Kapitalisme saat ini telah berkembang sedemikian rupa dan menjiwai berbagai segi kehidupan. Kapitalisme disebarkan semakin cepat ke seluruh dunia dengan adanya fenomena globalisasi. Menurut Stiglitz globalisasi adalah kenyataan yang tak terelakkan. Dunia semakin terkoneksi berkat revolusi informasi dan komunikasi. Namun, globalisasi memiliki problem-problem serius yang berakar dari ketidakseimbangan kompetisi antara yang lemah dan yang kuat.
Untuk ini, Stiglitz mengemukakan cara-cara baru yang radikal untuk mengatasi utang negara berkembang, menyarankan sistem baru cadangan global untuk mengatasi ketidakstabilan keuangan internasional, dan memberikan usulan-usulan baru untuk memecahkan ketidakmampuan kita menanggulangi pemanasan global. Stiglitz juga melihat perlunya reformasi lembaga-lembaga dunia, terutama PBB, IMF, dan Bank Dunia, serta kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional. Negara berkembang mesti dapat memaksimalkan manfaat globalisasi dan meminimalkan dampak negatifnya.
Menurut Stiglitz sebenarnya globalisasi dapat, atau berpotensi, memperkaya setiap orang di dunia khususnya penduduk miskin. Tetapi untuk mencapai tujuan itu caranya harus diubah secara radikal. Jika tidak diubah secara sungguh2 radikal maka dampak negatifnya sangat mengerikan terutama bagi si miskin. Dalam buku dekade kserakahan, disampaikan bahwa negara lain tidak usah meniru kapitalisme ala Amerika.
Sesuai dengan Marx, dimana kapitalis menerapkan pola M-CM, disini Stiglitz mencela paradigma baru industri perbankan yang lebih senang bermain aman dengan kecenderungan memutar kapital melalui selisih bunga bank sentral ketimbang memperoleh margin melalui penyaluran kredit ke sektor riel.
Sebagaimana kata Marx pula, bahwa kapitalisme mengandung benih-beinh kehancurannya sendiri, Stiglitz mengangkat borok-borok dan skandal memalukan perekonomian AS yang justeru menjadi lokomotif awal mula petaka ekonomi dunia pada dekade 90-an. Periode ini ditandai dengan euforia kemunculan ekonomi baru (new economy) dengan lonjakan produktifitas dua atau tiga kali lipat. Kehadiran perusahaan-perusahaan dot-com merevolusi cara AS dalam berbisnis. Fenomena ini bahkan disejajarkan dengan Revolusi Industri, dimana terjadi pergeseran basis perekonomian dari pertanian ke manufaktur. Namun, ini rupanya semu, karena ekonomi rapuh dan gampang hancur.
Globalisasi yang dimotori AS justru mempertontonkan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan penjajahan dalam bentuk baru. Akhirnya, AS ‘mengekspor’ kemelut ekonomi dalam negerinya dan perilaku liciknya ke dunia internasional. Buku ini tidak sekedar mengungkap borok ekonomi AS tahun 90-an dan keserakahannya pada dunia, namun juga perlunya meruntuhkan mitos-mitos perekonomian AS dan dunia. Dengan kata lain, mitos-mitos kapitalisme yang berjanji akan mensejahterakan semua pun perlu direvisi.
Muhammad Yunus adalah penerima Nobel Perdamaian tahun 2006. Ini untuk pertama kali, sebuah usaha pemberantasan kemiskinan mendapatkan penghargaan tersebut. Yunus digelari Pembela Kaum Papa dan Wanita.
Usahanya memberdayakan kaum miskin mulai sejak tahun 1974 dengan mengembangkan program kredit mikro tanpa agunan. Tahun 1976 ia merubah lembaga kreditnya menjadi sebuah bank formal dengan aturan khusus bernama Bank Grameen. Modal bank ini 94 persen dimiliki nasabah, yakni kaum miskin, dan sisanya dimiliki pemerintah. Sebanyak 96 persen nasabah bank ini adalah kaum perempuan. Untuk menjamin pembayaran, Bank Grameen menggunakan sistem yang dinamakan ‘grup solidaritas’. Kelompok kecil yang bersama-sama mengajukan pinjaman, di dalamnya terdapat anggota yang bertindak sebagai penjamin pembayaran. Pinjaman ini mirip dana bergulir, di mana ketika satu anggota telah berhasil mengembalikan pinjaman, akan digunakan oleh anggota lainnya. Bank Grameen kemudian memperluas cakupan pemberian kreditnya dengan memberikan pinjaman rumah (KPR), proyek irigasi, pinjaman untuk usaha tekstil, dan usaha lainnya. Pada akhir 2003, Bank Grameen meluncurkan program baru, yang membidik para pengemis di Bangladesh. Gerakan pemberdayaan Muhammad Yunus kini diadopsi oleh lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat miskin di seluruh dunia. Bahkan, Bank Dunia yang sebelumnya memandang program ini secara sebelah mata kini mengadopsi gagasan kredit mikro.
Apa yang dilakukan Yunus dan Grameen Bank memutarbalikkan cara berfikir kaum kapitalis dalam mengelola perbankan. Menurut fikiran bankir, pasti hanya orang yang sudah punya penghasilan yang bisa mengembalikan pinjamannya. Kalau pun ada penghasilan, tetapi pinjaman tak dikembalikan, bank bisa menyita aset jaminan kita.
Kesalahan cara pandang dan pola berpikir itulah yang hendak "diputar" oleh Muhammad Yunus. Ia bukan bankir, tetapi seorang profesor ekonomi. Dengan pendekatan ini justeru lebih sukses, terbukti peminjam mengembalikan pinjaman hampir 99 persen. Menurut Yunus, kredit seharusnya dipahami sebagai hak asasi manusia. Ia menggunakan tekanan-tekanan dan relasi sosial kehidupan berkempompok sebagai penjamin pengembalian hutang dan penggunaan pinjaman.
*****