Rabu, 30 Maret 2011
Rabu, 09 Maret 2011
Ringkasan Paradigma KETERATURAN (dari Buku Perdue bab 5-8)
Tokoh, Teori, Asumsi yg Digunakan, serta Materi Teori
Fungsionalisme
- masyarakat merupakan kondisi dan relasi yang menghasilkan keberlanjutan dan kohesi, kesalinghubungan dan konsensus, kesatuan (unity) dan wholeness
Tokoh dan Teori Asumsi yg Digunakan Materi Teori
- masyarakat merupakan kondisi dan relasi yang menghasilkan keberlanjutan dan kohesi, kesalinghubungan dan konsensus, kesatuan (unity) dan wholeness
Durkheim: integrasi sosial dan pembagian kerja - mengikut Comte = sistem normatif fan metafora organis dalam masyarakat
- unsur baku dalam masyarakat adalah faktor solidaritas.
- perbedaan peran kunci pada kesalinghubungan dan resiprositas
- Masyarakat dengan solidaritas mekanis belum terdiferensiasi dan pembagian kerja, mempunyai kepentingan bersama dan kesadaran yang sama.
- Masyarakat dengan solidaritas organis telah mempunyai pembagian kerja yang ditandai dengan derajat spesialisasi tertentu.
- integrasi sosial tergantung pada keefektifan tekanan sistem normatif.
- Di masy industri diganti dengan relasi formal
- ada collective force dalam kehidupan masy, individu dibatasi oleh collective conscience
- kriminal dan deviasi tetap dipandang fungsional, untuk memperkuat kesatuan moral, menguatkan batasan moral
F. Tonnies - dipengaruhi Hobbes - Gemeinschaft = relasi karena faktor perasaan, simpati pribadi dan kepentingan bersama. Diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal.
- Gesellschaft = kepentingan-kepentingan rasional dan ikatan tidak permanen.
Robert K Merton: anomie - dipengaruhi Parson dan G Hommans
- masy lebih akan menuju pada keseimbangan dibandingkan perubahan
- ada kontrol yang akan menuju keteraturan
- tergolong sebagai positivistis
- over functionalism - proposisi di level middle range, melihat hal-hal yang latent
- masy akan menuju integrasi (sifat alamiah)
- dalam melihat anomie ia melihat hubungan bagaimana tujuan-tujuan kultural dan alat-alat struktural untuk mencapainya
- deviasi (penyimpangan) akan meluas bila tekanan untuk sukses besar, sementara alat yang ada terbatas
- social practice yang fungsional tidak mesti yang positif saja, tapi juga hal yang negatif dan tak relevan bagi keteraturan sosial (kemiskinan memliki sejumlah hal positif)
- Anomi tumbuh karena rusaknya sistem nilai budaya, ketika seorang individu dengan kapasitasnya yang ditentukan struktur sosial tiba-tiba kehilangan kemampuan mengendalikan tindakannya dengan norma-norma dan tujuan budaya.
- Anomi terjadi bila struktur budaya tidak berjalan seiring dan didukung struktur sosial yang berlaku.
- neofungsionalisme Merton hanya berlaku untuk sebagian
Politik keteraturan
- Order = masyarakat yang terintegrasi adalah sesuatu yang alamiah, melalui norma dan kontrol sosial
- Masyarakat bersifat self-adjusting
Mosca: kelas penguasa - di bidang sosiologi politik
- menggunakan logika sistem yang sesuai dengan paradigma keteraturan
- Machiavelli = human animal, manusia respon hanya pada forces dan koersi
- Masy secara alamiah adalah refleksi dari hierarkhi - kelas dalam masyarakat adalah kelas politik
- masy merupakan representasi kekuasaan, antara yang punya otoritas dan yang tidak
- ada rulling class, yaitu mereka yang punya intelektual, materi, dan kualitas moral yang super
- ia tak melihat kemungkinan ekonomi sebagai basis rulling class dan sistem klas
Pareto: sirkulasi elit - dipengaruhi Comte dan Spencer
- didasarkan pada observasi terhadap tindakan-tindakan, dan eksperimen terhadap fakta-fakta
- Masyarakat adalah sistem kekuatan yang seimbang yg tergantung pada tingkah laku yang disebabkan keinginan dan dorongan dalam dirinya.
- Keseimbangan dinamis masyarakat sebagai organisasi manusia
- Dalam tradisi positivis = sosiologi sebagai displin yang empiris, dengan metode ilmiah (melalui pengalaman dan observasi)
- Masyarakat merupakan sistem yang disusun oleh bagian-bagian yang saling berhubungan
R Michels: hukum besi oligarkhi - adanya group mind sebagai basis penjelasannya
- peran dan posisi kepemimpinan sebagai keniscayaan - fokus pada proses-proses keorganisasian
- kemajuan organisasi menyebabkan keadulatan anggoat menurun, timbul masalah komunikasi dalam organisasi
- Partai politik merupakan kebutuhan dalam negara modern, mereka semakin birokratif, bahkan pada negara sosialis sekalipun
- Menurut hukum besi oligarki pada akhirnya kekuatan dan kepentingan elite lah yang akan menentukan, bukan massa atau anggota pendukung mereka.
Sistematisme
- Konsep sistem dipakai dalam berbagai bidang disiplin ilmu
- Ada dynamic connectedness, balance, equilibrium, kohesi, integrasi, interkoneksi, interdependensi
- Institusi, pola, budaya dan produk-produk sosial adalah elemen-elemen yg berhubungan secara dinamis dari kompleks yang lebih besar yaitu social organization
- Krisis akan membuat sistem seimbang
T Parson: sistem sosial dan aksi sosial - dari Pareto dan Durkheim: masy memiliki keseimbangan bagian-bagiannya, ada interdependensi
- dari Weber: konsep aksi sosial, yaitu bagaimana aktor memaknai situasi
- dari Marshall: konsep pasar bebas dan permintaan
- subsistem, peran-peran, norma, dan interpretasi situasi oleh aktor
- teori sistem umum: sistem perilaku (adaptation), sistem personaliti (goal attainment), sistem budaya (pattern maintenance), dan sistem sosial (integration).
- konsep evolusi sosial: masy pra modern, menuju kristalisasi pertama sistem modern, terakhir berbentuk new lead society
A Etzioni: masy aktif - tetap pada social equilibrium dan kontrol
- masyarakat aktif sebagai solusi menghadapi cultural lag
- aksi berlangsung dalam grup-grup - tiga basis ikatan sosial: normatif, utilitarian, dan koersif
- dasar unit analisis = kolektivitas (berada di atas interaksi face to face)
- ada pemaksaan agar berlangsung kekolektifan
- daya ekkolektifan butuh organisasi formal, kalau tidak masy akan pasif
- organisasi merupakan basis kontrol sosial
- peran negara sangat penting untuk memaksa, kalau tidak masy akan pasif
- pengetahuan merupakan energi dalam masy
Positivisme modern
- lebih sebagai pohon, hutannya tetap positivism
Neopositivisme - disebut juga positivisme logik
- mulai tahun 1920-an
- apa yg seharusnya dilakukan science, integrasi rasionalisme dan empirisme, verifikasi melalui riset, lintas disiplin - berada pada tataran lower range, relasi level mikro
- tujuannya: memahami relasipeluang dan prediktif untk melakukan kontrol, serta menemukan keteraturan dan pola agar dapat melakukan generalisasi
Matematika di sosiologi - untuk menemukan new causal theory - contohnya adalah riset Blau dan Duncan ttg hubungan antar generasi dalam struktur pekerjaan, korelasi dari 5 variabel (status pekerjaan saat ini, status pekerjaan awal, pendidikan, status kerja ayah, dan pendidikan ayah)
GC Homans: resiprositas - tentang perilaku manusia, dalam ilmu psikologi behaviorism
- hadiah dan hukuman adalah basis perilaku manusia
- menggunakan pendekatan induktif
- manusia memaksimalkan kesenangan, dan mencari untung dalam setiap keadaan
- ada sifat universalitas dan keseragamana manusia
- beda dgn konsep lama, manusia tidak antisosial dan materialislitik
- kelomok kecil adalah representasi kecil dari masy
- sifat seimbang dan harmoni tidak di institusi, tapi di pertukaran sosial yang predictable dan unvarying
- sosiologi adalah akibat wajar dari psikologi - kelompok kecil adalah sistem komponen masyarakat yang independen
- ia berkontribusi pada terjadinya keseimbangan dalam masy
- fungsionalisme tidak cukup lagi menjelaskan grup atau masy
- menggunakan pendekatan psikologi perilaku
- ada 5 proposisi ttg tindakan manusia
Peter Blau: pertukaran sosial - manusia adalah rational seeker
- relasi sosial merupakan basis respon resiprositas (manusia akan merspon setiap perilaku manusia lain)
- struktur sosial dibangun dari sejumlah hubungan pertukaran
- fokus pada kekuasaan dan struktur - pertukaran individu dengan kelompok, tidak lagi indiidu dgn individu
- dalam setiap social bonds ada reward
- dalam asosiasi, tak seimbang, perbedaan power, relasi pertukaran yang tak seimbang
- diferensiasi terjadi melalui media pertukaran
- norma dan nilai adalah media pertukaran di level lebih tinggi, yakni masy sebagai media kehidupan kolektif
- pertukaran sosial bersifat indirect
- mendorong pertukaran sosial keluar dari ilmu psikologi, tapi dikritik ia telah ’terlalu jauh’.
*****
Fungsionalisme
- masyarakat merupakan kondisi dan relasi yang menghasilkan keberlanjutan dan kohesi, kesalinghubungan dan konsensus, kesatuan (unity) dan wholeness
Tokoh dan Teori Asumsi yg Digunakan Materi Teori
- masyarakat merupakan kondisi dan relasi yang menghasilkan keberlanjutan dan kohesi, kesalinghubungan dan konsensus, kesatuan (unity) dan wholeness
Durkheim: integrasi sosial dan pembagian kerja - mengikut Comte = sistem normatif fan metafora organis dalam masyarakat
- unsur baku dalam masyarakat adalah faktor solidaritas.
- perbedaan peran kunci pada kesalinghubungan dan resiprositas
- Masyarakat dengan solidaritas mekanis belum terdiferensiasi dan pembagian kerja, mempunyai kepentingan bersama dan kesadaran yang sama.
- Masyarakat dengan solidaritas organis telah mempunyai pembagian kerja yang ditandai dengan derajat spesialisasi tertentu.
- integrasi sosial tergantung pada keefektifan tekanan sistem normatif.
- Di masy industri diganti dengan relasi formal
- ada collective force dalam kehidupan masy, individu dibatasi oleh collective conscience
- kriminal dan deviasi tetap dipandang fungsional, untuk memperkuat kesatuan moral, menguatkan batasan moral
F. Tonnies - dipengaruhi Hobbes - Gemeinschaft = relasi karena faktor perasaan, simpati pribadi dan kepentingan bersama. Diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal.
- Gesellschaft = kepentingan-kepentingan rasional dan ikatan tidak permanen.
Robert K Merton: anomie - dipengaruhi Parson dan G Hommans
- masy lebih akan menuju pada keseimbangan dibandingkan perubahan
- ada kontrol yang akan menuju keteraturan
- tergolong sebagai positivistis
- over functionalism - proposisi di level middle range, melihat hal-hal yang latent
- masy akan menuju integrasi (sifat alamiah)
- dalam melihat anomie ia melihat hubungan bagaimana tujuan-tujuan kultural dan alat-alat struktural untuk mencapainya
- deviasi (penyimpangan) akan meluas bila tekanan untuk sukses besar, sementara alat yang ada terbatas
- social practice yang fungsional tidak mesti yang positif saja, tapi juga hal yang negatif dan tak relevan bagi keteraturan sosial (kemiskinan memliki sejumlah hal positif)
- Anomi tumbuh karena rusaknya sistem nilai budaya, ketika seorang individu dengan kapasitasnya yang ditentukan struktur sosial tiba-tiba kehilangan kemampuan mengendalikan tindakannya dengan norma-norma dan tujuan budaya.
- Anomi terjadi bila struktur budaya tidak berjalan seiring dan didukung struktur sosial yang berlaku.
- neofungsionalisme Merton hanya berlaku untuk sebagian
Politik keteraturan
- Order = masyarakat yang terintegrasi adalah sesuatu yang alamiah, melalui norma dan kontrol sosial
- Masyarakat bersifat self-adjusting
Mosca: kelas penguasa - di bidang sosiologi politik
- menggunakan logika sistem yang sesuai dengan paradigma keteraturan
- Machiavelli = human animal, manusia respon hanya pada forces dan koersi
- Masy secara alamiah adalah refleksi dari hierarkhi - kelas dalam masyarakat adalah kelas politik
- masy merupakan representasi kekuasaan, antara yang punya otoritas dan yang tidak
- ada rulling class, yaitu mereka yang punya intelektual, materi, dan kualitas moral yang super
- ia tak melihat kemungkinan ekonomi sebagai basis rulling class dan sistem klas
Pareto: sirkulasi elit - dipengaruhi Comte dan Spencer
- didasarkan pada observasi terhadap tindakan-tindakan, dan eksperimen terhadap fakta-fakta
- Masyarakat adalah sistem kekuatan yang seimbang yg tergantung pada tingkah laku yang disebabkan keinginan dan dorongan dalam dirinya.
- Keseimbangan dinamis masyarakat sebagai organisasi manusia
- Dalam tradisi positivis = sosiologi sebagai displin yang empiris, dengan metode ilmiah (melalui pengalaman dan observasi)
- Masyarakat merupakan sistem yang disusun oleh bagian-bagian yang saling berhubungan
R Michels: hukum besi oligarkhi - adanya group mind sebagai basis penjelasannya
- peran dan posisi kepemimpinan sebagai keniscayaan - fokus pada proses-proses keorganisasian
- kemajuan organisasi menyebabkan keadulatan anggoat menurun, timbul masalah komunikasi dalam organisasi
- Partai politik merupakan kebutuhan dalam negara modern, mereka semakin birokratif, bahkan pada negara sosialis sekalipun
- Menurut hukum besi oligarki pada akhirnya kekuatan dan kepentingan elite lah yang akan menentukan, bukan massa atau anggota pendukung mereka.
Sistematisme
- Konsep sistem dipakai dalam berbagai bidang disiplin ilmu
- Ada dynamic connectedness, balance, equilibrium, kohesi, integrasi, interkoneksi, interdependensi
- Institusi, pola, budaya dan produk-produk sosial adalah elemen-elemen yg berhubungan secara dinamis dari kompleks yang lebih besar yaitu social organization
- Krisis akan membuat sistem seimbang
T Parson: sistem sosial dan aksi sosial - dari Pareto dan Durkheim: masy memiliki keseimbangan bagian-bagiannya, ada interdependensi
- dari Weber: konsep aksi sosial, yaitu bagaimana aktor memaknai situasi
- dari Marshall: konsep pasar bebas dan permintaan
- subsistem, peran-peran, norma, dan interpretasi situasi oleh aktor
- teori sistem umum: sistem perilaku (adaptation), sistem personaliti (goal attainment), sistem budaya (pattern maintenance), dan sistem sosial (integration).
- konsep evolusi sosial: masy pra modern, menuju kristalisasi pertama sistem modern, terakhir berbentuk new lead society
A Etzioni: masy aktif - tetap pada social equilibrium dan kontrol
- masyarakat aktif sebagai solusi menghadapi cultural lag
- aksi berlangsung dalam grup-grup - tiga basis ikatan sosial: normatif, utilitarian, dan koersif
- dasar unit analisis = kolektivitas (berada di atas interaksi face to face)
- ada pemaksaan agar berlangsung kekolektifan
- daya ekkolektifan butuh organisasi formal, kalau tidak masy akan pasif
- organisasi merupakan basis kontrol sosial
- peran negara sangat penting untuk memaksa, kalau tidak masy akan pasif
- pengetahuan merupakan energi dalam masy
Positivisme modern
- lebih sebagai pohon, hutannya tetap positivism
Neopositivisme - disebut juga positivisme logik
- mulai tahun 1920-an
- apa yg seharusnya dilakukan science, integrasi rasionalisme dan empirisme, verifikasi melalui riset, lintas disiplin - berada pada tataran lower range, relasi level mikro
- tujuannya: memahami relasipeluang dan prediktif untk melakukan kontrol, serta menemukan keteraturan dan pola agar dapat melakukan generalisasi
Matematika di sosiologi - untuk menemukan new causal theory - contohnya adalah riset Blau dan Duncan ttg hubungan antar generasi dalam struktur pekerjaan, korelasi dari 5 variabel (status pekerjaan saat ini, status pekerjaan awal, pendidikan, status kerja ayah, dan pendidikan ayah)
GC Homans: resiprositas - tentang perilaku manusia, dalam ilmu psikologi behaviorism
- hadiah dan hukuman adalah basis perilaku manusia
- menggunakan pendekatan induktif
- manusia memaksimalkan kesenangan, dan mencari untung dalam setiap keadaan
- ada sifat universalitas dan keseragamana manusia
- beda dgn konsep lama, manusia tidak antisosial dan materialislitik
- kelomok kecil adalah representasi kecil dari masy
- sifat seimbang dan harmoni tidak di institusi, tapi di pertukaran sosial yang predictable dan unvarying
- sosiologi adalah akibat wajar dari psikologi - kelompok kecil adalah sistem komponen masyarakat yang independen
- ia berkontribusi pada terjadinya keseimbangan dalam masy
- fungsionalisme tidak cukup lagi menjelaskan grup atau masy
- menggunakan pendekatan psikologi perilaku
- ada 5 proposisi ttg tindakan manusia
Peter Blau: pertukaran sosial - manusia adalah rational seeker
- relasi sosial merupakan basis respon resiprositas (manusia akan merspon setiap perilaku manusia lain)
- struktur sosial dibangun dari sejumlah hubungan pertukaran
- fokus pada kekuasaan dan struktur - pertukaran individu dengan kelompok, tidak lagi indiidu dgn individu
- dalam setiap social bonds ada reward
- dalam asosiasi, tak seimbang, perbedaan power, relasi pertukaran yang tak seimbang
- diferensiasi terjadi melalui media pertukaran
- norma dan nilai adalah media pertukaran di level lebih tinggi, yakni masy sebagai media kehidupan kolektif
- pertukaran sosial bersifat indirect
- mendorong pertukaran sosial keluar dari ilmu psikologi, tapi dikritik ia telah ’terlalu jauh’.
*****
Ibn Khaldun: Mukadimah
Bab Lima: Tentang Berbagai Aspek Mencari Penghidupan, Seperti Keuntungan dan Pertukangan. Segala Ihwal yang terjadi Sehubungan dengannya, dan di Dalamnya terdapat Sejumlah Persoalan).
Makanan dan keuntungan:
- Manusia membutuhkan makanan untuk hidup. Untuk kehidupannya, timbul pengakuan hak milik terhadap benda, dan manusia saling mempertukarkan barang sesamanya.
- Orang harus bekerja untuk hidup. Rezeki haruslah diperoleh dari kerja keras.
- Kerjalah yang menghasilkan nilai. Tidak ada sesuatu kecuali kerja. Kerjalah yang melahirkan peradaban. Kota-kota berkembang dan maju karena warganya yang banyak berkerja, jika tidak kota-kota akan mati.
- Dalam pertukangan, nilai kerja lebih besar dari bahan mentahnya. Nilai kerja harus ditambahkan pada biaya produksi.
- Jika tidak ada kerja dan usaha, maka tidak ada hasil dan keuntungan.
- Keuntungan adalah nilai yang timbul dari kerja manusia.
- Keuntungan akan menjadi akumulasi modal bila ia lebih dari kebutuhannya. Emas dan perak sebagai nilai ukuran bagi akumulasi modal.
- Semua barang, kecuali emas dan perak, merupakan subyek bagi pergolakan pasar.
- Rezeki hanyalah keuntungan yang syah dan dimanfaatkan langsung oleh pemiliknya
Berbagai segi penghidupan:
- “Penghidupan” adalah mencari rezeki dan berusaha mendapatakannya, bisa melalui berburu, bertani, berdagang, dan kerajinan.
- Memerintah bukanlah jalan yang wajar untuk hidup.
- Menjadi pelayan bukan merupakan jalan penghidupan yang wajar dan alami. Ada beberapa tipe pelayan. Pelayan yang cakap dan terpercaya dapat berkerja di kalangan pemimpin pemerintahan. Pelayan yang cakap namun tidak dipercaya masih lebih disenangi daripada tidak cakap tapi dipercaya. Tapi pelayan yang tidak cakap dan tidak terpercaya tidak akan ada yang menggunakannya.
- Memperoleh uang dari harta karun bukan merupakan usaha yang wajar. Ini karena mereka tidak memiliki kemampuan menempuh jalan hidup yang wajar misalnya dengan berdagang, dan karena mereka sudah terperangkap hidup mewah. Mereka bekerja dengan menggunakan sihir. Padahal keberadaan harta karun itu sendiri banyak hanya berupa mitos belaka. Penguburan harta bersama mayat hanya terjadi di Mesir di era kekuasaan orang-orang Kopta, dan jumlahnya sangat terbatas.
Tentang pangkat:
- Pangkat berguna dalam mencari penghidupan.
- Orang berpangkat dibantu oleh kerja orang lain dalam penghidupannya. Orang lain mambntunya baik pada pekerjaan pokok, pelengkap, maupun mewah. Seringkali orang berpangkat tidak memberi upah yang cukup kepada yang membantunya.
- Orang yang tidak berpangkat, mendapat pendapatannya dari sebesar kekayaan dan usaha yang dilakukannya sendiri.
- Orang patuh dan pandai merayu akan beroleh kebahagiaan dalam hidupnya.
- Saling mambantu hanya dapat dicapai dengan paksaan, sebab kebanyakan manusia tidak tahu dengan kepentingan bersama.
- Kadang-kadang kabaikan hanya tegak secara sempurna dengan adanya kejahatan kecil, demi materi-materi.
- Masyarakat lapisan atas memiliki kekuasaan atas lapisan bawah.
- Melimpahkan pangkat kepada seseorang merupakan sebagian nikmat yang paling besar dan mulia, yang diberikan kepada orang di bawahnya. Orang yang diberi pangkat akan patuh dan menyanjung orang yang telah melimpahkan pangkat padanya. Orang yang dekat-dekat raja akan beroleh pula kekayaan dan kehormatan, namun generasi setelah mereka seringkali lupa padahal mereka sebagai anak-anaknya tidak lagi pada posisi tersebut secara langsung.
Orang-orang yang mengurusi agama:
- Ahli fiqih, sarjana agama dan ahli ibadah memperoleh penghidupan yang kaya, karena orang-orang membantu mereka dengan meyakini bahwa mereka telah mambantu Tuhan.
- Bila pekerjaan yang dilakukan dibutuhkan oleh peradaban, maka nilianya besar. Masyarakat tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk agama. Hanya raja yang membutuhkan kalangan agamawan. Namun, karena kalangan agamawan telah memandang diri mereka sebagai mulia, maka mereka umumnya tidak terlalu kaya. Mereka cukup dengan kemuliaannya itu.
Tentang Pertanian:
- Pertanian merupakan pelopor untuk penghidupan lain.
- Pertanian merupakan penghidupan orang-orang lemah, karena cara kerjanya mudah dan tidak membutuhkan pikiran yang rumit.
- Lemahnya posisi pertanian karena selalu dikenakan pungutan paksa oleh penguasa.
Tentang Perdagangan:
- Perdagangan adalah memproleh pendapatan dengan menumbuhkan modal. Jumlah nilai yang tumbuh disebut ”laba”. Pedagang membutuhkan modal untuk membeli dengan tunai, dan harus menjual dengan tunai.
- Pedagang dinilai lebih rendah, karena bekerja dengan bujukan, kebohongan dan kelicikan. Tingkah laku pedaganag rendah dibandingkan orang pemerintahan, dan jauh dari keperwiraan dan kejujuran. Karena harus bekerja dengan membujuk, dst. Kebiasaan buruk menimbulkan jiwa yang buruk pada manusianya.
- Berlaku hukum suplai-demand, jika barang bagus dan sedikit maka harga akan tinggi. Demikian pula, jika barang itu mesti diperoleh dari daerah yang jauh maka harganya juga tinggi.
- Menimbun barang bukanlah perbuatan yang baik.
- Harga rendan atau terlalu tinggi sama-sama merugikan, untuk pedagang maupun untuk masyarakat. Kemakmuran akan tercapai pada harga-harga yang wajar dan barang cepat laku di pasar. Untuk barang-barang yang dibutuhkan umum, misalnya produk pertanian, mestinya harganya rendah.
Tentang Pertukangan:
- Pertukangan adalah segala bentuk keterampilan yang dapat memberi penghidupan, bahkan termasuk keterampilan sirkus.
- Pertukangan adalah kerja akal dan keterampilan fisik, yang membutuhkan guru atau pelatihan. Pengajaran dengan cara melihat dan mengerjakan akan lebih mudah.
- Pertukangan akan berkembang baik bila terjadi peradaban menetap yang besar dan sempurna, karena adanya surplus untuk kemewahan hidup. Pertukangan merupakan sektor sekunder. Sebagaimana ilmu pengetahuan, pertukangan dibutuhkan setelah terpenuhinya kebutuhan pokok.
- Bangsa Arab termasuk yang paling rendah pertukangannya, karena banyak mengembara. Cina, India, dan orang-orang Turki lebih maju pertukangannya.
- Pertukangan berkembang dalam kondisi berurat berakarnya peradaban. Hal ini terlihat dari bangunan, tarian-taian, dan lain-lain di masyarakat Andalusia.
- Pertukangan bertambah baik bila permintaan besar. ”Nilai setiap orang terletak pada keahliannya”. Jika mampu memenuhi permintaan negara, maka pertukangan menjadi lebih maju. Jika kota-kota mendekati kehancuran, maka pertukangan tidak lagi dibutuhkan dan mengalami kemunduran.
- Pertukangan membutuhkan eklusifitas. Seseorang sulit ahli untuk lebih dari satu pertuangan sekaligus.
- Keahlian-keahlian yang beradab seperti kebidanan, tulis menulis, membikin kertas dan menyanyi menyebabkan orang-orangnya dekat dengan raja.
- Berbagai keahlian seperti tukang kayu, arsitektur, kebidanan dan kedokteran semakin dibutuhkan di kota-kota. Kebutuhan dokter semakin deras di masyarakat kota yang jenis makanan dan pola hidupnya berbeda dan semakin beragam.
- Kepandaian tulis menulis, misalnya kaligrafi, merupakan bidang pekerjaan yang pneting. Kaligrafi Arab berkembang sangat tinggi di masa pemerintahan Dinasti Tubba, karena memang di era ini kemakmuran tercapai dengan baik. Tulis menulis berkembang seiring peradaban.
- Kepandaian menulis merupakan satu keahlian yang membantu masyarakat hidup. Kemajuan tulis menulis dicapai di Baghdad, lalu berpindah ke Mesir dan Kairo. Tulisan-tulisan yang tidak ditulis secara gamblang menyebabkan tidak efektifnya penyampaian pengetahuan yag dituliskan tersebut. Hal ini karena belum adanya standar dalam penggunaan huruf dan lain-lain. Kepandaian menulis tidak terbatas dalam arti menulis tapi berkembang karena ia komponen dari pengembangan ilmu pengatahuan.
