Kamis, 28 Oktober 2010

Modal sosial: resensi tulisan Grootaert, 2001.

Peran Modal Sosial dan Kelembagaan Lokal terhadap Keluarga Miskin

Sumber tulisan: Grootaert, Christiaan. 2001. Does Social Capital Help the Poor?: A Synthesis of Findings from the Local Level Institutions Studies in Bolivia, Burkina Faso and Indonesia. The World Bank: Social Development Family Environmentally and Socially Sustainable Development Network. Local Level Institutions Working Paper No. 10, June 2001.

Latar Belakang, Tesis dan Metode

Dalam tulisan yang ditulis Grootaert (2001) ini disampaikan bahwa perkembangan ekonomi yang terjadi pada level individu, rumah tangga, bahkan negara tidak selalu bisa dijelaskan dari faktor-faktor input berupa tenaga kerja, sumberdaya lahan, dan kapital fisik belaka. Modal sosial (social capital) telah menjadi salah satu variabel yang dipertimbangkan sebagai penjelas semenjak beberapa dekade terakhir ini. Pada level makro, modal sosial terbukti memiliki peran pada kemajuan ekonomi yang dicapai sekelompok masyarakat. Karena itu, pemahaman terhadap modal sosial yang dimiliki masyarakat sangat perlu karena dapat mempengaruhi bagaimana kebijakan pembangunan dan desain program yang akan diimplementasikan.

Modal sosial terdiri atas tiga komponen, yaitu kepercayaan (trust), norma (social norm) dan jaringan (network). Pernyataan tesis dari tulisan Grootaert ini menyebut bahwa, keberadaan institusi dan asosiasi lokal merupakan bahan yang menentukan kuat atau lemahnya jaringan sosial di masyarakat bersangkutan. Banyak riset membuktikan bahwa asosiasi lokal berperan dalam kegiatan program pembangunan, yang berjalan melalui 3 mekanisme yaitu: wadah untuk berbagi informasi antar anggota, mengurangi peluang perilaku oportunis, dan memfasilitasi pembuatan keputusan kolektif. Juga disebutkan bahwa, pada level komunitas, asosiasi lokal memiliki kesejajaran dengan modal sosial, meskipun kedua hal ini tidak sinonim secara timbal balik.

Permasalahan penelitiannya adalah meskipun modal sosial berperan dalam mencapai keberhasilan pelaksanaan program pembangunan dan memudahkan berbagai pelayanan, tapi belum terlihat apa implikasi modal sosial untuk kesejahteraan rumah tangga dan apakah dapat membantu pengentasan rumah tangga miskin. Meskipun ini sudah terbukti di Tanzania misalnya, namun belum jelas apakah modal sosial sebagai faktor utama atau bukan. Selain itu, belum dipahami dengan baik bagaimana asosiasi lokal dapat membantu rumah tangga, khususnya untuk membantu peningkatan kesejahteraan rumah tangga miskin.
Penelitian Grootaert ini bertujuan mempelajari kondisi keanggotaan masyarakat pedesaaan dalam organisasi-organisasi, serta mempelajari derajat keefektifan partisipasi masyarakat dalam asosiasi. Keterlibatan dan partisipasi dalam institusi lokal ini merupakan indikator utama untuk memahami modal sosial yang dimiliki masyarakat bersangkutan.

Penelitian dilaksanakan di tiga negara secara paralel yaitu di Bolivia, Burkina Faso, dan Indonesia. Objek penelitian adalah institusi lokal, dimana responden penelitian adalah rumah-rumah tangga dan pengusus asosiasi, sedangkan nara sumber adalah dari tokoh-tokoh masyarakat terutama dari pihak pemerintahan desa. Pendekatan penelitian disebutkan merupakan pendekatan integratif kualitatif dan kuantitatif (mix method), namun analisa data menerapkan metode analisa kuantitatif. Analisis data dilakukan pada berbagai level (mutilevel unit) mulai dari rumah tangga, komunitas, dan distrik (setingkat kecamatan dan kabupaten). Data kuantitatif dianalisa dengan menggunakan metode ekonomi untuk mengestimasi dampak modal sosial, sedangkan data kualitatif dianalisa terutama untuk institusi-institusi utama dalam hal historiknya dan yang berkaitan dengan efektivitas asosiasi lokal. Secara keseluruhan terlihat, penelitian ini lebih dominan sebagai penelitian kuantitatif, yang diperkaya dengan informasi kualitatif.

