Jumat, 29 Oktober 2010

The Meaning of Methodology (Neuman, 2000)

Dalam konteks sosiologi sebagai ilmu sosial, yang berkembang setelah ilmu alam dikenal secara luas, ditemui berbagai perdebatan (dan keraguan) terutama berkenaan dengan apa sesungguhnya fakta dan bagaimana memahaminya atau mempelajarinya. Metode riset merupakan hal pokok dalam pengembangan ilmu, bahkan menjadi syarat untuk eksistensi ilmu itu sendiri. Neuman (hal. 60) bahkan menekankan bahwa “Research methodology is what makes social science scientific”.

Ilmu sosiologi yang perkembangannya relatif muda dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial lain misalnya, dari waktu ke waktu menghadapi pencarian terus menerus berkenaan dengan metode yang dipakai. Kalangan sosiologi menyadari bahwa hanya dengan metodologi yang kuatlah ilmu ini dapat berkembang. Dapat dikatakan, bahwa terjadi perubahan yang mendasar tentang paradigma keilmuan itu sendiri. Menurut Creswell (1994: p. 3-4) dari dua paradigma utama (kuantitatif dan kualitatif), dikembangkan lima asumsi untuk memhami kedua paradigma tersebut. Kelima asumsi yang harus digunakan menurut Creswell adalah asumsi ontologi (apa sifat realitas), asumsi epistemologi (bagaimana hubungan peneliti dengan yang diteliti), asumsi aksiologi (bagaimana peranan nilai), asumsi retorik (apa bahasa yang digunakan), dan asumsi metodologi (bagaimana penelitian dijalankan).

Dalam buku Neuman (2000) yang dibahas dalam tulisan ini, ia membagi atas tiga pendekatan yang selama ini digunakan dalam ilmu sosial, yaitu positivist social science (PSS), interpretive social science (ISS), dan critical social science (CSS). Selai itu ia juga menyampaikan adanya dua pendekatan yang relatif baru dan masih berkembang, yaitu pendekatan feminist dan posmodern.

Ulasan ini dimulai dengan penjelasan singkat tentang ketiga pendekatan, lalu dilanjutkan dengan pembahasan dan perbandingan antar ketiganya yang dikelompokkan atas dua aspek, yaitu berkenaan dengan realitas sosial (ontologi) dan konsep keilmuan yang digunakan (epsitemologi dan metodologi).

Tiga Pendekatan dalam Ilmu Sosial

(1) Pendekatan positivis

Pendekatan positivis paling sering digunakan dalam lmu-ilmu sosial selama ini. Pendekatan ini berawal dari August Comte yang mengembangkan Sosiologi Positif sebagai paradigma pokok ilmu sosial dengan bertolak dari relaitas sosial secara empiris. Hal ini terpengaruh oleh perkembangan dari ilmu-ilmu alam. Namun, positivisme juga berkembang sebagai respon dari kelemahan pendekatan filsafat yang bersifat spekulatif.
Dalam pendekatan ini semua pengetahuan harus terbukti lewat bukti yang diperoleh melalui pengamatan secara sistematis. Peneliti dan objek yang diteliti harus memiliki jarak sedemikian rupa sehingga tercapai prinsip intersubyektif. Karena itu, segala pendapat yang tidak bisa diverifikasikan secara empiris tidak diterima dalam pendekatan ini.

Pendirian epistemologis kalangan positivis didasarkan pada pendekatan yang digunakan dalam ilmu alam, hanya berbeda dalam istilah yang digunakan. Hipotesa mengenai realita sosial dibuktikan melalui penelitian eksperimen. Dapat pula dikatakan bahwa pendekatan potivis bersifat nomotetis karena menggunakan seperangkat teknik dan prosedur yang sistematis dalam penelitian dan teknik kuantitatif untuk menganalisis data. Sebaliknya, pendekatan interpretatif dan kritis ada yang menyebut sebagai pendekatan anti-positivis.

(2) Pendekatan Interpretatif

Dalam pendakatan interpretatif, realitas sosial pada hakekatnya tidak pasti namun nisbi atau relatif. Karena kenisbiannya, maka pemaknaan tiap orang tergantung bagaimana ia terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Seseorang hanya dapat mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial. Dalam konteks ini ilmu sosial bersifat subyektif. Pendekatan ini menolak kedudukan sebagai “pengamat” sebagaimana dikenal pada pendekatan positivis. Seseorang hanya bisa mengerti apabila menggunakan kerangka berpikir orang yang terlibat langsung. Dengan kata lain, ia berupaya mengerti dari sisi dalam realitas sosial.

(3) Pendekatan Kritis

Dibandingkan pendekatan interpretatif, pendekatan kritis dapat dikatakan selangkah di depan, dimana selain berupaya memahami, mereka yang menggunakan pendekatan ini berusaha melakukan perubahan radikal dari kondisi yang ada. Dalam banyak hal, pendekatan kritis memikiki kesamaan dengan pendekatan interpretatif yaitu anti-positivis, volunteris, dan ideografis. Perbedaan utamanya adalah karena pendekatan kritis berusaha memahami kondisi yang dihadapi sekelompok manusia dan berupaya membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yg. menghambat. Paham volunterisme yang dianut dalam pendekatan ini bermakna bahwa manusia sepenuhnya adalah pencipta dan berkemauan bebas.

Pandangan ini dikembangkan dari pemikiran Marx, yang kemudian melahirkan berbagai teori yang dikelompokkan sebagai teori-teori radikal. Salah satunya adalah teori yang dikembangkan pada kalangan feminis yang menggugat ilmu pengetahuan (sosial) yang bias jender dan bertujuan mengoreksinya. Jika kalangan yang menggunakan pendekatan positivis berpandangan bahwa ilmu harus bebas nilai, sebaliknya kalangan feminis berpandangan tidak ada kebenaran tunggal namun ada beragam tafsir dan kebenaran. Berbeda halnya dengan pendekatan positivis yang secara deduktif berangkat dari teori, dalam studi perempuan sejumlah penjelasan ilmiah justru didapatkan dari kasus pengalaman perempuan yang lalu dibangun argumentasi untuk menunjukkan ketimpangan yang dialami perempuan dalam masyarkaat.

Asumsi tentang Realitas Sosial

Tidak sebagaimana pada imu alam, ilmu sosial menghadapi pertanyaan dasar apakah yang dimaksud dengan realitas sosial. Timbul dua dikotomi pendapat menganai ini, bahwa relaitas dapat berupa keadaan yang obyektif atau sebagai keadaan yang subyektif. Pendekatan positivis (PSS) menganggap realitas berada di luar diri peneliti, dalam kondisi yang relatif stabil dan tertata. Sebaliknya pendekatan interpretatif (ISS) melihat bahwa realitas tersebut hanya merupakan situasi yang diciptakan dari interaksi antar manusia, dan pendekatan kritis (CSS) melihat bahwa realitas sosial selalu dalam kondisi berkonflik yang diakibatkan oleh struktur yang tak mudah dilihat.

Sifat dasar manusia menurut PSS adalah rasional yang dibentuk dari kekuatan dari luar diri manusia. Kalangan ISS menolak pendakatan ini dan meyakini bahwa manusia adalah pelaku aktif yang memahami, menciptakan, dan mengkonstruksi selalu tentang apa dan bagaimana masyarakat harus berjalan. Pendapat ini semakin diperkuat dalam CSS, yang melihat bahwa manusia pada hakekatnya adalah makhluk kreatif namun seringkali terperangkap oleh berbagai kesadaran palsu (ilusi).

Asumsi tentang Keilmuan yang Dikembangkan untuk Memahami Realitas Sosial

Bagian ini berkaitan dengan anggapan-anggapan dasar mengenai landasan ilmu pengetahuan yang harus dikembangkan untuk memahami manusia, yaitu bagaimana seorang peneliti harus memahami dunia sosial dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain. Implikasinya adalah apa saja bentuk-bentuk pengetahuan yang bisa didapat dan bagaimana memilah apa yang dikatakan benar dan salah.

Menurut pemahaman PSS, sebagaimana dalam ilmu alam, digunakan pandangan deterministik mengenai sifat manusia. Karena itu, penelitian yang dilakukan adalah untuk mengungkap apa hukum-hukum kausalitas yang berperan dalam satu masyarakat. Hal ini berbeda dengan ISS yang berupaya memahami dan menjelaskan makna dari aksi sosial, sedangkan pendekatan CSS berupaya menghilangkan berbagai mitos dan berupaya menggerakkan masyarakat untuk berubah secara radikal. Kalangan ISS dan CSS meyakini bahwa realitas sosial yang sesungguhnya bukanlah kenyataan visual yang dapat dilihat oleh indera, tetapi pada “ruh” yang hidup di belakangnya.

Khusus berkenaan dengan common sense, kalangan PSS dapat membedakan secara tegas dengan ilmu sosial, dan menolak keberadaan common sense dalam ilmu sosial. Sebaliknya, ISS menghargai common sense sebagai sesuatu yang riel berperan dalam dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini erat kaitannya dengan sikap terhadap nilai (value). Kalangan PSS secara tegas menyatakan bahwa ilmu sosial haruslah bebas nilai, sedangkan ISS dan CSS melihat bahwa nilai yang dimiliki seorang peneliti (posisi peneliti) merupakan hal yang penting untuk memahami realitas sosial. Secara lebih tegas, dalam CSS dikatakan bahwa ilmu mestilah berawal dari ketegasan posisi nilai. Posisi nilai yang dipegang seorang peneliti hanya dapat dikategorikan atas dua kemungkinan, yaitu ”benar” atau ”salah”.

Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti yang menggunakan pendekatan positivis berupaya menemukan ketepatan variabel-variabel yang ditelitinya, serta metode yang jelas sedemikian rupa sehingga peneliti lain dapat mengulanginya jika perlu. Sebaliknya, pada penelitian dengan pendekatan interpretatif, bukti-bukti penelitian melekat dalam konteks masyarakat yang diteliti. Peneliti haruslah berupaya memahami (verstehen) apa yang terjadi dan menilainya menurut cara pandang masyarakat yang diteliti.

Seorang peneliti dengan pendekatan positivis berupaya melakukan deduksi dengan berpedoman pada hipotesis-hipotesis. Peneliti positivis telah siap dengan rencana penelitiannya jauh sebelum ia mendatangi objeknya. Hal ini tidak berlaku bagi kalangan interpretatif, karena peneliti harus memulai dengan melakukan observasi awal secara langsung di lapangan sehingga paham apa masalah utama masyarakat yang akan ditelitinya. Fokus penelitiannya sangat tergantung dari observasi awal ini. Beda lagi dengan peneliti dengan pendekatan kritis, karena ia harus memulai dengan mempelajari sejarah dan kondisi masyarakat dalam rentang yang lebih luas (makro). Peneliti kritis berupaya mengungkap berbagai ketimpangan dan ketidakadilan menurut ukuran-ukuran moralitas.

Sebagaimana dinyatakan Neuman (2000: p. 84) pada bagian kesimpulan, tidak dapat dikatakan mana pendekatan yang paling benar dari ketiga pendekatan yang diuraikan di atas. Bahkan ketiganya pun saat ini masih dalam kondisi berkembang yang membutuhkan penyempurnaan terus menerus.

Daftar Bacaan:

Neuman, W Laurence. 2000. Social Research Methods Qualitative and Quantitative Approaches. 4th edition. Needham Heights.

Creswell, Jhon W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. Sage Publication. Londeon, New Delhi.

******

Beberapa catatan dan contoh dalam penelitian Kuantitatif

Kaitan positivism, post-positivism, dan metode kuantitatif.

Dari berbagai buku yang dijadikan referensi, hanya sedikit yang secara tegas menyatakan bahwa penelitian kuantitatif hanya untuk paradigma positivism, sedangkan penelitian kualitatif sesuai untuk post-positivism. Di antaranya, Amir (2004) menyebut bahwa positivism merupakan perspektif yang melingkupi penelitian kuantitatif; sedangkan Denzim (dalam Salim, 2006) dan Creswell (2007) menyebut pula secara tegas bahwa post-positivism diaplikasikan dalam riset dengan pendekatan kualitatif.

Secara umum dapat dikatakan, antara positivis dan post-positivism lebih banyak memiliki kesamaan dibandingkan perbedaan. Beberapa kesamaanya adalah sama-sama merasa sebagai good science, merasa lebih bebas bias dan sikap subjektif, dan menuduh post-modernism sebagai serangan terhadap rasio dan kebanaran. Dari sisi tujuan riset, keduanya juga bermaksud melakukan eksplanasi, yaitu meramalkan dan mengendalikan gejala. Menurut Creswell (2007), dalam post-positivism masih dilakukan reduksionis, mengutamakan hubungan logis, mengandalkan data empiris, berorientasi pada sebab dan akibat, serta menekankan teori. Artinya, dalam post-positivism masih sangat kental pendekatan kuantitatif.

Dari berbagai referensi lain, terlihat kecenderungan yang kuat bahwa penelitian kuantitatif berada dalam paradigma ilmu positivism. Hal yang belum disebutkan secara jelas adalah apakah post-positivism harus dilakukan dalam penelitian kualitatif saja ataukah bisa pula dengan kuantitatif. Sikap yang belum sepaham ini disebabkan karena dibandingkan dengan perspektif interpretatif, konstruksionis, dan kritis; post-positivism masih dekat dengan positivism. Untuk paradigma interpretatif, konstruksionis dan kritis disepakati bahwa penelitian kualitatif merupakan hal yang sesuai.

Ada beberapa alasan mengapa penelitian kuantitatif tidak dapat dijalankan pada paradigma post-positivism, salah satunya adalah karena nilai merupakan hal yang “masih” dipertimbangkan dalam post-positivism (Salim, 2006). Dengan kata lain, post-positivism tidak bebas nilai (=”gayut nilai”). Hal ini merupakan sesuatu yang ditolak dalam penelitian kuantiatif yang bebas nilai.