- Keahlian menyanyi merupakan keahlian terakhir yang dikembangkan dalam satu peradaban, karena ia produk dari kemewahan. Dan ia pun menjadi yang paling pertama lenyap jika peradaban masyarakat hancur atau menuju kehancuran.
******
Makanan dan keuntungan:
- Manusia membutuhkan makanan untuk hidup. Untuk kehidupannya, timbul pengakuan hak milik terhadap benda, dan manusia saling mempertukarkan barang sesamanya.
- Orang harus bekerja untuk hidup. Rezeki haruslah diperoleh dari kerja keras.
- Kerjalah yang menghasilkan nilai. Tidak ada sesuatu kecuali kerja. Kerjalah yang melahirkan peradaban. Kota-kota berkembang dan maju karena warganya yang banyak berkerja, jika tidak kota-kota akan mati.
- Dalam pertukangan, nilai kerja lebih besar dari bahan mentahnya. Nilai kerja harus ditambahkan pada biaya produksi.
- Jika tidak ada kerja dan usaha, maka tidak ada hasil dan keuntungan.
- Keuntungan adalah nilai yang timbul dari kerja manusia.
- Keuntungan akan menjadi akumulasi modal bila ia lebih dari kebutuhannya. Emas dan perak sebagai nilai ukuran bagi akumulasi modal.
- Semua barang, kecuali emas dan perak, merupakan subyek bagi pergolakan pasar.
- Rezeki hanyalah keuntungan yang syah dan dimanfaatkan langsung oleh pemiliknya
Berbagai segi penghidupan:
- “Penghidupan” adalah mencari rezeki dan berusaha mendapatakannya, bisa melalui berburu, bertani, berdagang, dan kerajinan.
- Memerintah bukanlah jalan yang wajar untuk hidup.
- Menjadi pelayan bukan merupakan jalan penghidupan yang wajar dan alami. Ada beberapa tipe pelayan. Pelayan yang cakap dan terpercaya dapat berkerja di kalangan pemimpin pemerintahan. Pelayan yang cakap namun tidak dipercaya masih lebih disenangi daripada tidak cakap tapi dipercaya. Tapi pelayan yang tidak cakap dan tidak terpercaya tidak akan ada yang menggunakannya.
- Memperoleh uang dari harta karun bukan merupakan usaha yang wajar. Ini karena mereka tidak memiliki kemampuan menempuh jalan hidup yang wajar misalnya dengan berdagang, dan karena mereka sudah terperangkap hidup mewah. Mereka bekerja dengan menggunakan sihir. Padahal keberadaan harta karun itu sendiri banyak hanya berupa mitos belaka. Penguburan harta bersama mayat hanya terjadi di Mesir di era kekuasaan orang-orang Kopta, dan jumlahnya sangat terbatas.
Tentang pangkat:
- Pangkat berguna dalam mencari penghidupan.
- Orang berpangkat dibantu oleh kerja orang lain dalam penghidupannya. Orang lain mambntunya baik pada pekerjaan pokok, pelengkap, maupun mewah. Seringkali orang berpangkat tidak memberi upah yang cukup kepada yang membantunya.
- Orang yang tidak berpangkat, mendapat pendapatannya dari sebesar kekayaan dan usaha yang dilakukannya sendiri.
- Orang patuh dan pandai merayu akan beroleh kebahagiaan dalam hidupnya.
- Saling mambantu hanya dapat dicapai dengan paksaan, sebab kebanyakan manusia tidak tahu dengan kepentingan bersama.
- Kadang-kadang kabaikan hanya tegak secara sempurna dengan adanya kejahatan kecil, demi materi-materi.
- Masyarakat lapisan atas memiliki kekuasaan atas lapisan bawah.
- Melimpahkan pangkat kepada seseorang merupakan sebagian nikmat yang paling besar dan mulia, yang diberikan kepada orang di bawahnya. Orang yang diberi pangkat akan patuh dan menyanjung orang yang telah melimpahkan pangkat padanya. Orang yang dekat-dekat raja akan beroleh pula kekayaan dan kehormatan, namun generasi setelah mereka seringkali lupa padahal mereka sebagai anak-anaknya tidak lagi pada posisi tersebut secara langsung.
Orang-orang yang mengurusi agama:
- Ahli fiqih, sarjana agama dan ahli ibadah memperoleh penghidupan yang kaya, karena orang-orang membantu mereka dengan meyakini bahwa mereka telah mambantu Tuhan.
- Bila pekerjaan yang dilakukan dibutuhkan oleh peradaban, maka nilianya besar. Masyarakat tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk agama. Hanya raja yang membutuhkan kalangan agamawan. Namun, karena kalangan agamawan telah memandang diri mereka sebagai mulia, maka mereka umumnya tidak terlalu kaya. Mereka cukup dengan kemuliaannya itu.
Tentang Pertanian:
- Pertanian merupakan pelopor untuk penghidupan lain.
- Pertanian merupakan penghidupan orang-orang lemah, karena cara kerjanya mudah dan tidak membutuhkan pikiran yang rumit.
- Lemahnya posisi pertanian karena selalu dikenakan pungutan paksa oleh penguasa.
Tentang Perdagangan:
- Perdagangan adalah memproleh pendapatan dengan menumbuhkan modal. Jumlah nilai yang tumbuh disebut ”laba”. Pedagang membutuhkan modal untuk membeli dengan tunai, dan harus menjual dengan tunai.
- Pedagang dinilai lebih rendah, karena bekerja dengan bujukan, kebohongan dan kelicikan. Tingkah laku pedaganag rendah dibandingkan orang pemerintahan, dan jauh dari keperwiraan dan kejujuran. Karena harus bekerja dengan membujuk, dst. Kebiasaan buruk menimbulkan jiwa yang buruk pada manusianya.
- Berlaku hukum suplai-demand, jika barang bagus dan sedikit maka harga akan tinggi. Demikian pula, jika barang itu mesti diperoleh dari daerah yang jauh maka harganya juga tinggi.
- Menimbun barang bukanlah perbuatan yang baik.
- Harga rendan atau terlalu tinggi sama-sama merugikan, untuk pedagang maupun untuk masyarakat. Kemakmuran akan tercapai pada harga-harga yang wajar dan barang cepat laku di pasar. Untuk barang-barang yang dibutuhkan umum, misalnya produk pertanian, mestinya harganya rendah.
Tentang Pertukangan:
- Pertukangan adalah segala bentuk keterampilan yang dapat memberi penghidupan, bahkan termasuk keterampilan sirkus.
- Pertukangan adalah kerja akal dan keterampilan fisik, yang membutuhkan guru atau pelatihan. Pengajaran dengan cara melihat dan mengerjakan akan lebih mudah.
- Pertukangan akan berkembang baik bila terjadi peradaban menetap yang besar dan sempurna, karena adanya surplus untuk kemewahan hidup. Pertukangan merupakan sektor sekunder. Sebagaimana ilmu pengetahuan, pertukangan dibutuhkan setelah terpenuhinya kebutuhan pokok.
- Bangsa Arab termasuk yang paling rendah pertukangannya, karena banyak mengembara. Cina, India, dan orang-orang Turki lebih maju pertukangannya.
- Pertukangan berkembang dalam kondisi berurat berakarnya peradaban. Hal ini terlihat dari bangunan, tarian-taian, dan lain-lain di masyarakat Andalusia.
- Pertukangan bertambah baik bila permintaan besar. ”Nilai setiap orang terletak pada keahliannya”. Jika mampu memenuhi permintaan negara, maka pertukangan menjadi lebih maju. Jika kota-kota mendekati kehancuran, maka pertukangan tidak lagi dibutuhkan dan mengalami kemunduran.
- Pertukangan membutuhkan eklusifitas. Seseorang sulit ahli untuk lebih dari satu pertuangan sekaligus.
- Keahlian-keahlian yang beradab seperti kebidanan, tulis menulis, membikin kertas dan menyanyi menyebabkan orang-orangnya dekat dengan raja.
- Berbagai keahlian seperti tukang kayu, arsitektur, kebidanan dan kedokteran semakin dibutuhkan di kota-kota. Kebutuhan dokter semakin deras di masyarakat kota yang jenis makanan dan pola hidupnya berbeda dan semakin beragam.
- Kepandaian tulis menulis, misalnya kaligrafi, merupakan bidang pekerjaan yang pneting. Kaligrafi Arab berkembang sangat tinggi di masa pemerintahan Dinasti Tubba, karena memang di era ini kemakmuran tercapai dengan baik. Tulis menulis berkembang seiring peradaban.
- Kepandaian menulis merupakan satu keahlian yang membantu masyarakat hidup. Kemajuan tulis menulis dicapai di Baghdad, lalu berpindah ke Mesir dan Kairo. Tulisan-tulisan yang tidak ditulis secara gamblang menyebabkan tidak efektifnya penyampaian pengetahuan yag dituliskan tersebut. Hal ini karena belum adanya standar dalam penggunaan huruf dan lain-lain. Kepandaian menulis tidak terbatas dalam arti menulis tapi berkembang karena ia komponen dari pengembangan ilmu pengatahuan.
- Keahlian menyanyi merupakan keahlian terakhir yang dikembangkan dalam satu peradaban, karena ia produk dari kemewahan. Dan ia pun menjadi yang paling pertama lenyap jika peradaban masyarakat hancur atau menuju kehancuran.
******
Metateori dalam Sosiologi
Metateori merupakan perkembangan baru dalam jajaran teori-teori sosiologi. Metateori dimaknai sebagai kegiatan melakukan kajian refleksif terhadap teori-teori yang berkembang dalam sosiologi itu sendiri. Beragam meta analisis dalam sosiologi disebut Ritzer dengan ”metasosiologi” yang dimaknai sebagai studi refleksif atas struktur yang mendasari sosiologi secara umum, serta berbagai komponen-komponen di dalamnya. Metasosiologi memasuki banyak bidang yaitu wilayah substantif, konsep struktur, metode, data, dan teori-teori. Dalam buku Ritzer ini, bagian appendiks, hanya dibahas ”metateori” saja.
Karakter dan perkembangan metateori dalam sosiologi
Dari perkembangan selama ini, ditemukan ada beberapa bentuk metateori. Pertama adalah metateori yang bertujuan untuk memperoleh pemahaman tentang teori, kedua mengkaji pengantar terhadap perkembangan teori, dan ketiga adalah yang mempelajari pada basis persepktif yang melingkupi teori-teori sosiologi. Ritzer menyebutkan bahwa ia hanya menguraikan tipe yang ketiga ini.
Beberapa sosiolog klasik, terutama Karl Marx, meskipun tidak menyebut atau tidak sadar sedang menyusun metateori, namun Ritzer menggolongkan pemikirannya selevel dengan metateori. Buku “Capital” yang ditulis Marx, menurut Ritzer, merupakan sebuah metateori karena memuat karya-karya atau pemikiran sosiologi Marx sebelumnya. Sebagian besar sosiolog klasik telah mengembangkan metateori yang membahas pengantar atas perkembangan teori (metateori tipe kedua).
Tokoh sosiologi kontemporer yang dipandang penting dalam konteks metateori ini adalah Piere Bourdieu yang bercirikan sosiologi refleksif. Menurut Bourdieu, sosiolog semestinya tahu apa yang sedang dilakukannya dan dimana posisi keilmuannya. Setiap sosiolog semestinya selalu melakukan refleksi atas pekerjaan dan hasil pekerjaannya. Bourdieu sendiri melakukan kajian refleksif atas berbagai teori sosiologi dan termasuk teorinya sendiri.
Berkembangnya metateori dalam sosiologi merupakan hasil atau pengaruh dari pemikiran Thomas Kuhn tentang paradigma ilmu pengetahuan. Jika sebagian besar ahli menganggap ilmu pengetahuan berkembang secara kumulatif, Kuhn menunjukkan bukti lain. Kuhn menyusun sebuah teori perkembangan paradigma dalam ilmu, yang menurutnya berproses mulai dari paradigma awal, berlanjut ke ilmu normal, lalu terjadi anomali, krisis, lalu revolusi, dan akhirnya melahirkan paradigma baru. Bertolak dari batasan paradigma Kuhn ini, Ritzer menyebut bahwa teori-teori sosiologi dikembangkan dalam beberapa paradigma sekaligus, atau disebut berparadigma ganda.
Paradigma ganda sosiologi
Ritzer menemukan bahwa ada tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi yakni paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya pada fakta-fakta atau struktur dan institusi sosial berskala makro. Model yang digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama dari buku The Rules of Sociological Method dan Suicide. Dalam buku ini, Durkheim menyebut bahwa fakta sosial terdiri atas struktur sosial dan pranata sosial. August Comte sebagai pencetus positivisme dalam ilmu-ilmu sosial memberi pengaruh pokok dalam berkembangnya paradigma ini. Penganut paradigma fakta sosial menggunakan metode wawancara dan analisis komparatif historis dalam riset-risetnya.
Paradigma kedua adalah paradigma definisi sosial. Paradigma ini bersumber dari pemikiran Max Weber tentang tindakan sosial (social action). Pokok perhatian sosiologi menurut Weber adalah bagaimana memahami tindakan-tindakan sosial dalam masyarakat, yang disebut dengan “tindakan yang bermakna”. Sosiolog mempelajari tindakan sosial dengan menggunakan metode observasi dengan melakukan penafsiran dan pemahaman terhadap data dan informasi. Beberapa teori yang tergolong dalam pradigma ini adalah teori tindakan, teori fenomenologis, interaksionalisme simbolis, etnometodologi dan eksistensialisme.
Terakhir, paradigma perilaku sosial dengan acuan pada psikolog B. F. Skiner. Teori behavioral dan teori pertukaran merupakan pendukung utama paradigma ini. Sosiologi pada paradigma ini menekuni perilaku individu yang tak terpikirkan oleh individu bersangkutan. Berbeda dengan dua paradigma yang lain, metode yang diterapkan adalah metode eksperimen.
Paradigma terpadu
Ritzer berupaya menyusun satu paradigma yang lebih integratif dari berbagai teori, bahkan dari ketiga paradigma sebelumnya. Ritzer tidak bermaksud menggantikan paradigma-pradigma yang lama, namun ia lebih bermaksud untuk melengkapi. Dengan kata lain, Ritzer tidak menghilangkan keragaman, malah ia menyebut bahwa paradigma terpadu yang disusunnya tersebut dalam upaya melengkapi paradigma-pradigma lain sebelumnya (dan termasuk untuk yang akan datang). Ritzer melihat bahwa pradigma sebelumnya hanya melihat dari satu sisi dan melupakan sisi dan level-level yang lain. Kelemahan ini menyebabkan terkotak-kotaknya hasil pengetahuan tiap paradigma, sehingga tidak bisa saling mendukung.
Kunci paradigma terpadu ini ada pada level analisis sosialnya. Level analisis merupakan point penting dalam menyusun teori ataupun paradigma, meskpun pada kenyataannya level-level tersebut tidak benar-benar riel di dunia sosial. Ritzer menggunakan dua dimensi kontinuum, yakni level mikrokospis-makrokospis dan objektif-subjektif. Kontinuum mikro-makro tidak sulit memahaminya, bahkan orang awam sekalipun paham dengan hal ini. Pada level mikro terdapat individu dengan segala atribut dan aksinya, sedangkan pada level makro adalah entitas sosial yang besar-besar misalnya negara bahkan sistem dunia. Sementara, subjektif merujuk pada ranah ide, gagasan, pemikiran, dan lain-lain yang abstrak; sedangkan objektif merujuk pada segala hal yang berkaitan dengan materi dan peristiwa-peristiwa visual yang riel.
Jadi, paradigma integratif Ritzer berupaya menggabungkan semua paradigma, dengan unit analisis meliputi semua tingkatan realitas. Dari dua dimensi di atas dihasilkan empat bidang yakni: (1) makro-obyektif berupa masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur, teknologi, dan bahasa; (2) makro-subyektif berupa nilai, norma, dan budaya; (3) mikro-obyektif berupa pola perilaku, tindakan, dan interaksi; serta (4) mikro-subyektif berupa persepsi, keyakinan dan berbagai segi konstruksi sosial tentang realitas.
Ritzer menggabungkan dua dimensi dari paradigmanya tersebut yang melahirkan empat bidang dengan tiga paradigma sebelumnya. Paradigma fakta sosial fokus pada level makro-objektif dan makro-subjektif, paradigma definisi sosial pada mikro–subjektif dan mikro-subjektif yang terkait dengan proses-proses mental, sedangkan paradigma tindakan sosial berkaitan dengan mikro-objektif namun yang tidak melibatkan proses mental atau berfikir.
Lebih jauh, Ritzer juga menyampaikan bagaimana menggunakan paradigma terpadunnya tersebut. Ia melihat bahwa tidak semua teori sosiologi mesti menggunakan paradigma terpadu tersebut. Ritzer mengingatkan agar kalangan teoritis sosiologi hati-hai menerapkan paradigma ini dalam menyusun teori-teorinya.
Namun demikian, beberapa kritik juga telah dialamatkan kepada hasil kerja Ritzer ini. Salah satu kritik adalah karena pendekatan integratif yang digunakan, misalnya menempatkan perspektif konflik dalam paradigma yang sama dengan struktural fungsional. Bagi banyak kalangan, kedua pendekatan ini tidak bisa disatukan. Paradigma integratif sebagai upaya konsensus antar paradigma berbeda masih dapat diperdebatkan, karena ia berupaya memaksakan berbagai aliran untuk bersepakat dalam satu aras. Karena alasan inilah, sebagian pihak mengusulkan agar paradigma integratif ini diposisikan sebagai paradigma tersendiri yang terpisah.
Bacaan:
Ritzer, George. 1996. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.
******
Karakter dan perkembangan metateori dalam sosiologi
Dari perkembangan selama ini, ditemukan ada beberapa bentuk metateori. Pertama adalah metateori yang bertujuan untuk memperoleh pemahaman tentang teori, kedua mengkaji pengantar terhadap perkembangan teori, dan ketiga adalah yang mempelajari pada basis persepktif yang melingkupi teori-teori sosiologi. Ritzer menyebutkan bahwa ia hanya menguraikan tipe yang ketiga ini.
Beberapa sosiolog klasik, terutama Karl Marx, meskipun tidak menyebut atau tidak sadar sedang menyusun metateori, namun Ritzer menggolongkan pemikirannya selevel dengan metateori. Buku “Capital” yang ditulis Marx, menurut Ritzer, merupakan sebuah metateori karena memuat karya-karya atau pemikiran sosiologi Marx sebelumnya. Sebagian besar sosiolog klasik telah mengembangkan metateori yang membahas pengantar atas perkembangan teori (metateori tipe kedua).
Tokoh sosiologi kontemporer yang dipandang penting dalam konteks metateori ini adalah Piere Bourdieu yang bercirikan sosiologi refleksif. Menurut Bourdieu, sosiolog semestinya tahu apa yang sedang dilakukannya dan dimana posisi keilmuannya. Setiap sosiolog semestinya selalu melakukan refleksi atas pekerjaan dan hasil pekerjaannya. Bourdieu sendiri melakukan kajian refleksif atas berbagai teori sosiologi dan termasuk teorinya sendiri.
Berkembangnya metateori dalam sosiologi merupakan hasil atau pengaruh dari pemikiran Thomas Kuhn tentang paradigma ilmu pengetahuan. Jika sebagian besar ahli menganggap ilmu pengetahuan berkembang secara kumulatif, Kuhn menunjukkan bukti lain. Kuhn menyusun sebuah teori perkembangan paradigma dalam ilmu, yang menurutnya berproses mulai dari paradigma awal, berlanjut ke ilmu normal, lalu terjadi anomali, krisis, lalu revolusi, dan akhirnya melahirkan paradigma baru. Bertolak dari batasan paradigma Kuhn ini, Ritzer menyebut bahwa teori-teori sosiologi dikembangkan dalam beberapa paradigma sekaligus, atau disebut berparadigma ganda.
Paradigma ganda sosiologi
Ritzer menemukan bahwa ada tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi yakni paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya pada fakta-fakta atau struktur dan institusi sosial berskala makro. Model yang digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama dari buku The Rules of Sociological Method dan Suicide. Dalam buku ini, Durkheim menyebut bahwa fakta sosial terdiri atas struktur sosial dan pranata sosial. August Comte sebagai pencetus positivisme dalam ilmu-ilmu sosial memberi pengaruh pokok dalam berkembangnya paradigma ini. Penganut paradigma fakta sosial menggunakan metode wawancara dan analisis komparatif historis dalam riset-risetnya.
Paradigma kedua adalah paradigma definisi sosial. Paradigma ini bersumber dari pemikiran Max Weber tentang tindakan sosial (social action). Pokok perhatian sosiologi menurut Weber adalah bagaimana memahami tindakan-tindakan sosial dalam masyarakat, yang disebut dengan “tindakan yang bermakna”. Sosiolog mempelajari tindakan sosial dengan menggunakan metode observasi dengan melakukan penafsiran dan pemahaman terhadap data dan informasi. Beberapa teori yang tergolong dalam pradigma ini adalah teori tindakan, teori fenomenologis, interaksionalisme simbolis, etnometodologi dan eksistensialisme.
Terakhir, paradigma perilaku sosial dengan acuan pada psikolog B. F. Skiner. Teori behavioral dan teori pertukaran merupakan pendukung utama paradigma ini. Sosiologi pada paradigma ini menekuni perilaku individu yang tak terpikirkan oleh individu bersangkutan. Berbeda dengan dua paradigma yang lain, metode yang diterapkan adalah metode eksperimen.
Paradigma terpadu
Ritzer berupaya menyusun satu paradigma yang lebih integratif dari berbagai teori, bahkan dari ketiga paradigma sebelumnya. Ritzer tidak bermaksud menggantikan paradigma-pradigma yang lama, namun ia lebih bermaksud untuk melengkapi. Dengan kata lain, Ritzer tidak menghilangkan keragaman, malah ia menyebut bahwa paradigma terpadu yang disusunnya tersebut dalam upaya melengkapi paradigma-pradigma lain sebelumnya (dan termasuk untuk yang akan datang). Ritzer melihat bahwa pradigma sebelumnya hanya melihat dari satu sisi dan melupakan sisi dan level-level yang lain. Kelemahan ini menyebabkan terkotak-kotaknya hasil pengetahuan tiap paradigma, sehingga tidak bisa saling mendukung.
Kunci paradigma terpadu ini ada pada level analisis sosialnya. Level analisis merupakan point penting dalam menyusun teori ataupun paradigma, meskpun pada kenyataannya level-level tersebut tidak benar-benar riel di dunia sosial. Ritzer menggunakan dua dimensi kontinuum, yakni level mikrokospis-makrokospis dan objektif-subjektif. Kontinuum mikro-makro tidak sulit memahaminya, bahkan orang awam sekalipun paham dengan hal ini. Pada level mikro terdapat individu dengan segala atribut dan aksinya, sedangkan pada level makro adalah entitas sosial yang besar-besar misalnya negara bahkan sistem dunia. Sementara, subjektif merujuk pada ranah ide, gagasan, pemikiran, dan lain-lain yang abstrak; sedangkan objektif merujuk pada segala hal yang berkaitan dengan materi dan peristiwa-peristiwa visual yang riel.
Jadi, paradigma integratif Ritzer berupaya menggabungkan semua paradigma, dengan unit analisis meliputi semua tingkatan realitas. Dari dua dimensi di atas dihasilkan empat bidang yakni: (1) makro-obyektif berupa masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur, teknologi, dan bahasa; (2) makro-subyektif berupa nilai, norma, dan budaya; (3) mikro-obyektif berupa pola perilaku, tindakan, dan interaksi; serta (4) mikro-subyektif berupa persepsi, keyakinan dan berbagai segi konstruksi sosial tentang realitas.
Ritzer menggabungkan dua dimensi dari paradigmanya tersebut yang melahirkan empat bidang dengan tiga paradigma sebelumnya. Paradigma fakta sosial fokus pada level makro-objektif dan makro-subjektif, paradigma definisi sosial pada mikro–subjektif dan mikro-subjektif yang terkait dengan proses-proses mental, sedangkan paradigma tindakan sosial berkaitan dengan mikro-objektif namun yang tidak melibatkan proses mental atau berfikir.
Lebih jauh, Ritzer juga menyampaikan bagaimana menggunakan paradigma terpadunnya tersebut. Ia melihat bahwa tidak semua teori sosiologi mesti menggunakan paradigma terpadu tersebut. Ritzer mengingatkan agar kalangan teoritis sosiologi hati-hai menerapkan paradigma ini dalam menyusun teori-teorinya.
Namun demikian, beberapa kritik juga telah dialamatkan kepada hasil kerja Ritzer ini. Salah satu kritik adalah karena pendekatan integratif yang digunakan, misalnya menempatkan perspektif konflik dalam paradigma yang sama dengan struktural fungsional. Bagi banyak kalangan, kedua pendekatan ini tidak bisa disatukan. Paradigma integratif sebagai upaya konsensus antar paradigma berbeda masih dapat diperdebatkan, karena ia berupaya memaksakan berbagai aliran untuk bersepakat dalam satu aras. Karena alasan inilah, sebagian pihak mengusulkan agar paradigma integratif ini diposisikan sebagai paradigma tersendiri yang terpisah.
Bacaan:
Ritzer, George. 1996. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.
******
Teori-Teori Sosiologi Kontemporer
Untuk memaparkan teori-teori sosiologi apa yang berkembang dan lebih “menjanjikan” pada masa-masa terakhir ini, diakui Ritzer tidaklah mudah, karena teori-teori tersebut baru saja bermunculan dan juga sulit membedakan satu sama lainnya. Beberapa teori terlihat signifikan dibanding yang lain dan tampaknya lebih berpeluang semakin berkembang di masa mendatang. Teori globalisasi, meskipun masih memberi ruang untuk diperdebatkan, tampaknya akan menjadi teori yang penting di masa depan. Dari berbagai teori sosiologi mutakhir, Ritzer memilih empat teori, yaitu teori queer (aneh), teori kritis tentang ras dan rasisme, teori aktor network, dan teori praktek. Keempat teori dimaksud dipaparkan dalam paper ini secara ringkas.
Teori Queer
Dalam kamus, “queer” berarti aneh, kacau, abnormal, dan tidak disukai. Dengan demikian, Teori Queer berkenaan dengan relasi-relasi yang aneh atau yang tidak biasa. Jika “relasi sosial” merupakan objek pokok dalam sosiologi, maka ia hanya membicarakan relasi-relasi yang normal; atau tepatnya, relasi-relasi manusia normal. Sebagian ahli tidak merasa cukup dengan teori-teori yang telah ada tentang relasi sosial yang normal ini. Mereka merasa perlu menciptakan teori khusus berkenaan dengan manusia-manusia yang “tidak biasa” tersebut.
Dalam teori queer, ingin diungkapkan bagaimana bentuk relasi yang paling otentik dan juga radikal. Bagaimana seorang lesbian dan seorang gay berhubungan sesamanya merupakan objek dalam teori ini. Sangat menarik mempelajari relasi seperti apa yang terjadi ketika seorang lesbian berelasi dengan sesamanya, dengan seorang gay, dan seterusnya. Namun kemudian, teori ini mencoba menyumbang pada teori sosiologi pada umumnya, dengan salah satunya mengusung konsep pluralisme misalnya. Mungkin maksudnya adalah melalui pelajaran dari relasi-relasi yang sumbang ini ingin menyumbangkan pengetahuan betapa ada relasi-relasi yang khas, yang mungkin dapat memperkaya bahkan “teoritisi normal” untuk memperkaya teori-teori mereka.
