Jumat, 13 Februari 2009

Sosiologi dan Perkembangannya



A. Pengertian Sosiologi: Objek dan Pendekatannya

Saat ini sosiologi merupakan salah satu bagian dari ilmu sosial meskipun pendirinya Auguste Comte menginginkannya menjadi ratu dari ilmu sosial yang cakupan dan kedalamannya mampu “memayungi” seluruh ilmu-ilmu sosial lain. Secara definitif, “sosiologi” sebagai sebuah konsep diberi makna yang tidak sama antar ahlinya. Hampir setiap ahli merumuskan lagi dalam buku-bukunya apa yang ia maksud dengan sosiologi. Beberapa penulis menuliskan definisinya dengan tegas dan yakin, namun sebagian meyakini bahwa tidak mudah mendefinisikan apa yang disebut dengan ilmu sosiologi tersebut secara ringkas.

Pada intinya, sosiologi mempelajari manusia secara individual dalam konteks sosial. Sebagaimana menurut Ritzer (1878), sosiologi mempelajari manusia dalam hubungannya dengan latar belakang sosialnya, yaitu kelompok, organisasi, budaya, dan masyarakat; serta kesalinghubungan antar semua komponen tersebut. Dari seluruh komponen tersebut, sosiologi mempelajari perilaku. Jadi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial, serta bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.

Definisi ini sebatas menyebut sekumpulan objek yang menjadi perhatian sosiologi. Lebih jauh, Berger (1979) juga menjelaskan apa objek sosiologi, namun menekankan pada kedalaman objek tersebut. Menurutnya sosiologi tidak cukup hanya melihat permukaan, atau apa yang tampak, namun harus mempelajai pula apa di belakangnya (looks behind) .

Jika kedua ahli di atas menyebutkan sisi objek dan kedalaman realitas sosial yang harus diperhatikan ilmu sosiologi, Calhoun et al. (2002) menjelaskan bahwa sosiologi merupakan pengetahuan yang sistematis (sistematic knowledge), dan berupaya menyusun pengetahuan sesistematis mungkin. Hal ini perlu ditekankan karena sosiologi sebagai ilmu sosial sangat berbeda dengan common sense yang juga merupakan pengetahuan tentang kehidupan manusia. Lebih jauh, Calhoun et al. menyebutkan bahwa sosiologi sebagai sebuah ilmu (harus) dapat menjadi pedoman untuk mempertanyakan (inquiry) apa yang harus dipelajarinya, dan menata hasil yang diperoleh secara sistematis. Untuk itu, sosiologi haruslah menggali objek yang menjadi perhatiannya seempiris dan seobjektif mungkin serta secara luas. Sosiologi tidak hanya berisi kumpulan jawaban dari sejumlah pertanyaan tentang masyarakat, tapi menyodorkan apa pertanyaan yang lebih baik dalam memahami masyarakat.

Pada akhirnya sebagaimana halnya ilmu pengetahuan, sosiologi berguna karena membantu mengidentifikakasi pola-pola dalam kehidupan sosial (social pattern) karena ia berupaya melakukan generalisasi dari temuan-temuannya. Meskipun sosiologi mempelajari keseluruhan aspek namun ia memfokuskan pada beberapa aspek saja, dan bertujuan menemukan komponen kemasyarakatan yang bersifat stabil, yaitu berupa pola-pola umum kehidupan masyarakat. Sosiologi membantu untuk memahami suatu kejadian tertentu, menghubungkan dengan berbagai kejadian lain, dan pada akhirnya melihat pola kehidupan sosial, yaitu dalam hal perbedaan dan persamaannya.

Dalam Calhoun et al. (2002) disebutkan bahwa sosiologi bukan untuk kebutuhan praktek di dunia sosial (what should be) tapi merupakan ilmu murni (what it is). Pendapat ini tampaknya tidak diikuti secara taat oleh ahli-ahli lain, karena kelompok Chicago School misalnya dan sosiologi Amerika umumnya yang beraliran pragmatisme menjadikan kemampuan untuk diterapkan dari ilmu sosiologi sebagai semangat kerja mereka.

Untuk menjadi seorang sosiolog, menurut Giddens (2001) yang menyepakati Mills (2000), intinya adalah menanamkan atau menumbuhkan imajinasi. Dalam konteks ini, seorang sosiolog mempelajari bagaimana lingkungan yang dihadapi seseorang dan memposisikannya pada konteks yang lebih luas. Lebih jauh C. Wright Mills (2000) menjelaskan bahwa imajinasi sosiologis akan membantu seseorang, baik sebagai peneliti maupun anggota masyarakat biasa, untuk memahami keberadaannya secara konstekstual dari dimensi waktu maupun keruangan dari kehidupan sosial.

Tidak mudah membedakan sosiologi dari ilmu-ilmu sosial lainnya. Namun Bierstedt (1970), menyatakan bahwa perbedaannya bukan pada isi atau area perhatian, namun pada derajat penekanan pada aspek-aspek tertentu dari objek yang sama. Yang berbeda adalah pendekatan dan kedalamannya (investigated), karena dari segi keluasan ilmu sejarah dan antropologi misalnya lebih luas cakupannya.