Pendekatan positivism berawal dari August Comte yang mengembangkan Sosiologi Positif sebagai paradigma pokok ilmu sosial dengan bertolak dari realitas sosial secara empiris. Hal ini terpengaruh oleh perkembangan dari ilmu-ilmu alam. Namun, positivisme juga berkembang sebagai respon dari kelemahan pendekatan filsafat yang bersifat spekulatif. Dalam perspektif positivism semua pengetahuan harus terbukti lewat bukti yang diperoleh melalui pengamatan secara sistematis. Peneliti dan objek yang diteliti harus memiliki jarak sedemikian rupa. Karena itu, segala pendapat yang tidak bisa diverifikasikan secara empiris tidak diterima dalam pendekatan ini.

Disamping berbagai persamaan, antara positivism dan post-positivism juga memiliki banyak perbedaan. Dalam hal pandangan tentang realitas (ontologis), positivisme memandang realitas dipersepsikan secara naif, realistis, dan kritis. Realitas ada di luar (out there) dan dapat ditangkap, dipelajari, dan dipahami. Sikap post-positivisme tentang realitas sama dengan positivism, namun bedanya adalah post-positivism memandang bahwa realitas tidak akan dapat dipahami sepenuhnya, hanya dapat dihampiri (Salim, 2006). Realitas diakui sebagai memang ada dalam kenyataan sesuai hukum alam – tidak dalam pikiran sebagaimana interpretatif misalnya – namun mustahil bagi peneliti melihat realitas tersebut secara benar. Post-positivitisme disebut memandang realitas sebagai critical realism. Disini terlihat bahwa perbedaan antara positivism dan post-positivism tidak banyak.

Dalam hal epistemologi, positivism menggunakan prinsip dualistik-objektif, dimana peneliti dan objek tidak saling mempengaruhi. Sedangkan post-positivism menolak prinsip dualisme namun tetap menerima prinsip objektif, meskipun objektivisme diyakini tidak selalu berhasil dicapai dengan memuaskan (Salim, 2006). Lebih jauh dalam Neuman (2000) disebutkan bahwa pendirian epistemologis kalangan positivism didasarkan pada pendekatan yang digunakan dalam ilmu alam, hanya berbeda dalam istilah yang digunakan. Hipotesa mengenai realita sosial dibuktikan melalui penelitian eksperimen. Dapat pula dikatakan bahwa pendekatan potivis bersifat nomotetis karena menggunakan seperangkat teknik dan prosedur yang sistematis dalam penelitian dan teknik kuantitatif untuk menganalisis data.

Dari sisi metodologi, Amir (2004) menyebutkan bahwa dalam positivism, riset dilakukan untuk mennangkap realitas sosial, serta menjelaskan penyebab dan akibat dari perilaku manusia. Dalam konteks ini, maka ditolak penelitian kualitatif untuk positivism karena kualitatif menerapkan metode dan prosedur yang tidak ketat.

Perbedaan rancangan penelitian dengan metode Kuantitatif dan Kualitatif

Topik utama: organisasi sosial (social organization)

Topik dalam penelitian kuantitatif:
”Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas organisasi milik petani dan efektifitasnya dalam pengembangan agribisnis”.

Topik dalam penelitian kualitatif:
“Organisasi petani sebagai bentuk perlawanan terhadap kooptasi negara dan intervensi ekonomi kapitalis”.

Penjelasan:

Penelitian kuantitatif dan kualitatif berbeda dalam banyak hal, namun sesungguhnya saling melengkapi. Perbedaan utama misalnya pada sifat data. Penelitian kuantitatif menggunakan hard data (angka) sedangkan penelitian kualitatif menggunakan soft data (kata, gambar, dll). Dengan melakukan riset dengan kedua topik di atas misalnya, maka akan diperoleh pemahaman tentang organisasi petani dari dua sisi yang berbeda namun saling melengkapi. Pada penelitian kuantitatif seperti contoh di atas akan dapat dipahami kondisi internal dalam organisasi petani, sedangkan dengan penelitian kualitatif akan diperoleh hal-hal berkaitan dengan posisi dan peran organisasi petani pada dinamika struktur ekonomi dan politik lokal.

Perbedaan lain adalah dalam hal asumsi kehidupan sosial (social life) dan perbedaan tujuan. Tujuan berupa eksplorasi umum dilakukan dalam peneltian kualitatif, sedangkan penelitian kuantitatif utamanya dilakukan untuk tujuan deskripsi dan eksplanasi. Dengan memahami berbagai sisi dari organisasi petani dalam penelitian kualitatif dalam tujuan eksplorasi, maka diperoleh berbagai konsep, varibel dan indikator yang selanjutnya dapat diterapkan dalam penelitian kuantitatif. Dengan demikian, pemahaman kita tentang organisasi petani menjadi kaya, dan kita dapat menyusun berbagai teori yang telah teruji kehandalannya.

Dalam hal menetapkan topik, menurut Neuman (2000), pada intinya yang harus dilakukan adalah mempersempit topik. Dalam konteks ini, ada perbedaan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif. Peneliti kuantitatif harus secara cepat memfokuskan dan menyusun pertanyaan spesifik di awal kegiatan saat menyusun proposal, sedangkan pada peneliti kualitatif bisa lebih fleksibel dan agak lambat melakukan fokus. Ia dapat melakukan proses fokusisasi (focussing) saat studi dijalankan.

Pada kalimat judul pada penelitian kuantitatif (yang menjelaskan topik) terbaca secara tidak langsung variabel utama yang digunakan, namun tidak pada penelitian kualitatif. Khusus untuk penelitian kuantitatif, untuk mempersempit topik dapat dicapai dengan mempelajari literatur lebih jauh, diskusi dengan pihak yang sesuai, memperkecil konteks (membatasi rentang waktu, geografis, dll.), atau dengan menetapkan tujuan penelitian.
Sementara dalam penelitian kualitatif, fokus terbentuk karena melakukan studi kasus (cases) dan mempersempit konteks. Dari konteks sosial yang telah sempit tersebut baru dikembangkan konsep-konsep dan teori. Cara lain adalah dengan melakukan komparasi, yaitu melakukan studi dengan objek yang sama pada beberapa lokasi.

Posisi dan Penggunaan teori dalam penelitian kuantitatif.

Peranan teori dalam penelitian kuantitatif sangat penting, tidak sebagaimana dalam penelitian kualitatif. Teori merupakan kerangka penelitian secara keseluruhan dalam penelitian kuantitatif. Lebih detail disebutkan Creswell (1994) bahwa pada hakekatnya riset kuantitatif adalah menguji teori, hipotesa dan pertanyaan disusun dari teori, operasionalisasi konsep dan variabel juga diturunkan dari teori, dan instrumen yang dipakai untuk mengukur variabel juga berasal dari teori-teori yang digunakan atau diacu. Ulasan dan review terhadap teori dapat diposisikan secara terpisah tersendiri, namun dapat pula dimuat di bagian pendahuluan, tinjauan pustaka, setelah pernyataan hipotesa, sebagai pengantar pertanyaan penelitian, dan tentu saja di bagian pembahasan. Jadi, teori merupakan isi dan jiwa dari penelitian kuantitatif itu sendiri. Keberhasilan dan kegagalan penelitian kuantitatif sangat tergantung kepada bagaimana peneliti bersangkutan melakukan review dan memahami teori yang sesuai dengan kegiatan risetnya. Kesalahan dalam memilih dan menerapkan teori berimplikasi kepada kesalahan menggunakan variabel, sehingga salah pula dalam menyusun hipotesa.
Akibatnya, penarikan kesimpulan pun menjadi salah pula, atau tidak berguna karena tidak dapat menyumbangkan apapun pada ilmu pengetahuan.

Menurut Neuman (2000), teori sosial (social theory) adalah sistem yang saling menghubungkan abstraksi atau ide yang diorganisasikan untuk ilmu pengetahuan berkenaan dengan dengan dunia sosial (social world). Sementara menurut Punch (2006), teori adalah separangkat proposisi yang secara bersama-sama mendeskripsikan dan menerangkan (explain) fenomena yang diteliti. Lebih jauh, menurut Kerlinger (1979: dalam Creswell (1994) teori adalah serangkaian variabel, difinisi dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis tentang fenomena dengan menyatakan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena ilmiah. Variabel-variabel (bebas, terikat, mediasi) menjadi hipotesa dan pertanyaan penelitian, yang menyatakan jenis hubungan (positif, negatif) dan ukuran (rendah, tinggi).
Teori dinyatakan dalam kalimat “jika-maka” atau secara visual. Dalam penelitian kuantitatif kedudukan teori sangat penting. Teori digunakan secara deduktif dan diposisikan di awal penelitian. Hakekat penelitian kuantitatif adalah untuk menguji teori, dibandingkan dengan tujuan pengembangan teori. Review dan penerapan teori merupakan langkah yang sangat krusial. Menurut Punch (200) teori yang diacu dalam riset kuantitatif dapat berupa metateori (berkenaan dengan paradigma dan perspektif) serta teori substantif (deskripsi dan eksplanasi).

Peran teori dalam sebuah penelitian tergantung kepada dua pertanyaan utama, yaitu apakah teori untuk mendeskripsikan atau lebih jauh untuk eksplanasi; atau apakah bermaksud untuk verifikasi teori ataukah menciptakan (generation) teori (Punch, 2006). Deskripsi lebih terbatas dari eksplanasi. Kita dapat hanya melakukan deskripsi tanpa eksplanasi, namun tidak sebaliknya. Eksplanasi merupakan kegiatan yang lebih jauh dari deskripsi. Deskripsi berkenaan dengan pertanyaan what, sedangkan eksplanasi untuk menjawab pertanyaan why dan how.

Penelitian kuantitatif umumnya adalah untuk menguji teori, yaitu menguji hipotesis yang diturunkan dari teori-teori yang menjadi landasan berfikir. Penciptaan teori lebih banyak dihasilkan dalam riset kualitatif terutama pada pendekatan grounded research. Khusus untuk penelitian kuantitatif, dalam proses penciptaan teori baru dilakukan verifikasi (atau falsifikasi) teori lama terlebih dahulu. Jadi, bukan tidak mungkin dalam penelitian kuantitatif juga bisa dihasilkan suatu teori baru.

Contoh proposal disertasi dengan metode kuantitatif

Judul:
”Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Petani dalam Mengorganisasikan Kegiatan Agribisnis Pedesaan: Penerapan Prinsip Rasionalitas dalam Membangun Organisasi Formal Petani”

(1) Latar Belakang

Membangun organisasi formal baik baru ataupun bukan merupakan pendekatan pokok yang lazim digunakan dalam menjalankan program-program pembangunan di pedesaan baik. Dalam menjalankan program, peserta program disyaratkan untuk berkelompok dalam sebuah organisasi formal. Pembangunan organisasi formal tersebut berguna selain untuk mendistribusikan bantuan berupa material atau uang tunai, juga sebagai wadah interaksi antara pelaksana program dengan peserta dan antar peserta.

Permasalahan yang dijumpai di selama ini adalah, bahwa keberadaan kelompok-kelompok penerima seringkali tidak mampu berkembang sesuai dengan harapan sehingga tidak mampu mendukung pencapaian tujuan program secara memuaskan. Kondisi keorganisasian kelompok-kelompok tersebut lemah, sehingga alih-alih mempercepat pencapaian tujuan program justeru telah menjadi faktor penyebab kegagalan pelaksanaan program secara keseluruhan.

Sampai saat ini pemahaman tentang bagaimana permasalahan dan penyebab kegagalan tersebut belum banyak dipahami. Kesadaran dan pemahaman para pengambil kebijakan berkenaan dengan hal ini juga tidak semakin berkembang.

Di sisi lain, masyarakat pedesaan telah berkembang dinamis dimana perkembangan pendidikan, ekonomi dan politik lokal telah membentuk suatu karakter sosial, ekonomi, dan politik tersendiri. Hal ini menuntut pengembangan keorganisasian yang sesuai. Ekspansi ekonomi pasar ke pedesaan membutuhkan bentuk-bentuk pengorganisasian mayarakat yang efisien dan mampu bersaing, serta harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik komoditas yang dikembangkan serta karakter pasar yang berkembang. Rekayasa kelembagaan (dengan membangun organisasi-organisasi) pada tingkat petani, baik sebagai pembudidaya, pengolah, maupun pelaku pemasaran; membutuhkan pemahaman secara sosiologis yang mendalam.
Dalam menggerakkan ekonomi, dalam hal ini agribisnis, para petani diharuskan menjalin relasi-relasi sosial dengan berbagai pihak. Relasi tersebut berupa relasi horizontal yaitu dengan sesama petani, dan relasi vertikal dengan pemasok sarana produksi, permodalan, dan teknolgi serta dengan pelaku pengolahan dan pedagang hasil pertanian. Untuk itu setiap petani memiliki berbagai bentuk pilihan yaitu relasi yang bersifat individual atau relasi kolektif melalui organisasi-organisasi formal atau non formal.

Dalam keorganisasian, pertimbangan utama adalah membangun relasi yang efisien dan efektif. Petani menggunakan seperangkat informasi yang diperolehnya lalu dianalisa dan diputuskan secara rasional. Karena itu, apa yang rasional menurut petani, sangat berbeda tergantung kepada informasi yang dimiliki, kondisi sosial ekonomi, keberadaan kelembagaan lokal, dan lain-lain. Pengorganisasi usaha petani cenderung spesifik. Karena itulah, menurut Taylor dan Mckenzie (1992) pentingnya inisiatif lokal dihargai dalam penguatan keorganisasian petani. Upaya pemberdayaan dengan prinsip sentralisasi, deterministik, dan homogen semestinya dihindari. Organisasi petani seharusnya dibangun dan dikelola dengan lebih mengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan semangat pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005).

