(Sebuah review)
Paper berikut disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian berkenaan dengan tindakan kolektif dan pengorganisasian petani dalam praktek selama ini. Penelitian yang diacu merupakan penelitian dengan objek petani dan masyarakat desa. Konsep-konsep pokok disini adalah konsep tindakan sosial, tindakan kolektif, rasionalitas, serta lembaga (institusi) dan organisasi. Konsep-konsep ini saling memiliki kaitan, dan dipandang penting dalam menjelaskan bagaimana petani berperilaku, rasionalitas apa yang mendasarinya, serta bagaimana struktur yang terbentuk dari serangkaian perilaku tersebut.
Tindakan Kolektif dan Syarat Terbentuknya
Teori tindakan (action theory) adalah perspektif sosiologi yang memfokuskan pada individu sebagai subjek dan melihat tindakan sosial (social action) sebagai sesuatu yang bertujuan yang dibentuk oleh individual dalam konteks sebagaimana diberikan makna olehnya. Mengorganisasikan diri, pada level kelompok menghasilkan seperangkat relasi, yang salah satunya berbentuk organsisasi formal. Ini merupakan konstruksi sosial. Konstruksi sosial tersebut melahirkan institusi dan organisasi, yang merupakan media dimana individu menjalankan tindakan sosialnya. Pengorganisasian sekelompok orang, mulai dari bentuk yang sederhana sampai rumit, pada hakekatnya adalah upaya mewujudkan adanya tindakan kolektif.
Menurut hasil penelitian Beard dan Dasgupta (2006), tindakan kolektif yang berhasil digalang dalam penelitiannya di wilayah Indonesia, merupakan dampak dari berkerjanya faktor-faktor sosial, politik, dan historis baik dari sisi internal maupun eksternal dari komunitas bersangkutan. Dari studi ini juga ditemukan bahwa untuk mewujudkan tindakan kolektif, dibutuhkan daya kohesi komunitas, relasi sosial yang stabil, dan adanya hierarki yang berdasar sosial dan klas, saling kepercayaan (belief) dalam relasi yang saling tergantung terhadap masa depan (interdependent future), dan adanya harapan untuk akan tercapainya perubahan politik dan struktural.
Tindakan kolektif dapat menuju trasnformasi sosial hanya apabila ada ketidakpuasan terhadap sistem perencanaan di level komunitas dan pemerintahan, dan adanya proses politisasi penduduk dan grup-grup komunitas. Kapasitas komunitas untuk melakukan tindakan kolektif tergantung kepada berbagai faktor-faktor yang ada di dalam maupun di luar komunitas. Dalam kondisi kapasitas untuk tindakan kolektif hanya bernilai sedang (sub-optimal), fasilitator harus menjalankan program dengan partisipatif untuk membantu komunitas mengidentifikasi isu kolektif dan merumuskan apa visi untuk masa depan mereka. Jika komunitas terlalu lemah, dimana banyak konflik dan perebutan kepentingan, program berskala kecil akan lebih tepat.
Organisasi hanyalah salah satu basis dalam menjalankan tindakan kolektif. Tanpa organisasi sekalipun, tindakan kolektif masih dapat dijalankan. Penelitian Davis et al. (2009) di Banglades mendapatkan bahwa tindakan kolektif yang terjadi umumnya merupakan tindakan yang spontan dan informal, dan tanpa pengorganisasian. Ada empat kategori norma sosial yang menjadi dasar terbangunnya tindakan kolektif, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kehormatan (respectability), keadilan (justice), resiprositas dan subsistensi. Berkenaan dengan ini, tindakan kolektif yang selama ini gagal dijalankan dalam organisasi-organisasi formal petani di Indonesia, kemungkinan disebabkan karena petani-petani telah memiliki berbagai relasi sebagai sandaran untuk menjalankan berbagai tindakan kolektif, dimana relasi-relasi tersebut berada di luar organisasi-organisasi formal. Hal ini dibutktikan dalam penelitian Hellin et al. (2007), dimana rendahnya keterlibatan petani dalam berorgansiasi disebabkan karena kompensasi yang diberikan untuk berorganisasi tidaklah sebanding dengan peningkatan pendapatan yang mereka peroleh.