Teori queer berakar dari materi bahwa identitas tidak bersifat tetap dan stabil. Identitas bersifat historis dan dikonstruksi secara sosial. Dalam konteks teori, teori ini dapat digolongkan sebagai sesuatu yang anti identitas. Ia bisa dimaknai sebagai sesuatu yang tidak normal atau aneh. Dalam teori ini terdapat tiga makna intelektual dan politik, meskipun sulit membuat batasan-batasannya. Arlene Stein dan Ken Plummer mencatat ada empat tiang atau penanda dari teori queer ini, yaitu:
1. Melakukan konseptualisasi seksualitas yang mempelajari kekuasaan seksual dalam berbagai level kehidupan sosial, dan membicarakan bagaimana relasi power seksual berlangsung.
2. Problem seksual dan kategori gender dan identitas secara umum
3. Menolak strategi hak-hak sipil. Sebagai contoh, klaim politik berbasis identitas misalnya mengangkat gerakan hak-hak kaum lesbian.
4. Keinginan untuk menjadikan seksualitas sebagai analisis untuk setiap bidang yang diteliti, misalnya festival musik, kultur pop, gerakan sosial, dan lain-lain.
Teori queer mempelajari gay dan lesbian, dimana homoseksual diposisikan sebagai subjek. Disinilah stand point teori queer. Karena posisinya inilah, maka ada yang menyebut bahwa ini bukan institusi pengetahuan, tapi semata hanya proses dekonstruksi. Teori ini lahir sebagai hasil dari pengaruh arkeologi pengetahuan dan genealogi kekuasaan pada akhir 1980-an sampai dengan sepanjang 1990-an.
Teori ini tidak hanya menyangkut sisi gender tetapi juga seks. Ia mengkaji kombinasi dari berbagai kemungkinan dari tampilan gender serta tentang proses yang berfokus pada gerakan yang melampaui ide, ekspresi, hubungan, tempat dan keinginan yang menginovasi berbagai perbedaan cara penjelmaan di dunia sosial. Model queer ini dijadikan kerangka kerja dalam mempelajari isu-isu gender, seksualitas dan bahkan politik identitas.
Dalam Ritzer disebutkan, kritik terhadap teori queer adalah bahwa ia tidak berbentuk sebagai politik inklusi dan menolak karakter tunggal tentang identitas seperti ras, kelas, atau peran seks dalam aksi politik. Di sisi lain, ada sebagian ahlinya yang berusaha agar teori ini menjadi lebih sensitif secara sosial. Adam Isaiah Green menyebut bahwa ada dua tegangan terhadap teori queer yakni dekonstruksionisme radikal dan subversi radikal.
Toeri Kritis tentang Ras dan Rasisme (CTRR)
Perkembangan teori ras dan rasisme akhir-akhir ini semakin memposisikan diri berada di belakang teori feminis. Teori ras kritis awalnya merupakan hasil dari gerakan hak-hak sipil. Pada era 1960-an ia berupaya melahirkan teori baru tentang ras, yang akarnya dari banyak sumber termasuk Marx, postrukturalisme, teori feminis, dan konstruksi Du Bois.
Secara sederhana, ”ras” adalah pengelompokkan manusia atas keturunan dan ciri-ciri fisik. Sementara, ”rasisme” adalah gagasan yang menyatakan bahwa ada hubungan langsung antara nilai-nilai, perilaku dan sikap kelompok tertentu, sesuai dengan garis keturunan dan ciri fisik-fisiknya. Lain lagi, secara konseptual, rasialisme adalah suatu penekanan pada ras atau pertimbangan rasial dalam berbagai pemikiran. Dari sisi akademis, istilah rasialisme digunakan untuk menekankan perbedaan sosial dan budaya antar ras. Walaupun istilah ini kadang digunakan sebagai kontras dari rasisme, istilah ini dapat juga digunakan sebagai sinonim rasisme.
Jika rasisme merujuk pada sifat individu dan diskriminasi institusional, rasialisme biasanya merujuk pada suatu gerakan sosial atau politik yang mendukung teori rasisme. Pendukung rasialisme menyatakan bahwa rasisme melambangkan supremasi rasial dan karenanya memiliki maksud tidak baik, sedangkan rasialisme menunjukkan suatu ketertarikan kuat pada isu-isu ras tanpa konotasi-konotasi tadi. Kalangan rasialis menyatakan bahwa fokus mereka adalah pada kebanggaan ras, identitas politik, atau segregasi rasial. Pada intinya, mereka menentang segala bentuk rasisme.
Dasar-dasar teori ras kritis di antaranya berakar dari fakta eksisnya rasisme di tengah masyarakat, dimana kaum kulit putih memperoleh keuntungan ekonomi dari kondisi ini. Ras bukanlah sesuatu yang objektif namun merupakan sesuatu yang dikonstrusi secara sosial. Dalam masyarakat yang rasis hadir kelompok dominan yang memiliki power lebih kuat atas kelompok yang lemah. Sebagaimana teori feminis, teori ras juga bersifat interseksionalitas dan anti esensialisme, dimana mereka menolak relaitas tunggal. Pada akhirnya, tujuannya adalah untuk mengeliminasi tekanan rasial itu sendiri.
Teori kritis tentang ras dan rasisme masih sedang dikembangkan saat ini. Dapat dikatakan bahwa teori tersebut mungkin dapat dikatakan belum terbentuk, namun akan semakin mengkristal di tahun-tahun depan.
Teori Aktor-Jaringan (ANT), Posthumanisme, dan Postsosialitas
Ritzer menyebutkan bahwa, teori aktor-jaringan lebih sebagai metode daripada teori. Teori ini berakar dari strukturalisme dan post strukturalisme. Ide pokok teorinya berkenaan dengan bagaimana objek material diciptakan dan memperoleh makna dalam relasi jaringan dengan orang lain. Teori ini mesti dipahami sebagai semiotika materialitas, dimana ia diproduksi dalam relasi. Ia lebih ke post strukturalisme, sehingga ia juga tergolong sebagai anti esensialisme.
Teori ANT merupakan respon dari kritik terhadap kekurangan-kekurangan pandangan strukturasi. Terakhir, banyak keberatan terhadap teori ANT misalnya terhadap arah yang diambilnya. Law misalnya memberi perhatian terhadap penamaan, kesederhanaannya, dan hilangnya kompleksitas. Ada empat hal yang tidak dicakup dalam teiori ANT yaitu kata aktor itu sendiri, jaringan, teori dan tanda penghubung (hyphen). Inti dari teori ini adalah bahwa segala hal dapat dilihat sebagai keterkaitan antar aktor, baik manusia dengan manusia, maupun dengan bukan manusia. Teori ini dapat membantu kita memahami bagaimana ide, nilai, atau pun norma masyarakat manusia tertanam di dalam sebuah objek kultural.
Berkaitan dengan teori ANT adalah posthumanisme dan postsosialitas. Posthumanisme adalah lawan dari humanisme, atau berupaya keluar dari konsep humanisme tersebut. Ia menolak pemisahan antara humanitas atau kemanusiaan dengan dunia non-manusia. Jika humanisme berdiri di atas basisnya yaitu sosiologi terutama mikrososiologi, posthumanisme berupaya melampaui itu dan dapat dipandang sebagai kesempatan untuk memperluas sosiologi dengan menempatkan aktor manusia dalam kerangka yang.lebih luas dan mengaitkan dengan fenoman lain, dan lalu membingkainya dalam satu kerangka. Berbeda dengan positivis yang berusaha memproduksi hukum sosial yang berlaku abadi, teori humanis lebih interpretatif, dengan mencoba memahami tindakan sosial pada level makna yang dipandang sebagai hal yang relatif, plural, dan dinamis.
Ide tentang postsosialitas sesungguhnya juga dengan semangat yang sama untuk mengkritisi pendekatan tradisioanl sosialitas. Kehadiran teori ini berkaitan dengan berkembangnya beberapa tipe baru pekerjaan dan latar konsumsi. Salah satu bentuknya adalah “virtual organization” dimana orang berkerja tanpa ada satu kontrol pusat dan struktur yang hierarkhis. Mereka bekerja dengan cara mereka sendiri dan terhubungan melalui berbagai alat komunikasi.
Teori Praktek (Practice Theory)
Teori praktek merupakan pendekatan terhadap fenomena sosial dengan melihat pada bagaimana menemukan solusi antara pendekatan strukturalis tradisional dan pendekatan lain semisal individualisme, dan berusaha menerangkan fenomena tersebut dalam konteks tindakan individual. Teori ini terkait erat dengan sosiolog Perancis Pierre Bourdieu tentang habitus.
Apa yang disebut dengan teori praktek oleh Ritzer berasal dari pemikiran Bourdieu, Foucault, Giddens, Garfinkel, Latour dan Butler; yang berkaitan dengan postrukturalisme, teori strukturasi, etnometodologi, teori aktor-jaringan, dan teori performativitas. Ditambah dengan pemikiran-pemikiran lain, Ritzer mengakui tak mudah mendefiniskan Teori Praktek ini.
Teori Praktek merupakan salah satu varian dari teori-teori kultural. Namun, teori ini memfokuskan pada praktek dalam makna sehari-hari, yaitu bagaimana kita mengelola diri kita, menjelaskan sesuatu, mengelola objek, dan bagaimana memahami dunia. Selain itu, ”praktek” juga berkaitan dengan fikiran atau aktivitas mental. Sampai saat ini, Teori Praktek belum menjadi teori besar (grand theory), namun peluang teori ini untuk lebih berkembang menurut Ritzer cukup terbuka.
Bacaan:
Ritzer, George. 2004. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.
*****
Teori Queer
Dalam kamus, “queer” berarti aneh, kacau, abnormal, dan tidak disukai. Dengan demikian, Teori Queer berkenaan dengan relasi-relasi yang aneh atau yang tidak biasa. Jika “relasi sosial” merupakan objek pokok dalam sosiologi, maka ia hanya membicarakan relasi-relasi yang normal; atau tepatnya, relasi-relasi manusia normal. Sebagian ahli tidak merasa cukup dengan teori-teori yang telah ada tentang relasi sosial yang normal ini. Mereka merasa perlu menciptakan teori khusus berkenaan dengan manusia-manusia yang “tidak biasa” tersebut.
Dalam teori queer, ingin diungkapkan bagaimana bentuk relasi yang paling otentik dan juga radikal. Bagaimana seorang lesbian dan seorang gay berhubungan sesamanya merupakan objek dalam teori ini. Sangat menarik mempelajari relasi seperti apa yang terjadi ketika seorang lesbian berelasi dengan sesamanya, dengan seorang gay, dan seterusnya. Namun kemudian, teori ini mencoba menyumbang pada teori sosiologi pada umumnya, dengan salah satunya mengusung konsep pluralisme misalnya. Mungkin maksudnya adalah melalui pelajaran dari relasi-relasi yang sumbang ini ingin menyumbangkan pengetahuan betapa ada relasi-relasi yang khas, yang mungkin dapat memperkaya bahkan “teoritisi normal” untuk memperkaya teori-teori mereka.
Teori queer berakar dari materi bahwa identitas tidak bersifat tetap dan stabil. Identitas bersifat historis dan dikonstruksi secara sosial. Dalam konteks teori, teori ini dapat digolongkan sebagai sesuatu yang anti identitas. Ia bisa dimaknai sebagai sesuatu yang tidak normal atau aneh. Dalam teori ini terdapat tiga makna intelektual dan politik, meskipun sulit membuat batasan-batasannya. Arlene Stein dan Ken Plummer mencatat ada empat tiang atau penanda dari teori queer ini, yaitu:
1. Melakukan konseptualisasi seksualitas yang mempelajari kekuasaan seksual dalam berbagai level kehidupan sosial, dan membicarakan bagaimana relasi power seksual berlangsung.
2. Problem seksual dan kategori gender dan identitas secara umum
3. Menolak strategi hak-hak sipil. Sebagai contoh, klaim politik berbasis identitas misalnya mengangkat gerakan hak-hak kaum lesbian.
4. Keinginan untuk menjadikan seksualitas sebagai analisis untuk setiap bidang yang diteliti, misalnya festival musik, kultur pop, gerakan sosial, dan lain-lain.
Teori queer mempelajari gay dan lesbian, dimana homoseksual diposisikan sebagai subjek. Disinilah stand point teori queer. Karena posisinya inilah, maka ada yang menyebut bahwa ini bukan institusi pengetahuan, tapi semata hanya proses dekonstruksi. Teori ini lahir sebagai hasil dari pengaruh arkeologi pengetahuan dan genealogi kekuasaan pada akhir 1980-an sampai dengan sepanjang 1990-an.
Teori ini tidak hanya menyangkut sisi gender tetapi juga seks. Ia mengkaji kombinasi dari berbagai kemungkinan dari tampilan gender serta tentang proses yang berfokus pada gerakan yang melampaui ide, ekspresi, hubungan, tempat dan keinginan yang menginovasi berbagai perbedaan cara penjelmaan di dunia sosial. Model queer ini dijadikan kerangka kerja dalam mempelajari isu-isu gender, seksualitas dan bahkan politik identitas.
Dalam Ritzer disebutkan, kritik terhadap teori queer adalah bahwa ia tidak berbentuk sebagai politik inklusi dan menolak karakter tunggal tentang identitas seperti ras, kelas, atau peran seks dalam aksi politik. Di sisi lain, ada sebagian ahlinya yang berusaha agar teori ini menjadi lebih sensitif secara sosial. Adam Isaiah Green menyebut bahwa ada dua tegangan terhadap teori queer yakni dekonstruksionisme radikal dan subversi radikal.
Toeri Kritis tentang Ras dan Rasisme (CTRR)
Perkembangan teori ras dan rasisme akhir-akhir ini semakin memposisikan diri berada di belakang teori feminis. Teori ras kritis awalnya merupakan hasil dari gerakan hak-hak sipil. Pada era 1960-an ia berupaya melahirkan teori baru tentang ras, yang akarnya dari banyak sumber termasuk Marx, postrukturalisme, teori feminis, dan konstruksi Du Bois.
Secara sederhana, ”ras” adalah pengelompokkan manusia atas keturunan dan ciri-ciri fisik. Sementara, ”rasisme” adalah gagasan yang menyatakan bahwa ada hubungan langsung antara nilai-nilai, perilaku dan sikap kelompok tertentu, sesuai dengan garis keturunan dan ciri fisik-fisiknya. Lain lagi, secara konseptual, rasialisme adalah suatu penekanan pada ras atau pertimbangan rasial dalam berbagai pemikiran. Dari sisi akademis, istilah rasialisme digunakan untuk menekankan perbedaan sosial dan budaya antar ras. Walaupun istilah ini kadang digunakan sebagai kontras dari rasisme, istilah ini dapat juga digunakan sebagai sinonim rasisme.
Jika rasisme merujuk pada sifat individu dan diskriminasi institusional, rasialisme biasanya merujuk pada suatu gerakan sosial atau politik yang mendukung teori rasisme. Pendukung rasialisme menyatakan bahwa rasisme melambangkan supremasi rasial dan karenanya memiliki maksud tidak baik, sedangkan rasialisme menunjukkan suatu ketertarikan kuat pada isu-isu ras tanpa konotasi-konotasi tadi. Kalangan rasialis menyatakan bahwa fokus mereka adalah pada kebanggaan ras, identitas politik, atau segregasi rasial. Pada intinya, mereka menentang segala bentuk rasisme.
Dasar-dasar teori ras kritis di antaranya berakar dari fakta eksisnya rasisme di tengah masyarakat, dimana kaum kulit putih memperoleh keuntungan ekonomi dari kondisi ini. Ras bukanlah sesuatu yang objektif namun merupakan sesuatu yang dikonstrusi secara sosial. Dalam masyarakat yang rasis hadir kelompok dominan yang memiliki power lebih kuat atas kelompok yang lemah. Sebagaimana teori feminis, teori ras juga bersifat interseksionalitas dan anti esensialisme, dimana mereka menolak relaitas tunggal. Pada akhirnya, tujuannya adalah untuk mengeliminasi tekanan rasial itu sendiri.
Teori kritis tentang ras dan rasisme masih sedang dikembangkan saat ini. Dapat dikatakan bahwa teori tersebut mungkin dapat dikatakan belum terbentuk, namun akan semakin mengkristal di tahun-tahun depan.
Teori Aktor-Jaringan (ANT), Posthumanisme, dan Postsosialitas
Ritzer menyebutkan bahwa, teori aktor-jaringan lebih sebagai metode daripada teori. Teori ini berakar dari strukturalisme dan post strukturalisme. Ide pokok teorinya berkenaan dengan bagaimana objek material diciptakan dan memperoleh makna dalam relasi jaringan dengan orang lain. Teori ini mesti dipahami sebagai semiotika materialitas, dimana ia diproduksi dalam relasi. Ia lebih ke post strukturalisme, sehingga ia juga tergolong sebagai anti esensialisme.
Teori ANT merupakan respon dari kritik terhadap kekurangan-kekurangan pandangan strukturasi. Terakhir, banyak keberatan terhadap teori ANT misalnya terhadap arah yang diambilnya. Law misalnya memberi perhatian terhadap penamaan, kesederhanaannya, dan hilangnya kompleksitas. Ada empat hal yang tidak dicakup dalam teiori ANT yaitu kata aktor itu sendiri, jaringan, teori dan tanda penghubung (hyphen). Inti dari teori ini adalah bahwa segala hal dapat dilihat sebagai keterkaitan antar aktor, baik manusia dengan manusia, maupun dengan bukan manusia. Teori ini dapat membantu kita memahami bagaimana ide, nilai, atau pun norma masyarakat manusia tertanam di dalam sebuah objek kultural.
Berkaitan dengan teori ANT adalah posthumanisme dan postsosialitas. Posthumanisme adalah lawan dari humanisme, atau berupaya keluar dari konsep humanisme tersebut. Ia menolak pemisahan antara humanitas atau kemanusiaan dengan dunia non-manusia. Jika humanisme berdiri di atas basisnya yaitu sosiologi terutama mikrososiologi, posthumanisme berupaya melampaui itu dan dapat dipandang sebagai kesempatan untuk memperluas sosiologi dengan menempatkan aktor manusia dalam kerangka yang.lebih luas dan mengaitkan dengan fenoman lain, dan lalu membingkainya dalam satu kerangka. Berbeda dengan positivis yang berusaha memproduksi hukum sosial yang berlaku abadi, teori humanis lebih interpretatif, dengan mencoba memahami tindakan sosial pada level makna yang dipandang sebagai hal yang relatif, plural, dan dinamis.
Ide tentang postsosialitas sesungguhnya juga dengan semangat yang sama untuk mengkritisi pendekatan tradisioanl sosialitas. Kehadiran teori ini berkaitan dengan berkembangnya beberapa tipe baru pekerjaan dan latar konsumsi. Salah satu bentuknya adalah “virtual organization” dimana orang berkerja tanpa ada satu kontrol pusat dan struktur yang hierarkhis. Mereka bekerja dengan cara mereka sendiri dan terhubungan melalui berbagai alat komunikasi.
Teori Praktek (Practice Theory)
Teori praktek merupakan pendekatan terhadap fenomena sosial dengan melihat pada bagaimana menemukan solusi antara pendekatan strukturalis tradisional dan pendekatan lain semisal individualisme, dan berusaha menerangkan fenomena tersebut dalam konteks tindakan individual. Teori ini terkait erat dengan sosiolog Perancis Pierre Bourdieu tentang habitus.
Apa yang disebut dengan teori praktek oleh Ritzer berasal dari pemikiran Bourdieu, Foucault, Giddens, Garfinkel, Latour dan Butler; yang berkaitan dengan postrukturalisme, teori strukturasi, etnometodologi, teori aktor-jaringan, dan teori performativitas. Ditambah dengan pemikiran-pemikiran lain, Ritzer mengakui tak mudah mendefiniskan Teori Praktek ini.
Teori Praktek merupakan salah satu varian dari teori-teori kultural. Namun, teori ini memfokuskan pada praktek dalam makna sehari-hari, yaitu bagaimana kita mengelola diri kita, menjelaskan sesuatu, mengelola objek, dan bagaimana memahami dunia. Selain itu, ”praktek” juga berkaitan dengan fikiran atau aktivitas mental. Sampai saat ini, Teori Praktek belum menjadi teori besar (grand theory), namun peluang teori ini untuk lebih berkembang menurut Ritzer cukup terbuka.
Bacaan:
Ritzer, George. 2004. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.
*****
Teori-Teori Postmodern
Sebelum di bidang sosiologi, istilah postmodern sudah lama dipakai di dunia lain misalnya seni dan arsitektur, serta mempengaruhi banyak sekali bidang pemikiran termasuk fislsafat. Postmodernisme merupakan produk kultural yang dipandang sangat berbeda dengan produk kultural modern.. Pandangan lain malihat bahwa produk-produk baru ini telah menggeser produk kultural lama. Dalam paper ini, yang disusun dari tiga bahan tulisan, dipaparkan relasi postmodernisme dengan sosiologi, dan dilanjutkan dengan berbagai teori sosiologi yang tumbuh dan tergolong dalam sosiologi postmodernisme.
Postmodernisme dan Sosiologi
Pada hakekatnya, mulai dari era sosiologi klasik, sosiologi dikembangkan untuk menerangkan (dan mengarahkan) masyarakan modern. Ia berupaya menjelaskan dunia modern, yaitu dunia Eropa dan Barat yang muncul karena kapitalisme industri. Dengan munculnya bentuk masyarakat ”baru”, yang disebut dengan masyarakat postmodernis, maka ilmu sosiologi mesti ”mengikuti” dengan memberi penjelasan-penjelasan baru. Namun, disamping menjelasakan apa dan bagaimana masyarakat postmodern, sosiologi juga telah ”mengabarkannya” dengan menyebutkan bahwa telah muncul jenis masyarakat baru yang tidak bisa lagi dijelaskan dengan konsep dan teori lama.
Menurut Ritzer, teori sosial postmodern menunjukkan adanya tantangan baru. Beberapa teori pokok dalam sosiologi telah ditolak karena dipandang tak lagi mampu menjelaskan perkembangan baru ini. Kehadiran teori postmodern tidak dapat ditolak lagi keberadaannya.
Dari sisi teori, jika teori modern berupaya membangun landasan universal, ahistoris, dan rasional; teori postmodern mempertanyakan landasan-landasan tersebut. Alsannya adalah karena landasan-landasan tersebut tidaklah netral. (Demikianlah pula kritik teori postkolonial, karena pandangan ilmuwan Barat yang cenderung bias melihat masyarakat Timur).
Postmodernis menolak narasi besar atau metanarasi. Salah seorang tokohnya, yakni Lyotard, menyebutnya dengan totalitas dan mengajak lebih pada perbedaan. Banyak pandangan yang menyebut bahwa telah terjadi kehancuran radikal, dimana masyarakat modern telah digantikan masyarakat postmodern. Pendapat yang lebih lunak meyakini bahwa meskipun telah terjadi perubahan, tapi apa yang berkembang merupakan kelajutan dari masyarakat sebelumnya. Ada kontinyuitas dari banyak aspek dalam masayarakat modern yang masih ditemui di masyarakat postmodern.
Menurut Turner (1998), postmodern menggunakan dua tema, yakni sosiologi kritik sebagai sebuah ilmu, dan robohnya modernitas sebagai simbol kultural yang merubah organisasi sosial dan relasi individu dengan dunia sosial.
Postmodern menyerang keyakinan modernitas terhadap ilmu. Kritiknya berkenaan dengan pengetahuan manusia berkenaan dengan tiga hal, yaitu: (1) masalah representasi, apakah bahasa mampu membantu pemahaman kita tentang realitas, (2) masalah kekuasaaan dan vested interest, karena terbukti ilmu tak berkembang secara netral dan karena itu ilmu mesti dipahami dalam konteks kulturalnya, dan (3) masalah kontinyuitas, karena ada diskontinyuitas dalam pengetahuan.
Berkenaan dengan konteks ini, Turner menyebut beberapa ahli yang intinya adalah untuk memperlihatkan bahwa masyarakat postmodern perlu dilihat secara baru, yakni dengan sosiologi post modernisme. Sebagian besar berkutat pada bahasa dan teks.
JF Lyotard misalnya menyumbangkan pemikirannya dimana bahasa sebagai game. Ia melihat pada fungsi bahasa dan cara game dimainkan. Seperti halnya game, bahasa juga memiliki kreasi yang otonom. Lyotard membandingkan bentuk naratif pengetahuan yang deskriptif dengan denotatif keilmuan. Ia menginterpretasi kedudukan dan perkembangan pengetahuan, pendidikan, sains, dan teknologi dalam masyarakat postmodern. Menurut Lyotard, posmodernisme adalah kondisi ketidakpercayaan sosial atas metanarasi yang diartikan sebagai cerita atau teori keseluruhan tentang sejarah dan tujuan dari manusia yang menjadi dasar dan pengabsahan pengetahuan dan praktik budaya. Ia mengkontraskan dengan pendekatan filsafat sosial klasik seperti Hegel dan Marx.
Selanjutnya Richard Rorty memandang bahwa realitas adalah sesuatu di luar sana (out there). Bahasa dipakai agar dapat melihat realitas secara objektif, untuk merepresentasikannya. Masalahnya, bahasa tidak akan mampu lebih objektif, malah ia mendekonstruksi realitas. Menurutnya, kebenaran bagi kalangan postmodernis adalah kebenaran yg bersifat kontekstual dan plural. Banyak nilai kebenaran di dunia, namun dalam memilih kebenaran perlu diawali dengan refleksi kritis, dan selanjutnya suatu saat harus siap menggantinya jika ternyata kebenaran lain yg baru ditemukan. Ia dapat disebut sinis terhadap semua bentuk klaim kebenaran.
RH Brown juga melihat sosiologi sebagai teks. Ia meyakini, bahwa baik realitas sosial, kultur, dan ilmu sosial; adalah konstruksi linguistik. Karena itu, ia mengusulkan ”realisme simbolik” untuk menyingkap tabir apa yang ada di belakang realitas. Meskipun yang dijadikan objek adalah suatu aktivitas komunikasi, namun di belakangnya terdapat basis ideologi, pandangan, serta bentuk-bentuk linguistik.
Demikian pula Charles Lemert yang melihat bahwa ilmu sosial kurang mampu menjelaskan dibandingkan dengan diskursus teks. Realitas empiris, sebagaimana teks, adalah sesuatu yang juga dikonstruk.
Kritik terhadap teori postmodernisme juga telah banyak dilontarkan. Salah satunya adalah pertanyaan tentang alasan kesahihannya karena mereka tidak memiliki basis normatif yang dapat digunakan untuk menyusun suatu penilaian. Pertanyaannya adalah: apakah “post” menandai sebuah perubahan pemikiran yang pascastruktural atau sekedar ingin bersikap dekonstruksi belaka? Meskipun mereka mengkritik masyarakat modern dengan sangat keras, tapi masyarakat ideal bagaimana yang mereka “usulkan” tidak pernah muncul dalam penjelasannya. Berbagai kritik terhadap teori post modrnisme disebut Ritzer dengan “Teori Post-postmodernisme”.