(2) Pokok Permasalahan

Penelitian ini bertolak dari permasalahan berikut, yaitu: Pertama, permasalahan terkait dengan penerapan konsep dan teori dalam pembentukan dan pengembangan organisasi petani di pedesaan:
a. Kalangan penyusun kebijakan tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang konsep dan teori pengembangan organisasi, sehingga lemah dalam penetapan proses pengembangan, pendekatan dalam pendampingan, indikator penilaian kemajuan, serta variabel dan analisis dalam mempelajari kondisi organisasi petani.
b. Konsep dan teori yang selama ini digunakan dalam penyusunan kebijakan lemah dan tidak didasarkan kepada kondisi sosial ekonomi dan rasionalitas masyarakat pedesaan secara spesifik. Pemahaman yang lemah berakibat kepada ketidaktepatan proses penumbuhan organisasi petani, indikator dalam menilai kemajuannya, langkah-langkah dalam meningkatkan kapasitas organisasi, serta solusi yang diambil dalam menyelesaikan permasalahan yang ditemui.
c. Konsep dan teori yang telah digunakan dalam penyusunan kebijakan tersebut memiliki implikasi kepada lemah dan gagalnya pembentukan dan pengembangan keorganisasi masyarakat pedesaan dalam menjalankan agribisnis.

Kedua, permasalaan terkait dengan proses pengembangan keorganisasian petani di pedesaan:
a. Pembentukan dan pengembangan organisasi petani selama ini lemah dan tidak mampu berperan sebagai mana mestinya.
b. Pembentukan dan pengembangan organisasi yang lemah disebabkan oleh kelemahan dan ketidaksesusaian konsep dan teori yang digunakan dengan prinsip-prinsip rasionalitas petani di pedesaan.
c. Lemahnya kondisi organisasi milik petani juga disebabkan karena kurang mempertimbangkan latar belakang sosial, ekonomi, dan politik masyarakat setempat, serta karakter dari jenis usaha yang dikembangkan petani.

(3) Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian adalah mendapatkan faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh petani dalam memilih untuk menjalankan kegiatannya dalam organisasi formal. Dengan kata lain, ingin dipahami bagaimana rasionalitas yang dimaknai dan dijalankan petani dalam kegiatan usahanya. Secara lebih detail tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendapatkan faktor-faktor dalam diri individu petani yang dijadikan pertimbangan dalam membuat keputusan keterlibatannya dalam organisasi formal.
2. Mendapatkan faktor-faktor berkenaan dengan karakteristik usaha (komersialisasi) yang mempengaruhi keterlibatan petani dalam organisasi formal.
3. Mendapatkan faktor-faktor berkenaan dengan kohesivitas sosial di masyarakat yang mempengaruhi keterlibatan petani dalam organisasi formal.
4. Mendapatkan faktor-faktor berkenaan dengan ketersediaan prasarana pelayanan dalam menjalankan usaha agribisnis sebagai hal yang mempengaruhi petani dalam keputusan keterlibatan dalam organisasi formal.

(4) Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan pokok yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah apa saja faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh petani dalam memilih untuk menjalankan kegiatannya dalam organisasi formal atau tidak (secara individual atau organisasi non formal) ? Dengan kata lain, bagaimana ciri rasionalitas yang dimiliki petani dalam kegiatan usahanya secara umum? Pertanyaan penelitian lebih detail adalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apakah dalam diri individu petani yang menjadi pertimbangannya untuk terlibat dalam organisasi formal?
2. Faktor-faktor apakah yang berkaitan dengan karakteristik usaha agribisnis yang dijalankan petani yang mempengaruhi keterlibatan petani dalam organisasi formal.
3. Faktor-faktor apakah yang berkaitan dengan kohesivitas sosial di masyarakat yang mempengaruhi keterlibatan petani dalam organisasi formal.
4. Faktor-faktor apakah yang berkenaan dengan ketersediaan prasarana pelayanan dalam menjalankan usaha agribisnis sebagai hal yang mempengaruhi petani dalam keputusan keterlibatan dalam organisasi formal.


Daftar Bacaan:

Amien, Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Amir, Marvasti B. 2004. Qualitative Research in Sociology. SAGE Publications; London, Thousand Oaks, New Delhi.
Creswell, John W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Approaches. Second edition. SAGE Publications; Tousand Oaks, London, New Delhi.
Creswell, Jhon W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. Sage Publication. Londeon, New Delhi.
Neuman, W Laurence. 2000. Social Research Methods Qualitative and Quantitative Approaches. 4th edition. Needham Heights.
Punch, Keith F. 2006. Developing Effective Research Proposal. Second edition. SAGE Publications; London, Thousand Oaks, New Delhi.
Salim Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Sumber Buku untuk Penelitian Kualitatif. Edisi kedua. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta.
Taylor, D.R.F. dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London Routledge. Chapter 1 dan 10.

*****

Marx: Kapitalis tak akan Sejahterakan Masyarakat

Buku Das Kapital, yang diterjemahkan menjadi Capital dalam bahasa Inggris atau Modal dalam Bahasa Indonesia adalah buku berisi pembahasan tentang ekonomi politik. Dalam buku ini Marx mengkiritisi kapitalisme dan aplikasi praktisnya dalam ekonomi. Dan juga, dalam bagian tertentu, merupakan kritik terhadap teori-teori terkait lainnya. Jilid pertamanya diterbitkan pada 1867.

Dalam buku Capital jilid 3, dimuat tentang bagaimana konversi nilai lebih (surplus value) menjadi keuntungan, dan kecepatan akumulasi nilai lebih yang sejajar dengan kecepatan akumulasi keuntungan. Marx juga menulis tentang hukum kecenderungan akan terjadinya penurunan keuntungan (The Law of the Tendency of the Rate of Profit to Fall).

Relasi antara komoditas dengan uang menjadi basis penjelasan Marx tentang sistem produksi kapitalis. Dalam analisis lebih jauh diuraikan berbagai bentuk ikutan dari kedua hal ini. Pada gilirannya ketika hasil produksi lalu menjelma menjadi kapital, maka kondisinya telah berkembang, dimana posisi kapital menjadi sangat sentral. Marx juga membedakan antara kapital komoditas (Commodity Capital), kapital berupa uang (Money Capital), kapital komersial (Commercial Capital) dan kapital yang berkaitan dengan uang (Money-Dealing Capital) atau disebut pula kepital perdagangan (Merchant's Capital).

Basis pokok kapitalisme adalah nilai lebih dari buruh

Komponen usaha industri kapitalisme setidaknya terdiri dari bahan baku, mesin, dan tenaga kerja. Namun, kekuatan pendorong utama kapitalisme berasal dari eksploitasi tenaga kerja, yang di sisi lain secara bersamaan juga menimbulkan alienasi. Sumber utama dari keuntungan serta nilai lebih (surplus value) bagi majikan adalah karena buruh-buruh dibayar di bawah upah seharusnya. Majikan menilai kapasitas kerja mereka menurut nilai pasar, padahal nilai komoditi yang dihasilkan oleh para buruh itu sesungguhnya melampaui nilai pasar. Kalangan majikan merasa berhak mengumpulkan nilai-nilai lebih itu untuk dirinya sendiri, karena merekalah pemilik alat-alat produksi (kapital) yang produktif. Dengan memproduksi output, dalam buku Capital disebut dengan commodity, para buruh terus-menerus mereproduksikan perkembangan kapitalisme. Mereka lah motor yang menjalankan kapitalisme, yakni melalui kerja dan hasil perkerjaan mereka.

Sebagaimana banyak disebut, bahwa ”Marx muda” memiliki sisi humanisme yang dalam, namun buku ini kurang membahas persoalan etis secara dalam. Penjelasan Marx sangat matematis untuk menjelaskan bagaimana hukum gerak (laws of motion) dari berjalannya sistem kapitalisme secara keseluruhan. Selain ia menjelaskan dari mana datangnya kapitalisme, Marx juga meramalkan masa depan kapitalisme yang menurutnya sangat suram. Secara detail Marx menjabarkan sebab-sebab dan dinamika dari akumulasi modal, pertumbuhan tenaga kerja upahan, transformasi kondisi kerja, konsentrasi modal, persaingan, dan sistem bank dan perkreditan. Ia juga menjelaskan bagaimana pada waktunya kapitalisme akan menghadapi tingkat keuntungan yang menurun. Kapitalisme akan hancur dengan sendirinya. Ada benih kehancuran dalam dirinya sendiri, bukan dari luar. Struktur relasi sosial yang tidak sehat antara majikan dan buruh adalah sumber utama kehancuran ini. Ketidakadilan bukanlah sesuatu yang dapat dipertahankan untuk tempo panjang, meskipun dalam jangka tertentu terlihat mampu menggerakkan ekonomi masyarakat.

Buku Capital ini merupakan sebuah tinjauan ekonomi politik. Maksudnya lebih kurang adalah bahwa, Marx yakin bahwa para ekonom politik dapat mempelajari hukum-hukum kapitalisme secara obyektif, karena perkembangan pasar dan kapitalisme pada kenyataannya telah mengobyektifikasikan sebagian besar hubungan ekonomi. Para pengamat atau ahli dapat membuat kalkulasi matematis untuk menjelaskan sistem kapitalis tersebut. Struktur ekonomi masyarakat merupakan suatu proses sejarah yang alami. Masyarakat sebagai sebuah entitas ekonomi terbentuk seolah mengalir saja sebelum orang-orang sadar bagaimana sistem aktivitas ekonomi tersebut telah menjadi tulang punggung struktur sosial ekonomi mereka secara lebih luas.
Marx mengupas secara panjang, dan memberikan penjelasan yang terkesan linier dan determinis, bagaimana kontradiksi-kontradiksi struktural tumbuh dalam masyarakat kapitalisme. Dualisme yang dikandung dalam masyarakat, terutama antara kalangan majikan dan kalangan buruh yang dominan dan dikuasai, selamanya akan menimbulkan kontradiktif. Itulah sumber konflik yang tak berujung. Ketidakadilan upah dan kondisi kerja - dan kondisi hidup - yang dialami buruh terus menerus, pada akhirnya memukul balik kalangan majikan. Fenomena kemiskinan di tengah kelimpahan kemajuan ekonomi adalah kondisi yang sangat labil.

Marx menggunakan ekonomi politik untuk menggambarkan hukum gerak masyarakat kapitalis. Dengan menguraikan bagaimana asal dan bertumbuhnya kapitalis, ia berusaha memberikan dasar ilmiah kenapa (perlu) lahir gerakan buruh. Ketimpangan yang lalu berimplikasi kepada konflik, dan akhirnya menjadi gerakan, merupakan sebuah keniscayaan yang sangat logis. Marx tidak melihat jalan lain yang akan terjadi selain keyakinannya tersebut, bahwa kapitalisme akan hancur dan digantikan komunisme. Komunisme diyakini Marx akan lebih memberikan kesejahteraan yang adil dan distributif untuk semua.

Sumber nilai lebih dan perannya sebagai motor kapitalisme

Nilai lebih merupakan suatu nilai yang ditambahkan oleh kapitalis terhadap produk yang dilemparkan ke pasaran, yang mana nilai tersebut pada awalnya merupakan keuntungan bagi si pemilik usaha. Sepintas ini terlihat sebagai kewajaran yang sudah semestinya. Namun, Marx yang kritis, mendapatkan bahwa hal ini adalah eksploitasi terhadap buruh. Kapitalis secara sengaja dan penuh perhitungan telah memanjangkan jam kerja buruh untuk memproduksi barang industri. Kapitalis sesungguhnya tetap dapat menjalankan usahanya dengan menguntungkan tanpa melakukan itu, karena dari mesin dan bahan baku sudah mampu menutupi biaya yang dikeluarkan.

Nilai lebih sesungguhnya diperoleh dari tenaga kerja. Mereka yang diperkerjakan oleh si pemilik modal itulah yang sejatinya menjadi sumber pendapatan. Dengan memperkerjakan buruh di bawah sistem industrinya, secara tidak langsung merupakan upaya menutup akses buruh dari relasi langsung dalam sistem pertukaran dengan pasar. Kapitalis menjual produk lebih tinggi. Nilai tersebut di atas nilai yang akan ditawarkan buruh, andaikan buruh itu sendiri yang menjualkannya langsung ke pasaran.

Kapitalis hanya perlu mencukupi kebutuhan hidup buruh pada level subsisten. Ini karena kapitalis hanya perduli pada kapasitas tenaga kerja buruh, bukan diri buruh itu sendiri. Upah harus sedemikian sehingga buruh tidak sakit dan produktivitas kerjanya tidak menurun. Upah yang lebih besar dari itu dikhawatirkan akan membuat buruh akan mampu membuka usaha sendiri, sedangkan jika lebih kecil dari itu membuat buruh tidak produktif.

Nilai lebih dikategorikan Marx sebagai variable capital, yaitu suatu kapital yang besarnya bisa dirubah-rubah, dapat dinaikkan dan diturunkan, sesuai dengan kondisi pasar produk. Bila buruh berkerja lebih produktif, berarti nilai modal variabel menjadi rendah. Dengan demikian, terjadilah eksploitasi tenaga kerja oleh kapitalis.

