Dalam konteks sosiologi sebagai ilmu sosial, yang berkembang setelah ilmu alam dikenal secara luas, ditemui berbagai perdebatan (dan keraguan) terutama berkenaan dengan apa sesungguhnya fakta dan bagaimana memahaminya atau mempelajarinya. Metode riset merupakan hal pokok dalam pengembangan ilmu, bahkan menjadi syarat untuk eksistensi ilmu itu sendiri. Neuman (hal. 60) bahkan menekankan bahwa “Research methodology is what makes social science scientific”.
Ilmu sosiologi yang perkembangannya relatif muda dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial lain misalnya, dari waktu ke waktu menghadapi pencarian terus menerus berkenaan dengan metode yang dipakai. Kalangan sosiologi menyadari bahwa hanya dengan metodologi yang kuatlah ilmu ini dapat berkembang. Dapat dikatakan, bahwa terjadi perubahan yang mendasar tentang paradigma keilmuan itu sendiri. Menurut Creswell (1994: p. 3-4) dari dua paradigma utama (kuantitatif dan kualitatif), dikembangkan lima asumsi untuk memhami kedua paradigma tersebut. Kelima asumsi yang harus digunakan menurut Creswell adalah asumsi ontologi (apa sifat realitas), asumsi epistemologi (bagaimana hubungan peneliti dengan yang diteliti), asumsi aksiologi (bagaimana peranan nilai), asumsi retorik (apa bahasa yang digunakan), dan asumsi metodologi (bagaimana penelitian dijalankan).
Dalam buku Neuman (2000) yang dibahas dalam tulisan ini, ia membagi atas tiga pendekatan yang selama ini digunakan dalam ilmu sosial, yaitu positivist social science (PSS), interpretive social science (ISS), dan critical social science (CSS). Selai itu ia juga menyampaikan adanya dua pendekatan yang relatif baru dan masih berkembang, yaitu pendekatan feminist dan posmodern.
Ulasan ini dimulai dengan penjelasan singkat tentang ketiga pendekatan, lalu dilanjutkan dengan pembahasan dan perbandingan antar ketiganya yang dikelompokkan atas dua aspek, yaitu berkenaan dengan realitas sosial (ontologi) dan konsep keilmuan yang digunakan (epsitemologi dan metodologi).
Tiga Pendekatan dalam Ilmu Sosial
(1) Pendekatan positivis
Pendekatan positivis paling sering digunakan dalam lmu-ilmu sosial selama ini. Pendekatan ini berawal dari August Comte yang mengembangkan Sosiologi Positif sebagai paradigma pokok ilmu sosial dengan bertolak dari relaitas sosial secara empiris. Hal ini terpengaruh oleh perkembangan dari ilmu-ilmu alam. Namun, positivisme juga berkembang sebagai respon dari kelemahan pendekatan filsafat yang bersifat spekulatif.
Dalam pendekatan ini semua pengetahuan harus terbukti lewat bukti yang diperoleh melalui pengamatan secara sistematis. Peneliti dan objek yang diteliti harus memiliki jarak sedemikian rupa sehingga tercapai prinsip intersubyektif. Karena itu, segala pendapat yang tidak bisa diverifikasikan secara empiris tidak diterima dalam pendekatan ini.
Pendirian epistemologis kalangan positivis didasarkan pada pendekatan yang digunakan dalam ilmu alam, hanya berbeda dalam istilah yang digunakan. Hipotesa mengenai realita sosial dibuktikan melalui penelitian eksperimen. Dapat pula dikatakan bahwa pendekatan potivis bersifat nomotetis karena menggunakan seperangkat teknik dan prosedur yang sistematis dalam penelitian dan teknik kuantitatif untuk menganalisis data. Sebaliknya, pendekatan interpretatif dan kritis ada yang menyebut sebagai pendekatan anti-positivis.