Di sisi lain, tumbuhnya wacana postmodernisme di kalangan peneliti budaya memang masih kontroversial. Di satu pihak ada hasrat menemukan perubahan pemahaman, dari modern ke sesuatu yang beda, karena yang modern dianggap telah jenuh dan buntu. Di lain pihak, masih ada keraguan di sebagian ahli, karena postmodernisme dianggap masih sekedar konterproduktif belaka. Paham ini menyebabkan postmodernisme masih tetap goyah. Alasan ini pula yang membuat sebagian kalangan belum mengakui postmodernisme - dan tentunya sosiologi postmodernisme - secara akademik.
Teori-Teori Postmodernisme
Menurut Turner (1998), teori sosiologi tentang psotmodernisme dapat dipilah menjadi dua, yakni yang lebih melihat dari akibat perubahan berbagai aspek ekonomi dan satu lagi dari sisi kultural. Berbeda dengan ini, Ritzer melabeli dengan yang moderat dan radikal. Frederic Jameson yang melihat dari perubahan setruktur ekonomi digolongkan sebagai moderat, sedangkan yang radikal adalah Jean Baudrillard yang dalam Turner digolongkan sebagai teoritis kultural.
Fredric Jameson melihat masih ada kontinyuitas antara modernitas dengan postmodernitas. Ada persambungan antara keduanya. Dunia kapitalisme saat ini memasuki masa akhirnya, meskipun memang telah menumbuhkan logika kultural baru, yakni postmodernisme. Meskipun kulturalnya berubah namun struktur ekonomi yang terjadi masih dengan basis pola yang lama. Ia melihat sekaligus sisi positif dan negatif dari postmodernitas.
Ia menemukan ada tiga tahapan dalam kapitalisme yang dimulai dengan kapitalisme pasar, diikuti dengan lahirnya jaringan kapitalis global, dan akhirnya kapitalisme akhir dengan semakin bebasnya pergerakan modal di seluruh dunia. Perubahan dalam struktur ekonomi ini memperngaruhi pula pada bentuk-bentuk kultural. Satu ciri kultural baru adalah elemen yang lebih heterogen. Tidak terjadi dominansi satu kultur tertentu, namun ada banyak kekuatan yang saling hadir secara bersamaan.
Jameson menunjukkan suatu upaya besar untuk merevitalisasi Marxisme dengan cara membangun sintesis antara wacana posmodernisme dan Marxisme. Ia melihat posmodernisme sebagai totalitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan sejarah yang menandai gejala-gejala sosial mutakhir sejak 1950-an seiring dengan munculnya struktur masyarakat baru dengan nama beragam.
Sebaliknya, Jean Baudrillard berpandangan lebih ekstrem. Ia mengusulkan pertukaran simbolis sebagai pengganti pertukaran ekonomi. Dalam pertukaran simbolis, kedua pihak berperan sama kuat. Setiap orang melakukan dua proses timbal balik sekaligus. Gagasan pertukaran simbolis ini berbeda sekali dengan pertukaran dalam kapitalisme. Masyarakat tidak lagi hanya didominiasi oleh produksi, namun oleh berbagai kekuatan lain yakni media, informasi, hiburan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Baudrillard meyakini telah terjadi peralihan dari masyarakat yang didominasi oleh ”mode produksi” ke ”kode produksi”.
Timbul pertanyaan penting, apakah teori postmodern merupakan teori sosial? Pertanyaan ini timbul karena kalangan postmodernisme menolak ”penjelasan besar”, padahal syarat pokok sebuah teori adalah kemampuannya memberi narasi besar untuk fenomena sosial. Namun, sesuai dengan syarat-syarat sebuah teori, apa yang ditawarkan Baudrillard menurut Ritzer dapatlah disebut sebagai teori sosiologi.
Satu teoritisi lain adalah Zygmunt Bauman (dalam Seidman, 2008), yang mempelajari dampak deinstitusionalisme makna tentang diri yang khaos, random, dan terdiferensiasi. Ia menyusun sosiologi postmodernisme dari poststruktural Perancis dan teori kritis Jerman. Ia mengkritik pandangan orang tentang ”pencerahan”. Baginya pencerahan telah memunculkan alasan legislatif, yakni peningkatan individualitas, pluralisme dan menolak keraguan dan ketidaktentuan (uncertainty).
Dalam masyarakat postmodernisme, katanya, tidak lagi dibutuhkan legitimasi intelektual dan juga negara. Masyarakat menjadi semakin tergantung kepada pasar. Basis gaya kehidupan telah beralih ke konsumsi. Negara juga tak lagi terlalu membutuhkan intelektual. Namun, postmodernisme masih melanjutkan beberapa sisi modernisme yakni nilai-nilai pilihan, diversitas, kritis dan refleksif. Dalam postmodernisme, dianut paham pluralisme pengetahuan. Dalam masyarakat postmodern, sosiologi tidak lagi dibutuhkan untuk legislasi sosial order dan norma kultural. Sosiologi baru harus mampu memfasilitasi pemahaman bersama dan harus pula lebih interpretatif.
Daftar Pustaka
Ritzer, George. 1996. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.
Seidman, Steven. 2008. Contested Knowledge: Social Theory Today. 4th edition. Blackwell Publishing, Australia.
Turner, Jonathan H. 1998. The Structure of Sociological Theory. Sixth edition. Wardsworth Publishing Company, USA.
*****
Postmodernisme dan Sosiologi
Pada hakekatnya, mulai dari era sosiologi klasik, sosiologi dikembangkan untuk menerangkan (dan mengarahkan) masyarakan modern. Ia berupaya menjelaskan dunia modern, yaitu dunia Eropa dan Barat yang muncul karena kapitalisme industri. Dengan munculnya bentuk masyarakat ”baru”, yang disebut dengan masyarakat postmodernis, maka ilmu sosiologi mesti ”mengikuti” dengan memberi penjelasan-penjelasan baru. Namun, disamping menjelasakan apa dan bagaimana masyarakat postmodern, sosiologi juga telah ”mengabarkannya” dengan menyebutkan bahwa telah muncul jenis masyarakat baru yang tidak bisa lagi dijelaskan dengan konsep dan teori lama.
Menurut Ritzer, teori sosial postmodern menunjukkan adanya tantangan baru. Beberapa teori pokok dalam sosiologi telah ditolak karena dipandang tak lagi mampu menjelaskan perkembangan baru ini. Kehadiran teori postmodern tidak dapat ditolak lagi keberadaannya.
Dari sisi teori, jika teori modern berupaya membangun landasan universal, ahistoris, dan rasional; teori postmodern mempertanyakan landasan-landasan tersebut. Alsannya adalah karena landasan-landasan tersebut tidaklah netral. (Demikianlah pula kritik teori postkolonial, karena pandangan ilmuwan Barat yang cenderung bias melihat masyarakat Timur).
Postmodernis menolak narasi besar atau metanarasi. Salah seorang tokohnya, yakni Lyotard, menyebutnya dengan totalitas dan mengajak lebih pada perbedaan. Banyak pandangan yang menyebut bahwa telah terjadi kehancuran radikal, dimana masyarakat modern telah digantikan masyarakat postmodern. Pendapat yang lebih lunak meyakini bahwa meskipun telah terjadi perubahan, tapi apa yang berkembang merupakan kelajutan dari masyarakat sebelumnya. Ada kontinyuitas dari banyak aspek dalam masayarakat modern yang masih ditemui di masyarakat postmodern.
Menurut Turner (1998), postmodern menggunakan dua tema, yakni sosiologi kritik sebagai sebuah ilmu, dan robohnya modernitas sebagai simbol kultural yang merubah organisasi sosial dan relasi individu dengan dunia sosial.
Postmodern menyerang keyakinan modernitas terhadap ilmu. Kritiknya berkenaan dengan pengetahuan manusia berkenaan dengan tiga hal, yaitu: (1) masalah representasi, apakah bahasa mampu membantu pemahaman kita tentang realitas, (2) masalah kekuasaaan dan vested interest, karena terbukti ilmu tak berkembang secara netral dan karena itu ilmu mesti dipahami dalam konteks kulturalnya, dan (3) masalah kontinyuitas, karena ada diskontinyuitas dalam pengetahuan.
Berkenaan dengan konteks ini, Turner menyebut beberapa ahli yang intinya adalah untuk memperlihatkan bahwa masyarakat postmodern perlu dilihat secara baru, yakni dengan sosiologi post modernisme. Sebagian besar berkutat pada bahasa dan teks.
JF Lyotard misalnya menyumbangkan pemikirannya dimana bahasa sebagai game. Ia melihat pada fungsi bahasa dan cara game dimainkan. Seperti halnya game, bahasa juga memiliki kreasi yang otonom. Lyotard membandingkan bentuk naratif pengetahuan yang deskriptif dengan denotatif keilmuan. Ia menginterpretasi kedudukan dan perkembangan pengetahuan, pendidikan, sains, dan teknologi dalam masyarakat postmodern. Menurut Lyotard, posmodernisme adalah kondisi ketidakpercayaan sosial atas metanarasi yang diartikan sebagai cerita atau teori keseluruhan tentang sejarah dan tujuan dari manusia yang menjadi dasar dan pengabsahan pengetahuan dan praktik budaya. Ia mengkontraskan dengan pendekatan filsafat sosial klasik seperti Hegel dan Marx.
Selanjutnya Richard Rorty memandang bahwa realitas adalah sesuatu di luar sana (out there). Bahasa dipakai agar dapat melihat realitas secara objektif, untuk merepresentasikannya. Masalahnya, bahasa tidak akan mampu lebih objektif, malah ia mendekonstruksi realitas. Menurutnya, kebenaran bagi kalangan postmodernis adalah kebenaran yg bersifat kontekstual dan plural. Banyak nilai kebenaran di dunia, namun dalam memilih kebenaran perlu diawali dengan refleksi kritis, dan selanjutnya suatu saat harus siap menggantinya jika ternyata kebenaran lain yg baru ditemukan. Ia dapat disebut sinis terhadap semua bentuk klaim kebenaran.
RH Brown juga melihat sosiologi sebagai teks. Ia meyakini, bahwa baik realitas sosial, kultur, dan ilmu sosial; adalah konstruksi linguistik. Karena itu, ia mengusulkan ”realisme simbolik” untuk menyingkap tabir apa yang ada di belakang realitas. Meskipun yang dijadikan objek adalah suatu aktivitas komunikasi, namun di belakangnya terdapat basis ideologi, pandangan, serta bentuk-bentuk linguistik.
Demikian pula Charles Lemert yang melihat bahwa ilmu sosial kurang mampu menjelaskan dibandingkan dengan diskursus teks. Realitas empiris, sebagaimana teks, adalah sesuatu yang juga dikonstruk.
Kritik terhadap teori postmodernisme juga telah banyak dilontarkan. Salah satunya adalah pertanyaan tentang alasan kesahihannya karena mereka tidak memiliki basis normatif yang dapat digunakan untuk menyusun suatu penilaian. Pertanyaannya adalah: apakah “post” menandai sebuah perubahan pemikiran yang pascastruktural atau sekedar ingin bersikap dekonstruksi belaka? Meskipun mereka mengkritik masyarakat modern dengan sangat keras, tapi masyarakat ideal bagaimana yang mereka “usulkan” tidak pernah muncul dalam penjelasannya. Berbagai kritik terhadap teori post modrnisme disebut Ritzer dengan “Teori Post-postmodernisme”.
Di sisi lain, tumbuhnya wacana postmodernisme di kalangan peneliti budaya memang masih kontroversial. Di satu pihak ada hasrat menemukan perubahan pemahaman, dari modern ke sesuatu yang beda, karena yang modern dianggap telah jenuh dan buntu. Di lain pihak, masih ada keraguan di sebagian ahli, karena postmodernisme dianggap masih sekedar konterproduktif belaka. Paham ini menyebabkan postmodernisme masih tetap goyah. Alasan ini pula yang membuat sebagian kalangan belum mengakui postmodernisme - dan tentunya sosiologi postmodernisme - secara akademik.
Teori-Teori Postmodernisme
Menurut Turner (1998), teori sosiologi tentang psotmodernisme dapat dipilah menjadi dua, yakni yang lebih melihat dari akibat perubahan berbagai aspek ekonomi dan satu lagi dari sisi kultural. Berbeda dengan ini, Ritzer melabeli dengan yang moderat dan radikal. Frederic Jameson yang melihat dari perubahan setruktur ekonomi digolongkan sebagai moderat, sedangkan yang radikal adalah Jean Baudrillard yang dalam Turner digolongkan sebagai teoritis kultural.
Fredric Jameson melihat masih ada kontinyuitas antara modernitas dengan postmodernitas. Ada persambungan antara keduanya. Dunia kapitalisme saat ini memasuki masa akhirnya, meskipun memang telah menumbuhkan logika kultural baru, yakni postmodernisme. Meskipun kulturalnya berubah namun struktur ekonomi yang terjadi masih dengan basis pola yang lama. Ia melihat sekaligus sisi positif dan negatif dari postmodernitas.
Ia menemukan ada tiga tahapan dalam kapitalisme yang dimulai dengan kapitalisme pasar, diikuti dengan lahirnya jaringan kapitalis global, dan akhirnya kapitalisme akhir dengan semakin bebasnya pergerakan modal di seluruh dunia. Perubahan dalam struktur ekonomi ini memperngaruhi pula pada bentuk-bentuk kultural. Satu ciri kultural baru adalah elemen yang lebih heterogen. Tidak terjadi dominansi satu kultur tertentu, namun ada banyak kekuatan yang saling hadir secara bersamaan.
Jameson menunjukkan suatu upaya besar untuk merevitalisasi Marxisme dengan cara membangun sintesis antara wacana posmodernisme dan Marxisme. Ia melihat posmodernisme sebagai totalitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan sejarah yang menandai gejala-gejala sosial mutakhir sejak 1950-an seiring dengan munculnya struktur masyarakat baru dengan nama beragam.
Sebaliknya, Jean Baudrillard berpandangan lebih ekstrem. Ia mengusulkan pertukaran simbolis sebagai pengganti pertukaran ekonomi. Dalam pertukaran simbolis, kedua pihak berperan sama kuat. Setiap orang melakukan dua proses timbal balik sekaligus. Gagasan pertukaran simbolis ini berbeda sekali dengan pertukaran dalam kapitalisme. Masyarakat tidak lagi hanya didominiasi oleh produksi, namun oleh berbagai kekuatan lain yakni media, informasi, hiburan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Baudrillard meyakini telah terjadi peralihan dari masyarakat yang didominasi oleh ”mode produksi” ke ”kode produksi”.
Timbul pertanyaan penting, apakah teori postmodern merupakan teori sosial? Pertanyaan ini timbul karena kalangan postmodernisme menolak ”penjelasan besar”, padahal syarat pokok sebuah teori adalah kemampuannya memberi narasi besar untuk fenomena sosial. Namun, sesuai dengan syarat-syarat sebuah teori, apa yang ditawarkan Baudrillard menurut Ritzer dapatlah disebut sebagai teori sosiologi.
Satu teoritisi lain adalah Zygmunt Bauman (dalam Seidman, 2008), yang mempelajari dampak deinstitusionalisme makna tentang diri yang khaos, random, dan terdiferensiasi. Ia menyusun sosiologi postmodernisme dari poststruktural Perancis dan teori kritis Jerman. Ia mengkritik pandangan orang tentang ”pencerahan”. Baginya pencerahan telah memunculkan alasan legislatif, yakni peningkatan individualitas, pluralisme dan menolak keraguan dan ketidaktentuan (uncertainty).
Dalam masyarakat postmodernisme, katanya, tidak lagi dibutuhkan legitimasi intelektual dan juga negara. Masyarakat menjadi semakin tergantung kepada pasar. Basis gaya kehidupan telah beralih ke konsumsi. Negara juga tak lagi terlalu membutuhkan intelektual. Namun, postmodernisme masih melanjutkan beberapa sisi modernisme yakni nilai-nilai pilihan, diversitas, kritis dan refleksif. Dalam postmodernisme, dianut paham pluralisme pengetahuan. Dalam masyarakat postmodern, sosiologi tidak lagi dibutuhkan untuk legislasi sosial order dan norma kultural. Sosiologi baru harus mampu memfasilitasi pemahaman bersama dan harus pula lebih interpretatif.
Daftar Pustaka
Ritzer, George. 1996. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.
Seidman, Steven. 2008. Contested Knowledge: Social Theory Today. 4th edition. Blackwell Publishing, Australia.
Turner, Jonathan H. 1998. The Structure of Sociological Theory. Sixth edition. Wardsworth Publishing Company, USA.
*****
Strukturalisme Claude Levi-Strauss
Pemikiran strukturalisme secara umum diposisikan sebagai satu langkah penting yang mesti dipelajari karena ia menjadi basis berkembangnya post strukturalisme dan juga post modernisme. Namun secara tidak langsung, “berfikir dalam struktur” merupakan bentuk analisis yang umum dijumpai dalam perkembangan berbagai konsep dan teori sosiologi, sampai saat ini. Meskipun, batasan tentang “struktur” sangat bervariasi antar ahli, namun hampir seluruh sosiolog menggunakan struktur sebagai komponen pokok dalam menyusun teori-teorinya. Struktur dapat menjadi objek pokok yang dijelaskan, namun dapat juga hanya menjadi latar dari teori yang disusun.
Karakter Teori Struktururalisme
Struktururalisme lahir sebagai reaksi melawan humanisme Jean-Paul Sartre's pada era pertengahan abad ke 20. Ia melihat manusia sebagai individu yang terlepas dari struktur masyarakat tempatnya hidup. Pemikiran seperti ini telah merangsang banyak ahli untuk mendebatnya, dengan menyatakan sebaliknya, bahwa penjelasan tentang individu tidak mungkin dilepaskan dari struktur sosialnya. Individu dan struktur merupakan dua hal yang selalu menjadi objek pokok dalam sosiologi.
Strukturalisme lahir tahun 1960-an didasarkan atas kerja Ferdinand de Saussure yang melakukan studi tentang bagaimana struktur berperan penting yang berada di belakang atau mendasari bahasa. Ia mengasosiasikan strukturalisme dengan bidang linguistik. Ia mencermati relasi antara formal, sistem gramatikal bahasa (langue) dan bagaimana penggunaan bahasa sehari-hari (parole). Parole menentukan pembentukan langue, dimana langue adalah sebuah sistem tanda dimana tiap tanda dipahami dalam konteks hubungan dengan orang lain dalam sistem bersangkutan. Sistem tanda tersebut adalah sebuah struktur, dimana struktur tersebut mempengaruhi masyarakat dengan membentuk kesalinghubungan tanda dalam sistem dan pemahaman mereka tentang dunia.
Saussure memfokuskan pada penciptaan perbedaan, khususnya melalui oposisi biner yang memiliki makna hanya dalam relasinya kepada yang lain. Ide tentang semiotik secara luas menganalisis sistem tanda terhadap berbagai dimensi dari dunia sosial.
Strukturalisme merupakan pendekatan yang berupaya menganalisa bidang-bidang yang spesifik sebagai sesuatu yang kompleks dan saling berkaitan antar komponennya. Pengembangan strukturalisme di kalangan ahli Perancis menggunakan aplikasi secara luas dengan menggunakan ilmu antropologi, psikologi, pdikoanalisis, teori literasi dan arsitektur. Pada awalnya ia bukan merupakan metode, tapi lebih sebagai gerakan intelektual pada era 1960-an di Perancis.
Menurut Assiter, ada empat ide pokok berkenaan dengan strukturalisme sebagai bentuk trend intelektual, yakni: struktur yang menentukan posisi masing-masing elemen dalam keseluruhan, percaya bahwa tiap sistem memiliki struktur, adanya hukum struktural yang lebih berperan pada koeksistensi daripada perubahan, dan struktur merupakan suatu yang nyata yang menjadi basis permukaan kemunculan makna.
Dalam disiplin antropologi dan antopologi sosial, makna yang diproduksi dan disreporoduksi dalam sebuah kultur melalui berbagai praksis, fenomena dan aktifitas; berfungsi melayani sebagai sistem siginifikansi. Kalangan strukturalis berupaya mengungkap ini dengan mengamati perilaku manusia sehari-hari misalnya dalam menyediakan makanan, menjalankan ritual, permainan, teks literasi dan non-literasi dan berbagai bentuk hiburan.
Pemikiran Strukturalisme Claude Levi-Strauss
Selain dari kalangan sosiologi, misalnya Marx, perkembangan strukturalisme sangat dipengaruhi oleh antropologi. Pada disiplin antropologi, Claude Levi-Strauss memberi pengaruh yang kuat. Ia berusaha mempelajari strukturalisme dengan memfokuskan kepada komunikasi. Ia memaknai fenomena sosial pada dampaknya pada komunikasi. Ini berbeda misalnya dengan kalangan Marxis yang melihat bagaimana historik pembentukan struktur, dan lebih fokus pada struktur sosial dan ekonomi.
Strauss di tahun 1950-an menganalisa fenomena kultural termasuk mitologi, kekerabatan, dan penyediaan makanan melalui antropologi sosial. Ia menjelaskan banyak hal berkenaan dengan penulisan linguistik, dan menyatakan bahwa struktur sebagai bentuk "deep grammar" di masyarakat dibentuk dari fikiran yang beroperasi dalam ketidaksadaran. Strauss terinspirasi dari teori informasi dan matematika.
Strauss dapat disebut memperkaya atau melanjutkan penelitian Saussure tentang bahasa, namun Strauss memperluasnya pada fenomena komunikasi. Sistem kekerabatan yang terjadi ia jelaskan sebagai sebuah sistem komunikasi. Dengan cara inilah, maka ia dapat dianalisis secara struktural. Bagaimana masyarakat berbahasa dan bagaimana kehidupan sosial dijalankan, menurut Strauss adalah fenomena yang sama yakni pertukaran sosial. Bahasa merupakan fenomena pertukaran sosial. Makna yang terbentuk merupakan hal yang socially constructed.
Dalam buku Turner (1998) disebutkan bahwa dalam pengembangan ilmunya, Strauss dipengaruhi oleh Durkheim. Bahkan judul bukunya “The Elementary Structures of Kinship” meniru judul buku Durkheim. Ia menggunakan pemikiran Durkheim begitu dekat, sebagaimana dekatnya Marx menggunakan pemikiran Hegel.
Sistem bahasa yang terdapat dalam satu masyarakat merupakan hasil dari fikiran, sebagaimana juga sistem kekerabatan (kinship). Keduanya dihasilkan dari ketidaksadaran atau nir sadar dari fikiran. Di belakang ini semua ada hukum-hukum umum yang mendasarinya.
Dalam menjelaskan kemiripan antara sistem bahasa dengan sistem kekerabatan, Strauss menyebutkan bahwa penggunaan istilah dalam kekerabatan memiliki kesejajaran dengan fonem dalam bahasa. Ia merupakaan komponen dasar untuk menganalisis struktur sosial. Selain itu, istilah-istilah yang dipakai baru memiliki makna ketika dihubungkan dengan sistem yang lebih luas. Ia tidak memiliki makna dengan sendirinya, karena ia merupakan ”makna sosial”.
Strauss melihat pula bahwa pola sistem bahasa dan kekerabatan tersebut tidak sama antar kelompok masyarakat. Ia menemukan penjelasannya, bahwa perbedaan-perbedaan ini diatur atau dibentuk oleh sistem fikiran di masing-masing komunitas bersangkutan. Inilah basis yang berada di belakang yang tidak mudah terlihat. Struktur yang tampak merupakan manifestasi dari sistem mental. ”... the structure of society is but a surface manifestation of fundamental mental process” (Turner, 1998: 479).
Dari penelusurannya tentang kekerabatan dan mitos dan dengan menggunakan model, ia pun menemukan bahwa model mekanis tidak pernah berhasil merefleksikan model empiris. Model mekanis dibangunnya dari analisis secara biner yang berakar pada biokimia dan sistem syaraf manusia.
Daftar Pustaka
Ritzer, George. 1996. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.
Turner, Jonathan H. 1998. The Structure of Sociological Theory. Sixth edition. USA, Wardsworth Publishing Cmpany.
******
Karakter Teori Struktururalisme
Struktururalisme lahir sebagai reaksi melawan humanisme Jean-Paul Sartre's pada era pertengahan abad ke 20. Ia melihat manusia sebagai individu yang terlepas dari struktur masyarakat tempatnya hidup. Pemikiran seperti ini telah merangsang banyak ahli untuk mendebatnya, dengan menyatakan sebaliknya, bahwa penjelasan tentang individu tidak mungkin dilepaskan dari struktur sosialnya. Individu dan struktur merupakan dua hal yang selalu menjadi objek pokok dalam sosiologi.
Strukturalisme lahir tahun 1960-an didasarkan atas kerja Ferdinand de Saussure yang melakukan studi tentang bagaimana struktur berperan penting yang berada di belakang atau mendasari bahasa. Ia mengasosiasikan strukturalisme dengan bidang linguistik. Ia mencermati relasi antara formal, sistem gramatikal bahasa (langue) dan bagaimana penggunaan bahasa sehari-hari (parole). Parole menentukan pembentukan langue, dimana langue adalah sebuah sistem tanda dimana tiap tanda dipahami dalam konteks hubungan dengan orang lain dalam sistem bersangkutan. Sistem tanda tersebut adalah sebuah struktur, dimana struktur tersebut mempengaruhi masyarakat dengan membentuk kesalinghubungan tanda dalam sistem dan pemahaman mereka tentang dunia.
Saussure memfokuskan pada penciptaan perbedaan, khususnya melalui oposisi biner yang memiliki makna hanya dalam relasinya kepada yang lain. Ide tentang semiotik secara luas menganalisis sistem tanda terhadap berbagai dimensi dari dunia sosial.
Strukturalisme merupakan pendekatan yang berupaya menganalisa bidang-bidang yang spesifik sebagai sesuatu yang kompleks dan saling berkaitan antar komponennya. Pengembangan strukturalisme di kalangan ahli Perancis menggunakan aplikasi secara luas dengan menggunakan ilmu antropologi, psikologi, pdikoanalisis, teori literasi dan arsitektur. Pada awalnya ia bukan merupakan metode, tapi lebih sebagai gerakan intelektual pada era 1960-an di Perancis.
Menurut Assiter, ada empat ide pokok berkenaan dengan strukturalisme sebagai bentuk trend intelektual, yakni: struktur yang menentukan posisi masing-masing elemen dalam keseluruhan, percaya bahwa tiap sistem memiliki struktur, adanya hukum struktural yang lebih berperan pada koeksistensi daripada perubahan, dan struktur merupakan suatu yang nyata yang menjadi basis permukaan kemunculan makna.
Dalam disiplin antropologi dan antopologi sosial, makna yang diproduksi dan disreporoduksi dalam sebuah kultur melalui berbagai praksis, fenomena dan aktifitas; berfungsi melayani sebagai sistem siginifikansi. Kalangan strukturalis berupaya mengungkap ini dengan mengamati perilaku manusia sehari-hari misalnya dalam menyediakan makanan, menjalankan ritual, permainan, teks literasi dan non-literasi dan berbagai bentuk hiburan.
Pemikiran Strukturalisme Claude Levi-Strauss
Selain dari kalangan sosiologi, misalnya Marx, perkembangan strukturalisme sangat dipengaruhi oleh antropologi. Pada disiplin antropologi, Claude Levi-Strauss memberi pengaruh yang kuat. Ia berusaha mempelajari strukturalisme dengan memfokuskan kepada komunikasi. Ia memaknai fenomena sosial pada dampaknya pada komunikasi. Ini berbeda misalnya dengan kalangan Marxis yang melihat bagaimana historik pembentukan struktur, dan lebih fokus pada struktur sosial dan ekonomi.