B. Perkembangan Pemikiran dalam Sosiologi dan Faktor Penyebabnya

Dalam Bauman dan May (2001) disebutkan bahwa meskipun relatif muda, namun sosiologi berkembang secara terakumulasi sesuai perkembangan sejarah. Sebagai ilmu sosial, teori-teori sosiologi lahir dari kontkes sosial tertentu yang menjadi pendorongnya (social force). Ritzer (2003) juga menyebutkan bahwa semua pekerjaan intelektual dalam sosiologi dibentuk dari lingkungan sosialnya (social setting). Sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20, ada enam kondisi sosial yang menyebabkan lahirnya berbagai teori sosiologi yaitu revolusi politik, revolusi industri (kapitalisme), kelahiran sosialisasi, urbanisasi, perkembangan religi, dan perkembangan keilmuan. Sementara menurut Calhoun et al. (2002) khususnya tentang terbentuknya teori-teori sosiologi, ada empat perubahan besar dalam kehidupan sosial yang berpengaruh, yaitu lahirnya sikap individualisme, terbentuknya negara modern, pekembangan kapitalisme dengan berbagai implikasi teknis ekonominya, dan kolonialisasi bangsa Eropa ke berbagai negara jajahannya. Dari kolonialisasi bangsa Eropa menemukan adanya masyarakat yang hidup dengan berbeda kultur, bentuk organisas sosial, dan kompleksitas pola hidup bersama. Hal ini membuat kalangan ahli harus “merevisi” pandangan dan konsep-konsepnya tentang kehidupan sosial.

Berkembangnya ilmu pengetahuan yang pesat di abad pencerahan (abad ke-17 M) sangat berpengaruh terhadap pandangan mengenai masyarakat. Dari masa ini diyakini bahwa pandangan mengenai masyarakat dan perubahannya harus berpedoman pada akal budi manusia. Lalu, revolusi politik yang dimulai dari revolusi Perancis tahun 1789, memberi ide kepada para ahli bagaimana memperbaiki kondisi yang disorder menjadi tertata lagi. Berbagai gejolak di masyarakat yang diakibatkan oleh revolusi industri dan Perancis berpengaruh secara luas, termasuk menyadarkan kalangan ilmuwan bahwa mereka harus mampu menganalisis perubahan-perubahan dalam masyarakat, dan lebih jauh untuk mengantisipasi berbabagai perubahan di masa mendatang. Analisis tersebut mestilah rasional dan didasarkan pada data empiris.

Revolusi industri dan lahirnya kapitalisme merupakan tonggak sejarah peradaban yang sangat penting. Khusus untuk kalangan sosiologi, empat tokoh utama sosiologi ”lahir” dari kondisi ini yaitu Karl Marx, Max Weber, Emile Durkheim, dan Gerog Simmel. Implikasi lanjutan dari perkembangan dan industri dan kapitalisme adalah urbanisasi yang menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks pada kehidupan perkotaan (urban problems). Kekhidupan perkotaan ini menjadi perhatian penting dari Weber dan Simmel, demikian pula dengan kelompok Chicago School yang menyusun teorinya dari kehidupan di perkotaan.

Berkenaan dengan kelahiran sosialisme, bagi sebagian ahli (terutama Karl Marx) sosialisme merupakan solusi dari permasalahan masyarakat industrial, namun sebagian lain tidak menyetujui (terutama Weber dan Durkheim). Hal ini merupakan titik awal sehingga kemudian kita menyaksikan terbelahnya ilmu-ilmu sosiologi di kemudian hari.

Kehidupan di abad ke-20 sungguhlah berbeda. Setelah era perang dunia pertama dimana kehancuran merajalela, optimisme kalangan ilmuwan mulai dipertanyakan. Weber dan Durkheim adalah dua orang sosiolog yang hidup dan mengalami era ini dan mengalami kehidupan masyarakat modern. Di AS khususnya, Talcott Parsons melakukan sintesa sosiologi kalsik untuk disesuaikan dengan teori sosial yang baru. Kelahiran sosiologi modern tumbuh pesat di benua Amerika, karena di wilayah inilah ditemukan permasalahan-permasalahan sosial dengan variasi dan intensitas yang lebih hebat. Kalangan ilmuwan sosial menyadari bahwa pendekatan sosiologi lama ala Eropa sudah tidak memadai lagi. Berbeda dengan sebelumnya. pendekatan sosiologi modern cenderung mikro, lebih empiris, dan lebih applicable karena dihadapkan dengan era membangun masyarakat sehabis perang.

Daftar Bacaan:

Bauman, Zygmunt and Tim May. 2001. Thinking Sociologically. 2nd edition. Blackwell Publishers.

Berger, Peter. 1979. ”Sociology as A Form of Consciousness” (dalam Peter Berger. Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective. `New York: Penguin Books.

Bierstedt, Robert. 1970. ”The Science of Sociology” (dalam Robert Bierstedt The Social Order . New Delhi: TATA McGraw-Hill Publishing Co. Ltd.

Calhoun, Craig et al. 2002. ”Introduction” (dalam Craig Calhoun et al. Classical Social Theory. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.

Giddens, Anthony. 2001. ”What is Sociology” (dalam Anthony Giddens. 2001. Sociology. Oxford: Polity, Fourth Edition.

Mills, C. Wright. 2000. ”The Promise” (dalam C.Wright Mills The Sociological Imagination Oxford: Oxford University Press.

Ritzer, George; KCW Kammeyer; and NR Yetman. 1978. Sociology: Experiencing A Changing Society. Boston: Allyn and Bacon.

Ritzer, George. 2003. Sociological Theory. 4th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.

*****