(2) Pendekatan Interpretatif
Dalam pendakatan interpretatif, realitas sosial pada hakekatnya tidak pasti namun nisbi atau relatif. Karena kenisbiannya, maka pemaknaan tiap orang tergantung bagaimana ia terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Seseorang hanya dapat mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial. Dalam konteks ini ilmu sosial bersifat subyektif. Pendekatan ini menolak kedudukan sebagai “pengamat” sebagaimana dikenal pada pendekatan positivis. Seseorang hanya bisa mengerti apabila menggunakan kerangka berpikir orang yang terlibat langsung. Dengan kata lain, ia berupaya mengerti dari sisi dalam realitas sosial.
(3) Pendekatan Kritis
Dibandingkan pendekatan interpretatif, pendekatan kritis dapat dikatakan selangkah di depan, dimana selain berupaya memahami, mereka yang menggunakan pendekatan ini berusaha melakukan perubahan radikal dari kondisi yang ada. Dalam banyak hal, pendekatan kritis memikiki kesamaan dengan pendekatan interpretatif yaitu anti-positivis, volunteris, dan ideografis. Perbedaan utamanya adalah karena pendekatan kritis berusaha memahami kondisi yang dihadapi sekelompok manusia dan berupaya membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yg. menghambat. Paham volunterisme yang dianut dalam pendekatan ini bermakna bahwa manusia sepenuhnya adalah pencipta dan berkemauan bebas.
Pandangan ini dikembangkan dari pemikiran Marx, yang kemudian melahirkan berbagai teori yang dikelompokkan sebagai teori-teori radikal. Salah satunya adalah teori yang dikembangkan pada kalangan feminis yang menggugat ilmu pengetahuan (sosial) yang bias jender dan bertujuan mengoreksinya. Jika kalangan yang menggunakan pendekatan positivis berpandangan bahwa ilmu harus bebas nilai, sebaliknya kalangan feminis berpandangan tidak ada kebenaran tunggal namun ada beragam tafsir dan kebenaran. Berbeda halnya dengan pendekatan positivis yang secara deduktif berangkat dari teori, dalam studi perempuan sejumlah penjelasan ilmiah justru didapatkan dari kasus pengalaman perempuan yang lalu dibangun argumentasi untuk menunjukkan ketimpangan yang dialami perempuan dalam masyarkaat.
Asumsi tentang Realitas Sosial
Tidak sebagaimana pada imu alam, ilmu sosial menghadapi pertanyaan dasar apakah yang dimaksud dengan realitas sosial. Timbul dua dikotomi pendapat menganai ini, bahwa relaitas dapat berupa keadaan yang obyektif atau sebagai keadaan yang subyektif. Pendekatan positivis (PSS) menganggap realitas berada di luar diri peneliti, dalam kondisi yang relatif stabil dan tertata. Sebaliknya pendekatan interpretatif (ISS) melihat bahwa realitas tersebut hanya merupakan situasi yang diciptakan dari interaksi antar manusia, dan pendekatan kritis (CSS) melihat bahwa realitas sosial selalu dalam kondisi berkonflik yang diakibatkan oleh struktur yang tak mudah dilihat.
Sifat dasar manusia menurut PSS adalah rasional yang dibentuk dari kekuatan dari luar diri manusia. Kalangan ISS menolak pendakatan ini dan meyakini bahwa manusia adalah pelaku aktif yang memahami, menciptakan, dan mengkonstruksi selalu tentang apa dan bagaimana masyarakat harus berjalan. Pendapat ini semakin diperkuat dalam CSS, yang melihat bahwa manusia pada hakekatnya adalah makhluk kreatif namun seringkali terperangkap oleh berbagai kesadaran palsu (ilusi).