Bagi kapitalis, kemampuan tenaga kerja (labor-power) merupakan elemen penting yang menentukan proses tenaga kerja (labor process). Tanpa tenaga kerja, apa-apa yang dimiliki kapitalis (mesin dan bahan baku) hanyalah sampah. Dengan demikian, labor-power merupakan sebuah komoditas. Makna demikian muncul dari dua fakta yaitu bahwa buruh berkerja di bawah otoritas majikan, dan hasil kerja sepenuhnya adalah milik majian. Buruh teralienasi dari hasil kerjanya. Proses produksi pada hakekatnya adalah sintesis dari labor process dan proses penciptaan nilai tambah.

Kecepatan bertumbuhnya nilai lebih salah satunya tergantung pada derajat eksploitasi terhadap labor-power. Apabila proses produksi pertama dapat dituliskan dalam rumus C = c + v, maka pada giliran berikutnya telah berubah menjadi C’ = (c + v) + s. Ada nilai lebih (s) yang telah diciptakan dari proses pertama tadi. Demikian seterusnya.

Pada gilirannya, nilai lebih akan menjelma menjadi kapital. Kapital bersama-sama dengan tenaga kerja buruh yang lalu menciptakan nilai lebih, pada giliran berikutnya nilai lebih tadi telah meningkatkan besaran kapital si majikan. Pola ini bahkan telah menjadi strategi kapitalis untuk mengekspansi usahanya. Untuk mempercepat ekspansi usahanya, artinya ia butuh kapital lebih besar, maka ia harus menciptakan nilai lebih secara lebih besar. Tenaga buruhlah yang semakin dieksploitasi untuk mencapai itu semua.

Proses produksi kapitalis secara sederhana dapat dijelaskan melalui rumusan C=c+v+s. Penumpukan kapital diperoleh melalui bagaimana majikan menetapkan harga pokok. Sejatinya harga pokok (cost price) adalah biaya mesin, bahan baku, ditambah upah tenaga kerja. Artinya, jika hanya untuk memenuhi kebutuhan usaha yang dijalankannya, dengan menjumlahkan biaya dari ketiga komponen itu saja si pemilik usaha tidak akan rugi. Namun, jika hanya demikian, ia tidak memperoleh nilai lebih. Ia tidak akan dapat mengakumulasi kapital, dan akibat lebih jauh usahanya pun tidak akan memperoleh ekspansi.

Jadi, sekalipun nilai lebih (s) pada hakekatnya hanya merupakan suatu tambahan pada kapital variabel, namun sekaligus juga merupakan suatu tambahan nilai pada c+v. Artinya, nilai lebih adalah tambahan terhadap seluruh kapital yang dikeluarkan dalam proses produksi. Rumusan c+(v+s) yang menandakan bahwa s diproduksi dengan mentransformasi nilai kapital v tertentu yang dikeluarkan dimuka berupa tenaga kerja menjadi suatu besaran variabel, dapat juga digambarkan sebagai (c+v)+s. Nilai-lebih merupakan suatu tambahan tidak saja pada bagian kapital yang dikeluarkan di muka (investasi), tetapi juga pada bagian yang tidak memasuki proses ini. Yaitu suatu tambahan nilai tidak saja pada kapital yang digunakan yang telah diganti dari harga pokok komoditi itu, melainkan juga kapital yang digunakan untuk produksi pada umumnya. Kecerdikan kapitalis terlihat dalam proses ini.

Dalam proses ini, nilai lebih pada hakekatnya adalah juga laba usaha. Laba ini akan menjadi kapital jika ia diinvestasikan untuk proses produksi selanjutnya, kecuali kapitalis mengkonsumsinya atau menikmatinya dengan membeli barang konsumsi. Namun watak kapitalis tidak demikian. Ia akan terus mengekspansi usahanya, dan laba inilah kapitalnya untuk mencapai itu. Rumusan dari laba berasal dari C= c+v+s= k+s, lalu diubah menjadi rumusan C=k+p. Marx menyebutkan bahwa laba yang diperoleh tidak berasal dari produksi. Hal ini tentu saja berbeda dengan alasan pembelaan kapitalis. Bagi Marx, jika laba berasal dari produksi, maka ia akan termasuk didalam ongkos produksi dan tidak akan menjadi suatu kelebihan di atas dan melampaui ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan. Laba tidak dapat berasal dari pembayaran komoditi, kecuali ia sudah hadir sebelum terjadinya pembayaran. Demikian rasionalitas yang disampaikan Marx.

Dari uraian di atas terlihat betapa Marx berupaya menunjukkan darimana ia bisa membangun rumusannya tentang apa itu sistem kapitalis, dan kenapa ia menyebut sistem ini tidak adil. Marx menjabarkan dengan rinci bagaimana kompleksitas proses produksi, yang pada hakikatnya merupakan ranah material belaka. Marx berusaha mengalihkan pendapat para ahli di zaman itu, yang sebagian begitu terpeson dalam memandang kapitalisme.

Bahwa sistem kapitalisme ini menyimpan ketidakadilan, eksploitasi, dan kebobrokan juga ditunjukkan Marx dengan gamblang melalui analisisnya tentang bagaimana berbagai komponen material berelasi dan berproses dalam sistem produksi. Komponen material tersebut adalah mesin, bahan baku, dan tenaga kerja; sedangkan komponen aktornya adalah buruh dan majikan si pemilik usaha. Marx sangat pesimis dengan sistem kapitalisme, karena sistem ini hanya memberikan kehidupan yang amat buruk pada buruh. Bahkan bagi majikan kapitalis sendiri, sistem ini pun bukan lah sistem yang terbaik, karena sistem ini akan segera menuju kehancuran. Kehancuran berupa kebangkrutan akan dirasakan oleh semua pihak, termasuk bagi kalangan majikan kapitalis sendiri.

Kritik Stiglitz terhadap sistem kapitalisme modern

Prediksi Marx sejak seabad lalu tentang keruntuhan kapitalisme tampaknya tidak terjadi secara hitam putih. Saat ini kapitalisme tetap berkembang sedemikian rupa dan menjiwai berbagai segi kehidupan. Globalisasi menyebabkan dunia semakin mudah terkoneksi berkat revolusi informasi dan komunikasi. Kapitalisme ala Amerika dengan cepat disebarkan ke seluruh dunia. Ini yang menjadi titik perhatian Stiglitz.
Stiglitz yang sebelumnya adalah pelaku langsung kapitalisme, berbalik mengkritiknya. Ia memaparkan berbagai kebohongan dan kebinasaan yang dihasilkan praktek kapitalisme, terutama kapitalisme yang “dipimpin” oleh AS. Namun Stiglitz, sebagaimana gaya intelektual Amerika umumnya, memberi berbagai saran pragmatis. Ia secara agak seimbang melihat sisi positif dan negatif kapitalisme. Kapitalisme memang banyak membawa dampak negatif, namun negara-negara berkembang masih dan mesti dapat memaksimalkan manfaatnya sembari meminimalkan dampak negatifnya.

Ekonomi ala kapitalisme tak terhindarkan, namun tidak berarti bahwa peluang sudah tertutup sama sekali. Kapitalisme dan globalisasi dapat atau berpotensi, untuk mensejahterakan setiap orang di dunia ini. Tetapi untuk mencapai tujuan itu caranya harus diubah secara radikal, dan jangan sekali-kali meniru kapitalisme ala Amerika. Apa yang berhasil di Amerika, tidak relevan untuk dipraktekkan di negara-negara dengan kondisi yang sangat berbeda,

Satu kesamaan dengan Marx, dimana kapitalis menerapkan pola M-C-M, Stiglitz juga mencela paradigma industri perbankan yang lebih senang bermain memutar kapital melalui selisih bunga bank ketimbang memperoleh margin melalui penyaluran kredit ke sektor riel. Uang menjadi awal dan tujuan bisnis perbankan.
Dengan menganalisis kondisi ekonomi dunia pada dekade 90-an, Stiglitz memperlihatkan kekeroposan basis perekonomian AS dan dunia. Dari data yang diungkapkannya, Stiglitz tidak melihat bahwa kapitalisme akan dapat mensejahterakan warga dunia. Kritik ini persis seperti pendapat Marx. Bedanya adalah, Marx melihat kapitalisme akan runtuh total dan diganti sistem sosialis-komunis, sedangka Stiglitz masih berharap ada peluang dalam kapitalisme. Menurutnya, kapitalisme masih dapat bermanfaat, asalkan disikapi dengan tepat.

Yunus mematahkan mitos konsep kapitalisme

Hampir sama dengan Siglitz, Muhammad Yunus juga mengkritik kapitalisme yang tidak memberi manfaat adil kepada semua, apalagi kepada kalangan miskin. Namun, Yunus lebih jauh dari Stiglitz, selain mengkritik ia pun bertindak dan menunjukkan bahwa prinsip dan cara kerja yang berlawanan dengan jiwa kapitalisme justeru mampu memberi kesejahteraan.

Yunus memberikan kredit kepada kaum miskin dengan pendekatan yang terbalik sama sekali dengan pendekatan kaum kapitalisme modal. Usahanya memberdayakan kaum miskin di Bangladesh mulai sejak tahun 1974 dengan mengembangkan program kredit mikro tanpa agunan. Cara ini tentu sesuatu yang tidak masuk akal bagi kalangan kapitalisme. Untuk menjamin pengembalian pembayaran, Bank Grameen menggunakan sistem yang dinamakan grup solidaritas. Kelompok kecil ini bersama-sama mengajukan pinjaman, dan menanggungnya secara bersama. Ada tekanan sosial di dalamnya yang memaksa si peminjam malu dan takut jika tidak mengembalikan. Paradigma Bank Grameen adalah “semua orang berpotensi baik”, sedangkan paradigma bank kapitalis adalah “semua orang berpotensi buruk” maka ikatlah mereka dengan jaminan (colateral). Jaminan yang diserahkan ke pihak perbankan menjadi senjata bank untuk menakuti-nakuti dan mengancam peminjam agar patuh mengembalikan pinjamannya tepat pada waktunya.

Pendekatan pemberdayaan Yunus ini berkembang pesat di Bangladesh dan dipraktekkan juga di banyak negara, bahkan di Amerika yang merupakan jantungnya ekonomi kapitalis. Bank Dunia yang sebelumnya meremehkan ikut mengadopsi dan mempraktekkan di berbagai lokasi.

Yunus dan Grameen Bank telah memutarbalikkan cara berfikir kaum kapitalis dalam mengelola perbankan, dan menyebarkan kesejahteraan secara lebih hakiki yakni ke golongan miskin yang selama ini selalu tersingkir dari sistem ekonomi kapitalisme. Yunus menunjukkan bagaimana lembaga perbankan berkerja semestinya, yaitu memberikan kesejahteraan kepada peminjam, namun juga tetap mampu berkembang. Ini dapat dimaknai sebagai sebuah “win win solution” dari kebuntuan kalangan perbankan dalam memberikan kredit kepada golongan miskin selama ini.

Muhammad Yunus telah berhasil memutarbalikkan cara berfikir dan pendekatan perbankan kapitalis dalam menyebarkan modal di tengah masyarakat. Tekanan-tekanan dan relasi sosial dalam kehidupan berkelompok sebagai penjamin pengembalian hutang dan penggunaan pinjaman merupakan sebuah pendekatan sosiologis yang cerdik. Berapa besar kelompok yang sesuai sehingga tekanan tersebut berjalan efektif merupakan usaha yang juga tidak mudah, dalam upaya menghindari penunggang bebas (free rider) yang menjadi kendala selama ini dalam efektivitas tindakan kolektif.

Bacaan:

Marx, Karl. 1894. Capital: A Critic of Political Economy. Volume 3. Penguin Classics and New Left Review. Translated by David Frenbach.

Mills, C. Wright. 1962. The Marxist. Dell Publishing Co. Dalam: Ransford. Social Stratification.

Stiglitz, Joseph. 2006. Dekade Keserakahan: era 90-1n dan awal mula petaka ekonomi dunia. Penerbit Marjin Kiri. Judul asli: ”The Roaring Nineties, Towards a New Paradigm in Monetary Economics”.

Turner, Jonathan H. dan Leonard Beeghley. 1981. The Emergence of Sociological Theory. The Dorsey Press, Homewood Illinois dan Irwin-Dorsey Limited, Georgetown, Ontario.

Yunus, Muhammad. 2003. Bank Kaum Miskin. Penerbit Marjin Kiri. Penerjemah: Irfan Nasution.

*****

Kamis, 28 Oktober 2010

Catatan tentang Emile Durkheim

The Rules of Sociological Method

Dalam paper ini dibahas secara ringkas isi buku Emile Durkheim yaitu ”The Rules of Sociological Method”, yang merupakan buku penting yang memberi pengaruh besar pada terbangunnya metodologi dalam ilmu sosiologi saat ini. Paper ini berisi apa yang dimaksud dengan fakta sosial dan bagaimana melihat atau mempelajari fakta sosial. Namun, sesuai dengan pembagian tugas yang disepakati, paper ini hanya memuat ulasan secara terbatas, yaitu hanya bab 1, 2 dan 6 dari buku tersebut.

Fakta sosial sebagai objek ilmu sosiologi

Durkheim berupaya membangun ilmu sosiologi, sebagai upaya memisahkannya dengan ilmu filsafat, psikologi, dan sejarah. Untuk itu, metodologi yang khas sosiologi, yang tidak meniru metodologi ilmu lain, menjadi langkah pertama atau sebagai basis dari upaya ini. Karena itulah, ia memandang penting untuk menyusun buku The Rules of Sociological Method. Namun sebelum membicarakan bagaimana melakukan studi atau bagaimana mempelajarinya, ia menjelaskan terlebih dahulu apa itu fakta sosial.
Fakta sosial adalah inti perhatian Durkheim. Baginya, untuk mempelajari sebuah masyarakat cukup dengan melihat fakta-fakta sosial yang terdapat di masyarakat tersebut. Dan, untuk menjelaskan seuah fakta sosial haruslah dengan fakta sosial pula.