Menurut saya, kondisi ketiga negara yang agak berbeda, misalnya dalam jenis dan struktur organisasi di masyarakat, tidak dapat dibandingkan secara langsung dalam analisa. Sebagai contoh, di Indonesia, keterlibatan responden dalam asosiasi tergolong tinggi, namun derajat keterlibatannya sangat variatif. Hal ini terlihat dari Tabel 4, dimana meskipun indeks keanggotaan rata-rata responden lebih tinggi (5,5; bandingkan dengan 0,8 dan 1,8 di Bolivia dan Burkina Faso) namun indeks partisipasi dalam pembuatan keputusan jauh lebih rendah (63,5 berbanding dengan 84,9 dan 79,7).

Temuan Penelitian dan Diskusi

Penelitian ini mengakui modal sosial tidak mudah dilihat sebagai sesuatu yang eksis di level komunitas dan menguntungkan bagi rumah tangga. Dari data yang terkumpul, ditemukan bukti signifikan bahwa asosiasi lokal memberi keuntungan bagi rumah tangga miskin lebih besar dibandingkan rumah tangga lain. Hal ini sejajar dengan data perolehan (return) dari modal sosial, dimana perolehan untuk rumah tangga miskin juga lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa modal sosial berperan positif dalam pengurangan kemiskinan. Partisipasi aktif anggota rumah tangga pada asosiasi telah dapat memberi keuntungan ekonomi bagi rumah tangga bersangkutan.

Selanjutnya dari sisi asosiasi, komposisi keanggotaan yang heterogen dari aspek sosial ekonomi lebih menguntungkan bagi sebuah asosiasi karena dapat mendistribusikan resiko dan lebih bervariasinya sumber pendapatan. Pada level komunitas, tindakan kolektif merupakan hal yang sangat penting, dan untuk menjalankan tindakan kolektif, maka karakter demografi dan karaktersosial ekonomi anggota yang homogen terbukti lebih baik.

Dari studi ini, implikasi kebijakan yang penting adalah bahwa asosiasi lokal dapat menjadi salah satu komponen penting untuk pembentukan modal sosial, yang pada akhirnya dapat membantu rumah tangga miskin. Dengan demikian, rumah tangga miskin semestinya didorong untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai asosiasi-asosiasi lokal di lingkungannya sendiri.

Menurut saya, pengetahuan bahwa asosiasi lokal berdampak baik bagi rumah tangga merupakan pengetahuan yang sudah agak umum, yang telah dibuktikan oleh berbagai studi. Satu hal yang jarang diungkap adalah asosiasi seperti apa yang sesuai dengan rumah tangga miskin. Sebagai contoh, derajat keformalan asosiasi mungkin merupakan hal yang perlu diteliti lebih jauh, karena hal ini dapat menghalangi partisipasi rumah tangga miskin dalam asosiasi tersebut.

Catatan:

Saya menduga petani dalam memilih relasinya dengan pihak-pihak lain mempertimbangkan berbagai variabel sebagaimana variabel yang membentuk modal sosial. Selain itu, kelembagaan lokal - dalam bentuk organisasi formal atau asosiasi - apa yang disenangi petani ? Dalam studi ini disebut bahwa keluarga miskin kurang terlibat dengan kelembagaan lokal. Hal yang menarik adalah, apakah petani pada level kesejahteraan lebih rendah, memiliki jaringan relasi sendiri yang terpisah dengan petani atas atau tidak? Jika benar, hal-hal apa yang menjadi kendala petani lapisan bawah terlibat dalam asosiasi-asosiasi? Hasil riset ini memberi beberapa inspirasi penting untuk kita lanjuti.

*****