemikiran Tentang Ras Kulit Putih

Pemikrian ini berkembang karena menyadari minimnya perhatian sosiologi terhadap ras kulit putih. Dari berbagai studi tentang kulit putih di berbagai kondisi masyarakat; dipelajari mengapa kaum kulit putih bersikap rasis dan bagaimana hak-hak khusus (privilege) mereka terbentuk dan bertahan. Studi lebih fokus pada apa dampak dari rasisme kulit putih terhadap ras lain dan peradaban masyarakat secara luas. Studi ini bertolak dari kesadaran bahwa berbagai ras di Amerika yakni kulit hitam, Eropa, Asia dan bangsa asli Amerika; belum cukup memadai dipandang sebagai sebuah konstruksi historis. Terutama untuk ras putih, mereka dipersepikan melalui streotipe belaka, sedangkan perbedaan di dalam ras kulit putih sendiri kurang diperhatikan.

Perhatian ahli terhadap ras putih muncul tahun 1980 dan 1990-an sebagai respon terhadap munculnya realitas multikultural yang menyusun identitas bangsa Amerika kontemporer. Sebagaimana terhadap ras lain, perhatian pokok diberikan terhadap keunikan identitas dan kultur kulit putih. Studi bertujuan untuk mempelajari konteks sosial dan historis kulit putih.
Satu pendekatan dalam konteks ini adalah apa yang disebut perspektif ”invisbility-visibility”. Dalam kehidupan sehari-hari, kulit putih dengan lebih mudah terlihat, karena ia berada di tempat-tempat yang ”mudah terlihat”. Jika kita ke sebuah hotel, kulit putih dengan mencolok mata langsung terlihat, karena ia ada di meja tamu, manajer, dan seterusnya; sementara ras lain tidak. Meskipun”orang putih” (White) memang mudah terlihat, namun tidak untuk ”putih secara sosiologi” (Whiteness). Tidak mudah melihat ras putih dari perspektif identitas ras dan kultur.

Ahli-ahli mengakui bahwa ras putih memiliki posisi yang istimewa di masyarakat. Ia memiliki privilege. Ia lah penyusun dan pembentuk apa yang dikenal dengan ”kultur Barat”. Ras putih memiliki kekuasaan dan percaya bahwa mereka berfikir, merasa dan bertindak untuk seluruh manusia. Mereka merasa bahwa merekalah pembentuk peradaban di dunia ini.
Kalangan teori kritis menilai bahwa ini benar hanya dalam konteks relasi dengan ras non putih. Kaum perempuan putih hanya memiliki privilege dalam konteks relasi dengan perempuan ras Asia misalnya. Selain itu, putih tidaklah satu wajah. Ada diferensiasi dalam kalangan masyarakat ras putih. Ada perbedaan kekuasaan dan juga status di antara mereka sendiri. Sebagaimana kalangan ahli ras Afrika mengembangkan teori mereka, untuk ras putih pun disadari bahwa ”putih” bukanlah sesuatu yang alamiah. Apa yang saat ini dipahami sebagai ras putih oleh masyarakat terbentuk karena proses sosial.

Daftar Pustaka:

Seidman, Steven. 2008. Contested Knowledge: Social Theory Today. 4th edition. Blackwell Publishing, Australia.

*****