Ciri yang paling utama dari fakta sosial adalah eksternal, atau berada di luar individu. Ia tercipta ketika manusia saling berinteraksi. Untuk melihatnya pun tidak bisa dengan hanya melihat individu per individu. Ia berada di luar individu, namu ia adalah sesuatu yang nyata. Ini penting, karena bagian ini merupakan upaya Durkheim untuk menyatakan bahwa ini adalah sungguh-sungguh suatu objek ilmiah. Durkheim menyebut bahwa fakta sosial adalah ”sesuatu” (”things”) yang riel. Ia bukanlah ide atau gagasan belaka.
Sifat lain dari fakta sosial adalah memaksa. Perilaku individu tidaklah bebas, karena perilaku dan sikap individu dalam masyarakat ditentukan oleh berbagai fakta sosial. Fakta sosial menjadi pedoman dalam bertindak. Ada kekuatan dari luar yang mendorong atau menentukan bagaimana individu harus berperilaku. Dengan demikian, orang lain hanya bisa menerima tindakan kita jika sesuai dengan norma dan hukum yang berjalan.

Fakta sosial menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Sebagai ilmu baru yang sedang berupaya mengaktualisasikan diri, Durkheim berupaya menyatakan bahwa ia berangkat dari realitas. Dengan kata lain, titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (sebagaimana pada filsafat). Untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil yang ada dan hidup di luar pemikiran manusia secara individual.

Fakta sosial juga bersifat umum (general). Pengaurhnya ada di seluruh atau sebagian besar anggota masyarakat. Dalam buku ini ia membedakan antara dua tipe fakta sosial yaitu fakta sosial material dan nonmaterial. Keduanya memiliki peran yang penting dalam masyarakat, meskipun ia lebih condong memperhatikan yang nonmaterial.

Acuan Metodologi dalam Penelitian Ilmu Sosiologi

Lima bab dari enam bab dalam buku ini membicarakan tentang apa-apa yang harus diperhatikan seorang ilmuwan dalam melakukan penelitian sosiologi. Dengan kata lain, ia bermaksud memberikan pedoman dalam bagaimana melihat fakta sosial.

Ilmu sosiologi, atau tugas seorang sosiolog, adalah meneliti karakteristik fakta social, yang bersifat eksternal terhadap individu dan yang mengendalikan tingkah laku manusia. Pada hakekatnya Durkheim berupaya menyatakan bahwa metode sosiologi harus bersifat objektif. Karena itu, seorang ilmuwan harus mengenyampingkan segala prakonsepsi mengenai fakta sebelum melakukan studi.

Sebagaimana dijelaskan, gejala sosial yang riel merupakan objek pokok dalam sosiologi, bukan gagasan-gagasan. Disebutkan bahwa ilmu jangan berpegangan pada gagasan karena akan berhenti berproses dan tidak mempunyai bahan untuk berkembang lebih lanjut. Durkheim menyebutkan bahwa gejala sosial lah yang harus dijadikan objek dalam pengembangan ilmu sosiologi. Untuk itu, seorang ilmuwan dalam mempelajari masyarakat, pertama-tama harus dengan kepala terbuka. Ia harus menghapus dulu berbagai gagasan (pra konsepsi) yang melekat dalam kepalanya.

Lebih jauh, dalam masyarakat akan ditemukan fenomena sosial yang normal atau yang positif dan yang bersifat patologis atau negatif. Seorang ilmuwan harus melihat keduanya, karena bentuk-bentuk patologis tersebut tidak berbeda hakikatnya dari bentuk-bentuk normal, meskipun peranannya di masyarakat berbeda. Namun, Durkheim menggarisbawahi bahwa “kenormalan” tersebut mesti dimaknai lain. Sesuatu yang patologis namun selalu ada di setiap masyarakat, tentunya ia memiliki “peran” dalam menjaga keutuhan masyarakat; maka itu ia dapat disebut sebagai sesuatu yang normal pula. Korupsi, sebagai contoh, merupakan patologis tapi hampir tak ada masyarakat tanpa korupsi.

Fakta sosial ada di masyarakat, bukan di individu. Hal ini selaras dengan kenyataan bahwa masyarakat bukanlah semata-mata merupakan penjumlahan individu-individu belaka, sehingga penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab fakta harus dicari dalam hakikat individualitas kolektif. Sosiologi harus menarik abstraksi dari manusia dan bagian-bagiannya. Hal ini selaras dengan kenyataan bahwa kalau individu dimusnahkan maka masyarakat akan tetap ada. Ini membuktikan bahwa penjelasan mengenai kehidupan sosial harus dicari pada hakikat masyarakat itu sendiri, bukan di individunya (sebagai psikologi).


Metode untuk Mendapatkan Bukti yang Syah secara Sosiologis

Tentang bagaimana sesuatu dapat disebut sebagai bukti sosiologis, pada Bab 6 Durkheim menjelaskan berbagai hal. Tidak sebagaimana ilmu psikologi yang dapat melakukan eksperimen, dalam sosiologi hal ini tidak dapat dijalankan karena semua kejadian berada di luar kontrol peneliti atau pengamat. Sehingga yang dapat dilakukan hanyalah eksperimen tidak langsung atau berupa metode perbandingan.
Dalam buku ini Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada individualisme. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal. Selain itu, Durkheim juga menyebutkan ada beberapa pandangan August Comte yang ia terima terutama konsep tentang positivisme dalam ilmu sosial.

Pada hakekatnya, penjelasan sosiologis secara ekslusif adalah mencari hubungan kausalitas, yaitu menemukan berbagai hal yang terkait dengan suatu fenomena sosial, baik dalam posisi sebagai penyebab ataupun sebagai akibat. Ada beberapa cara atau metode yang dapat dipilih oleh seorang peneliti sosiologi untuk itu, yaitu dengan penelitian tunggal pada satu masyarakat atau dengan melakukan perbandingan.

Salah satu cara adalah dengan membandingkan kasus-kasus yang mengandung semua gejala itu secara simultan atau sama sekali tidak mengandung gejala-gelaja itu. Ini sebagai cara untuk melihat berbagai variasi yang tampak pada berbagai kombinasi untuk melihat apakah ada ketergantungan antar fenomena sosial.
Inti perhatian penelitian sosiologi adalah gejala sosial, yaitu fakta sosial tersebut. Suatu gejala sosial dapat dibedakan dengan gejala lainnya misalnya dari sisi kompleksitasnya. Sosiolog berupaya mempelajari hubungan kausalitas antara gejala sosial.

Salah satu metode adalah investigasi dengan melakukan deduksi, dimana pembuktian dianggap syah setelah dilakukan verifikasi. Jika terbukti sesuai dengan teori, maka ia dianggap terbukti secara ilmiah.
Suatu gejala sosial dapat dijadikan sebagai penyebab dari suatu gejala sosial lain bila hal itu unik terjadi di masyarakat yang kita teliti. Artinya, kedua gejala tersebut terjadi bersamaan, sedangkan di kelompok masyarakat lain hal itu tidak ditemukan, atau tidak muncul secara bersamaan. Metode variasi bersamaan ini (concomitant variations) harus muncul secara lengkap dan tidak superfisial.

Penelitian tunggal (single experiment) juga dapat dilakukan, namun harus mengumpulkan data secara lengkap. Meskipun penelitian hanya dilakukan pada satu kelompok masyarakat, dalam penelitian institusi sosial misalnya, harus membandingkan bentuk-bentuk yang berbeda yang muncul.
Durkheim juga menguraikan pentingnya sosiologi perbandingan (comparative sociology), yaitu dengan membandingkan masyarakat pada waktu yang bersamaan misalnya. Hal ini telah ia laksanakan dalam melakukan penelitian tentang bunuh diri.

Buku The Rules of Sociological Method (Emile Durkheim): Bab VI

Paper ini hanya membahas secara ringkas bab VI dari buku Emile Durkheim ”The Rules”. Sebagaimana kita tahu, buku ini sangat berperan dalam memberi pengaruh pada terbangunnya metodologi dalam ilmu sosiologi sampai saat ini. Durkheim berupaya membangun ilmu sosiologi, sebagai upaya memisahkannya dengan ilmu filsafat, psikologi, dan sejarah. Untuk itu, metodologi yang khas sosiologi, yang tidak meniru metodologi ilmu lain, menjadi langkah pertama atau sebagai basis dari upaya ini. Karena itulah, ia memandang penting untuk menyusun buku The Rules of Sociological Method. Namun sebelum membicarakan bagaimana melakukan studi atau bagaimana mempelajarinya, ia menjelaskan panjang lebar terlebih dahulu apa itu fakta sosial.

Bab VI: Metode untuk Mendapatkan Bukti yang Syah secara Sosiologis

Tentang bagaimana sesuatu dapat disebut sebagai bukti sosiologis, pada bab ini Durkheim menjelaskan berbagai hal. Tidak sebagaimana ilmu psikologi yang dapat melakukan eksperimen, dalam sosiologi hal ini tidak dapat dijalankan karena semua kejadian berada di luar kontrol peneliti atau pengamat. Sehingga yang dapat dilakukan hanyalah eksperimen tidak langsung atau berupa metode perbandingan.
Pada bagian depan dari buku ini telah dijelaskan pentingnya fakta sosial sebagai inti perhatian dalam studi sosiologi. Bagi Durkheim, untuk mempelajari sebuah masyarakat cukup dengan melihat fakta-fakta sosial yang terdapat di masyarakat tersebut. Durkheim menyebut bahwa fakta sosial adalah ”sesuatu” (”things”) yang riel. Ia bukanlah ide atau gagasan belaka. Fakta sosial harus menjadi pusat perhatian sosiologi. Sebagai ilmu baru yang sedang berupaya mengaktualisasikan diri, Durkheim berupaya menyatakan bahwa ia berangkat dari realitas. Dengan kata lain, titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (sebagaimana pada filsafat). Untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil yang ada dan hidup di luar pemikiran manusia secara individual.

Lima bab dari enam bab dalam buku ini membicarakan tentang apa-apa yang harus diperhatikan seorang ilmuwan dalam melakukan penelitian sosiologi. Sebagaimana dijelaskan, gejala sosial yang riel merupakan objek pokok dalam sosiologi, bukan gagasan-gagasan.

Dalam pandangan Durkheim, jika dua fenomena selalu terjadi secara bersamaan, maka fenomena pertama adalah sebab atau akibat dari fenomena kedua. Karena sosiologi tidak dapat melakukan eksperimen, yang dapat dilakukan adalah eksperimen tidak langsung, atau dengan melakukan perbandingan. Metode perbandingan (comparative method) merupakan metode yang paling cocok dalam sosiologi. Comte disebut belum spenuhnya menerapkan ini, karena Comte menggunakan metode historis. Selain itu, Durkheim juga menyebutkan ada beberapa pandangan August Comte yang ia terima terutama konsep tentang positivisme dalam ilmu sosial.

Pada hakekatnya, penjelasan sosiologis secara ekslusif adalah mencari hubungan kausalitas, yaitu menemukan berbagai hal yang terkait dengan suatu fenomena sosial, baik dalam posisi sebagai penyebab ataupun sebagai akibat. Ada beberapa cara atau metode yang dapat dipilih oleh seorang peneliti sosiologi untuk itu, yaitu dengan penelitian tunggal pada satu masyarakat atau dengan melakukan perbandingan.
Intinya adalah menjadi penjelasan kausalitas. Yaitu mencari fenomena yang berkaitan sebagia penyebab suatu fenomena. Dalam buku ini Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada individualisme. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal.

Dalam menjelaskan berbagai metode dalam studi sosiologi, Durkheim bertolak dari pemikiran Jhon Stuart Mill dalam apa yang disebut dengan sistem logika (System of Logic). Mill menyebutkan bahwa metode eksperimen tidak langsung pun juga tidak sesuai untuk riset-riset sosiologi. Teori Mill merupakan psinsip-prinisp dasar tentang logika dalam melakukan riset dan terutama dalam menganalisa dan menarik kesimpulan. Ia menggunakan pendekatan deterministik. Suatu hubungan kausal mestilah logis, dan tidak dapat tidak menentukan (indeterminate). Permasalahan keterkaitan ini menjadi pertanyaan penting bagi kalangan filsafat, namun bagi ilmuwan tidak, karena inilah motede ilmu pengetahuan. Namun pada dasarnya, memang logika merupakan satu bidang studi yang intinya adalah pada penalaran. Logika menjadi penghubung antara filsafat dan ilmu pengetahuan (science), yaitu berkenaan dengan bagaimana menarik kesimpulan secara syah.

Meskipun metode perbandingan cukup untuk sosiologi, bukan berarti otomatis memenuhi prinsip validitas. Dalam menggunakan metode perbandingan, salah satu caranya adalah dengan membandingkan kasus-kasus yang mengandung semua gejala itu secara simultan atau sama sekali tidak mengandung gejala-gelaja itu. Ini sebagai cara untuk melihat berbagai variasi yang tampak pada berbagai kombinasi untuk melihat apakah ada ketergantungan antar fenomena sosial. Melalui metode persamaan seperti ini akan mudah terlihat apa saja fenomena sosial yang selalu ahdir secara bersamaan. Jika itu terjadi maka dapat diduga bahwa antar keduanya memiliki keterkaitan, sebagai sebab atau sebagai akibat.

Inti perhatian penelitian sosiologi adalah gejala sosial, yaitu fakta sosial tersebut. Suatu gejala sosial dapat dibedakan dengan gejala lainnya misalnya dari sisi kompleksitasnya. Sosiolog berupaya mempelajari hubungan kausalitas antara gejala sosial yang ada di satu masayarakat.
Salah satu metode yang dapat dipakai adalah metode investigasi dengan melakukan deduksi, dimana pembuktian dianggap syah setelah dilakukan verifikasi. Jika terbukti sesuai dengan teori, maka ia dianggap terbukti secara ilmiah.

