Kamis, 28 Oktober 2010

Tindakan kolektif (Beard and Dasgupta, 2006)

”Tindakan Kolektif dan Pembangunan Berbasiskan Komunitas di Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia”

Tulisan ini didasarkan atas telaahan tulisan Victoria A. Beard and Aniruddha Dasgupta. 2006. Collective Action and Community-driven Development in Rural and Urban Indonesia. Urban Studies, Vol. 43, No. 9, 1451–1468, August 2006. Sage Publication and Urban Studies Journal Limited. http://usj.sagepub.com/cgi/content/abstract/43/9/1451

Tesis, Tujuan dan Metode Penelitian

Tulisan Beard dan Dasgupta ini merupakan hasil penelitian berkenaan dengan tindakan kolektif dengan membandingkan antara di perkotaan dan di pedesaan pada lokasi program pengentasan kemiskinan. Penelitian ini didasarkan atas kondisi bahwa pembangunan telah merubah pendekatan kepada keterlibatan lokal sebagai perencana utama (local over central planning), sebagai respon dari kelemahan pendekatan top-down selama ini. Hal ini diimplementasikan dalam bentuk proses pembangunan yang lebih terdesentralisasi, mengaplikasikan perencanaan yang berbasiskan komunitas, serta menerapkan metode partisipatoris dalam memonitor dan mengevaluasi program. Hal ini diwujudkan dalam konsep pembangunan berbasiskan komunitas (community-driven development). Kunci keberhasilan pendekatan ini adalah kapasitas komunitas untuk menjalankan tindakan-tindakan kolektif (collective action). Didasarkan atas objek tersebut, tulisan Beard dan Dasgupta berupaya mengembangkan satu konsep yang komprehensif dan kerangka teoritis untuk memahami faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadi - atau tidak terjadinya - tindakan kolektif di masyarakat.

Riset ini berangkat dari dua tesis, yaitu bahwa ada kapasitas yang lebih besar pada masyarakat pedesaan untuk mewujudkan tindakan kolektif, dan khusus di wilayah perkotaan tindakan kolektif lebih berpotensi untuk menjadi sebuah transformasi sosial (socially transformative). Dua tesis ini lalu dipilah menjadi tiga pertanyaan yaitu:
(1) Bagaimana perbedaan ciri kolektifitas (“rukun”) antara komunitas di pedesaan dan di perkotaan?
(2) Bagaimana perbedaan dalam heterogenitas sosial ekonomi, ukuran populasi, relasi sosial, serta keberadaan ideologi komunitas (communitarian ideology) mempengaruhi modal sosial dan kemampuan untuk mewujudkan tindakan kolektif di komunitas pedesaan dan perkotaan?
(3) Bagaimana perbedaan tindakan kolektif di komunitas pedesaan dengan perkotaan?

Penelitian dilakukan pada tujuh lokasi (desa dan kelurahan) yang merupakan lokasi Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang dalam terminologi Bank Dunia sebagai pendonor kegiatan disebut dengan Urban Poverty Project (UPP). Seleksi lokasi sebagai studi kasus komunitas dilakukan secara purposif dan ilustratif (purposive and illustrative) atau bukan secara acak atau inklusif (random or inclusive). Tujuh komunitas studi kasus dipilih dengan merepresentasikan berbagai perbedaan karaktersitik untuk menggambarkan kontinuum desa ke kota (rural-to-urban continuum), yang terdiri dari tiga lokasi berbentuk komunitas desa, satu semi desa/semi kota, dan tiga lagi berupa komunitas perkotaan.

Pada tahap pertama, tim penelitian melakukan lima FGD di masing-masing komunitas. Berdasarkan hasil FGD, lalu diidentifikasi informan kunci untuk wawancara formal dan informal. Selain wawancara mendalam dengan informan, juga dilakukan wancara terstruktur dengan kuesioner untuk rumah tangga dan individual.

Temuan Penelitian

Temuan penelitian ini adalah bahwa tindakan kolektif di level komunitas harus dipahami sebagai suatu bagian yang bersifat majemuk sebagai dampak dari berkerjanya faktor-faktor sosial, politik, dan historis baik dari sisi internal maupun eksternal dari komunitas bersangkutan. Telah berhasil pula diidentifikasi adanya dua bentuk berbeda untuk terwujudnya tindakan kolektif. Bentuk pertama didasarkan pada daya kohesi komunitas, relasi sosial yang stabil, dan dalam beberapa kasus berkaitan erat dengan hierarki yang berdasar sosial dan klas. Bentuk kedua adalah tindakan kolektif yang didasarkan atas adanya saling kepercayaan (belief) dalam relasi yang saling tergantung terhadap masa depan (interdependent future) dan harapan untuk akan tercapainya perubahan politik dan struktural. Bentuk kedua ini diyakini lebih berpotensi untuk mencapai transformasi sosial yang diharapkan dari kegiatan proyek.

Selain ditemukan adanya perbedaan antara komunitas pedesaan dan perkotaan, juga diperoleh dua faktor yang mendasari tindakan kolektif menuju transformasi sosial. Pertama adalah ketidakpuasan terhadap sistem perencanaan di level komunitas dan pemerintahan. Ketakpuasan ini berasal dari persepsi bahwa elit lokal telah melakukan korupsi atau tidak dapat dipercaya untuk mendistribusikan secara tepat sumberdaya yang terbatas. Faktor kedua adalah proses politisasi penduduk dan grup-grup komunitas.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pencapaian pembangunan yang berbasiskan komunitas (community-driven development) secara mendasar berkaitan dengan kapasitas komunitas dalam menjalankan tindakan kolektif. Kapasitas untuk melakukan tindakan kolektif tergantung kepada berbagai faktor-faktor yang ada di dalam maupun di luar komunitas, namun sayangnya berada di luar kontrol pelaksana program. Untuk berhasilnya progam, maka pelaksana program semestinya mempelajari kapasitas setiap komunitas untuk menjalankan tindakan kolektif. Dalam kondisi kapasitas untuk tindakan kolektif hanya bernilai sedang (sub-optimal), fasilitator harus menjalankan program dengan partisipatif untuk membantu komunitas mengidentifikasi isu kolektif dan merumuskan apa visi untuk masa depan mereka.

Sementara, jika komunitas terlalu lemah dimana banyak konflik dan perebutan kepentingan, maka program berskala kecil akan lebih tepat. Intinya, program yang berbasikan komunitas (community-driven development projects) mestilah disusun dalam bentuk yang cukup fleksibel, sehingga fasilitator program dapat mengidentifikasi dan berkerja dengan kelompok-kelompok dan stakeholders dengan lebih baik.


*****