Strauss di tahun 1950-an menganalisa fenomena kultural termasuk mitologi, kekerabatan, dan penyediaan makanan melalui antropologi sosial. Ia menjelaskan banyak hal berkenaan dengan penulisan linguistik, dan menyatakan bahwa struktur sebagai bentuk "deep grammar" di masyarakat dibentuk dari fikiran yang beroperasi dalam ketidaksadaran. Strauss terinspirasi dari teori informasi dan matematika.
Strauss dapat disebut memperkaya atau melanjutkan penelitian Saussure tentang bahasa, namun Strauss memperluasnya pada fenomena komunikasi. Sistem kekerabatan yang terjadi ia jelaskan sebagai sebuah sistem komunikasi. Dengan cara inilah, maka ia dapat dianalisis secara struktural. Bagaimana masyarakat berbahasa dan bagaimana kehidupan sosial dijalankan, menurut Strauss adalah fenomena yang sama yakni pertukaran sosial. Bahasa merupakan fenomena pertukaran sosial. Makna yang terbentuk merupakan hal yang socially constructed.
Dalam buku Turner (1998) disebutkan bahwa dalam pengembangan ilmunya, Strauss dipengaruhi oleh Durkheim. Bahkan judul bukunya “The Elementary Structures of Kinship” meniru judul buku Durkheim. Ia menggunakan pemikiran Durkheim begitu dekat, sebagaimana dekatnya Marx menggunakan pemikiran Hegel.
Sistem bahasa yang terdapat dalam satu masyarakat merupakan hasil dari fikiran, sebagaimana juga sistem kekerabatan (kinship). Keduanya dihasilkan dari ketidaksadaran atau nir sadar dari fikiran. Di belakang ini semua ada hukum-hukum umum yang mendasarinya.
Dalam menjelaskan kemiripan antara sistem bahasa dengan sistem kekerabatan, Strauss menyebutkan bahwa penggunaan istilah dalam kekerabatan memiliki kesejajaran dengan fonem dalam bahasa. Ia merupakaan komponen dasar untuk menganalisis struktur sosial. Selain itu, istilah-istilah yang dipakai baru memiliki makna ketika dihubungkan dengan sistem yang lebih luas. Ia tidak memiliki makna dengan sendirinya, karena ia merupakan ”makna sosial”.
Strauss melihat pula bahwa pola sistem bahasa dan kekerabatan tersebut tidak sama antar kelompok masyarakat. Ia menemukan penjelasannya, bahwa perbedaan-perbedaan ini diatur atau dibentuk oleh sistem fikiran di masing-masing komunitas bersangkutan. Inilah basis yang berada di belakang yang tidak mudah terlihat. Struktur yang tampak merupakan manifestasi dari sistem mental. ”... the structure of society is but a surface manifestation of fundamental mental process” (Turner, 1998: 479).
Dari penelusurannya tentang kekerabatan dan mitos dan dengan menggunakan model, ia pun menemukan bahwa model mekanis tidak pernah berhasil merefleksikan model empiris. Model mekanis dibangunnya dari analisis secara biner yang berakar pada biokimia dan sistem syaraf manusia.
Daftar Pustaka
Ritzer, George. 1996. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.
Turner, Jonathan H. 1998. The Structure of Sociological Theory. Sixth edition. USA, Wardsworth Publishing Cmpany.
******
Teori-Teori Modernitas
Lahirnya masyarakat modern merupakan objek perhatian pokok dalam sosiologi. Berbagai teori mulai dari klasik sampai modern sesungguhnya merupakan upaya untuk menjelaskan masyarakat ini. Perubahan yang dialami masyarakat modern karena perkembangan teknologi dan komunikasi menarik perhatian kalangan ahli sosial.
Modernitas pada Sosiologi Klasik
Sosiologi klasik mempelajari bagaimana masyarakat modern melalui analisis komparasi dengan masyarakat pra modern, atau sering disebut dengan masyarakat tradisionil. Marx melihat masyarakat modern dari perspektif ekonomi kapitalisnya, Weber melihat adanya perubahan rasionaliasi menjadi rasionalisasi formal, dan Durkheim melihat adanya peningkatan solidaritas organik dan menurunnya kesadaran kolektif. Selain sisi yang menjanjikan, ketiga ahli ini juga mengkhawatirkan arah dan sisi negatif masyarakat modern. Marx melihat pada alienasi dan eksploitasi yang dialami kalangan buruh, Weber mengkhawatirkan penjara besi rasionalitas (iron cage rasionality), sementara Durkheim mengkhwatirkan anomie yang dialami masyarakat karena begitu cepatnya perubahan yang tidak selalu bisa diikuti oleh semua orang.
Berbeda dengan ketiga sosiolog klasik ini, Simmel mempelajari sekaligus masyarakat modern dan post mdern. Ia bertolak dari bagaimana masyarakat kota berjalan dan juga tentang ekonomi uang. Kota menjadi objek pokoknya karena disinilah terjadi intensitas tertinggi dari modernitas.
Berbagai Teori Modernitas
Dalam bagian ini diangkat beberapa pemikir modernitas yakni Giddens, Ulrich Beck, Ritzer, Bamuan dan Habermas. Anthony Giddens yang terkenal dengan teori strukturasinya menjelaskan dunia modern dengan konsep “juggernaut”. Juggernaut adalah sebuah mesin dengan kekuatan yang kadangkala sulit dikontrol. Ia menyebutnya sebagai runaway world dimana berlangsung peningkatan yang besar dalam kecepatannya (pace), luas lingkupnya, dan tingkat perubahannya.
Giddens menggambarkan modernitas dalam empat institusi dasar. Sistem kapitalis dicirikan oleh adanya produksi komoditas, penguasaan kapital secara privat, penggunaan tenaga kerja, dan munculnya sistem kelas. Industrialisme melibatkan penggunaan sumber kekuasaan yang mematikan dan mesin untuk memproduksi barang. Namun, hal ini juga mempengaruhi transportasi, komunikasi, dan kehidupan sehari-hari. Pengawasan merefer pada aktivitas dari populasi dalam kehidupan politik. Empat karakter dasar di atas dikontrol oleh negara dengan kekerasan (violence by the state).
Modernitas menjadi sangat dinamis karena tiga proses. Waktu dan tempat yang merefer pada kecenderungan meningkatnya relasi-relasi modern yang semakin meningkat jaraknya. Berkaitan dengan ini, relasi sosial juga diangkat dari konteks lokal interaksi dan restrukturisasi antar waktu-tempat yang semakin sulit dibatasi (indefinite). Dalam kondisi demikian, kepercayaan menjadi semakin penting karena informasi lengkap tentang fenomena sosial tidak lagi dapat diperoleh.
Refleksitas (reflexivity) bermakna bahwa praktek sosial masyarakat modern secara konstan merupakan proses pembaruan (reexamined) dan penyusunan kembali (reformed) dalam kebenderangan informasi. Modernitas dalam konteks ini menjelaskan tentang dunia moden atau teori tentang dunia modern.
Giddens juga berfikir bahwa modernitas telah menciptakan secara nyata suatu kondisi resiko. Resiko menjadi mengglobal secara intensif dan ekspansif yang mempengaruhi begitu banyak orang di seluruh dunia. Kesadaran kita tentang resiko memberi kita perasaaan tidak aman yang lalu mempengaruhi pada ” juggernaut”. Giddens meyakini bahwa modernitas menimbulkan kecenderungan pada diri dan formasi identitas. Relasi yang intim telah merupakan hal yang terpisah dari kehidupan rutin, dan dari konteks isu moral yang lebih lebar.
Masyarakat beresiko (The Risk Society), sebagaimana pendapat Ulrich Beck, adalah bentuk pergeseran baru dari masyarakat industrial. Ini merupakan bentuk masyarakat akibat refleksif modernitas (reflexive modernity), yakni bagaimana resiko dihalangi, diminimalkan, atau disalurkan. Resiko diproduksi dari sumber-sumber kesejahteraan di masyarakat modern dari berbagai aktivitas kehidupan.
Ritzer memberikan sumbangan yang dapat disebut unik dari teori modernitas, dimana ia menggambarkan masyarakat modern sebagai sebuah tatanan konsumsi. Masyarakat modern ditinjaunya dari bagaimana masyarakat tersebut mengkonsumsi, dan bagaimana kultur konsumen memberi warna yang khas pada masyarakat modern.
Teori ini dikembangkan Ritzer dengan bertolak dari konsep rasionalitas Weber. Ada empat dimensi tentang reasional formal dalam teori Ritzer, yaitu: efisiensi yang berupaya mencari cara terbaik untuk mencapai hasil, adanya predikatabilitas, sistem rasional yang lebih menekankan pada kuantitas dibandingkan kualitas, dan perhatian pada non ekologi manusia yang lebih dibandingkan kualitas. Namun, rasional formal memiliki variasi pada keirasionalan, seperti dehumanisasi dan demistifikasi.
Restauran cepat saji (fast-food) menjadi studi kasus Ritzer dalam menggambarkan dunia modern, yang menerapkan manajemen yang rasional dan efisien. Pola seperti ini diadopsi oleh masyarakat modern, yang juga tergambar dalam berbagai bentuk aktivitas lain misalnya di kantor-kantor.
Zygmunt Bauman mempertimbangkan holocaust sebagai paradigma birokrasi rasional modern. Pemusnahan bangsa Yahudi dijalankan dalam birokrasi yang sedemikian dengan menerapkan prinsip-prinsip modern. Kejadian ini dianalisis Bauman sebagai sebuah bentuk rasionalitas dalam dunia modern pula. Bauman juga melihat begitu kuatnya globalisasi. Ia menduga bahwa yang akan menang dalam kondisi ini adalah mereka yang dapat bergerak bebas di seluruh dunia. Merekalah yang pada akhirnya dapat memetik manfaat terbanyak dari fenomena globalisasi.
Menurut Jurgen Habermas modernitas merupakan proyek yang tidak memiliki akhir. Ia percaya bahwa sistem sosial tumbuh semakin kompleks, terdiferensiasi, terintegrasi, dan dicirikan oleh alasan-alasan instrumental. Saat bersamaan, kehidupan dunia juga dapat disaksikan dengan meningkatnya diferensiasi dan kondensasi, sekularisasi, dan pelembagaan norma yang refleksif dan kritis. Masyarakat rasional menjadi satu yang mencakup sistem dan kehidupan dunia yang rasional mengikuti logika mereka sendiri. Sistem semakin didominasi oleh kehidupan dunia (life-world). Habermas mengedepankan post modernis sebagai bentuk penolakannya pada masyarakat modern.
Informasionalisme dan masyarakat berjaringan (netwok society) dari Manuel Castells memberi perhatian pada masyarakat baru, kultur, dan ekonomi yang berlangsung dalam revolusi teknologi informasi. Revolusi ini telah mendorong pada restrukturisasi sistem kapital. Penyebaran kapitalisme informasi menyebabkan munculnya gerakan sosial oposisi yang didasarkan diri dan identitas. Menemani kemunculan ekonomi informasi global baru, adalah bentuk keorganisasian baru yang disebut dengan perusahaan jaringan (the network enterprise) yang dicirikan oleh produksi yang fleksibel, sistem manajemen baru, dan organisasi yang berbasiskan horizontal lebih dari pada vertikal, dan kemunculan banyak perusahaan dengan aliansi strategis. Hasilnya adalah sifat pekerjaan yang menjadi lebih bertransformasi.
Castells menilai bahwa masyarakat luas diorganisasikan ke dalam jaringan yang secara tak terbatas akan berekspansi dan dapat berinovasi tanpa merusak sistem. Individu dan kelompok diidentifikasi oleh tatanan baru menghadapi masyarakat jaringan baru tersebut. Negara kehilangan kekuasaannya berhadapan dengan pasar kapital global.
Teori-Teori tentang Globalisasi
Berkaitan dengan modernitas, muncul berbagai teori tentang globalisasi. Globalisasi dapat dianalisa secara kultural, ekonomi, politik dan kelembagaan. Dalam tiap kasus, kuncinya adalah pada apakah yang terjadi berupa gejala yang semakin homogen atau semakin heterogen. Globalisasi dari sisi kultur dapat dilihat sebagai difusi dari kode-kode umum dan praktek atau proses dimana input kultural berinteraksi menciptakan suatu hibrid. Pada sisi ekonomi, diyakini yang terjadi adalah suatu dampak yang semakin homogen dari ekonomi pasar. Sementara dari sisi politik dan institusi, tumbuh suatu pemerintahan yang modelnya semakin standar, namun sebagian orang melihat bahwa struktur sosial lokal ikut memberi warna sehingga muncullah perbedaan kehidupan yang semakin terdiferensisasi dibanding sebelumnya.
Dalam menjelaskan globalisasi, Giddens menekankan peran dari Barat dan Amerika dalam proses globalisasi. Ia meyakini bahwa globalisasi memiliki dua sisi yakni baik perusakan (undermined) kultur lokal maupun menghidupkannya kembali (revive). Ia juga melihat adanya konflik fundamentalisme dan kosmopolitanisme.
Sementara, Beck mendefinisikan globalisme sebagai pandangan bahwa dunia didominasi oleh ekonomi dan menyaksikan lahirnya hegemoni pasar dunia yang kapitalis dan ideologi neo liberal. Beck mengkritik konsep ini sebagai sesuatu yang terlalu menyederhanakan dan linier. Ia melihat besarnya jasa (merit) dalam ide tentang globalitas, yang dekat dengan dimana nasionalitas yang semakin lemah karena tumbuhnya aktor-aktor transnasional. Tumbuhnya globalitasi ia lihat sebagai modernitas kedua (second modernity) yang dicirikan oleh tumbuhnya denasionalisasi.
Terakhir, Arjun Appadurai melihat adanya kondisi yang terpisah-pisah antar bagian dalam aliran globalisasi. Ia melihat bahwa pengaruh dan bagaimana kelompok masyarakat merespon globalisasi tidaklah persis sama.
Daftar Pustaka
Ritzer, George. 1996. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.
Modernitas pada Sosiologi Klasik
Sosiologi klasik mempelajari bagaimana masyarakat modern melalui analisis komparasi dengan masyarakat pra modern, atau sering disebut dengan masyarakat tradisionil. Marx melihat masyarakat modern dari perspektif ekonomi kapitalisnya, Weber melihat adanya perubahan rasionaliasi menjadi rasionalisasi formal, dan Durkheim melihat adanya peningkatan solidaritas organik dan menurunnya kesadaran kolektif. Selain sisi yang menjanjikan, ketiga ahli ini juga mengkhawatirkan arah dan sisi negatif masyarakat modern. Marx melihat pada alienasi dan eksploitasi yang dialami kalangan buruh, Weber mengkhawatirkan penjara besi rasionalitas (iron cage rasionality), sementara Durkheim mengkhwatirkan anomie yang dialami masyarakat karena begitu cepatnya perubahan yang tidak selalu bisa diikuti oleh semua orang.
Berbeda dengan ketiga sosiolog klasik ini, Simmel mempelajari sekaligus masyarakat modern dan post mdern. Ia bertolak dari bagaimana masyarakat kota berjalan dan juga tentang ekonomi uang. Kota menjadi objek pokoknya karena disinilah terjadi intensitas tertinggi dari modernitas.
Berbagai Teori Modernitas
Dalam bagian ini diangkat beberapa pemikir modernitas yakni Giddens, Ulrich Beck, Ritzer, Bamuan dan Habermas. Anthony Giddens yang terkenal dengan teori strukturasinya menjelaskan dunia modern dengan konsep “juggernaut”. Juggernaut adalah sebuah mesin dengan kekuatan yang kadangkala sulit dikontrol. Ia menyebutnya sebagai runaway world dimana berlangsung peningkatan yang besar dalam kecepatannya (pace), luas lingkupnya, dan tingkat perubahannya.
Giddens menggambarkan modernitas dalam empat institusi dasar. Sistem kapitalis dicirikan oleh adanya produksi komoditas, penguasaan kapital secara privat, penggunaan tenaga kerja, dan munculnya sistem kelas. Industrialisme melibatkan penggunaan sumber kekuasaan yang mematikan dan mesin untuk memproduksi barang. Namun, hal ini juga mempengaruhi transportasi, komunikasi, dan kehidupan sehari-hari. Pengawasan merefer pada aktivitas dari populasi dalam kehidupan politik. Empat karakter dasar di atas dikontrol oleh negara dengan kekerasan (violence by the state).
Modernitas menjadi sangat dinamis karena tiga proses. Waktu dan tempat yang merefer pada kecenderungan meningkatnya relasi-relasi modern yang semakin meningkat jaraknya. Berkaitan dengan ini, relasi sosial juga diangkat dari konteks lokal interaksi dan restrukturisasi antar waktu-tempat yang semakin sulit dibatasi (indefinite). Dalam kondisi demikian, kepercayaan menjadi semakin penting karena informasi lengkap tentang fenomena sosial tidak lagi dapat diperoleh.
Refleksitas (reflexivity) bermakna bahwa praktek sosial masyarakat modern secara konstan merupakan proses pembaruan (reexamined) dan penyusunan kembali (reformed) dalam kebenderangan informasi. Modernitas dalam konteks ini menjelaskan tentang dunia moden atau teori tentang dunia modern.
Giddens juga berfikir bahwa modernitas telah menciptakan secara nyata suatu kondisi resiko. Resiko menjadi mengglobal secara intensif dan ekspansif yang mempengaruhi begitu banyak orang di seluruh dunia. Kesadaran kita tentang resiko memberi kita perasaaan tidak aman yang lalu mempengaruhi pada ” juggernaut”. Giddens meyakini bahwa modernitas menimbulkan kecenderungan pada diri dan formasi identitas. Relasi yang intim telah merupakan hal yang terpisah dari kehidupan rutin, dan dari konteks isu moral yang lebih lebar.
Masyarakat beresiko (The Risk Society), sebagaimana pendapat Ulrich Beck, adalah bentuk pergeseran baru dari masyarakat industrial. Ini merupakan bentuk masyarakat akibat refleksif modernitas (reflexive modernity), yakni bagaimana resiko dihalangi, diminimalkan, atau disalurkan. Resiko diproduksi dari sumber-sumber kesejahteraan di masyarakat modern dari berbagai aktivitas kehidupan.
Ritzer memberikan sumbangan yang dapat disebut unik dari teori modernitas, dimana ia menggambarkan masyarakat modern sebagai sebuah tatanan konsumsi. Masyarakat modern ditinjaunya dari bagaimana masyarakat tersebut mengkonsumsi, dan bagaimana kultur konsumen memberi warna yang khas pada masyarakat modern.
Teori ini dikembangkan Ritzer dengan bertolak dari konsep rasionalitas Weber. Ada empat dimensi tentang reasional formal dalam teori Ritzer, yaitu: efisiensi yang berupaya mencari cara terbaik untuk mencapai hasil, adanya predikatabilitas, sistem rasional yang lebih menekankan pada kuantitas dibandingkan kualitas, dan perhatian pada non ekologi manusia yang lebih dibandingkan kualitas. Namun, rasional formal memiliki variasi pada keirasionalan, seperti dehumanisasi dan demistifikasi.
Restauran cepat saji (fast-food) menjadi studi kasus Ritzer dalam menggambarkan dunia modern, yang menerapkan manajemen yang rasional dan efisien. Pola seperti ini diadopsi oleh masyarakat modern, yang juga tergambar dalam berbagai bentuk aktivitas lain misalnya di kantor-kantor.
Zygmunt Bauman mempertimbangkan holocaust sebagai paradigma birokrasi rasional modern. Pemusnahan bangsa Yahudi dijalankan dalam birokrasi yang sedemikian dengan menerapkan prinsip-prinsip modern. Kejadian ini dianalisis Bauman sebagai sebuah bentuk rasionalitas dalam dunia modern pula. Bauman juga melihat begitu kuatnya globalisasi. Ia menduga bahwa yang akan menang dalam kondisi ini adalah mereka yang dapat bergerak bebas di seluruh dunia. Merekalah yang pada akhirnya dapat memetik manfaat terbanyak dari fenomena globalisasi.
Menurut Jurgen Habermas modernitas merupakan proyek yang tidak memiliki akhir. Ia percaya bahwa sistem sosial tumbuh semakin kompleks, terdiferensiasi, terintegrasi, dan dicirikan oleh alasan-alasan instrumental. Saat bersamaan, kehidupan dunia juga dapat disaksikan dengan meningkatnya diferensiasi dan kondensasi, sekularisasi, dan pelembagaan norma yang refleksif dan kritis. Masyarakat rasional menjadi satu yang mencakup sistem dan kehidupan dunia yang rasional mengikuti logika mereka sendiri. Sistem semakin didominasi oleh kehidupan dunia (life-world). Habermas mengedepankan post modernis sebagai bentuk penolakannya pada masyarakat modern.
Informasionalisme dan masyarakat berjaringan (netwok society) dari Manuel Castells memberi perhatian pada masyarakat baru, kultur, dan ekonomi yang berlangsung dalam revolusi teknologi informasi. Revolusi ini telah mendorong pada restrukturisasi sistem kapital. Penyebaran kapitalisme informasi menyebabkan munculnya gerakan sosial oposisi yang didasarkan diri dan identitas. Menemani kemunculan ekonomi informasi global baru, adalah bentuk keorganisasian baru yang disebut dengan perusahaan jaringan (the network enterprise) yang dicirikan oleh produksi yang fleksibel, sistem manajemen baru, dan organisasi yang berbasiskan horizontal lebih dari pada vertikal, dan kemunculan banyak perusahaan dengan aliansi strategis. Hasilnya adalah sifat pekerjaan yang menjadi lebih bertransformasi.
Castells menilai bahwa masyarakat luas diorganisasikan ke dalam jaringan yang secara tak terbatas akan berekspansi dan dapat berinovasi tanpa merusak sistem. Individu dan kelompok diidentifikasi oleh tatanan baru menghadapi masyarakat jaringan baru tersebut. Negara kehilangan kekuasaannya berhadapan dengan pasar kapital global.
Teori-Teori tentang Globalisasi
Berkaitan dengan modernitas, muncul berbagai teori tentang globalisasi. Globalisasi dapat dianalisa secara kultural, ekonomi, politik dan kelembagaan. Dalam tiap kasus, kuncinya adalah pada apakah yang terjadi berupa gejala yang semakin homogen atau semakin heterogen. Globalisasi dari sisi kultur dapat dilihat sebagai difusi dari kode-kode umum dan praktek atau proses dimana input kultural berinteraksi menciptakan suatu hibrid. Pada sisi ekonomi, diyakini yang terjadi adalah suatu dampak yang semakin homogen dari ekonomi pasar. Sementara dari sisi politik dan institusi, tumbuh suatu pemerintahan yang modelnya semakin standar, namun sebagian orang melihat bahwa struktur sosial lokal ikut memberi warna sehingga muncullah perbedaan kehidupan yang semakin terdiferensisasi dibanding sebelumnya.
Dalam menjelaskan globalisasi, Giddens menekankan peran dari Barat dan Amerika dalam proses globalisasi. Ia meyakini bahwa globalisasi memiliki dua sisi yakni baik perusakan (undermined) kultur lokal maupun menghidupkannya kembali (revive). Ia juga melihat adanya konflik fundamentalisme dan kosmopolitanisme.
Sementara, Beck mendefinisikan globalisme sebagai pandangan bahwa dunia didominasi oleh ekonomi dan menyaksikan lahirnya hegemoni pasar dunia yang kapitalis dan ideologi neo liberal. Beck mengkritik konsep ini sebagai sesuatu yang terlalu menyederhanakan dan linier. Ia melihat besarnya jasa (merit) dalam ide tentang globalitas, yang dekat dengan dimana nasionalitas yang semakin lemah karena tumbuhnya aktor-aktor transnasional. Tumbuhnya globalitasi ia lihat sebagai modernitas kedua (second modernity) yang dicirikan oleh tumbuhnya denasionalisasi.
Terakhir, Arjun Appadurai melihat adanya kondisi yang terpisah-pisah antar bagian dalam aliran globalisasi. Ia melihat bahwa pengaruh dan bagaimana kelompok masyarakat merespon globalisasi tidaklah persis sama.
Daftar Pustaka
Ritzer, George. 1996. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.
Toeri Integrasi Mikro-Makro dan Agensi-Struktur
Kelompok teori mikro-makro berkembang di AS, sedangkan agensi-struktur di kalangan sosiolog di daratan Eropa. Perkembangan ini merupakan respon dari ”konflik” antara teori mikro ekstrem dan makro ekstrem. Disadari bahwa polarisasi ini secara ekstrem cenderung merugikan sumbangan sosiologi pada dunia sosial. Untuk itu, perlu ada ”perdamaian”, dan bahkan lebih jauh ”integrasi” dari dua kutub ini. Kita mengenal, di sisi makro adalah fungsional struktural dan teori konflik, sedangkan di sisi mikro adalah interaksionisme simbolik, etnometodologi, teori pertukaran, dan teori pertukaran rasional.
Menuju Integrasi Mikro-Makro
Mulai di tahun 1980-an tumbuh perkembangan baru tentang mikro-makro dari analisis sosiologi. Beberapa teorisi memusatkan perhatian untuk mengintegrasikan teori mikro-makro, sedangkan teorisi lain memusatkan perhatian untuk membangun sebuah teori yang membahas hubungan antara tingkat mikro dan makro dari analisis sosial. Ada perbedaan penting antara upaya untuk mengintegrasikan teori makro dan teori mikro dan upaya untuk membangun sebuah teori yang dapat menjelaskan hubungan antara analisis sosial tingkat mikro dan analisis sosial tingkat makro.
Meskipun ini adalah gelombang pemikiran baru, namun hal ini dapat disebut sebuah upaya kembali ke awal. Sosiologi klasik sebenarnya disusun dalam bentuk terintegrasi.
Ada dua bentuk integrasi mikro-makro. Yang pertama berupaya mengintegrasikan berbagai teori mikro dan makro, sedangkan yang kedua menciptakan teori yang diharapkan mampu mengkombinasikan kedua level analisis tersebut sekaligus. Dalam bab 13 Ritzer menyebut ada empat bentuk pendekatan dalam upaya mengintegrasikan mikro-makro, yakni berupa perumusan paradigma sosiologi terpadu, sosiologi dengan paradigma yang multi dimensi, pengembangan satu model dari mikro ke makro, dan integrasi melalui basis mikro untuk memahami sisi makro.
Pada pendekatan paradigma sosiologi terpadu, George Ritzer telah berupaya melalui dua aspek berbeda, yakni dari level mikro dan makro, dan yang kedua dari sisi objektif dan subjektif. Kedua aspek ini melahirkan empat dimensi yaitu makro-objektif, makro-subjektif, mikro-objektif, dan mikro-subjektif. Satu hal, meskipun terlihat sebagai dikotomi, namun Ritzer ingin kita lebih melihatnya sebagai kontinuum. Dalam analisis, keempatnya mesti dlihat secara sekaligus. Keempatnya mesti diberi perhatian secara seimbang pula.
Menurut Ritzer, seluruh fenomena sosial mikro dan makro adalah juga fenomena objektif atau subjektif. Ritzer menggunakan gagasan Wright Mills tentang hubungan antara persoalan personal tingkat mikro dan publik tingkat makro untuk menganalisis dunia sosial. Ritzer tidak memprioritaskan salah satu tingkat, namun menegaskan perlunya dipelajari hubungan dialektika di antara keempat dimensi tersebut.