Suatu gejala sosial dapat dijadikan sebagai penyebab dari suatu gejala sosial lain bila hal itu unik terjadi di masyarakat yang kita teliti. Artinya, kedua gejala tersebut terjadi bersamaan, sedangkan di kelompok masyarakat lain hal itu tidak ditemukan, atau tidak muncul secara bersamaan. Metode variasi bersamaan ini (concomitant variations) harus muncul secara lengkap dan tidak superfisial.

Penelitian tunggal (single experiment) juga dapat dilakukan, namun harus mengumpulkan data secara lengkap. Meskipun penelitian hanya dilakukan pada satu kelompok masyarakat, dalam penelitian institusi sosial misalnya, harus membandingkan bentuk-bentuk yang berbeda yang muncul.
Jadi, untuk paham bagaimana arah fenomena sosial yang berkembang, seseorang harus membandingkan masa ketika kelompok masyarakat tersebut masih muda dengan kondisi muda dari kelompok masyarakat yang menggantikannya. Durkheim juga menguraikan pentingnya sosiologi perbandingan (comparative sociology), yaitu dengan membandingkan masyarakat pada waktu yang bersamaan misalnya. Hal ini telah ia laksanakan dalam melakukan penelitian tentang bunuh diri.

Dalam studi sosiologi perlu dikumpulkan atau dicakup data-data yang diambil dari hal-hal yang unggul dan unik, dari beberapa masyarakat yang berasal dari kelompok (species) yang sama, atau dari beberapa kelompok. Dalam pendekatan ini, syaratnya adalah fakta yang dilihat mesti terdistribusi secara luas, atau secara statistik ektensif dan bervariasi. Sebagai contoh, ketika membandingkan kurva yang menunjukkan trend bunuh diri dalam periode yang panjang, akan dijumpai variasi nilai, namun juga akan muncul kesamaan-kesamaan dalam konteks provinsi, kelas, kota dan desa, jenis kelamin, umur, status sosial, dan lain-lain. Namun demikian, dalam menerapkan metode perbandingan, peneliti sama-sama akan menemui keterbatasan sebagaimana ketika meneliti satu aspek pada sejumpah masyarakat. Dalam kondisi sebaliknya, hal ini juga akan dijumpai dalam mengkaji masalah kelembagaan, peraturan legal, serta moral atau kebudayaan.

Dalam melakukan studi, kita tidak dapat hanya membatasi pada satu masyarakat secara tunggal. Dengan cara ini, data hanya berisi pasangan tunggal pada kurva yang paralel, yaitu kurva yang menunjukkan peningkatan secara historik suatu fenomena yang berkaitan dan kurva yang ada di masyarakat secara tunggal. Tentu saja, meskipun dalam konteks tunggal objek akan eksis secara paralel, hal itu juga merupakan fakta yang dapat dipertimbangkan sebagai sesuatu yang penting.

Dengan melakukan analisa terhadap beberapa orang dalari kelompok yang sama kita memiliki peluang untuk melakukan perbandingan yang lebih mendalam. Yang utama dalam konteks ini adalah bahwa kita dapat membandingkan sejarah satu masyarakat dengan sesuatu yang lain dan mengobservasi apakah ia bagian dari mereka, dimana fenomena yang sama tumbuh sebagai hasil dari kondisi yang sama. Hal ini dapat diperbandingkan antara perkembangan yang nilainya bervariasi. Sebagai misal, seorang peneliti akan menetapkan bentuk-bentuk yang faktual dibawah asumsi-asumsi yang sesuai pada masyarakat yang berbeda-beda yang diposisikan sebagai perkembangan yang tertinggi.

Bentuk-bentuk yang secara individual berbeda pada tipe yang sama, adalah bentuk yan tidak sama di semua tempat. Ia lebih kurang berbeda tergantung pada kasus-kasus khusus. Seseorang akan memiliki serangkaian data baru dari variasi untuk membandingkan pada bentuk-bentuk yang muncul pada tahap yang berkaitan dalam setiap satu dari masyarakat. Contoh, kita melihat adanya evolusi keluarga patriarkhal yang mulai dari era Romawi, terus ke era Yunani dan Sparta. Kita dapat mengelompokkan kota-kota yang sama berdasarkan level perkembangan keluarganya, dan juga dapat melihat apakah mereka masih tetap atau berubah.
Namun metode seperti ini kurang memadai, karena ia hanya dapat membandingkan pada gejala yang lahir selama masyarakat tersebut eksis. Padahal setiap masyarakat tidak meniptakan organisasinya sendiri, namun sudah dibuat oleh masyarakat sebelumnya. Apapun yang dahulu ada di awal sejarah suatu masyarakat cenderung sedikit dan dianggap kurang penting. Untuk itu kita harus meneliti pada akar-akarnya, dan untuk itu hanya bisa diteliti dengan membuat perbandingan.

Untuk bisa paham tentang apa yang terjadi sekarang perlu mempelajari asalnya dan elemen-elemen pembentuknya. Kita harus melihat ke masa dulunya sebagai latar belakang. Jadi untuk menjelaskan kelembagaan sekarang, perlu meneliti berbagai bentuk yang berbeda-beda, tidak hanya di dalam masyarakat tersebut tapi juga di kelompok-kelompok lain. Hal ini disebut dengan metode ”genetic” yang akan memungkinkan kita menganalisa dan mesintesa fenomena yang kita temukan. Satu hal lain, seseorang tidak akan dapat menjelaskan suatu fakta sosial yang kompleks kecuali dengan melihat pada kondisi makro yang melingkupinya (all sosial species). Penjelasan seperti ini konsisten dengan penjelasan pada banyak bagian dari buku The Rules ini meskipun kadang kala disebutkan secara tidak langsung, yaitu penekanan kepada lingkup yang lebih luas dari kehidupan sosial sebagai konteks suatu fenomena sosial.

Buku ”Suicide: A Study in sociology”

Paper ini berisi uraian tentang hasil penelitian Durkheim berkenaan dengan bunuh diri di negara-negara Eropa yang berlangsung pada paruh kedua abad ke 19, yaitu di masa terjadi peningkatan ekonomi industri yang pesat namun juga berdampak pada perubahan yang besar di masyarakat. Sesuai dengan pembagian tugas yang disepakati, paper ini hanya memuat ulasan secara terbatas, yaitu buku I serta buku II bab 5 dan 6 dari buku tersebut.

Buku I: Faktor-Faktor Ekstra Sosial

Durkheim mendefinisikan bunuh diri sebagai ”setiap kasus kematian yang merupakan akibat lansung atau tidak langsung dari suatu perbuatan positif atau negatif oleh korban itu sendiri, yang mengetahui bahwa perbuatannya itu akan berakhir dengan kematiannya”. Pengertian seperti ini bisa mencakup area yang agak luas, dimana perilaku merusak diri yang dilakukan secara berulang-ulang dapat pula digolongkan sebagai bunuh diri, meskipun saat kematiannya penyebab langsungnya adalah gagal jantung atau kanker misalnya. Namun Durkheim, sebagaimana dijabarkan dalam tabel-tabel dalam buku ini, hanya berpatokan kepada data-data yang dikumpulkan lembaga statistik, dimana apa yang disebut dengan bunuh diri tentu lebih sempit sebagaimana dimaknasi masyarkaat umum, yaitu hanya untuk perilaku tragis sekali waktu berupa menggantung diri, melompat, membenamkan diri, mambakar diri, meracuni diri, dan perilaku yang membuat tidak bisa bernafas.

Pada hakekatnya, studi tentang bunuh diri ini merupakan upaya Durkehim menunjukkan betapa hal-hal yang selama ini dinilai sangat pribadi, yaitu bunuh diri, ternyata memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan fakta sosial yang hidup di masyarakat. Fakta-fakta sosial ini lah yang menjelaskan kenapa bunuh diri dilakukan seseorang, bagaimana cara bunuh diri yang dipilih, serta tipe-tipe bunuh diri (penyebab) yang terjadi. Durkheim dalam hal ini berusaha memberi contoh bagaimana melakukan penelitian dalam disiplin ilmu sosiologi yang saat itu baru lahir.

Pada buku I (”Extra-Social Faktors”) Durkehim berusaha menunjukkan kelemahan atau kesalahan berbagai pandangan para ahli sebelum dia tentang bunuh diri. Dari bagian ini, Durkheim sekaligus ingin menunjukkan bahwa ilmu sosiologi memiliki kehandalan atau ketepatan yang lebih baik dalam menjelaskan fenomena bunuh diri. Untuk itu, Durkheim tidak melakukan observasi secara langsung kepada keluarga atau orang terdekat yang melakukan bunuh diri sebagai upaya untuk mengungkap motif orang bunuh diri, namun ia menjelaskan melalui fakta sosial yang berada di level lebih tinggi atau luas, yaitu di masyarakat secara keseluruhan. Dengan pendekatan ini, maka sebagaimana dijabarkan dalam tabel-tabel, angka bunuh diri (dan peningkatannya) dilihat per kelompok masyarakat, baik berdasarkan kelompok negara, agama, maupun ras.
Dalam melakukan analisis, Durkheim, selain membandingkan antar kelompok masyarakat, juga membandingkan antar waktu. Perkembangan bunuh diri selalu dihubungkan dengan fenomena sosial yang melekat dengan objek tersebut.

Berbagai pendapat sebelumnya yang ditolak Durkheim berkenaan dengan pandangan psikopatik, pendekatan individu, penyebab yang berkenaan dengan perilaku minum (alkohol), teori peniruan (imitasi), cuaca atau iklim (panas, semi dan lain-lain yang dijabarkan atas bulan), serta ras dan keturunan. Ia berusaha membuktikan bahwa alasan-alasan tersebut pada hakekatnya keliru. Menurut pendekatan psikopatik, bunuh diri merupakan perilaku kegilaan yang dialami seseorang yang disebut mengalami ”monomania”. Ada empat tipe penyebab dalam konsep ini yaitu bunuh diri karena halusinasi, depresi, obsesi untuk membunuh diri sendiri, serta yang impulsif yang datang secara mendadak.

Selanjutnya, untuk menolak pendapat kalangan yang mempercayai kebiasaan meminum minuman beralkohol sebagai penyebab, Durkheim memperlihatkan data di Jerman, dimana level konsumsi alkohol tidak berhubungan sejajar dengan tingkat bunuh diri. Dengan membandingkan antar negara bagian (country), diperlihatkan bahwa bunuh diri per penduduk tertinggi (234 orang per 1 juta penduduk) justeru terjadi pada masyarakat dengan konsumsi alkohol tergolong kategori ketiga jika diurutkan dari yang paling tinggi ke rendah, yaitu dengan rata-rata konsumsi alkohol hanya 4,5 sampai 6,4 liter per kapita. Level tertinggi konsumsi alkohol, yaitu pada kelompok masyarakat pertama, rata-rata adalah 10,8 s/d 13 liter per kapita.

Dalam hal pengaruh iklim, Durkheim membalikkan bukti ini, karena tingkat bunuh diri tidak berbanding lurus dengan peningkatan suhu di masa bersangkutan. Dengan kata lain, lingkungan fisik bukanlah penyebab bunuh diri, meskipun pendapat umum sebelumnya demikian.

Bagi Durkheim, bunuh diri, yang bermacam-macam bentuk (egoistis, altruis, dan anomi) tersebut memang merupakan penyimpangan perilaku yang dialami seseorang. Namun, pada hakekatnya, bunuh diri tersebut merupakan hasil dari fakta sosial yaitu kuat dan lemahnya integrasi dan regulasi di masayarkat dimana ia hidup. Meningkatnya secara konsisten jumlah kejadian bunuh diri selalu mempunyai kaitan dengan terjadinya pergolakan serius di dalam kondisi-kondisi sosial suatu masyarakat. Pada bagian awal bukunya, Durkheim berupaya menolak berbagai analisa sebelumnya bahwa bunuh diri merupakan tindakan yang semata-mata karena penyebab yang sifatnya juga individualistis. Memang sekilas bunuh diri tampak seperti keputusan yang bersifat individual semata, dimana bunuh diri merupakan keputusan individual yang diambil dalam keadaan seorang diri. Tentu saja keputusan bunuh diri sangat individualistis, bahkan orang terdekat pun tidak pernah diberitahu.

Dalam penelaahannya, Durkheim menghubungkan bunuh diri dengan berbagai fakta sosial. Bunuh diri di negara-negara Eropa Barat memperlihatkan suatu pola yang tampaknya berhubungan dengan keyakinan (agama). Negara-negara dimana penduduknya beragama Katholik mempunyai angka bunuh diri yang lebih rendah daripada yang beragama Protestan. Namun, dalam analisis selanjutnya, Durkheim menyatakan bahwa ini lebih sebagai variabel anteseden, karena kedua agama ini melarang bunuh diri dengan sama kerasnya. Dengan demikian, penjelasan yang sesungguhnya harus dicari dalam perbedaan-perbedaan yang lebih pokok lagi. Dalam penelusuran lebih jauh diperoleh kenyataan bahwa orang yang beragama Protestan cenderung memiliki semangat kebebasan secara relatif. Hal ini sangat berbeda di pengikut Katholik yang otoritas dan daya mengikat gereja (dan pendeta) begitu kuat. Dengan kata lain, agama Protestan tidak mengikat terlalu kuat (terintegrasi) dibandingkan dengan agama katholik.

Lebih jauh, kaitanya dengan integrasi sosial, Durkheim membuktikan pula kecenderungan bunuh diri yang lebih besar pada orang yang tidak menikah. Artinya, mereka tidak memiliki integrasi dengan keluaga. Bukti lain adalah, pada integrasi dalam keluarga yang kuat yang diindikasikan dengan jumlah anak. Pada keluarga dengan jumlah anak lebih besar, angka bunuh diri cenderung rendah.