Petani memperbandingkan antara kompensasi yang diperolehnya jika terlibat dalam organisasi formal dengan pengorbanan yang harus diberikannya. Jika tambahan pendapatan yang diperoleh tidak sebanding, mereka cenderung enggan terlibat. Menurut Badstue et al. (2006) ada tiga parameter yang teridentifikasi untuk menganalisa tindakan kolektif antara petani, yakni kelompok petani, aturan atau praktek, dan keuntungan derivasi (derived benefits). Namun, di sisi lain, untuk menjalankan tindakan kolektif, karakter demografi dan karaktersosial ekonomi anggota yang homogen juga perlu dipertimbangkan karena terbukti memberi pengaruh lebih baik (Grootaert, 2001).
Sedikit berbeda dengan ini, studi Sunito dan Saharuddin (2001) menemukan kecenderungan bahwa beberapa faktor internal yang mempengaruhi petani untuk terlibat dalam organisasi adalah: homogenitas anggota organisasi, motivasi pembentukan organisasi, basis ikatan horizontal antar petani. Sedangkan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan organisasi petani adalah: historik relasi dengan pihak luar, serta bentuk dan tingkat intervansi pihak luar terhadap organisasi petani.
Melengkapi temuan ini, Simmons (2002) menyumbangkan bahwa ada empat area strategis yang menjadi pertimbangan petani terlibat dalam berorganisasi, yakni: (1) apakah mereka dapat mengakses ke pasar karena sebelumnya mereka menghadapi biaya transaksi yang tinggi, (2) apakah mereka dapat mengakses kredit dengan bunga yang tidak mahal, ketika sebelumnya selain bunga yang tinggi bahkan sering kali tidak memiliki akses ke lembaga permodalan, (3) apakah mereka disediakan berbagai pelayanan untuk memperbaiki manajemen resiko di sektor hulu (on-farm), dan (4) apakah mereka disediakan informasi, penyuluhan serta dukungan logistik sehingga biaya transaksi yang lebih rendah dapat mereka raih.
Khusus dalam kasus tindakan secara kolektif, prinsip moral menekankan perlunya mempertimbangkan pengorbanan yang harus dikeluarkan termasuk risikonya, hasil yang mungkin diterima, tingkat keberhasilannya apakah lebih bermanfaat secara kolektif atau tidak, dan kepercayaan pada kemampuan pemimpin. Dalam mempertimbangkan hasil yang akan diterima, mereka hanya akan ikut bila diyakini akan menguntungkan. Dengan demikian aksi-aksi kolektif yang dapat dinilai mendatang keuntungan bagi mereka saja yang diikuti atau didukung. Rasionalitas petani sampai saat ini masih menjadi pertanyaan yang menarik diungkap. rasionalitas seorang petani tidak sepenuhnya berkaitan dengan maksimalisasi ekonomi sebagaimana diduga para ahli, namun juga mempertimbangkan keuntungan sosial atau kultural.
Karakteristik dan Peran Organisasi Petani
Dalam penelitian Hellin et al. (2007) terungkap bahwa keberadaan organisasi petani merupakan sesuatu yang positif. Organisasi petani terbukti bermanfaat untuk mengakses kredit, benih dan pupuk. Selain itu, organisasi petani juga menjadi faktor penting (critical factor) agar pasar dapat bekerja pada petani miskin, terutama yang memproduksi komoditas bernilai ekonomi tinggi. Hal ini didukung penelitian Badstue et al. (2006) dimana petani dalam kelompok lebih berpeluang untuk menerapkan keragaman genetik jagung dibandingkan secara individual.