Pada bentuk kedua, sosiologi multidimensi, J. Alexander menggunakan cara berfikir Ritzer namun tidak meniru analisanya. Bukannya memberi penekanan pada mikro-makro, Alexander mendekatinya dari pandangan keteraturan. Levelnya bukan mikro atau makro, tapi individual dan kolektif. Ia memfokuskan pada tindakan (action) yang bergerak dari materialis ke idealis.
Kedua pemikir ini berbeda dalam pendekatan yang digunakan dalam upaya memadukan level mikro dan makro, meskipun Alexander tampaknya lebih menekankan di level makro. Ia merasa bahwa fenomena kolektif tak dapat diterangkan melalui penjelasan bagaimana di level mikro.
Lalu, pada model mikor ke makro, tersebutlah James Coleman yang telah berupaya mengaplikasikan teori pilihan rasional yang berada di level mikro ke fenomena makro. Namun, disebutkan oleh Ritzer bahwa upaya Colemen ini kurang memuaskan, karena kurang berhasil memperlihatkan koneksi dari mikro ke makro. Dengan berbasiskan teori Max Weber tentang Etika Protestan, Coleman membangun sebuah model integratif. Menurutnya, kedua level ini berhubungan secara kausalitas. Konsep model dari mikro ke makro dari Coleman memusatkan perhatian pada masalah hubungan dari mikro ke makro dan mengurangi arti penting masalah hubungan dari makro ke mikro. Coleman menjelaskan baik itu masalah dari makro ke mikro maupun masalah mikro ke makro, meskipun penekannanya tetap pada relasi dari mikro ke makro.
Pendekatan lain, sebagaimana disebut Ritzer sebagai landasan mikro sosiologi makro, tersebutlah Randall Collins. Ia memfokuskan pada interaksi dalam rantai, yang berkait satu sama lain dan menghasilkan suatu skala yang yang lebih besar. Berbeda dengan Alexander yang lebih kuat berada di sisi makro, Collins berada di sisi mikro.
Satu hal yang mungkin dilupakan orang, sesungguhnya semenjak di awal abad ke-20, atau 60 tahun sebelum permasalahan integrasi ini ramai; sesorang sosiolog Eropa, Norbert Elias, telah berupaya mengintegrasikan analisis sosiologi. Ia mengusung konsep “figuration” dalam upayanya menghindari dikotomi dalam level analisis. Figurasi merupakan proses sosial yang terjadi pada kesalinghubungan antara manusia, yang secara bersamaan adalah juga menciptakan kesainghubungan (interrelationships). Ini bukan merupakan hal yang statis. Dalam konsep ini manusia dipandang sebagai makhluk yang aktif yang mencipta dan merubah-rubah relasi kekuasaan dan kesalingtergantungan.
Figurasi sosial ini dapat diterapkan baik di tingkat mikro maupun makro. Figurasi adalah proses sosial yang menyebabkan terbentuknya jalinan hubungan antara individu. Figurasi bukanlah sebuah struktur yang berada di luar dan memaksa relasi antara indvidu; namun figurasi adalah antar hubungan itu sendiri. Individu dipandang sebagai terbuka dan saling tergantung. Kekuasaan merupakan hal penting dalam figurasi sosial, dan karena itu, berada dalam keadaan terus-menerus berubah. Ia bertolak dari kesadaran bahwa individu bersifat saling berrelasi dengan individu lain.
Integrasi Agensi-Struktur
Pada hakekatnya, agensi-struktur juga merefer pada mikro-makro. Pada level mikro adalah aktor manusia, yang mana tindakannya dapat merefleksikan pada ”tindakan kolektif”. Sebaliknya, struktur yang berada di level makro, juga dapat merefleksikan kondisi mikro. Dengan melihat struktur, kita bisa paham pula bagaimana tindakan individual dalam masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu.
Satu teori yang paling banyak dibicarakan adalah Teori Strukturasi dari Anthony Giddens. Ia berpendapat bahwa struktur dan agensi adalah dua hal berbeda namun merupakan kesatuan (dualitas), dimana kita tidak dapat mempelajarinya terpisah satu sama lain. Manusia melalui aktivitasnya dapat menciptakan kesadaran sekaligus kondisi terstruktur (the structural conditions) sehingga aktivitas semua orang dapat berlangsung. Tidak mungkin terjadi agensi tanpa struktur, demikian pula sebaliknya, tidak akan tercipta struktur yang saling tergantung jika tidak diciptakan individu.
Konsep pokok dari teori strukturasi terletak pada pemikiran tentang struktur sistem, dan sifat rangkap dari struktur. Struktur bukanlah realitas yang berada di luar pelaku, namun ia adalah aturan dan sumber daya (rules and resources) yang mewujud pada saat diaktifkan oleh pelaku dalam suatu praktik sosial. Dengan demikian, struktur tidak hanya mengekang (constraining) atau membatasi apa yang dapat dijalankan pelaku, melainkan juga memberi kemungkinan (enabling) terjadinya praktik sosial.
Jika Giddesn melihat agensi dan struktur sebagai dualitas, Margaret Archer lebih melihatnya sebagai dualisme. Archer merasa bahwa kedua ini mesti dilihat secara bebas (independent). Hanya dengan itulah maka analisa keduanya dapat dilakukan secara memuaskan. Archer memberi perhatian pada “morphogenesis”, yakni proses kesalingpergantian (interchanges) yang kompleks yang akan menghasilkan perubahan di struktur dan juga pada produk-produk struktural. Jadi, ada pemisahan antara interaksi sosial dengan tindakan dan interaksi yang memproduksinya. Teori morfogenetis ini fokus pada bagaimana kondisi struktural mempengaruhi interkasi sosial, dan selanjutnya, bagaimana interaksi sosial tadi mempngaruhi pembentukan struktural (structural elaboration). Ia memberi perhatian pada fenomena non material dari kultur serta ide-ide.
Piere Bourdieu dalam konteks agen-struktur memberi perhatian terhadap hubungan antara habitus dan bidang atau lapangan (field). Ia melihat adanya jembatan antara subjektif pada diri individual dengan objektif pada masyarakat. Ia menggunakan perspektif yang disebut dengan “constructiviststructuralism”. Ia melihat pada bagaimana struktur objektif berupa bahasa dan kultur membentuk tindakan manusia. Di dalamnya secara detail adalah tentang bagaimana persepsi, fikiran, dan tindakan. Bagaimana manusia memahami dan mengkonstruk dunia mereka, tanpa mengabaikan bagaimana persepsi dan konstruk yang terbangun tadi sekaligus juga merupakan penghalang (constrained). Manusia adalah makhluk sosial yang aktif yang mengembangkan struktur untuk kehidupan rutin mereka. Pada hakekatnya, habitus adalah suatu struktur mental sebagai jembatan yang menghubungkan individu dengan dunia sosial mereka.
Selanjutnya, teori Kolonialisasi Dunia Kehidupan dari Jurgen Habermas mengambarkan teori tindakan dan teori sistem sekaligus. Pandangan utama Habermas adalah bahwa komunikasi yang bebas dan terbuka tidak akan digeser (impinged) oleh rasional formal dari sistem. Ia merasa melalui cara inilah dapat memahami solusi untuk dilema kolektivitas dari rasional substantif.
Terakhir, dari kedua perspektif ini (mikro-makro dan agensi-strutkur), Ritzer menyebutkan bahwa ada kaitan di antara keduanya. Satu perbedaan pokok antar mikro-makro dan agensi-struktur adalah gambaran mereka masing-masing tentang diri si aktor. Kelompok teori mikro-makro menuju pada orientasi behaviorist, sedangkan agensi-struktur menempatkan aktor yang diyakini selalu memiliki tindakan yang kreatif dan sadar. Perbedaan lain, adalah bahwa mikro-makro melukiskan permasalahan ini dari dalam dan cenderung statis, hirarkis, dan ahistorik; sedangkan agensi-struktur lebih kuat pada kerangka dinamis historis nya.
Daftar Pustaka
Ritzer, George. 1996. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.
*******
******
Menuju Integrasi Mikro-Makro
Mulai di tahun 1980-an tumbuh perkembangan baru tentang mikro-makro dari analisis sosiologi. Beberapa teorisi memusatkan perhatian untuk mengintegrasikan teori mikro-makro, sedangkan teorisi lain memusatkan perhatian untuk membangun sebuah teori yang membahas hubungan antara tingkat mikro dan makro dari analisis sosial. Ada perbedaan penting antara upaya untuk mengintegrasikan teori makro dan teori mikro dan upaya untuk membangun sebuah teori yang dapat menjelaskan hubungan antara analisis sosial tingkat mikro dan analisis sosial tingkat makro.
Meskipun ini adalah gelombang pemikiran baru, namun hal ini dapat disebut sebuah upaya kembali ke awal. Sosiologi klasik sebenarnya disusun dalam bentuk terintegrasi.
Ada dua bentuk integrasi mikro-makro. Yang pertama berupaya mengintegrasikan berbagai teori mikro dan makro, sedangkan yang kedua menciptakan teori yang diharapkan mampu mengkombinasikan kedua level analisis tersebut sekaligus. Dalam bab 13 Ritzer menyebut ada empat bentuk pendekatan dalam upaya mengintegrasikan mikro-makro, yakni berupa perumusan paradigma sosiologi terpadu, sosiologi dengan paradigma yang multi dimensi, pengembangan satu model dari mikro ke makro, dan integrasi melalui basis mikro untuk memahami sisi makro.
Pada pendekatan paradigma sosiologi terpadu, George Ritzer telah berupaya melalui dua aspek berbeda, yakni dari level mikro dan makro, dan yang kedua dari sisi objektif dan subjektif. Kedua aspek ini melahirkan empat dimensi yaitu makro-objektif, makro-subjektif, mikro-objektif, dan mikro-subjektif. Satu hal, meskipun terlihat sebagai dikotomi, namun Ritzer ingin kita lebih melihatnya sebagai kontinuum. Dalam analisis, keempatnya mesti dlihat secara sekaligus. Keempatnya mesti diberi perhatian secara seimbang pula.
Menurut Ritzer, seluruh fenomena sosial mikro dan makro adalah juga fenomena objektif atau subjektif. Ritzer menggunakan gagasan Wright Mills tentang hubungan antara persoalan personal tingkat mikro dan publik tingkat makro untuk menganalisis dunia sosial. Ritzer tidak memprioritaskan salah satu tingkat, namun menegaskan perlunya dipelajari hubungan dialektika di antara keempat dimensi tersebut.
Pada bentuk kedua, sosiologi multidimensi, J. Alexander menggunakan cara berfikir Ritzer namun tidak meniru analisanya. Bukannya memberi penekanan pada mikro-makro, Alexander mendekatinya dari pandangan keteraturan. Levelnya bukan mikro atau makro, tapi individual dan kolektif. Ia memfokuskan pada tindakan (action) yang bergerak dari materialis ke idealis.
Kedua pemikir ini berbeda dalam pendekatan yang digunakan dalam upaya memadukan level mikro dan makro, meskipun Alexander tampaknya lebih menekankan di level makro. Ia merasa bahwa fenomena kolektif tak dapat diterangkan melalui penjelasan bagaimana di level mikro.
Lalu, pada model mikor ke makro, tersebutlah James Coleman yang telah berupaya mengaplikasikan teori pilihan rasional yang berada di level mikro ke fenomena makro. Namun, disebutkan oleh Ritzer bahwa upaya Colemen ini kurang memuaskan, karena kurang berhasil memperlihatkan koneksi dari mikro ke makro. Dengan berbasiskan teori Max Weber tentang Etika Protestan, Coleman membangun sebuah model integratif. Menurutnya, kedua level ini berhubungan secara kausalitas. Konsep model dari mikro ke makro dari Coleman memusatkan perhatian pada masalah hubungan dari mikro ke makro dan mengurangi arti penting masalah hubungan dari makro ke mikro. Coleman menjelaskan baik itu masalah dari makro ke mikro maupun masalah mikro ke makro, meskipun penekannanya tetap pada relasi dari mikro ke makro.
Pendekatan lain, sebagaimana disebut Ritzer sebagai landasan mikro sosiologi makro, tersebutlah Randall Collins. Ia memfokuskan pada interaksi dalam rantai, yang berkait satu sama lain dan menghasilkan suatu skala yang yang lebih besar. Berbeda dengan Alexander yang lebih kuat berada di sisi makro, Collins berada di sisi mikro.
Satu hal yang mungkin dilupakan orang, sesungguhnya semenjak di awal abad ke-20, atau 60 tahun sebelum permasalahan integrasi ini ramai; sesorang sosiolog Eropa, Norbert Elias, telah berupaya mengintegrasikan analisis sosiologi. Ia mengusung konsep “figuration” dalam upayanya menghindari dikotomi dalam level analisis. Figurasi merupakan proses sosial yang terjadi pada kesalinghubungan antara manusia, yang secara bersamaan adalah juga menciptakan kesainghubungan (interrelationships). Ini bukan merupakan hal yang statis. Dalam konsep ini manusia dipandang sebagai makhluk yang aktif yang mencipta dan merubah-rubah relasi kekuasaan dan kesalingtergantungan.
Figurasi sosial ini dapat diterapkan baik di tingkat mikro maupun makro. Figurasi adalah proses sosial yang menyebabkan terbentuknya jalinan hubungan antara individu. Figurasi bukanlah sebuah struktur yang berada di luar dan memaksa relasi antara indvidu; namun figurasi adalah antar hubungan itu sendiri. Individu dipandang sebagai terbuka dan saling tergantung. Kekuasaan merupakan hal penting dalam figurasi sosial, dan karena itu, berada dalam keadaan terus-menerus berubah. Ia bertolak dari kesadaran bahwa individu bersifat saling berrelasi dengan individu lain.
Integrasi Agensi-Struktur
Pada hakekatnya, agensi-struktur juga merefer pada mikro-makro. Pada level mikro adalah aktor manusia, yang mana tindakannya dapat merefleksikan pada ”tindakan kolektif”. Sebaliknya, struktur yang berada di level makro, juga dapat merefleksikan kondisi mikro. Dengan melihat struktur, kita bisa paham pula bagaimana tindakan individual dalam masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu.
Satu teori yang paling banyak dibicarakan adalah Teori Strukturasi dari Anthony Giddens. Ia berpendapat bahwa struktur dan agensi adalah dua hal berbeda namun merupakan kesatuan (dualitas), dimana kita tidak dapat mempelajarinya terpisah satu sama lain. Manusia melalui aktivitasnya dapat menciptakan kesadaran sekaligus kondisi terstruktur (the structural conditions) sehingga aktivitas semua orang dapat berlangsung. Tidak mungkin terjadi agensi tanpa struktur, demikian pula sebaliknya, tidak akan tercipta struktur yang saling tergantung jika tidak diciptakan individu.
Konsep pokok dari teori strukturasi terletak pada pemikiran tentang struktur sistem, dan sifat rangkap dari struktur. Struktur bukanlah realitas yang berada di luar pelaku, namun ia adalah aturan dan sumber daya (rules and resources) yang mewujud pada saat diaktifkan oleh pelaku dalam suatu praktik sosial. Dengan demikian, struktur tidak hanya mengekang (constraining) atau membatasi apa yang dapat dijalankan pelaku, melainkan juga memberi kemungkinan (enabling) terjadinya praktik sosial.
Jika Giddesn melihat agensi dan struktur sebagai dualitas, Margaret Archer lebih melihatnya sebagai dualisme. Archer merasa bahwa kedua ini mesti dilihat secara bebas (independent). Hanya dengan itulah maka analisa keduanya dapat dilakukan secara memuaskan. Archer memberi perhatian pada “morphogenesis”, yakni proses kesalingpergantian (interchanges) yang kompleks yang akan menghasilkan perubahan di struktur dan juga pada produk-produk struktural. Jadi, ada pemisahan antara interaksi sosial dengan tindakan dan interaksi yang memproduksinya. Teori morfogenetis ini fokus pada bagaimana kondisi struktural mempengaruhi interkasi sosial, dan selanjutnya, bagaimana interaksi sosial tadi mempngaruhi pembentukan struktural (structural elaboration). Ia memberi perhatian pada fenomena non material dari kultur serta ide-ide.
Piere Bourdieu dalam konteks agen-struktur memberi perhatian terhadap hubungan antara habitus dan bidang atau lapangan (field). Ia melihat adanya jembatan antara subjektif pada diri individual dengan objektif pada masyarakat. Ia menggunakan perspektif yang disebut dengan “constructiviststructuralism”. Ia melihat pada bagaimana struktur objektif berupa bahasa dan kultur membentuk tindakan manusia. Di dalamnya secara detail adalah tentang bagaimana persepsi, fikiran, dan tindakan. Bagaimana manusia memahami dan mengkonstruk dunia mereka, tanpa mengabaikan bagaimana persepsi dan konstruk yang terbangun tadi sekaligus juga merupakan penghalang (constrained). Manusia adalah makhluk sosial yang aktif yang mengembangkan struktur untuk kehidupan rutin mereka. Pada hakekatnya, habitus adalah suatu struktur mental sebagai jembatan yang menghubungkan individu dengan dunia sosial mereka.
Selanjutnya, teori Kolonialisasi Dunia Kehidupan dari Jurgen Habermas mengambarkan teori tindakan dan teori sistem sekaligus. Pandangan utama Habermas adalah bahwa komunikasi yang bebas dan terbuka tidak akan digeser (impinged) oleh rasional formal dari sistem. Ia merasa melalui cara inilah dapat memahami solusi untuk dilema kolektivitas dari rasional substantif.
Terakhir, dari kedua perspektif ini (mikro-makro dan agensi-strutkur), Ritzer menyebutkan bahwa ada kaitan di antara keduanya. Satu perbedaan pokok antar mikro-makro dan agensi-struktur adalah gambaran mereka masing-masing tentang diri si aktor. Kelompok teori mikro-makro menuju pada orientasi behaviorist, sedangkan agensi-struktur menempatkan aktor yang diyakini selalu memiliki tindakan yang kreatif dan sadar. Perbedaan lain, adalah bahwa mikro-makro melukiskan permasalahan ini dari dalam dan cenderung statis, hirarkis, dan ahistorik; sedangkan agensi-struktur lebih kuat pada kerangka dinamis historis nya.
Daftar Pustaka
Ritzer, George. 1996. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.
*******
******
Teori Ras Kritis
Sebagaimana kritik gender terhadap teori-teori sosiologi, teori ras kritis juga bertolak dari pengalaman subjektif kelompok-kelompok ras dan etnik tertentu yang tertindas sebagai landasan kritik. Teori yang ada dipandang tidak mampu menerangkan kondisi yang dihadapi mereka, dan bagaimana agar mereka keluar dari situasi tersebut. Sebagaimana laki-laki dan perempuan, ras hitam dan putih adalah juga suatu kategori sejarah, politik, dan kebudayaan. Ia merupakan socially constructed yang merupakan hasil pertarungan ideologis antara kelas-kelas sosial dalam masyarakat.
Perjuangan politik kaum kulit hitam di Amerika, sebagaimana kaum perempuan dalam koteks gender, merupakan respon dari kondisi ketidakadialn dan ketidaksaamaan yang dialami mereka. Namun, tidak sebagaimana perjuanagn gender yang didominasi kulit putih, terutama dari perempuan kelas menengah, perjuangan kaum kulit hitam dimotori oleh mereka yang tergolong miskin, kelas pekerja, dan marjinal. Terdapat perbedaan tipe dan pola gerakan kulit hitam di bagian Selatan dan Utara. Di bagian Selatan mereka lebih memperjuangkan hak-hak sipil dan persamaan secara sosial dengan ulit putih. Paper ini terbatas hanya disusun dari bab 15 buku Seidman (2008).
Beberapa Pemikiran tentang Ras Afrika (di AS)
Teori ras kritis yang dibahas dalam buku Seidman ini menjadikan Teori Afrocentrism sebagai titik tolak. Perkembangan teori ini dipimpin oleh Asante. Intinya, ia menyebut bahwa pengalaman sebagai orang Afrika telah memberikan seperangkat nilai-nilai yang unik dan perspektif sosial kepada kulit hitam. Dalam teori ini, Eurocentrism maupun Afrocentrism mestilah dipandang sebagai dua hal berbeda sehingga hanya valid jika kita masuk melalui pengalaman dunia mereka sendiri.
Berkembangnya teori ini dimulai tahun 1970-an, ketika perjuangan untuk keadilan sosial kaum Afrika-Amerika terhalang. Kaum kulit hitam merasakan adanya politik rasisme di semua tempat kota dan kampus-kampus di seluruh wilayah. Kondisi kulit hitam cukup berat menghadapi ini yang terlihat dari ketidakstabilan keluarga, penggunaan obat-obatan terlarang dan kesejahteraan yang rendah. Kulit hitam secara langsung juga menghadapi gerakan anti kulit hitam.
Sebagaimana konsep ”Hitam” dimaknai dari istilah Afrika-Amerika, kaum akademisi mengembangkan konsep ”Afrocentrism” yang dimaknai sebagai gerakan yang luas untuk menghadapi persepsi tentang inferioritas kaum kulit hitam dan ketidak berdayaan politik. Kaum akademisi menjadikan konsep ”Afrocentrism” ini sebagai bentuk kritik terhadap ilmu sosial dan sebagai paradigma alternatif pengetahuan.
Dominasi kalangan Eurocentrism di Amerika merupakan sebuah kultur kolonisasi, dimana imprealisme simbolik telah meminggirkan dan mengalienasi kulit hitam dari masyarakat mereka sendiri. Konsep Afrocentism menyediakan kaum turunan Afrika perspektif dan tradisi yang memberdayakan dengan merefleksikan kebudayaan mereka sendiri. Asante melihat bahwa kulit hitam memiliki nilia-nilai harmonis, kesatuan (unity), dan spritualisme. Asante menjadikan identitas Afrika ini sebagai titik tolak teorinya, dimana ada seperangkat nilai dan tradisi yang mejadi basis lahirnya identitas Afrika tersebut. Ia meyakini sepenuhnya ada unit dan sesuatu yang unik pada identitas Afrika. Ini berbeda sekali dengan identitas ras-ras lain, misalnya Eropa.
Berikutnya adalah Konsep ”Multiple Standpoitn” dari Collins dengan fokus pada pemikiran feminis kulit hitam. Ia melihat adanya kebutaan gender di kalangan Afrocentrism dan marjinalisasi ras dalam feminisme. Ia menawarkan konsep feminis Afrocentrism. Ia berpandangan bahwa gender tidak dapat dan tidak akan dilihat sebagai terpisah dari ras. Laki-laki dan perempuan, pada hakekatnya mestilah diposisikan sebagai laki-laki dan perempuan dalam ras tertentu, klas, seksualitas, dan nasionalitas. Perbedaan inilah yang menjadi jatung identitas sosial.
Teorinya ini bertolak dari kondisi yang dialami oleh kalangan perempuan berkulit hitam yang selalu terpinggirkan dalam kehidupan. Posisi yang saat ini dihadapi perempuan kulit hitam tidak hanya karena sejarah mereka sebagai orang Afrika, namun juga karena andil atau relasi dengan perempuan kulit putih di rumah dan tempat kerja.
Teori ketiga berasal dari Appiah yang melakukan dekonstruksi identitas Afrika. Menurutnya apa yang disebut dengan ”identitas Afrika” oleh ahli terdahulu tidaklah sesuatu yang nyata. Tidak ada yang disebut identitas Afrika sebagai satu bentuk, karena ia menemukan tiap wilayah di Afrika telah menghasilkan identitas-identitas tertentu yang berbeda kepada manusianya. Karena itu, ia menemukan ada identitas Nigeria, Rwanda, Afrika Selatan, dan lain-lain. Ia menolak basis biologis dalam penyusunan konsep dan teori feminisme Afrika sentris (Afrocentrism feminism).
Beberapa Pemikiran Tentang Ras Kulit Putih
Pemikrian ini berkembang karena menyadari minimnya perhatian sosiologi terhadap ras kulit putih. Dari berbagai studi tentang kulit putih di berbagai kondisi masyarakat; dipelajari mengapa kaum kulit putih bersikap rasis dan bagaimana hak-hak khusus (privilege) mereka terbentuk dan bertahan. Studi lebih fokus pada apa dampak dari rasisme kulit putih terhadap ras lain dan peradaban masyarakat secara luas. Studi ini bertolak dari kesadaran bahwa berbagai ras di Amerika yakni kulit hitam, Eropa, Asia dan bangsa asli Amerika; belum cukup memadai dipandang sebagai sebuah konstruksi historis. Terutama untuk ras putih, mereka dipersepikan melalui streotipe belaka, sedangkan perbedaan di dalam ras kulit putih sendiri kurang diperhatikan.
Perhatian ahli terhadap ras putih muncul tahun 1980 dan 1990-an sebagai respon terhadap munculnya realitas multikultural yang menyusun identitas bangsa Amerika kontemporer. Sebagaimana terhadap ras lain, perhatian pokok diberikan terhadap keunikan identitas dan kultur kulit putih. Studi bertujuan untuk mempelajari konteks sosial dan historis kulit putih.
Satu pendekatan dalam konteks ini adalah apa yang disebut perspektif ”invisbility-visibility”. Dalam kehidupan sehari-hari, kulit putih dengan lebih mudah terlihat, karena ia berada di tempat-tempat yang ”mudah terlihat”. Jika kita ke sebuah hotel, kulit putih dengan mencolok mata langsung terlihat, karena ia ada di meja tamu, manajer, dan seterusnya; sementara ras lain tidak. Meskipun”orang putih” (White) memang mudah terlihat, namun tidak untuk ”putih secara sosiologi” (Whiteness). Tidak mudah melihat ras putih dari perspektif identitas ras dan kultur.
Ahli-ahli mengakui bahwa ras putih memiliki posisi yang istimewa di masyarakat. Ia memiliki privilege. Ia lah penyusun dan pembentuk apa yang dikenal dengan ”kultur Barat”. Ras putih memiliki kekuasaan dan percaya bahwa mereka berfikir, merasa dan bertindak untuk seluruh manusia. Mereka merasa bahwa merekalah pembentuk peradaban di dunia ini.
Kalangan teori kritis menilai bahwa ini benar hanya dalam konteks relasi dengan ras non putih. Kaum perempuan putih hanya memiliki privilege dalam konteks relasi dengan perempuan ras Asia misalnya. Selain itu, putih tidaklah satu wajah. Ada diferensiasi dalam kalangan masyarakat ras putih. Ada perbedaan kekuasaan dan juga status di antara mereka sendiri. Sebagaimana kalangan ahli ras Afrika mengembangkan teori mereka, untuk ras putih pun disadari bahwa ”putih” bukanlah sesuatu yang alamiah. Apa yang saat ini dipahami sebagai ras putih oleh masyarakat terbentuk karena proses sosial.
Daftar Pustaka:
Seidman, Steven. 2008. Contested Knowledge: Social Theory Today. 4th edition. Blackwell Publishing, Australia.
*****
Perjuangan politik kaum kulit hitam di Amerika, sebagaimana kaum perempuan dalam koteks gender, merupakan respon dari kondisi ketidakadialn dan ketidaksaamaan yang dialami mereka. Namun, tidak sebagaimana perjuanagn gender yang didominasi kulit putih, terutama dari perempuan kelas menengah, perjuangan kaum kulit hitam dimotori oleh mereka yang tergolong miskin, kelas pekerja, dan marjinal. Terdapat perbedaan tipe dan pola gerakan kulit hitam di bagian Selatan dan Utara. Di bagian Selatan mereka lebih memperjuangkan hak-hak sipil dan persamaan secara sosial dengan ulit putih. Paper ini terbatas hanya disusun dari bab 15 buku Seidman (2008).