Buku I bab 5: Bunuh Diri Anomie

Dalam bab ini dijelaskan terlebih dahulu fakta bahwa tingkat bunuh diri berhubungan langsung dengan krisis ekonomi. Hal ini terjadi di Vienna, Jerman dan Paris. Dan lebih meyakinkan lagi, bahwa bunuh diri semakin tinggi pada bulan-bulan dimana krisis mencapai puncaknya. Krisis ekonomi telah menyebabkan perusahaan-perusahaan bangkrut, yang lalu diikuti oleh kemiskinan warga dimana hidup menjadi semakin sulit.
Sepintas, cara berpikir yang kronologis ini sangat masuk akal, dimana kita akan menyimpulkan bahwa kesulitan hidup lah yang menyebabkan orang-orang bunuh diri. Namun, ini belum sosiologis. Durkheim memunculkan faktor pokok yang menghubungkan berbagai fenomena sosial tersebut, yaitu rusaknya tatanan hidup kolektif (unstable equilibrium). Faktor inilah yang menjadi penjelas yang sangat terang, sehingga orang banyak bunuh diri. Artinya, andai saja tatanan hidup tetap stabil meskipun hidup semakin susah, bunuh diri semestinya tidak terjadi.

Untuk mendukung kesimpulan ini, Durkheim menambahkan dengan data adanya kesejajaran antara angka perceraian dan perpisahan dengan bunuh diri. Angka perceraian relatif lebih tinggi pada kalangan yang beragama Protestan dibandingkan yang beragama Katolik. Durkheim menyebutkan bahwa tingginya angka bunuh diri pada kalangan yang bercerai (dan juga yang hidup tidak berkeluarga), merupakan kondisi anomi yang sedang berlangsung di dalam keluarga (domestic anomie). Tambahan lagi, anomi yang berlangsung di level keluarga merupakan hasil dari bibit-bibit anomi yang sudah berakar dari agama yang dianut keluarga bersangkutan.

Jadi, bunuh diri anomi melonjak jumlahnya ketika dalam suatu masyarakat melemah daya menekan dari regulasinya. Regulasi yang melemah biasanya terjadi ketika masyarakat tersebut sedang menghadapi suatu persoalan yang tergolong besar. Peristiwa tersebut dapat berupa negatif maupun positif, misalnya berupa resesi ekonomi atau justeru kemajuan ekonomi yang terlalu cepat. Hal ini dibuktikan Durkheim dengan serangkaian data, dimana pada masa-masa resesi ekonomi angka bunuh diri meningkat secara mencolok, demikian pula pada masa terjadinya kemakmuran ekonomi yang menyolok.

Bagi mereka yang mengalami kelebihan atau kekurangan secara mendadak, disudutkan dalam suatu situasi, dimana harapan-harapan mereka yang sudah terbiasa mengalami ketegangan dan ketidakmenentuan. Akibatnya timbul suatu kondisi anomi yang menyusutnya ketaatan moral individu.

Dalam masa krisis terdapat suatu gangguan atau ketidakstabilan kolektif. Dengan melemahnya tata pengaturan masyarakat, hilang keseimbangan, yang pada level individu menyebabkan hilangnya penguasaan diri. Dapat dikatakan, bahwa manusia rupanya tidak siap hidup tanpa pengaturan sosial. Pada titik ini terlihat betapa sifat masyarakat yang ”memaksa” tersebut rupanya memiliki peran yang positif.

Dalam kondisi melemahnya pengaturan atau tekanan dari masyaralat, individu merasa tidak diperhatikan siapa-siapa. Meskipun mungkin banyak orang berpikiran bahwa kondisi ini semestinya sangat ”menyenangkan” karena ”bebas” melakukan sesuatu, namun bagi sebagian orang justeru tidak mengenakkan. Dalam bentuk yang riel misalnya adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja karena resesi ekonomi. Dalam kondisi yang normal, orang yang mengalami PHK akan dibantu oleh berbagai institusi sosial, misalnya organisasi buruh; namun di masa krisis institusi ini tidak berjalan. Kehilangan ini lah yang menimbulkan kondisi terasing (anomi) bagi sebagian orang.

Nilai, norma, bahkan aturan perundang-undangan yang sebelumnya dapat digunakan sebagai pedoman dan hak ”menuntut” agar masyarakat menyediakan akses pekerjaan bagi anggotanya, saat krisis tidak lagi berjalan. Dalam kondisi ini, individu merasakan kehilangan atau merasa terasing ”seorang diri”.

Buku I bab 6: Bentuk-Bentuk Individual dari Tipe-Tipe Bunuh Diri yang Berbeda

Dalam bagian ini Durkheim menjelaskan bagaimana fenomena sosial berubah menjadi manifestasi individual. Setiap orang dalam satu masyarakat akan memaknai secara berbeda setiap gejala sosial (fakta sosial) yang mereka alami. Demikian pula bagi orang yang bunuh diri. Sebab, jika setiap tekanan sosial atau sebaliknya ketika terjadi arus integrasi yang lemah, dimaknai sama sebagaimana dimaknai oleh orang yang bunuh diri, tentu semua orang di masyarakat tersebut akan bunuh diri pula.

Dijelaskan oleh Durkehim bahwa setiap tipe bunuh diri mengalami proses psikologis sedemikian rupa yang berbeda-beda. Pada bunuh diri tipe egoistis, individu yang bunuh diri sebelumnya mengalami perasaan sedih yang dalam dan kelesuan menghadapi hidup. Ini merupakan tipe pribadi yang melankolis.

Hal ini berbeda dengan pada orang yang bunuh diri menurut tipe altruistik, dimana ia memutuskan bunuh diri karena energi yang besar. Ia melakukan bunuh diri dalam kondisi diliputi emosi yang besar dan kuat. Perasaan seperti ini biasanya datang dari sebuah otoritas yang menekan dan memaksa. Hal ini ini misalnya terjadi pada kalangan militer atau pada sekte agama tertentu.

Bunuh diri di masyarakat-masyarakat tradisonal mempunyai bentuk yang berbeda dari jenis-jenis egois. Ini yang disebut dengan jenis bunuh diri altruistik, dimana menjadi suatu kewajiban bagi seseorang bila menghadapi keadaan-keadaan tertentu untuk membunuh dirinya. Seseorang akan bunuh diri karena ia mempunyai kewajiban unutk melakukannya. Ini adalah bunuh diri yang diwajibkan demi kesejahteraan umum (obligatory altruistic suicide). Ada juga jenis-jenis bunuh diri altruistik lain, yang tidak mempunyai suatu kewajiban yang mengikat akan tetapi bunuh diri ini dikaitkan dengan patokan-patokan jelas mengenai kehormatan dan prestise. Pada hakekatnya, bunuh diri altruistik ini bersangga atas suatu kesadaran umum (conscience collective) yang kuat, yang sedemikian mendominasi tindakan-tindakan pribadi orang, sehingga dia mau mengorbankan jiwanya demi kelanjutan keutuhan suatu nilai kolektif.

Dalam bab ini juga dijelaskan bagaimana fenomena sosial yang sama dapat memberikan efek yang berbeda pada setiap masyarakat. Krisis ekonomi dapat menyebabkan bunuh diri yang egositis pada masyarakat dengan tingkat integrasi yang lemah, namun dapat pula menyebabkan bunuh diri anomi pada masyarakat yang kondisi regulasinya atau tatanan kolektifnya sedang melemah.

Dalam hal cara bunuh diri, tergantung kepada tipe bunuh diri, keyakinan (protestan atau katolik), geografis (bagian Utara atau Selata) dan wilayah (desa atau kota). Bunuh diri dengan cara gantung diri misalnya banyak ditemukan dalam bunuh diri tipe anomi. Sementara perilaku membakar diri banyak ditemukan di Eropa bagian tengah, sedangkan melompat dari tempat tinggi banyak ditemui di kota karena di kota banyak gedung dan jembatan tinggi. Jadi, cara bunuh diri merupakan hasil dari penyebab sosial (social cause) yang berpadu dengan tempramen individual dan kondisi linkungan setempat.

Analisa (Studi bunuh diri dihubungkan dengan Buku The Rules of Sociological Method)

Jika dihubungkan dengan buku nya ”The Rules of Sociological Method” sebagai pedoman metodologi dalam analisa sosiologis, dalam buku ”Suicide” ini secara jelas Durkheim memperlihatkan bagaimana fakta soial telah mampu menjelaskan suatu fakta sosial lain, bukan motif-motif individu ataupun faktor lingkungan. Meskipun bunuh diri, bahkan cara bunuh diri, tampak sebagai keputusan yang sangat individual; namun itu berkaitan erat dengan fakta soial yang melingkupi si aktor tersebut. Motif dan alasan seseorang melakukan bunuh diri merupakan hasil dari proses sosial yang lalu dimaknai secara individu, namun penyebabnya pada hakekatnya adalah fenomena sosial.

Selanjutnya, untuk mendapatkan bukti yang sesungguhnya dan lalu menarik kesimpulan, Durkheim menerapkan metode sebagaimana dijelaskannya dalam bab 6 buku ”The Rules”, yaitu berupaya memperoleh penjelasan sosiologis secara ekslusif dengan mencari hubungan kausalitas. Di bagian awal buku ”Suicide” Durkheim menjelaskan fenomena bunuh diri dengan metode perbandingan antar kelompok dan perbandingan antar waktu pada kelompok yang sama. Dengan membandingkan kasus-kasus secara simultan ia berusaha menemukan berbagai variasi yang tampak pada berbagai kombinasi untuk melihat apakah ada ketergantungan antar fenomena sosial. Setelah ia memperoleh bukti-bukti yang terbalik dengan pemahaman para ahli sebelumnya, Durkheim lalu mulai dengan ”analisa sosiologis yang sesungguhnya” yaitu dengan melakukan analisa atau mencari penyebabnya pada level struktur sosial masyarakat yang sedang berlangsung, bukan pada hal-hal mental dan fisik lingkungan. Fakta sosial yang sedang terjadi di tengah suatu masyarakat merupakan penyebab terjadinya fenomena bunuh diri.

Buku The Divison of Labor in Society

Dalam paper ini hanya dibahas secara ringkas bab I (The Problem) dari buku Emile Durkheim yaitu The Divison of Labor in Society.

Bab I: The Problem

Pembagian kerja di masyarakat merupakan fenomena yang telah mulai di akhir abad ke 18, atau sama dengan hampir satu abad sebelum Durkheim memulai aktivitas ilmiahnya. Sebelum Durkheim beberapa ahli telah mempelajari fenomena ini terutama dari kalangan ahli ekonomi, misalnya Adam Smith. Perkembangan industri modern saat itu sudah tidak terelakkan, dimana terjadi pemusatan kekuatan dan kapital, sehingga menyebabkan pembagian kerja dalam pabrik-pabrik. Untuk mencapai efisiensi dan kecepatan produksi semua pekerjaan dipisah dan dibagi-bagi menjadi banyak pekerjaan kecil melalui apa yang disebut dengan sistem ban berjalan.

Namun, fenomena ini tidak hanya berlangsung dalam pabrik, karena di masyarakat pun semua pekerjaan satu sama lain juga ikut terspesialisasi. Dalam kondisi ini, tiap barang ekonomi yang dihasilkan juga saling tergantung satu sama lain.

Dalam bab pendahuluan ini Durkehim memaparkan pandangan beberapa ahli misalnya Adam Smith dan Stuart Mills yang masih berharap setidaknya di bidang pertanian tidak terpengaruh oleh fenomena pembagian kerja ini. Namun, tampaknya di bidang pertanian hal ini pun tidak dapat dihindarkan. Bahkan sektor pertanian tidak dapat melepaskan diri dari sektor indutri sebagai sebuah sistem. Kultur yang berkembang di sektor industri juga masuk ke pertanian, dan mempengaruhi cara berpikir petani dalam mengeloal pekerjaanya.

Karena sudah berlangsung agak lama, sebenarnya pembagian kerja dalam dunia ekonomi tersebut bukanlah sesuatu yang aneh. Sebagian besar orang sudah menerima kenyataan bahwa pembagian kerja di masyarakat tidak terelakkan. Tidak hanya dalam pekerjaan ekonomi, pembagian kerja juga merembet ke politik, administrasi dan bahkan peran pengadilan. Lebih jauh, fenomena ini juga terjadi di lingkungan masyarakat ilmiah, sehingga tidak ada lagi seorang ilmuwan yang paham secara utuh suatu ilmu. Hal ini yang juga memberatkan pikiran para ahli. Dalam kondisi demikian seorang ahli harus mempelajari beberapa ilmu sekaligus, dua bahkan tiga ilmu secara bersamaan. Misalnya ahli astronomi yang juga belajar fisika dan matematika. Karena itu ilmuwan pun harus bekerjasama satu sama lain untuk memecahkan suatu persoalan. Ilmu dan ilmuwannya menjadi terpisah-pisah atas banyak bidang, yang bagi kalangan tertentu dikhawatirkan akan mempengaruhi perkembangan keilmuan di masa mendatang.

Dari perspektif ilmu biologi, sesungguhnya spesialisasi merupakan gejala alam yang sudah lama diketahui. Menurut mereka, pembagian kerja merupakan takdir alamiah. Kondisi yang terjadi sesungguhnya adalah pembagian kerja yang sudah dijumpai di kehidupan organisme yang lalu menjalar ke kehidupan sosial (masyarakat). Jika mengikuti teori dalam perspektif biologi, semakin beragam kelengkapan organ dan fungsi suatu organisme, maka organisme tersebut dipandang semakin berkembang.