Asumsi tentang Keilmuan yang Dikembangkan untuk Memahami Realitas Sosial
Bagian ini berkaitan dengan anggapan-anggapan dasar mengenai landasan ilmu pengetahuan yang harus dikembangkan untuk memahami manusia, yaitu bagaimana seorang peneliti harus memahami dunia sosial dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain. Implikasinya adalah apa saja bentuk-bentuk pengetahuan yang bisa didapat dan bagaimana memilah apa yang dikatakan benar dan salah.
Menurut pemahaman PSS, sebagaimana dalam ilmu alam, digunakan pandangan deterministik mengenai sifat manusia. Karena itu, penelitian yang dilakukan adalah untuk mengungkap apa hukum-hukum kausalitas yang berperan dalam satu masyarakat. Hal ini berbeda dengan ISS yang berupaya memahami dan menjelaskan makna dari aksi sosial, sedangkan pendekatan CSS berupaya menghilangkan berbagai mitos dan berupaya menggerakkan masyarakat untuk berubah secara radikal. Kalangan ISS dan CSS meyakini bahwa realitas sosial yang sesungguhnya bukanlah kenyataan visual yang dapat dilihat oleh indera, tetapi pada “ruh” yang hidup di belakangnya.
Khusus berkenaan dengan common sense, kalangan PSS dapat membedakan secara tegas dengan ilmu sosial, dan menolak keberadaan common sense dalam ilmu sosial. Sebaliknya, ISS menghargai common sense sebagai sesuatu yang riel berperan dalam dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini erat kaitannya dengan sikap terhadap nilai (value). Kalangan PSS secara tegas menyatakan bahwa ilmu sosial haruslah bebas nilai, sedangkan ISS dan CSS melihat bahwa nilai yang dimiliki seorang peneliti (posisi peneliti) merupakan hal yang penting untuk memahami realitas sosial. Secara lebih tegas, dalam CSS dikatakan bahwa ilmu mestilah berawal dari ketegasan posisi nilai. Posisi nilai yang dipegang seorang peneliti hanya dapat dikategorikan atas dua kemungkinan, yaitu ”benar” atau ”salah”.
Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti yang menggunakan pendekatan positivis berupaya menemukan ketepatan variabel-variabel yang ditelitinya, serta metode yang jelas sedemikian rupa sehingga peneliti lain dapat mengulanginya jika perlu. Sebaliknya, pada penelitian dengan pendekatan interpretatif, bukti-bukti penelitian melekat dalam konteks masyarakat yang diteliti. Peneliti haruslah berupaya memahami (verstehen) apa yang terjadi dan menilainya menurut cara pandang masyarakat yang diteliti.
Seorang peneliti dengan pendekatan positivis berupaya melakukan deduksi dengan berpedoman pada hipotesis-hipotesis. Peneliti positivis telah siap dengan rencana penelitiannya jauh sebelum ia mendatangi objeknya. Hal ini tidak berlaku bagi kalangan interpretatif, karena peneliti harus memulai dengan melakukan observasi awal secara langsung di lapangan sehingga paham apa masalah utama masyarakat yang akan ditelitinya. Fokus penelitiannya sangat tergantung dari observasi awal ini. Beda lagi dengan peneliti dengan pendekatan kritis, karena ia harus memulai dengan mempelajari sejarah dan kondisi masyarakat dalam rentang yang lebih luas (makro). Peneliti kritis berupaya mengungkap berbagai ketimpangan dan ketidakadilan menurut ukuran-ukuran moralitas.
Sebagaimana dinyatakan Neuman (2000: p. 84) pada bagian kesimpulan, tidak dapat dikatakan mana pendekatan yang paling benar dari ketiga pendekatan yang diuraikan di atas. Bahkan ketiganya pun saat ini masih dalam kondisi berkembang yang membutuhkan penyempurnaan terus menerus.
Daftar Bacaan:
Neuman, W Laurence. 2000. Social Research Methods Qualitative and Quantitative Approaches. 4th edition. Needham Heights.
Creswell, Jhon W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. Sage Publication. Londeon, New Delhi.
******