Khusus untuk kegiatan pemasaran, dibutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang biaya dan margin tata niaga untuk anggota organisasi. Perlu diberikan mitra kerja bagi organisasi petani. Relasi yang berbasiskan ekonomi (relasi organisasi petani dengan supermarket) ternyata lebih kuat dalam menjamin keberlanjutan organisasi petani, dibandingkan dengan relasi organisasi petani dengan NGO yang bukan berbasiskan relasi ekonomi.
Agar organisasi petani dapat terbangun dan eksis, faktor peran dan waktu merupakan faktor kunci (lihat juga Sunito dan Saharudin, 2001). Hanya dengan waktu yang cukup lah petani dapat memahami keberadaan organisasi petani untuk pemasaran hasil. Jika organisasi petani hanya mampu memberi sedikit keuntungan kepada anggotanya, maka organisasi dapat membantu anggotanya dalam berbagai kebutuhan lain.
Penelitian Sunito dan Saharuddin (2001) juga mendapatkan bahwa berorganisasi secara formal hanya merupakan salah satu opsi yang dapat dipilih petani dalam menjalankan usaha agribisnisnya. Kuncinya adalah pada keuntungan apa yang ditawarkan dan dapat secara secara riel diperoleh petani. Dibutuhkan insentif yang jelas sehingga petani mau berkerjasama dan berpartisipasi secara penuh (Badstue et al., 2006). Kepercayaan merupakan unsur utama dalam transaksi. Transaksi berupa pemberian berlangsung dalam keluarga atau sebagai sebuah hadiah, sedangkan transaksi jual beli berlangsung dengan orang luar. Pada transasksi jual beli, jarak sosial (social distance) tampak lebih lebar.
Kualitas relasi merupakan kunci yang penting. Penelitian Simmons (2002) menemukan bahwa keberhasilan pertanian kontrak tergantung kepada bagaimana kualitas relasi sebelum terbentuk kelompok (pre-existing groups), tingkat demokratisasi yang dijalankan, serta kejelasan perjanjian antar pihak. Timbulnya berbagai konflik menimbulkan kesan buruk bagi petani kecil, yang akan menyebabkan mereka mengurangi keterlibatannya. Petani mau terlibat karena yakin dengan berbagai keuntungan langsung maupun tidak langsung. Berbagai keuntungan tidak langsung adalah memberdayakan kalangan perempuan, mampu mengembangkan kultur komersial dimana petani belajar bernegosisasi, paham dalam pergudangan dan berkomunikasi dengan pihak-pihak luar.
Pada hakekatnya, organisasi formal dalam format yang sudah berjalan baik, mampu memberi banyak keuntungan kepada anggotanya. Hal ini dibuktikan dari studi Grootaert (2001) dimana asosiasi lokal memberi keuntungan bagi rumah tangga miskin lebih besar dibandingkan rumah tangga lain. Organisasi juga dapat menjadi wadah untuk berkomunikasi. Namun, tanpa itupun komunikasi masih dapat dilangsungkan. Penelitian Dewulf et al. (2005) yang meneliti bagaimana pengetahuan masyarakat bisa dieksplorasi, menemukan bahwa pengetahuan terbuka (explicit knowledge) maupun tertutup (tacit knowledge) telah berhasil saling dipertukarkan antar pelaku, antara pihak perguruan tinggi dan masyarakat. Peran sebagai penghubung (intermediary) tidak dapat menggantikan sosialisasi langsung pengetahuan-pengetahuan tersembunyi antar komunitas. Pihak peserta proyek mesti dilibatkan secara partisipatif, sehingga mereka berkesempatan mengkomunikasikan pengetahuan-pengetahuan mereka yang tersembunyi (tacit knowledge) kepada pihak lain.