Namun, bahwa dunia sosial pun harus ikut terspesialisasi belum dapat diterima dengan bulat. Sesungguhnya, meskipun belum bisa menerima dengan lapang dada, namun pembagian kerja yang begitu terspesialisasi sudah diterima sebagai keharusan. Bahkan, secara keilmuan dipercayai bahwa semakin tinggi spesisalisasi merupakan indikasi masyarakat bersangkutan semakin berkembang. Pembagian kerja diyakini bagaimanapun pasti akan datang pada masyarakat yang mengalami perubahan ke arah masyarakat industri, dan ia kan menjadi basis fundamental keteraturan sosial (social order).

Pada masyarakat yang sudah berubah menjadi modern sudah tidak ada lagi masa dimana seorang “manusia sempurna” adalah yang memperhatikan segala hal dan berusaha mempelajarinya dan menguasainya. Dengan berubahnya masyarakat, manusia yang dibutuhkan adalah yang menguasai suatu bidang dengan sangat baik dan menjalankan perannya dalam masyarakat sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya tersebut. Dunia pendidikan juga semakin terpesialisasi. Anak didik tidak lagi dibentuk untuk memiliki kultur yang sama (uniform culture). Pada intinya, bikinlah dirimu berguna dengan memenuhi fungsi tertentu (“Make yourself usefully fulfill a determinate function”).

Namun demikian, spesialisasi yang terlalu jauh seolah tanpa batas yang jelas tersebut, menakutkan bagi sebagian orang. Satu hal yang ditakutkan adalah akan adanya penurunan martabat kemanusiaan, karena begitu sempitnya kemampuan dan aktivitasnya sehari-hari. Ibaratnya, seorang manusia hanyalah sebuah baut kecil dari mesin sebuah mobil misalnya. Beberap ahli belum dapat menerima kenyataan dengan membayangkan seseorang sepanjang hidupnya misalnya hanya berkutat pada satu pekerjaan kecil. Ia akan “terlepas” dari masyarakat meskipun ia telah menjalani pekerjaannya tersebut dengan sangat baik, karena ia hanya tahu dan perduli dengan dunianya yang sempit tersebut.

Persoalan yang paling mendasar, karena itu judul bab pendahuluan buku Durkehim ini adalah “The Problem” adalah masalah moral. Para ahli ketakutan bahwa moralitas masyarakat akan rusak dan hancur. Moral kebersamaan ala masyarakat tradisionil dikhawatirkan akan hilang. Ini lah yang sangat mencemaskan kalangan pemerhati masyarakat (ilmuwan sosial).

Bagian berikut dari buku Durkheim ini banyak membicarakan persoalan moral. Pada hakekatnya, Durkheim berupaya menjelaskan fakta sosial non material - yaitu moral - dari fakta sosial yang bersifat material (pembagian kerja).

Durkheim, tidak sebagimana ahli yang lain, ingin menunjukkan bahwa terjadinya perubahan tatanan moral merupakan keharusan yang tidak terelakkan. Dengan pembagian kerja yang baru di masyarakat, maka masyarakat mengembangkan sebuah panduan moralitas baru, sebagai reaksi dari perubahan tersebut. Itu merupakan solusi yang masuk akal. Tatanan moral lama yang selalu mengutamakan kebersamaan sulit untuk diterapkan. Masyarakat tradisional mendasarkan hubungan sosial dan solidaritasnya pada kesamaan kepercayaan, mata pencaharian, dan kuatnya kesadaran kolektif. Kesadaran di dalam masyarakat bersifat kolektif, dan individualitas anggota masyarakat rendah.

Bagi Durkheim, moral tidak runtuh, tapi ada moral baru yang tumbuh dan terbentuk. Pada kalimat terakhir dari bab I ini, Durkheim mengajak untuk mempelajari pembagian kerja ini secara objektif, yaitu dengan melihat fakta-fakta objektif (sebagai fakta sosial). Dengan cara ini Durkheim yakin akan lahir pemahaman yang berbeda dari pendapat sebelumnya yang melingkupi pikiran sebagian besar kalangan ahli. Tugas para ahli menurut Durkheim adalah untuk mempelajari fungsi dari fenomena pembagian kerja dalam masyarakat, mempelajari penyebabnya, dan mempelajari pula berbagai sisi yang abnormal dari fenomena tersebut.
Durkehim merasa perlu menekankan ini, karena pemahaman ahli selama ini ia pandang sangat lambat berkembang. Dalam bagian buku ini selanjutnya dapat dibaca bagaimana pembagian kerja dijadikan alat analisis untuk memahami bagaimana masyarakat modern dan masyarakat tradisional berjalan.


Buku The Elementary Forms of The Religious Life (Emile Durkheim)

Dalam paper ini hanya dibahas bab Pendahuluan ditambah dengan Buku I bab I sedikit dari bagian akhir dari Buku I Bab II.

Bab I Pendahuluan: Sosiologi gama dan Teori Pengetahuan

Dalam upaya meneliti bagaimana fenomena agama dalam satu masyarakat, Durkheim memilih satu suku primitif sebagai objek penelitian. Ia ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Asutralia. Alasannya memilih objek ini selain karena kesederhanaannya sehingga mudah dipahami adaah karena tidak perlu menggunakan konsep dan teori dari masyarakat beragama lain yang lebih modern.

Sebagaimana buku-bukunya yang laan, dalam buku ini Durkheim juga ingin menunjukkan bagaimana semestinya menerapkan metodologi riset dalam ilmu sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa sosiologi memiliki kelebihan. Ia membedakan dengan sejarah dan etnografi (antropologi), dimana sosiologi menurutnya tidak sekedar menemukan “jejak kaki” dari masa lalu suatu masyarakat, tapi lebih pada apa yang bisa mempengaruhi kita atau apa yang bisa kita gunakan dari ilmu yang diperoleh tersebut. Intinya, ia berupaya mencari apa aspek-aspek yang esensial dan permanen dari kemanusiaan, meskipun yang dipelajari adalah masyarakat yang jauh dan masih primitif.

Ini semata-mata adalah salah satu pendekatan atau metodologi belaka. Durkheim bermaksud dengan mempelajari bagaimana masyarakat terdahulu hidup, akan dapat memahami kondisi terkini dari sosial masyarakat, yaitu kehidupan masyarakat Erpa di era industri.

Agar penelitian dengan objek ini lebih optimal dan “benar”, maka peneliti harus objektif. Salah satu sikap yang harus dimiliki dalam mempelajari tentang religi adalah objektif dan tidak berprasangka. Setiap religi atau agama tidak sama nilai dan level martabatnya. Jika kita datang dengan prasangka, maka kita akan cenderung merendahkan mereka. Kita harus melihat realitas yang sesungguhnya dan mengekspresikannya. Mereka harus dipahami sesuai dengan bagaimana mereka memberi makna.

Agar dapat memiliki pemahaman yang baik, maka kita harus mendatanginya untuk mendapatkan realitas yang konkrit. Pendekatan ini sangat berbeda dengan filsafat yang selain tidak positivis juga sudah membatasi dan mengklasifikasi dulu apa yang akan dipelajarinya. Kalangan filosof sudah memiliki teori, keyakinan, dan konsep sebelum menganalisa suatu kondisi masyarakat.

Dengan pendekatan yang disebutkan Durkehim ini, maka tidak ada agama yang salah. Semua agama benar menurut ukuran masing-masing penganutnya. Bahkan untuk mengelompokkan dan menempatkan mereka atas kelas-kelas juga jangan dilakukan. Agama suatu kelompok masyarkat berguna untuk mereka sendiri.
Durkheim juga menjelaskan bahwa ia ingin mempelajari kondisi awalnya suatu agama dan masyarakat berjalan, lalu bagaimana terbentuk dan berkembang tahap demi tahap. Dengan mempelajari ini ingin dipahami apa saja komponen di dalamnya, dan apa yang dimaksud dengan agama secara umum. Berbagai kepercayaan dan ritual mestilah memiliki fungsi signifikan dalam masyarakat. Sesuatu yang hidup dan dipelihara mestilah karena memiliki fungsi yang penting. Durkheim tidak memilih agama di India dan Mesir yang lebih kompleks mislanya, karena akan sulit memahami banyak kepercayaan yang bervariasi menurut lokasi, kesatuan tempat ibadah (pura), generasi, dinasti, dan lain-lain. Durkheim memang sengaja mendatangi masyarakat primitif. Peradaban primitif dicirikan oleh kesederhanaannya. Misalnya dalam keluarga tradisional, semua meraksan peran seorang bapak dalam keluarga.

Satu keuntungan lagi adalah karena agama primitif memberi kemudahn dalam menjelaskannya. Relasi antar orang dan komponen di dalamnya mudah terlihat. Sebagaimana institusi sosial, ia tidak datang dari mana-mana, tapi dari masyarakat itu sendiri, sehingga jejak perkembangannya mudah diungkap.
Namun studi tentang agama ini tidak semata-mata untuk mengembangkan ilmu tentang keagamaan masyarakat. Ada fenomena yang berkaitan dengan agama, yaitu sistem pengetahuan. Kita tahu, sistem pengetahuan yang sudah berkembang lebih dahulu adalah imu filsafat yang telah memberi pemahaman tentang waktu, tempat, kelas, angka, hubungan kausalitas, substansi, kepribadian, dan lain-lain. Tapi kelemahannya adalah kita belum tahu apa sesungguhnya, namun hanya menduga keberadaaannya. Dengan mempelajari agama sebagai suatu sistem pengetahuan masyarakat, maka dapat pula diungkap bagaimana sistem pengetahuan masyarakat bersangkutan. Menurut Durkheim, masyarakat adalah representasi pengetahuan mereka sendiri.

Buku I Bab I: Definisi Fenomena Keagamaan dan Agama

Sebelum menggali lebih jauh, Durkheim memandang perlu definisi apa itu agama (religion) agar sesuatu yang bukan agama tidak dimasukkan dalam pembahasan. Untuk itu, sebagaimana sudah dijelaskan juga di depan, berbagai prasangka keilmuan harus dibuang terlebih dahulu. Untuk mempelajari ini tidak dapat dibuat dulu batasan atau definisi dari awal. Apa itu yang dimaksud dengan agama akan disimpulkan nanti di akhir studi. Ia menjadi salah satu tujuan dari studi itu sendiri. Seorang peneliti harus membuang dulu berbagai konsep-konsepsi yang sudah dipegangnya (“…... freeing the mind of every preconceived idea).

Agama sesungguhnya bukanlah hal baru. Sudah banyak ahli sebelum Durkheim membicarakan objek ini, bahkan jauh sebelum ilmu pengetahuan membicarakannya. Namun, dalam kondisi ini, berbagai ide, teori, dan konsep disusun tanpa metode ilmiah. Menurut Durkheim, karenanya hal ini tidak perlu dipedomani. Disini terlihat betapa Durkehim sangat menghargai etika penelitian, yaitu pentingnya metodologi. Untuk itu, ilmuwan harus meninggalkan konsep-konsep umum sehari-hari, dan lalu melihat realitasnya secara konkret.
Sebelum memberikan satu definisi tentang agama secara khusus, Durkheim berupaya membeberkan beberapa definisi dan lalu melihat kelemahannya masing-masing. Satu pengertian yang dianut misalnya adalah bahwa agama adalah segala sesuatu yang supernatural. Artinya, ini melebihi kemampuan panca indera untuk memahaminya, karena supernatural adalah sesuatu yang misterius. Menurut Durkheim, hal ini tidak bisa diungkap dan dipahami ilmu pengetahuan, sehingga tidak dapat dijadikan objek dalam studi. Karena itu, difinisi seperti ini mestilah ditolak.

Berbagai pengertian yang sudah ada dapat dikategorikan atas dua, yaitu sesuatu yang magis dan agama. Hal-hal magis, sebagaimana agama, disusun oleh kepercayaan dan ritual juga. Namun, magis memang sulit dibedakan dengan agama.
Durkheim memberikan definsi sendiri apa yang dimaksudnya dengan agama. Menurutnya, agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktek yang menyatu dalam suatu moral komunitas dan melekat pada mereka.

Bagian bab II: (hal 86-88)

Teori animistik berimplikasi pada penyangkalan yang terbaik tentang apa itu agama dan bagaimana agama dipraktekkan dan dipertahankan sekian lama. Agama pada hakekatnya dalah mimpi yang sistematis dan hidup di tengah masyarakat. Sebagaimana hukum, moral dan bahkan ilmu pengetahuan; agama juga lahir dan dibentuk dan lalu dipertahankan dalam jangka lama. Tidaklah mungkin suatu fantasi dapat bertahan sekian lama.

Pertanyaan pokok yang penting adalah untuk mempelajari apa bagian yang natural dan berpikir menurut kerangka pikir agama bersangkutan. Namun jika tak ditemukan, mulailah dengan berpikir bahwa ia nyata. Kalangan filosof mempercayai bahwa agama dibikin dan disusun oleh kalangan agamawan. Namun bagaimana mungkin sekelompok masyarakat dapat ditipu sekina lama. Karena itulah, ilmu pengetahuan harus berdasarkan data yang riel. Implikasinya, maka agama tidak dapat hidup dengan teori animistik.

Daftar Bacaan:

Durkhiem, Emile. 1965. The Elementary Forms of The Religious Life. The Free Press, New York.

Durkheim, Emile. 1933. The Division of Labor in Society. The Free Press, New York dan Coliier-MacMillan, London.

Durkheim, Emile. 1964. The Rules of Sociological Method. 8th edition. The Free Press, New York dan Coliier-MacMillan, London.

Durkheim, Emile. 1968. Suicide: A Study in Sociology. The Free Press, New York dan Coliier-MacMillan, Canada.

*****