Beberapa Pemikiran tentang Ras Afrika (di AS)
Teori ras kritis yang dibahas dalam buku Seidman ini menjadikan Teori Afrocentrism sebagai titik tolak. Perkembangan teori ini dipimpin oleh Asante. Intinya, ia menyebut bahwa pengalaman sebagai orang Afrika telah memberikan seperangkat nilai-nilai yang unik dan perspektif sosial kepada kulit hitam. Dalam teori ini, Eurocentrism maupun Afrocentrism mestilah dipandang sebagai dua hal berbeda sehingga hanya valid jika kita masuk melalui pengalaman dunia mereka sendiri.
Berkembangnya teori ini dimulai tahun 1970-an, ketika perjuangan untuk keadilan sosial kaum Afrika-Amerika terhalang. Kaum kulit hitam merasakan adanya politik rasisme di semua tempat kota dan kampus-kampus di seluruh wilayah. Kondisi kulit hitam cukup berat menghadapi ini yang terlihat dari ketidakstabilan keluarga, penggunaan obat-obatan terlarang dan kesejahteraan yang rendah. Kulit hitam secara langsung juga menghadapi gerakan anti kulit hitam.
Sebagaimana konsep ”Hitam” dimaknai dari istilah Afrika-Amerika, kaum akademisi mengembangkan konsep ”Afrocentrism” yang dimaknai sebagai gerakan yang luas untuk menghadapi persepsi tentang inferioritas kaum kulit hitam dan ketidak berdayaan politik. Kaum akademisi menjadikan konsep ”Afrocentrism” ini sebagai bentuk kritik terhadap ilmu sosial dan sebagai paradigma alternatif pengetahuan.
Dominasi kalangan Eurocentrism di Amerika merupakan sebuah kultur kolonisasi, dimana imprealisme simbolik telah meminggirkan dan mengalienasi kulit hitam dari masyarakat mereka sendiri. Konsep Afrocentism menyediakan kaum turunan Afrika perspektif dan tradisi yang memberdayakan dengan merefleksikan kebudayaan mereka sendiri. Asante melihat bahwa kulit hitam memiliki nilia-nilai harmonis, kesatuan (unity), dan spritualisme. Asante menjadikan identitas Afrika ini sebagai titik tolak teorinya, dimana ada seperangkat nilai dan tradisi yang mejadi basis lahirnya identitas Afrika tersebut. Ia meyakini sepenuhnya ada unit dan sesuatu yang unik pada identitas Afrika. Ini berbeda sekali dengan identitas ras-ras lain, misalnya Eropa.
Berikutnya adalah Konsep ”Multiple Standpoitn” dari Collins dengan fokus pada pemikiran feminis kulit hitam. Ia melihat adanya kebutaan gender di kalangan Afrocentrism dan marjinalisasi ras dalam feminisme. Ia menawarkan konsep feminis Afrocentrism. Ia berpandangan bahwa gender tidak dapat dan tidak akan dilihat sebagai terpisah dari ras. Laki-laki dan perempuan, pada hakekatnya mestilah diposisikan sebagai laki-laki dan perempuan dalam ras tertentu, klas, seksualitas, dan nasionalitas. Perbedaan inilah yang menjadi jatung identitas sosial.
Teorinya ini bertolak dari kondisi yang dialami oleh kalangan perempuan berkulit hitam yang selalu terpinggirkan dalam kehidupan. Posisi yang saat ini dihadapi perempuan kulit hitam tidak hanya karena sejarah mereka sebagai orang Afrika, namun juga karena andil atau relasi dengan perempuan kulit putih di rumah dan tempat kerja.
Teori ketiga berasal dari Appiah yang melakukan dekonstruksi identitas Afrika. Menurutnya apa yang disebut dengan ”identitas Afrika” oleh ahli terdahulu tidaklah sesuatu yang nyata. Tidak ada yang disebut identitas Afrika sebagai satu bentuk, karena ia menemukan tiap wilayah di Afrika telah menghasilkan identitas-identitas tertentu yang berbeda kepada manusianya. Karena itu, ia menemukan ada identitas Nigeria, Rwanda, Afrika Selatan, dan lain-lain. Ia menolak basis biologis dalam penyusunan konsep dan teori feminisme Afrika sentris (Afrocentrism feminism).
Beberapa Pemikiran Tentang Ras Kulit Putih
Pemikrian ini berkembang karena menyadari minimnya perhatian sosiologi terhadap ras kulit putih. Dari berbagai studi tentang kulit putih di berbagai kondisi masyarakat; dipelajari mengapa kaum kulit putih bersikap rasis dan bagaimana hak-hak khusus (privilege) mereka terbentuk dan bertahan. Studi lebih fokus pada apa dampak dari rasisme kulit putih terhadap ras lain dan peradaban masyarakat secara luas. Studi ini bertolak dari kesadaran bahwa berbagai ras di Amerika yakni kulit hitam, Eropa, Asia dan bangsa asli Amerika; belum cukup memadai dipandang sebagai sebuah konstruksi historis. Terutama untuk ras putih, mereka dipersepikan melalui streotipe belaka, sedangkan perbedaan di dalam ras kulit putih sendiri kurang diperhatikan.
Perhatian ahli terhadap ras putih muncul tahun 1980 dan 1990-an sebagai respon terhadap munculnya realitas multikultural yang menyusun identitas bangsa Amerika kontemporer. Sebagaimana terhadap ras lain, perhatian pokok diberikan terhadap keunikan identitas dan kultur kulit putih. Studi bertujuan untuk mempelajari konteks sosial dan historis kulit putih.
Satu pendekatan dalam konteks ini adalah apa yang disebut perspektif ”invisbility-visibility”. Dalam kehidupan sehari-hari, kulit putih dengan lebih mudah terlihat, karena ia berada di tempat-tempat yang ”mudah terlihat”. Jika kita ke sebuah hotel, kulit putih dengan mencolok mata langsung terlihat, karena ia ada di meja tamu, manajer, dan seterusnya; sementara ras lain tidak. Meskipun”orang putih” (White) memang mudah terlihat, namun tidak untuk ”putih secara sosiologi” (Whiteness). Tidak mudah melihat ras putih dari perspektif identitas ras dan kultur.
Ahli-ahli mengakui bahwa ras putih memiliki posisi yang istimewa di masyarakat. Ia memiliki privilege. Ia lah penyusun dan pembentuk apa yang dikenal dengan ”kultur Barat”. Ras putih memiliki kekuasaan dan percaya bahwa mereka berfikir, merasa dan bertindak untuk seluruh manusia. Mereka merasa bahwa merekalah pembentuk peradaban di dunia ini.
Kalangan teori kritis menilai bahwa ini benar hanya dalam konteks relasi dengan ras non putih. Kaum perempuan putih hanya memiliki privilege dalam konteks relasi dengan perempuan ras Asia misalnya. Selain itu, putih tidaklah satu wajah. Ada diferensiasi dalam kalangan masyarakat ras putih. Ada perbedaan kekuasaan dan juga status di antara mereka sendiri. Sebagaimana kalangan ahli ras Afrika mengembangkan teori mereka, untuk ras putih pun disadari bahwa ”putih” bukanlah sesuatu yang alamiah. Apa yang saat ini dipahami sebagai ras putih oleh masyarakat terbentuk karena proses sosial.
Daftar Pustaka:
Seidman, Steven. 2008. Contested Knowledge: Social Theory Today. 4th edition. Blackwell Publishing, Australia.
*****
Paradigma Konflik dan Teori-Teorinya
Berdasar pandangan Hegel, manusia dipandang sebagai makhluk yang rasional, kooperatif, dan juga sempurna. Integrasi sosial terjadi karena adanya dominasi, konflik menjadi instrument perubahan, utopia. Marx merupakan tokoh sosiologi utama dalam paradigma ini. Metodologi ilmu pengetahuan dalam paradigma ini adalah filsafat materialisme, histories, holistic, dan terapan.
Karakteristik paradigma konflik
Paradigma ini memandang manusia sebagai mahluk yang obyektif yang hidup dalam realitas sosial , maka filsafat materialisme merupakan dasar dari ilmu pengetahuan manusia. Realitas yang kontradiksi dan fenomena fakta sosial yang sering muncul dalam sebab akibat akan direfleksikan oleh teori konflik melalui logika dialektik dan endingnya adalah terciptanya dunia lebih baik. Asumsinya adalah: pertama, image tentang sifat dasar manusia yaitu pencipta, cooperativ, rasional dan sempurna kedua , image tentang masyarakat yaitu interdependent, struktural, menyeluruh, dan dinamis. Ketiga, tentang masa lalu dan masa kini yaitu timpang penuh tekanan dan pertarungan . keempat pandangan tentang masa depan yaitu utopia dan egaliter.kelima image tentang ilmu pengetahuan yaitu filsafat materialisme, historis, holistik (menyeluruh), dialektikdan terapan.
Elemen paradigmatik Asumsi dasar Type ideal Imajinasi sifat dasar manusia Manusia bertindak atas kesadaran subyektif, memiliki kebebasan menafsirkan realitas/aktif Konsep kesadaran diri imanuel kant. Imajinasi tentang masyarakat Struktur internal yang membentuk kesadaran manusia, kontrak sosial sebagai mekanisme control. Konsep kontrak sosial J.J Rousseau
Imajinasi ilmu pengetahuan Filsafat idealisme, tindakan manusia tidak dapat diprediksi Metode verstehen Weber
Para realis berpendapat bahwa manusia pada dasarnya baik, namun lingkungan atau struktur masyarakatnya lah yang menyebabkan manusia berubah menjadi tidak baik. Realisme berpendirian bahwa kehidupan di dunia ini adalah kenyataan, bukan hanya yang kasat pancaindra (common sense) maupun yang tidak kasat pancaindra (scientific reality) dan terdapat hubungan kausal antara keduanya.
Menurut paradigma konflik manusia pada dasarnya memiliki sifat kerjasama karena manusia sebagai mahluk sosial, dimana perilakunya diasumsikan rasional. Dalam ciri demikian, manusia diyakini memiliki potensi untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya melalui berbagai cara yaitu pengalaman, pemikiran dan pendidikan.
Selanjutnya, masyarakat dipandang sebagai realitas struktural. Struktur ini merupakan suatu kondisi yang muncul dalam perjalanan sejarahnya. Setiap kelompok masyarakat cenderung memunculkan sifat-sifat manusiawinya jika struktur sosialnya mendukung untuk menuju arah tersebut. Masyarakat akan timpang jika eksis perbedaan yang mencolok antar warga dalam hal materi, power dan status.
Untuk dapat memahami manusia, paradigma konflik mendekatinya dengan menerapkan filsafat materialisme. Inilah yang menurut mereka mesti mendasari pengembangan ilmu tentang manusia dan masyarakat. Karena terkait dengan struktur, berbagai komponen dalam masyarakat (manusia, lembaga, organisasi, dan kelas) tidak dapat dipelajari terpisah secara sendiri-sendiri, namun mesti secara holistik. Holistik dan historis merupakan dua kata kunci pokok dalam pengembangan ilmu-ilmu sosiologi di bawah paradigma konflik.
Konsep materialisme ini mendapat respon dari beberapa sosiolog, dan mengusulkan fakta bahwa realitas pada hakekatnya juga bersifat plural dan multidimensi.
Bertolak dari material sebagai pokok strukur, paradigma konflik memperhatikan secara kuat determinisme ekonomi. Basis struktur ekonomi lah penentu suprastruktur di atasnya baik berupa politik, sosial, dan budaya.
Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal yaitu berpikir secara dalam totalitas dan dialektis, empiris-historis, dalam kesatuan teori dan praksis, serta dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).
Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis. Kritik didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia.
Menurut Marx, yang berdialektika bukan fikiran, tapi kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritis bagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
Secara konseptual paradigma konflik mengkritisi paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan. Perubahan juga tidak selalu gradual, namun dapat terjadi secara revolusioner. Konflik adalah sesuatu yang melekat dalam setiap komunitas. Konflik tidak melulu dimaknai negatif, karena konflik menjadi instrument perubahan. Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain.
Paradigma kritis merupakan paradigma yang bertumpu pada analisis struktural dan membongkar ideologi dominan. Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.
Berbagai Teori di Bawah Paradigma Kritis
Dapat dikatakan, paradigma pluralis telah memberikan dasar pada paradigma kritis, dimana manusia diasumsikan sosok yang bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Dari beberapa ahli yang menurut Purdue mengembangkan fikirnanya dari paradigma kritis, ciri pokok paradigma kritis dalam hal manusia, masyarakat dan metode memahami manusia selalu muncul berulang.
Karl Marx diposisikan Purdue sebagai tokoh yang memberi pengaruh besar dalam terbentuk dan berkembangnya paradigma konflik ini. Sumbangan penting yang diberikan Marx adalah penerapan dialektika sebagai metode. Walaupun Marx menulis tentang banyak hal, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas. Marx selalu melihat dan mendasarkan bangun keilmuan dan metodenya kepada adanya kontradisksi-kontradiksi. Kontradiksi yang pokok pada masyarakat kapitalisme adalah yang terjadi antara kelompok pemilik pabrik (borjuis) dengan buruh (proletar) yang selalu menimbulkan konflik.
Marx membangun konsep dan teorinya dari filsafat Hegel dan Feuerbach. Marx mengambil dialektika gagasan dari Hegel yang lalu dipadu dengan material religius dari Feuerbach, sehingga menghasilkan dialektika materialistis (Ritzer: 2008). Dialektika Marx adalah hubungan timbal balik antara materi dan pikiran. Materi diubah oleh proses-proses pikiran sementara pada saat yang sama pikiran diubah oleh perwujudannya dalam benda-benda material (Campbell: 1994).
Dari penggalian sejarah kritisnya, Marx berkesimpulan bahwa sejarah manusia pada hakekatnya adalah sejarah perjuangan kelas. Pada kurun ”Marx Muda” perjuangan kelas merupakan poros utama analisanya, sedangkan pada ”Marx tua” beralih kepada struktur kelas, kerja, dan modal sebagai kategori-katogeri formal yang digunakannya. Marx melihat apa dampak buruk dari berjalannya kapitalisme yang dialami kalangan buruh. Selain eksploitasi, Marx juga melihat suatu gejala keterasingan (alienasi). Alienasi yang terjadi bersamaan dengan akumulasi surplus value untuk pemilik pabrik, menyebabkan hasil produksi buruh telah ”memukul balik” buruh itu sendiri.
Wallerstein misalnya dengan ”Teori Sistem Dunia” memaparkan tentang dependensi antar negara, yang pada hakekatnya merupakan struktur kapitalisme. Ia menganalisis persoalan kapitalisme dengan satuan analisis pada level dunia. Dunia hanyalah satu sistem, yakni sistem ekonomi kapitalis. Lahirnya teori ini merupakan respon dari teori developmentalis dan ketergantungan.
Sebagai sebuah sistem, negara pinggiran menjadi tergantung pada negara pusat. Alih-alih membantu, yang terjadi justeru tansfer surplus dari negara pinggiran ke negara pusat melalui perdagangan dan ekspansi modal. Surplus sesungguhnya juga terjadi melalui eksploitasi tenaga kerja murah di negara pinggiran. Kapitalisme masuk melalui perdagangan yang tidak adil dimana negara terbelakang menjual barang mentah dengan harga relatif murah sehingga menyebabkan eksploitasi petani. Masuknya sietem ekonomi perdagangan telah menyebabkan petani subsisten menjadi petani komersil yang ternyata merupakan bentuk eksploitasi tenaga kerja secara tidak langsung. Kapitalisme di negara terbelakang memunculkan struktur sosial baru, dimana ada kelas sosial baru yaitu kelas pemilik modal. Pola struktur di lingkup negara ini menyerupai pola struktur di tataran dunia: ada eksploitasi antar kelompok.
Wright Mills dengan teorinya ”The Power Elit” menyebutkan bahwa kekuasaan dalam masyarakat tidaklah tersebar secara merata. Kekuasaan lebih banyakm, atau bisa disebut ”memusat”, pada elit. Dengan kuasanya itu, elit mampu mendominansi massa. Ia mendominasi melalui kekuasaan, kekayaan, kehormatan, pengetahuan dan lain-lain. Menurut Mills, kekuasaan berawal dari institusi dan psikologi sosial msayarakat. Kekuasaan diperoleh oleh individu yang memegang kontrol atas institusi. Elit dan massa memiliki kepentingan yang berbeda dan tidak sejalan, sehingga lahir lah konflik.
Mills yang menjelaskan posisi elite dari sudut pandang institusional ini, berargumen bahwa struktur institusi-institusi yang berada di puncak memonopoli kekuasaan di tengah masyarakat. Institusi-institusi penting tersebut adalah swasta besar, militer, dan pemerintahan. Para elit dari berbagai institusi ini menjalin relasi sedemikian sehingga menjadi ”elite penguasa”. Merekalah yang lalu menjadi penentu kebijakan ekonomi, militer dan politik.
Sejalan dengan Mills ini, Nicos Poulantzas mengembangkan teorinya ”Negara Kapitalis”. Dalam sebuah negara kapitalis, kaum borjuis mempunyai hubungan yang dekat dengan para pejabat negara, dan menjauh terhadap kaum buruh dan rakyat kebanyakan. Kepentingan merekalah yang mearnai kebijakan negara. Berbagai kebijakan dan keputusan yang diambil pada negara dengan tipe ini cenderung menguntungkan kaum borjuasi. Menurut Poulantzas, negara sebagai institusi masyarakat yang sangat penting, memiliki kebutuhan struktural yang mendesak negara harus senantiasa mendukung kelas dominan. Negara berfungsi untuk menjaga stabilitas sosial politik dalam masyarakat, namun stabilitas itu pada hekakatnya demi kaum borjuis. Dapat dikatakan, kaum borjuis adalah tulang punggung ekonomi (dan juga politik) negara.
Keberpihakan negara kepada borjuis merupakan keterpaksaan. Negara harus melakukan itu, selain karena terpaksa, namun juga untuk kebutuhannya sendiri.
Negara menjadi institusi penting dalam mengatur stabilitas sistem kapitalis. Secara otomatis negara telah mendorong kelas penguasa untuk menempati posisi elite. Negara kapitalis memberikan pelayanan yang baik pada kelas kapitalis hanya jika anggota dari kelas ini tidak berpartisipasi secara langsung sebagai alat negara. Dengan kata lain kelas penguasa tidak secara politik termasuk dalam kelas pemerintah.
Selanjutnya, di bawah bab “ideologi”, Purdue menyebut beberapa teori. Teori ideologi dari Mannheim juga terpengaruh oleh cara pandang sejarah Hegel terhadap kesadaran manusia. Mannheim melebarkan pendekatan sejarah ini kedalam pandangan relatifistis. Pemikiran kita merupakan satu-satunya pembenar situasi dan kondisi. Dalam konteks ini, Mannheim kita kenal sebagai salah satu peletak sosiologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu ini dipelajari bagaimana masyarakat memproduksi, memproduksi, dan merestribusi, serta bagaimana pengetahuan mengkonstruksi pula struktur sosial.
Konsep ideologi secara khusus menjelaskan fenomena ideologi secara individual dan psikologis, sedangkan konsep ideologi secara menyeluruh menjelaskan fenomena ideologi secara sociological dan budaya. Konsep ideologi secara khusus diterapkan pada level kesadaran individu. Konsep ideologi khusus ini tidak dapat diberlakukan terhadap kelompok.
Berikutnya, Purdue menyebut Gramsci dalam Teori Hegemoni Ideologi. Sesuai dengan kondisi yang dihadapinya, Gramsci menyadari mengapa kelas pekerja tidak selalu menempuh jalan revolusioner. Gramsci mempelajari kegagalan pergerakan kelas pekerja Eropa Barat pada akhir tahun 20an dan 30an. Dari kondisi itu, Gramsci menyusun teori bahwa pertarungan kelas harus selalu melibatkan sejumlah ide dan juga ideologi. Gramsci melihat peran penting manusia sebagai agen dalam perjalanan sejarah. Ia menggunakan pendekatan dialektik dan membangun teori yang meyakini pentingnya ideologi. Sebuah kelas dikatakan berhasil jika mampu mempengaruhi kelas lain untuk menerima nilai-nilai moral, politis dan kultural mereka. Ada ”perang ideologi” antar kelas. Kelompok kuat berusaha menghegemoni kelomok lemah dengan mengedepankan ideologinya. Untuk kelas lemah (kelas pekerja) jika ingin meraih hegemoni, mereka harus mampu membangun kerjasama dengan kelompok lemah lain.
Lebih jauh, Alwin Gouldner mengembangkan sebuha teori yang disebut dengan ”Sosiologi Ideologi”. Teorinya dapat disebut sebagai anti tesis dari pemikiran sosiolog lain, mislanya Talcott Parsons yang dinilai mengabaikan faktor dinamika dan mengagungkan “struktur dan fungsi”. Gouldner berupaya menyusun reorientasi dalam perkembangan ilmu sosiologi.
Daftar Pustaka:
Perdue, William D. 1986. Sosiological Theory: Explanation, Paradigm, and Ideology. Mayfield Publishing Company. Palo Alto, California.
Campbell, Tom.1994. Tujuh Terori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi: dari teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Judul asli: Sociological Theory. Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta.
*****
Karakteristik paradigma konflik
Paradigma ini memandang manusia sebagai mahluk yang obyektif yang hidup dalam realitas sosial , maka filsafat materialisme merupakan dasar dari ilmu pengetahuan manusia. Realitas yang kontradiksi dan fenomena fakta sosial yang sering muncul dalam sebab akibat akan direfleksikan oleh teori konflik melalui logika dialektik dan endingnya adalah terciptanya dunia lebih baik. Asumsinya adalah: pertama, image tentang sifat dasar manusia yaitu pencipta, cooperativ, rasional dan sempurna kedua , image tentang masyarakat yaitu interdependent, struktural, menyeluruh, dan dinamis. Ketiga, tentang masa lalu dan masa kini yaitu timpang penuh tekanan dan pertarungan . keempat pandangan tentang masa depan yaitu utopia dan egaliter.kelima image tentang ilmu pengetahuan yaitu filsafat materialisme, historis, holistik (menyeluruh), dialektikdan terapan.
Elemen paradigmatik Asumsi dasar Type ideal Imajinasi sifat dasar manusia Manusia bertindak atas kesadaran subyektif, memiliki kebebasan menafsirkan realitas/aktif Konsep kesadaran diri imanuel kant. Imajinasi tentang masyarakat Struktur internal yang membentuk kesadaran manusia, kontrak sosial sebagai mekanisme control. Konsep kontrak sosial J.J Rousseau
Imajinasi ilmu pengetahuan Filsafat idealisme, tindakan manusia tidak dapat diprediksi Metode verstehen Weber
Para realis berpendapat bahwa manusia pada dasarnya baik, namun lingkungan atau struktur masyarakatnya lah yang menyebabkan manusia berubah menjadi tidak baik. Realisme berpendirian bahwa kehidupan di dunia ini adalah kenyataan, bukan hanya yang kasat pancaindra (common sense) maupun yang tidak kasat pancaindra (scientific reality) dan terdapat hubungan kausal antara keduanya.
Menurut paradigma konflik manusia pada dasarnya memiliki sifat kerjasama karena manusia sebagai mahluk sosial, dimana perilakunya diasumsikan rasional. Dalam ciri demikian, manusia diyakini memiliki potensi untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya melalui berbagai cara yaitu pengalaman, pemikiran dan pendidikan.
Selanjutnya, masyarakat dipandang sebagai realitas struktural. Struktur ini merupakan suatu kondisi yang muncul dalam perjalanan sejarahnya. Setiap kelompok masyarakat cenderung memunculkan sifat-sifat manusiawinya jika struktur sosialnya mendukung untuk menuju arah tersebut. Masyarakat akan timpang jika eksis perbedaan yang mencolok antar warga dalam hal materi, power dan status.
Untuk dapat memahami manusia, paradigma konflik mendekatinya dengan menerapkan filsafat materialisme. Inilah yang menurut mereka mesti mendasari pengembangan ilmu tentang manusia dan masyarakat. Karena terkait dengan struktur, berbagai komponen dalam masyarakat (manusia, lembaga, organisasi, dan kelas) tidak dapat dipelajari terpisah secara sendiri-sendiri, namun mesti secara holistik. Holistik dan historis merupakan dua kata kunci pokok dalam pengembangan ilmu-ilmu sosiologi di bawah paradigma konflik.
Konsep materialisme ini mendapat respon dari beberapa sosiolog, dan mengusulkan fakta bahwa realitas pada hakekatnya juga bersifat plural dan multidimensi.
Bertolak dari material sebagai pokok strukur, paradigma konflik memperhatikan secara kuat determinisme ekonomi. Basis struktur ekonomi lah penentu suprastruktur di atasnya baik berupa politik, sosial, dan budaya.
Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal yaitu berpikir secara dalam totalitas dan dialektis, empiris-historis, dalam kesatuan teori dan praksis, serta dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).
Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis. Kritik didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia.
Menurut Marx, yang berdialektika bukan fikiran, tapi kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritis bagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
Secara konseptual paradigma konflik mengkritisi paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan. Perubahan juga tidak selalu gradual, namun dapat terjadi secara revolusioner. Konflik adalah sesuatu yang melekat dalam setiap komunitas. Konflik tidak melulu dimaknai negatif, karena konflik menjadi instrument perubahan. Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain.
Paradigma kritis merupakan paradigma yang bertumpu pada analisis struktural dan membongkar ideologi dominan. Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.
Berbagai Teori di Bawah Paradigma Kritis
Dapat dikatakan, paradigma pluralis telah memberikan dasar pada paradigma kritis, dimana manusia diasumsikan sosok yang bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Dari beberapa ahli yang menurut Purdue mengembangkan fikirnanya dari paradigma kritis, ciri pokok paradigma kritis dalam hal manusia, masyarakat dan metode memahami manusia selalu muncul berulang.
Karl Marx diposisikan Purdue sebagai tokoh yang memberi pengaruh besar dalam terbentuk dan berkembangnya paradigma konflik ini. Sumbangan penting yang diberikan Marx adalah penerapan dialektika sebagai metode. Walaupun Marx menulis tentang banyak hal, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas. Marx selalu melihat dan mendasarkan bangun keilmuan dan metodenya kepada adanya kontradisksi-kontradiksi. Kontradiksi yang pokok pada masyarakat kapitalisme adalah yang terjadi antara kelompok pemilik pabrik (borjuis) dengan buruh (proletar) yang selalu menimbulkan konflik.
Marx membangun konsep dan teorinya dari filsafat Hegel dan Feuerbach. Marx mengambil dialektika gagasan dari Hegel yang lalu dipadu dengan material religius dari Feuerbach, sehingga menghasilkan dialektika materialistis (Ritzer: 2008). Dialektika Marx adalah hubungan timbal balik antara materi dan pikiran. Materi diubah oleh proses-proses pikiran sementara pada saat yang sama pikiran diubah oleh perwujudannya dalam benda-benda material (Campbell: 1994).