Satu aspek penting untuk keefektifan organisasi adalah keanggotaannya. Menurut Grootaert (2001), komposisi keanggotaan yang heterogen dari aspek sosial ekonomi lebih menguntungkan bagi sebuah asosiasi karena dapat mendistribusikan resiko dan lebih bervariasinya sumber pendapatan. Selain dibutuhkan organisasi-organisasi yang kuat secara individual, bangun keorganisasian pada level komunitas juga merupakan hal penting. Dari studi Choe (2005) di Korea Selatan ditemukan bahwa dalam program Samuel Undong dikembangkan organisasi yang khas. Di level masyarakat, ada tiga organisasi penting yang berperan yakni kelompok ketetanggaan (neighborhood meeting) yang berisi 20 sampai 25 keluarga, pertemuan umum desa (general meeting of village) dimana seluruh warga dapat berpartisipasi di dalamnya, dan kelompok aparat desa (village development committee) yang merupakan representasi dari sekitar 15 organisasi di desa. Ada dua tipe organisasi dimana masyarakat dapat terlibat dan mengepresikan keinginannya, yakni pertemuan umum dimana semua orang boleh hadir dan memberikan pendapatnya, dan yang kedua adalah pertemuan perwakilan kelompok ketetanggaan dimana kehadiran 20-25 keluarga diwakili oleh seorang utusan.
Selain dalam organisasi (formal), tindakan kolektif juga berjalan dalam jaringan. Disini, pelibatan aktor cenderung sukarela, dan tentunya sudah mempertimbangkan untung ruginya. Menurut teori jaringan, relasi para aktor bersifat saling tergantung satu sama lain (interdependence), sehingga seseorang tidak akan mampu mencapai tujuan-tujuannya tanpa menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki oleh orang lain. Mekanisme kesalingtergantungan ini berjalan melalui adanya pertukaran (exchange) sumber daya antar aktor. Kemudian, interaksi dan mekanisme pertukaran sumberdaya-sumberdaya dalam jaringan itu akan terjadi secara berulang-ulang dan terus-menerus dalam jangka waktu yang lama dalam kehidupan keseharian.
Keberulangan (repetitiveness) dan kontinuitas proses-proses itu kemudian secara bertahap akan memunculkan suatu aturan yang mengatur perilaku mereka dalam jaringan. Terbangunnya dan diterimanya aturan-aturan oleh para pelaku jaringan terjadi melalui proses negosiasi yang berlangsung terus menerus. Melalui mekanisme jaringan pula tercapai cara pengelolaan yang merupakan tindakan kolektif dalam mengelola sumberdaya, sekaligus mengubah dan mengarahkan pola-pola dalam struktur jaringan (network structuring).
Pendekatan pengembangan keorganisasian
Ada banyak pertimbangan dan persiapan sebelum membangun organisasi petani. Dari studi Simmons (2002) diperoleh pelajaran bahwa elemen manajemen merupakan hal penting dalam keberhasilan ini yang mencakup kelompok pertanian (farm groups), seleksi petani peserta, manajemen, dan resolusi konflik. Faktor seleksi petani merupakan hal penting dalam keberhasilan pertanian kontrak. Beberapa indikator yang harus dipertimbangkan adalah pengalaman bertani, luas lahan yang dikuasai, kesuburan lahan (fertility of farms), dan pertimbangan-pertimbangn terkait dengan komunitas. Selain tiu, kontrak harus disusun dengan menjanjikan keuntungan yang cukup atraktif bagi petani, karena petani terbukti lebih memperhatikan aturan-aturan (the rule) yang disepakati daripada memperhatikan berbagai peluang untuk bertindak lain (the exception). Terungkap pula bahwa pertanian kontrak yang kurang berhasil disebabkan oleh permasalahan eksklusi (the problem of exclusion).
Salah satu pengorganisasian petani yang diakui cukup berhasil adalah di Korea Selatan, dimana peran organisasi petani sangat membantu dalam kesuksesan program Samuel Undong. Dalam penelitian Choe (2005) terungkap bahwa ada empat kunci yang menjadi pokok keberhasilan program ini, yakni: (1) karena adanya pedoman dan dukungan dari pemerintah nasional, (2) karena luasnya partisipasi yang dapat dijalankan oleh masyarakat, (3) karena peran pemimpin lokal yang dipilih oleh masyarakat secara demokratis, dan (4) karena adanya gerakan (movement) untuk reformasi spritual. Selain tiu, juga pentingnya peran pendamping lokal yang terdiri dari penyuluh pertanian, pekerja keluarga berencana, LSM, dan pemimpin-pemimpin lokal. Mereka bersama-sama dengan masyarakat harus mengidentifikasi masalah, memonitor perkembangan proyek, serta menyediakan jasa-jasa yang sesuai dengan kebutuhan.
Dukungan pemerintah yang kuat dan kontinyu merupakan faktor pokok, bersamaan dengan pencerahan spritual, adanya kerjasama dalam pembangunan maupun kemajuan (joint development and joint progress), serta adanya kegiatan yang dijalankan dengan pendekatan bertahap (step-by-step approach). Progam harus disusun secara jelas bagi masyarakat (tangible and visible projects) mulai dari langkah awal dengan fokus pada peningkatan pendapatan. Peningkatan perolehan secara material (tangible material improvement) dan kebutuhan biaya yang lebih rendah merupakan faktor yang membuat orang mau terlibat dan ingin berubah.
Pengembangan organisasi petani tidak mesti dalam bentuk organisasi formal. Satu bentuk lain adalah organisasi yang berbasiskan relasi pasar. Penelitian Simmons (2002) di banyak negara berkembang di Asia Pasifik menyimpulkan bahwa keberhasilan sebuah usahatani kontrak merefleksikan bahwa lingkungan yang mereka hadapi sesuai dan manajemen tampaknya juga telah dijalankan dengan baik. Lingkungan yang dimaksud dalam konteks ini mencakup kekuatan pasar untuk pemasaran produk atau output, kebijakan makro pemerintah, dan keberhasilan teknis dalam sistem produksi.
Selanjutnya, dari studi Simmons diketahui bahwa keuntungan utama bagi petani kecil untuk terlibat dalam oraganisasi (dalam kasus pertanian kontrak) adalah karena adanya akses ke pasar, peluang untuk menggunakan teknologi leih baik, manajemen yang lebih baik, dan kesempatan meningkatan peluang kerja anggota keluarga. Petani kecil tertarik untuk berpartisipasi dalam pertanian kontrak dengan dua motivasi utamanya yaitu: meningkatkan keuntungan dan memperkecil resiko berusaha. Tiga indikator yang dipakai petani adalah implikasi pada perolehan pendapatan (revenue), implikasi pada biaya yang harus disandangnya, dan implikasi pada resiko yang akan dihadapinya yang mungkin bisa lebih besar atau lebih kecil.
Skala usaha juga menjadi faktor penentu tingkat kewirausahaan petani. Studi Subrahmanyeswari et al. (2007) terhadap 120 orang responden perempuan peternak sapi perah di India, menyimpulkan bahwa penyebab tinggi rendahnya nilai kewirausahaan adalah karena perbedaan skala usaha.
Pada hakekatnya, basis pengembangan usaha adalah pada daya kewirausahaan. Kewirausahaan berbeda dalam hal level kepercayaan diri, perilaku mencari informasi, dan daya keinovatifan. Dari hasil analisis korelasi dan regresi, faktor-faktor sosial ekonomi dan psikologis yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan menunjukkan bahwa peternak perempuan (dairywomen farmers) memiliki perilaku kewirausahaan (entrepreneurial behavior) pada tingkat “sedang” dan bervariasi antar tiga kategori responden dengan tingkat signifikansi yang sangat nyata. Perilaku kewirausahaan terbukti berpengaruh positif dan secara signifikan berhubungan dengan penguasaan lahan (land holding), penguasaan sarana usaha (material possession), orientasi manajemen, orientasi nilai (value orientation), dan pendapatan dari usaha peternakan. Dua faktor lain yang juga berpengaruh nyata adalah variabel pendidikan dan tingkat keinovatifan (innovativeness). Sebagian besar variasi dari perilaku kewirausahaan telah dapat diterangkan dari faktor pengalaman dalam berusaha, partisipasi sosial, pelatihan yang telah diterima dan pendapatan yang telah diterima dari usaha ini.