Dari penggalian sejarah kritisnya, Marx berkesimpulan bahwa sejarah manusia pada hakekatnya adalah sejarah perjuangan kelas. Pada kurun ”Marx Muda” perjuangan kelas merupakan poros utama analisanya, sedangkan pada ”Marx tua” beralih kepada struktur kelas, kerja, dan modal sebagai kategori-katogeri formal yang digunakannya. Marx melihat apa dampak buruk dari berjalannya kapitalisme yang dialami kalangan buruh. Selain eksploitasi, Marx juga melihat suatu gejala keterasingan (alienasi). Alienasi yang terjadi bersamaan dengan akumulasi surplus value untuk pemilik pabrik, menyebabkan hasil produksi buruh telah ”memukul balik” buruh itu sendiri.
Wallerstein misalnya dengan ”Teori Sistem Dunia” memaparkan tentang dependensi antar negara, yang pada hakekatnya merupakan struktur kapitalisme. Ia menganalisis persoalan kapitalisme dengan satuan analisis pada level dunia. Dunia hanyalah satu sistem, yakni sistem ekonomi kapitalis. Lahirnya teori ini merupakan respon dari teori developmentalis dan ketergantungan.
Sebagai sebuah sistem, negara pinggiran menjadi tergantung pada negara pusat. Alih-alih membantu, yang terjadi justeru tansfer surplus dari negara pinggiran ke negara pusat melalui perdagangan dan ekspansi modal. Surplus sesungguhnya juga terjadi melalui eksploitasi tenaga kerja murah di negara pinggiran. Kapitalisme masuk melalui perdagangan yang tidak adil dimana negara terbelakang menjual barang mentah dengan harga relatif murah sehingga menyebabkan eksploitasi petani. Masuknya sietem ekonomi perdagangan telah menyebabkan petani subsisten menjadi petani komersil yang ternyata merupakan bentuk eksploitasi tenaga kerja secara tidak langsung. Kapitalisme di negara terbelakang memunculkan struktur sosial baru, dimana ada kelas sosial baru yaitu kelas pemilik modal. Pola struktur di lingkup negara ini menyerupai pola struktur di tataran dunia: ada eksploitasi antar kelompok.
Wright Mills dengan teorinya ”The Power Elit” menyebutkan bahwa kekuasaan dalam masyarakat tidaklah tersebar secara merata. Kekuasaan lebih banyakm, atau bisa disebut ”memusat”, pada elit. Dengan kuasanya itu, elit mampu mendominansi massa. Ia mendominasi melalui kekuasaan, kekayaan, kehormatan, pengetahuan dan lain-lain. Menurut Mills, kekuasaan berawal dari institusi dan psikologi sosial msayarakat. Kekuasaan diperoleh oleh individu yang memegang kontrol atas institusi. Elit dan massa memiliki kepentingan yang berbeda dan tidak sejalan, sehingga lahir lah konflik.
Mills yang menjelaskan posisi elite dari sudut pandang institusional ini, berargumen bahwa struktur institusi-institusi yang berada di puncak memonopoli kekuasaan di tengah masyarakat. Institusi-institusi penting tersebut adalah swasta besar, militer, dan pemerintahan. Para elit dari berbagai institusi ini menjalin relasi sedemikian sehingga menjadi ”elite penguasa”. Merekalah yang lalu menjadi penentu kebijakan ekonomi, militer dan politik.
Sejalan dengan Mills ini, Nicos Poulantzas mengembangkan teorinya ”Negara Kapitalis”. Dalam sebuah negara kapitalis, kaum borjuis mempunyai hubungan yang dekat dengan para pejabat negara, dan menjauh terhadap kaum buruh dan rakyat kebanyakan. Kepentingan merekalah yang mearnai kebijakan negara. Berbagai kebijakan dan keputusan yang diambil pada negara dengan tipe ini cenderung menguntungkan kaum borjuasi. Menurut Poulantzas, negara sebagai institusi masyarakat yang sangat penting, memiliki kebutuhan struktural yang mendesak negara harus senantiasa mendukung kelas dominan. Negara berfungsi untuk menjaga stabilitas sosial politik dalam masyarakat, namun stabilitas itu pada hekakatnya demi kaum borjuis. Dapat dikatakan, kaum borjuis adalah tulang punggung ekonomi (dan juga politik) negara.
Keberpihakan negara kepada borjuis merupakan keterpaksaan. Negara harus melakukan itu, selain karena terpaksa, namun juga untuk kebutuhannya sendiri.
Negara menjadi institusi penting dalam mengatur stabilitas sistem kapitalis. Secara otomatis negara telah mendorong kelas penguasa untuk menempati posisi elite. Negara kapitalis memberikan pelayanan yang baik pada kelas kapitalis hanya jika anggota dari kelas ini tidak berpartisipasi secara langsung sebagai alat negara. Dengan kata lain kelas penguasa tidak secara politik termasuk dalam kelas pemerintah.
Selanjutnya, di bawah bab “ideologi”, Purdue menyebut beberapa teori. Teori ideologi dari Mannheim juga terpengaruh oleh cara pandang sejarah Hegel terhadap kesadaran manusia. Mannheim melebarkan pendekatan sejarah ini kedalam pandangan relatifistis. Pemikiran kita merupakan satu-satunya pembenar situasi dan kondisi. Dalam konteks ini, Mannheim kita kenal sebagai salah satu peletak sosiologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu ini dipelajari bagaimana masyarakat memproduksi, memproduksi, dan merestribusi, serta bagaimana pengetahuan mengkonstruksi pula struktur sosial.
Konsep ideologi secara khusus menjelaskan fenomena ideologi secara individual dan psikologis, sedangkan konsep ideologi secara menyeluruh menjelaskan fenomena ideologi secara sociological dan budaya. Konsep ideologi secara khusus diterapkan pada level kesadaran individu. Konsep ideologi khusus ini tidak dapat diberlakukan terhadap kelompok.
Berikutnya, Purdue menyebut Gramsci dalam Teori Hegemoni Ideologi. Sesuai dengan kondisi yang dihadapinya, Gramsci menyadari mengapa kelas pekerja tidak selalu menempuh jalan revolusioner. Gramsci mempelajari kegagalan pergerakan kelas pekerja Eropa Barat pada akhir tahun 20an dan 30an. Dari kondisi itu, Gramsci menyusun teori bahwa pertarungan kelas harus selalu melibatkan sejumlah ide dan juga ideologi. Gramsci melihat peran penting manusia sebagai agen dalam perjalanan sejarah. Ia menggunakan pendekatan dialektik dan membangun teori yang meyakini pentingnya ideologi. Sebuah kelas dikatakan berhasil jika mampu mempengaruhi kelas lain untuk menerima nilai-nilai moral, politis dan kultural mereka. Ada ”perang ideologi” antar kelas. Kelompok kuat berusaha menghegemoni kelomok lemah dengan mengedepankan ideologinya. Untuk kelas lemah (kelas pekerja) jika ingin meraih hegemoni, mereka harus mampu membangun kerjasama dengan kelompok lemah lain.
Lebih jauh, Alwin Gouldner mengembangkan sebuha teori yang disebut dengan ”Sosiologi Ideologi”. Teorinya dapat disebut sebagai anti tesis dari pemikiran sosiolog lain, mislanya Talcott Parsons yang dinilai mengabaikan faktor dinamika dan mengagungkan “struktur dan fungsi”. Gouldner berupaya menyusun reorientasi dalam perkembangan ilmu sosiologi.
Daftar Pustaka:
Perdue, William D. 1986. Sosiological Theory: Explanation, Paradigm, and Ideology. Mayfield Publishing Company. Palo Alto, California.
Campbell, Tom.1994. Tujuh Terori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi: dari teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Judul asli: Sociological Theory. Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta.
*****
Pradigma Pluralisme dan Teori-Teori Sosiologi Turunannya
Dari tiga paradigma yang dijelaskan dalam buku Perdue, bagian bab paradigma pluralisme berisi berbagai teori yang disusun atas pandangan bahwa manusia adalah makhluk rasional, bebas dan bertujuan (purposive actor). Paper ini hanya membahas bab 9 sampai 13 yang berisi penjelasan tentang paradigma pluralis, divergen, politik pluralis, interaksionisme simbolik, dan sosiologi interpretatif.
Karakteristik Paradigma Pluralisme
Manusia, sebagai individu dan masyarakat, merupakan dua objek penting dalam perkembangan sosiologi. Sebagian ahli menekankan pada manusia sebagai individu, dan sebagian pada manusia sebagai masyarakat. Pada hakekatnya dari sinilah titik tolak munculnya paradigma pluralis. Manusia dan kelompok (menjadi masyarakat dalam arti luas) adalah dua hal yang berbeda. Keduanya merupakan objek yang berbeda, meskipun satu objek bisa diterangkan melalui objek lainnya.
Berbeda dengan pradigma keteraturan (order), penyimpangan atau deviasi dalam masyarakat merupakan hal yang wajar, bukan suatu masalah. Perbedaan-perbedaan yang muncul merupakan objek yang menarik perhatian kalangan pluralis. Dunia tidak dipandang melalui kacamata yang kaku, namun sebuah subjective world. Masalah bukan pengganggu keseimbangan, dan bukan suatu penyakit yang harus dibuang. Masyarakat merupakan realitas sosial, dimana pernyataan kesadaran didasarkan pada ide-ide bersama. Hubungan dalam masyarakat merupakan proses timbal balik dengan berpedoman pada seperangkat gagasan, hukum dan peraturan bersama.
Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya. Tindakan manusia sulit diprediksi, karena adanya kesadaran yang berbeda antar manusia. Manusia sebagai aktor sosial menafsirkan dunia empiris mereka sendiri secara bebas dan berbeda satu dengan lain. Dengan demikian, aspek kualitatif lebih dikedepankan dibandingkan aspek kuantitatif.
Immanuel Kant merupakan filosof utama yang dijadikan basis paradigma pluralis. Menurut Kant, manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang suka berteman sekaligus juga berkompetisi, namun manusia tetap senang dengan harmoni. Manusia bertindak atas kesadaran subyektif, dan memiliki kebebasan menafsirkan realitas di lingkungannya secara aktif. Sementara, menurut J. Rousseau, masyarakat adalah sebuah kontrak sosial. Ada struktur internal yang membentuk kesadaran manusia, dimana kontrak sosial merupakan sebuah mekanisme untuk melakukan kontrol.
Sejalan dengan konsep manusia Kant, Rousseau mengembangkan teori kontrak sosial. Dalam teori ini, terbentuknya negara (masyarakat politik) karena anggota masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Sumber kewenangan disini adalah masyarakat itu sendiri.
Meski pada prinsipnya manusia sama, namun alam dan lingkungan lain telah menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki beberapa orang tertentu. Mereka lebih kaya, lebih dihormati, dan lebih berkuasa. Untuk menghindari ketidaktoleranan dan kelabilan, masyarakat mengadakan kontrak sosial. Ini merupakan kehendak bebas dari semua untuk memantapkan keadilan dan pencapaian moralitas terbaik. Melalui kontrak sosial individu akan dapat mempertahankan dirinya agar tetap jadi manusia merdeka.
Dalam pradigma pluralis, manusia merupakan makhluk dengan ciri dualisme yaitu sebagai makhluk sosial (sociable) sekaligus berkesadaran secara individu (self assetive). Bukannya eksternal tidak mampu menekan manusia, namun perilaku manusia adalah makhluk yang intentional sekaligus voluntary. Kebebasan lebih dimaknai sebagai hal yang personal dan individual, bukan sebagai hal yang kolektif.
Dalam memandang masyarakat, paradigam ini melihat bahwa realitas sosial merupakan dunia yang subjektif, yang dibentuk karena ada ide dan makna yang saling didistribusikan. Karena makna yang dibagi tidak sealu sama, maka yang terbentuk adalah masyarakat heterogen. Resiprositas dalam arti luas merupakan basis relasi dalam masyarakat, dimana tiap orang berorientasi pada orang lain.
Dalam hal metodologi, paham idealisme merupakan basis dalam melihat manusia. Karena perilaku manusia sulit diprediksi, maka ia menolah determinisme. Dengan demikian, penyusunan pola, hukum dan statistik sulit dipakai; meskipun ia tidak menolak generalisasi. Ia berupaya memahami bagaimana realitas dikonstruksi, dengan fokus pada kesadaran (consciousness) manusia dimana objek riset adalah manusia individu.
Mengikuti filsafat idealisme, tindakan manusia diyakini tidak dapat diprediksi. Karena itulah metode verstehen Weber menjadi relevan. Menurut Weber, tiap orang berkesempatan menegosiasikan struktur masyarakatnya sendiri. Tiap individu bisa mengajukan perubahan-perubahan sesuai keinginannya. Mengikuti paradigma pluralis ini, manusia dipandang sebagai interaksionis sekaligus sebagai pribadi khas. Inilah yang dimaksud dengan sifat dualisme. Tekanan-tekanan eksternal tidak begitu saja langsung membentuk sikap-sikapnya, karena ada kekuatan dalam diri si manusia itu sendiri yang tidak tunduk pada tekanan eksternal.
Berbagai Teori dengan Paradigma Pluralis
Purdue mengumpulkan berbagai teori yang dilahirkan dari paradigma pluralis. Salah satu teori utama soiologi yang tergolong menggunakan pradigma pluralis adalah teori Interaksionisme Simbolik. Teori ini dikenal dalam lingkup sosiologi interpretatif yang berada di bawah payung teori tindakan sosial (action theory), yang dikemukakan Weber. Intinya, bahwa tindakan sosial bermakna berdasarkan makna subyektifnya yang diberikan individu-individu. Tindakan individu mempertimbangkan perilaku orang lain yang lalu diorientasikan dalam perilakunya sendiri. Kehidupan sosial berjalan atas dua lingkaran: kelompok primer dan sekunder. Relasi sosial berjalan di atas kesadaran masing-masing individu (self consciousness). Manusia membagi dengan menusia lain berbagai simbol-simbol yang abstrak baik yang objektif maupn subjektif. Dengan demikian, realitas sesungguhnya adalah realitas yang dibangun secara sosial (socially constructed).
Georg Simmel, sebagai sosiolog Jerman, berhadapan dengan sosiologi positivistik Comte serta teori evolusi Spencer. Teori Simmel bertolak dari konsep atomisme logis. Masyarakat dipersepsikan lebih sebagai sebuah interaksi individu-individu dibandingkan sebuah interaksi substansial. Ia memfokuskan pada atom-atom empirik, dengan berbagai konsep dan individu-individu di dalamnya, serta kelompok-kelompok yang kesemuanya berfungsi sebagai suatu kesatuan. Masyarakat, pada hakekatnya dapat ditemukan di dalam individu-individu yang melakukan interaksi.
Interaksi merupakan konsep dasar sosiologi, termasuk Simmel. Konsepnya yang mikro menyangkut bentuk-bentuk (forms) di mana interaksi yang terjadi di dalamnya melibatkan berbagai tipe dan ini menyangkut individu yang terlibat di dalam interaksi itu.
Kelompok teori yang tergolong sebagai interaksi simbolik juga bertolak dari hal yang paling elemen yakni ”relasi”. Dalam teori ekologi manusia musalnya, dipelajari hubungan timbal balik mahluk hidup dengan lingkungannya. Dalam tiap jejaring kehidupan berlangsung kompetisi antar mahluk hidup untuk bertahan hidup dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Ekologi manusia dalam Robert E. Park dipusatkan pada keseimbangan dan tekanan mutu dari kehidupan spesies di dalam habitat yang sama. Hubungan yang terjadi antar individu dalam suatu masyarakat merupakan hubungan timbal balik dari kebiasaan interaksi manusia dengan lingkungannya. Melalui proses ini individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Dengan adanya hubungan interaksi antara satu dengan yang lain akan terjadi simbiosis yang didasarkan pada kompetisi dan kultural.
GH Mead dengan teori ”Fikiran, Diri, dan Masyarakat” juga satu ahli ynag membangun teorinya berbasiskan paradigma pluralis. ”Fikiran” dalam konsep Mead adalah fenomena sosial yang muncul dalam proses sosial. Demikian pula dengan ”diri” (self).
Terakhir, beberapa teori sosiologi digolongkan Perdue sebagai kelompok sosiologi interpretatif, yaitu Alfred Schutz (Sosiologi Fenomenologi), Peter Berger (Konstruksi Sosial), serta juga Harold Garfinkel dan ErvingGoffman. Fenomenologi dalam teori Schutz memperhatikan pengalaman subjektif dari manusia. Teori ini memahami makna peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang dalam situasi-situasi tertentu. Fokusnya pada fenomena-fenomena yang melingkupi satu subyek melalui sisi subjektif dari perilaku manusia. ”Pemahaman” merupakan kata kunci dalam konteks ini.
Sementara, Peter Berger juga memfokuskan pada interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana tradisi pluralisme, Berger meyakini bahwa sosiologi mesti mempelajari gejala sosial yang sarat makna oleh aktor yang terlibat dalam gejala sosial tersebut. Dalam bukunya The Social Construction of Reality, Berger pada hakekatnya berupaya menyusun teori tentang masyarakat. Teori ini memahami pengetahuan sebagai produk histroris yang dikonstruksi secara sosial. Masyarakat sebagai realitas sekaligus sebagai entitas subjektif fdan objektif.
Teori Berger bertolak di atas faham humanis dari Weber, meskipun sebagai mana sering disebut ia mencari titik temu antara gagasan Marx, Durkheim dan Weber sekaligus. Dalam buku Perdue ini disebut, bahwa di titik inilah timbul kritik terhadap Berger, karena penyatuan dua paradigam merupakan sesuatu yang tak mungkin mengingat adanya perbedaan yang substansial dalam hal asumsi tentang manusia, masyarakat, dam metodologi.
Daftar Pustaka:
Perdue, William D. 1986. Sosiological Theory: Explanation, Paradigm, and Ideology. Mayfield Publishing Company. Palo Alto, California.
*****
Karakteristik Paradigma Pluralisme
Manusia, sebagai individu dan masyarakat, merupakan dua objek penting dalam perkembangan sosiologi. Sebagian ahli menekankan pada manusia sebagai individu, dan sebagian pada manusia sebagai masyarakat. Pada hakekatnya dari sinilah titik tolak munculnya paradigma pluralis. Manusia dan kelompok (menjadi masyarakat dalam arti luas) adalah dua hal yang berbeda. Keduanya merupakan objek yang berbeda, meskipun satu objek bisa diterangkan melalui objek lainnya.
Berbeda dengan pradigma keteraturan (order), penyimpangan atau deviasi dalam masyarakat merupakan hal yang wajar, bukan suatu masalah. Perbedaan-perbedaan yang muncul merupakan objek yang menarik perhatian kalangan pluralis. Dunia tidak dipandang melalui kacamata yang kaku, namun sebuah subjective world. Masalah bukan pengganggu keseimbangan, dan bukan suatu penyakit yang harus dibuang. Masyarakat merupakan realitas sosial, dimana pernyataan kesadaran didasarkan pada ide-ide bersama. Hubungan dalam masyarakat merupakan proses timbal balik dengan berpedoman pada seperangkat gagasan, hukum dan peraturan bersama.
Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya. Tindakan manusia sulit diprediksi, karena adanya kesadaran yang berbeda antar manusia. Manusia sebagai aktor sosial menafsirkan dunia empiris mereka sendiri secara bebas dan berbeda satu dengan lain. Dengan demikian, aspek kualitatif lebih dikedepankan dibandingkan aspek kuantitatif.
Immanuel Kant merupakan filosof utama yang dijadikan basis paradigma pluralis. Menurut Kant, manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang suka berteman sekaligus juga berkompetisi, namun manusia tetap senang dengan harmoni. Manusia bertindak atas kesadaran subyektif, dan memiliki kebebasan menafsirkan realitas di lingkungannya secara aktif. Sementara, menurut J. Rousseau, masyarakat adalah sebuah kontrak sosial. Ada struktur internal yang membentuk kesadaran manusia, dimana kontrak sosial merupakan sebuah mekanisme untuk melakukan kontrol.
Sejalan dengan konsep manusia Kant, Rousseau mengembangkan teori kontrak sosial. Dalam teori ini, terbentuknya negara (masyarakat politik) karena anggota masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Sumber kewenangan disini adalah masyarakat itu sendiri.
Meski pada prinsipnya manusia sama, namun alam dan lingkungan lain telah menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki beberapa orang tertentu. Mereka lebih kaya, lebih dihormati, dan lebih berkuasa. Untuk menghindari ketidaktoleranan dan kelabilan, masyarakat mengadakan kontrak sosial. Ini merupakan kehendak bebas dari semua untuk memantapkan keadilan dan pencapaian moralitas terbaik. Melalui kontrak sosial individu akan dapat mempertahankan dirinya agar tetap jadi manusia merdeka.
Dalam pradigma pluralis, manusia merupakan makhluk dengan ciri dualisme yaitu sebagai makhluk sosial (sociable) sekaligus berkesadaran secara individu (self assetive). Bukannya eksternal tidak mampu menekan manusia, namun perilaku manusia adalah makhluk yang intentional sekaligus voluntary. Kebebasan lebih dimaknai sebagai hal yang personal dan individual, bukan sebagai hal yang kolektif.
Dalam memandang masyarakat, paradigam ini melihat bahwa realitas sosial merupakan dunia yang subjektif, yang dibentuk karena ada ide dan makna yang saling didistribusikan. Karena makna yang dibagi tidak sealu sama, maka yang terbentuk adalah masyarakat heterogen. Resiprositas dalam arti luas merupakan basis relasi dalam masyarakat, dimana tiap orang berorientasi pada orang lain.
Dalam hal metodologi, paham idealisme merupakan basis dalam melihat manusia. Karena perilaku manusia sulit diprediksi, maka ia menolah determinisme. Dengan demikian, penyusunan pola, hukum dan statistik sulit dipakai; meskipun ia tidak menolak generalisasi. Ia berupaya memahami bagaimana realitas dikonstruksi, dengan fokus pada kesadaran (consciousness) manusia dimana objek riset adalah manusia individu.
Mengikuti filsafat idealisme, tindakan manusia diyakini tidak dapat diprediksi. Karena itulah metode verstehen Weber menjadi relevan. Menurut Weber, tiap orang berkesempatan menegosiasikan struktur masyarakatnya sendiri. Tiap individu bisa mengajukan perubahan-perubahan sesuai keinginannya. Mengikuti paradigma pluralis ini, manusia dipandang sebagai interaksionis sekaligus sebagai pribadi khas. Inilah yang dimaksud dengan sifat dualisme. Tekanan-tekanan eksternal tidak begitu saja langsung membentuk sikap-sikapnya, karena ada kekuatan dalam diri si manusia itu sendiri yang tidak tunduk pada tekanan eksternal.
Berbagai Teori dengan Paradigma Pluralis
Purdue mengumpulkan berbagai teori yang dilahirkan dari paradigma pluralis. Salah satu teori utama soiologi yang tergolong menggunakan pradigma pluralis adalah teori Interaksionisme Simbolik. Teori ini dikenal dalam lingkup sosiologi interpretatif yang berada di bawah payung teori tindakan sosial (action theory), yang dikemukakan Weber. Intinya, bahwa tindakan sosial bermakna berdasarkan makna subyektifnya yang diberikan individu-individu. Tindakan individu mempertimbangkan perilaku orang lain yang lalu diorientasikan dalam perilakunya sendiri. Kehidupan sosial berjalan atas dua lingkaran: kelompok primer dan sekunder. Relasi sosial berjalan di atas kesadaran masing-masing individu (self consciousness). Manusia membagi dengan menusia lain berbagai simbol-simbol yang abstrak baik yang objektif maupn subjektif. Dengan demikian, realitas sesungguhnya adalah realitas yang dibangun secara sosial (socially constructed).
Georg Simmel, sebagai sosiolog Jerman, berhadapan dengan sosiologi positivistik Comte serta teori evolusi Spencer. Teori Simmel bertolak dari konsep atomisme logis. Masyarakat dipersepsikan lebih sebagai sebuah interaksi individu-individu dibandingkan sebuah interaksi substansial. Ia memfokuskan pada atom-atom empirik, dengan berbagai konsep dan individu-individu di dalamnya, serta kelompok-kelompok yang kesemuanya berfungsi sebagai suatu kesatuan. Masyarakat, pada hakekatnya dapat ditemukan di dalam individu-individu yang melakukan interaksi.
Interaksi merupakan konsep dasar sosiologi, termasuk Simmel. Konsepnya yang mikro menyangkut bentuk-bentuk (forms) di mana interaksi yang terjadi di dalamnya melibatkan berbagai tipe dan ini menyangkut individu yang terlibat di dalam interaksi itu.
Kelompok teori yang tergolong sebagai interaksi simbolik juga bertolak dari hal yang paling elemen yakni ”relasi”. Dalam teori ekologi manusia musalnya, dipelajari hubungan timbal balik mahluk hidup dengan lingkungannya. Dalam tiap jejaring kehidupan berlangsung kompetisi antar mahluk hidup untuk bertahan hidup dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Ekologi manusia dalam Robert E. Park dipusatkan pada keseimbangan dan tekanan mutu dari kehidupan spesies di dalam habitat yang sama. Hubungan yang terjadi antar individu dalam suatu masyarakat merupakan hubungan timbal balik dari kebiasaan interaksi manusia dengan lingkungannya. Melalui proses ini individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Dengan adanya hubungan interaksi antara satu dengan yang lain akan terjadi simbiosis yang didasarkan pada kompetisi dan kultural.
GH Mead dengan teori ”Fikiran, Diri, dan Masyarakat” juga satu ahli ynag membangun teorinya berbasiskan paradigma pluralis. ”Fikiran” dalam konsep Mead adalah fenomena sosial yang muncul dalam proses sosial. Demikian pula dengan ”diri” (self).
Terakhir, beberapa teori sosiologi digolongkan Perdue sebagai kelompok sosiologi interpretatif, yaitu Alfred Schutz (Sosiologi Fenomenologi), Peter Berger (Konstruksi Sosial), serta juga Harold Garfinkel dan ErvingGoffman. Fenomenologi dalam teori Schutz memperhatikan pengalaman subjektif dari manusia. Teori ini memahami makna peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang dalam situasi-situasi tertentu. Fokusnya pada fenomena-fenomena yang melingkupi satu subyek melalui sisi subjektif dari perilaku manusia. ”Pemahaman” merupakan kata kunci dalam konteks ini.
Sementara, Peter Berger juga memfokuskan pada interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana tradisi pluralisme, Berger meyakini bahwa sosiologi mesti mempelajari gejala sosial yang sarat makna oleh aktor yang terlibat dalam gejala sosial tersebut. Dalam bukunya The Social Construction of Reality, Berger pada hakekatnya berupaya menyusun teori tentang masyarakat. Teori ini memahami pengetahuan sebagai produk histroris yang dikonstruksi secara sosial. Masyarakat sebagai realitas sekaligus sebagai entitas subjektif fdan objektif.
Teori Berger bertolak di atas faham humanis dari Weber, meskipun sebagai mana sering disebut ia mencari titik temu antara gagasan Marx, Durkheim dan Weber sekaligus. Dalam buku Perdue ini disebut, bahwa di titik inilah timbul kritik terhadap Berger, karena penyatuan dua paradigam merupakan sesuatu yang tak mungkin mengingat adanya perbedaan yang substansial dalam hal asumsi tentang manusia, masyarakat, dam metodologi.
Daftar Pustaka:
Perdue, William D. 1986. Sosiological Theory: Explanation, Paradigm, and Ideology. Mayfield Publishing Company. Palo Alto, California.
*****
Langganan:
Postingan (Atom)