Sumber bacaan:
(1) Badstue, Lone B;. Mauricio R. Bellon; Julien Berthaud; Xo chitl Ju´ arez; Irma Manuel Rosas; Ana Mar´ıa Solano; and Alejandro Ram´ırez. 2006. ”Examining the Role of Collective Action in an Informal Seed System: A Case Study from the Central Valleys of Oaxaca, Mexico”. Human Ecology, Vol. 34, No. 2, April 2006 (_C 2006). DOI: 10.1007/s10745-006-9016-2. Published online: 17 May 2006. http://proquest.umi.com/pqdweb?index=1&did=1092911211&SrchMode=1&sid=9&Fmt=6&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1251870292&clientId=45625
(2) Beard, Victoria A. and Aniruddha Dasgupta. 2006. Collective Action and Community-driven Development in Rural and Urban Indonesia. Urban Studies, Vol. 43, No. 9, 1451–1468, August 2006. Sage Publication and Urban Studies Journal Limited. http://usj.sagepub.com/cgi/content/abstract/43/9/1451
(3) Choe, Chang Soo. 2005. Key Factors to Successful Community Development: The Korean Experience. Discussion Peper No. 39. Institute of Developing Economies. November 2005.
(4) Davis, Peter; Rafiqul Haque; Dilara Hasin; and Md. Abdul Aziz. 2009. Everyday Forms of Collective Action in Bangladesh: Learning from Fifteen Cases. CAPRi Working Paper No. 94. International Food Policy Research Institute: Washington, DC. http://dx.doi.org/10.2499/CAPRiWP94.
(5) Dewulf, Art; Marc Craps; René Bouwen; Felipe Abril; and Mariela Zhingri. 2005. How Indigenous Farmers and University Engineers Create Actionable Knowledge for Sustainable Irrigation. http://arj.sagepub.com/cgi/content/abstract/3/2/175. Action Research Volume 3(2): 175–192. Copyright© 2005 SAGE Publications London, Thousand Oaks CA, New Delhi. www.sagepublications.com
(6) Hellin, Jon; Mark Lundy; and Madelon Meijer. 2007. Farmer Organization, Collective Action and Market Access in Meso-America. Capri Working Paper No. 67 • October 2007. Research Workshop on Collective Action and Market Access for Smallholders. October 2-5, 2006 - Cali, Colombia. International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington.
(7) Grootaert, Christiaan. 2001. Does Social Capital Help the Poor?: A Synthesis of Findings from the Local Level Institutions Studies in Bolivia, Burkina Faso and Indonesia. The World Bank: Social Development Family Environmentally and Socially Sustainable Development Network. Local Level Institutions Working Paper No. 10, June 2001.
(8) Simmons, Phill. 2002. Overview of Smallholder Contract Farming in Developing Countries. ESA Working Paper No. 02-04. Graduate School of Agricultural and Resource Economics University of New England, Armidale, Australia, 2351. Agricultural and Development Economics Division The Food and Agriculture Organization of the United Nations. http://www.fao.org/docrep/007/ae023e/ae023e00.htm
(9) Subrahmanyeswari, B.; K Veeraraghava Reddy; and B Sudhakar Rao. 2007. Entrepreneurial behavior of rural women farmers in dairying: a multidimensional analysis. Livestock Research for Rural Development 19 (1) 2007. Centro para la Investigación en Sistemas Sostenibles de Producción Agropecuaria, Cali, Colombia. Received 20 August 2006; Accepted 16 September 2006; Published 1 January 2007. http://www.lrrd.org/lrrd19/1/subr19015.htm
(10) Sunito, Satyawan dan Saharuddin. 2001. Farmer Organizations in Upland Natural Resource Management in Indonesia. Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 29. This report is part of the ASB Project in Indonesia. The Asian Development Bank, under RETA 5711, financially supported this specific work.
******