Kondisi yang Dihadapi
Dalam kegiatan pemberdayaan petani selama ini di Indonesia, mengorganisasikan petani secara formal dalam bentuk asosiasi-asosiasi merupakan pendekatan utama yang digunakan oleh hampir semua pelaku pemberdayaan di pedesaan, baik pemerintah maupun LSM. Mereka sebagai inisiator dan pendamping lapangan membangun kelompok-kelompok formal, baik baru ataupun memperbaiki yang lama, untuk menjalankan program-program pembangunan dan pemberdayaan di pedesaan. Peserta program disyaratkan untuk berkelompok, dimana kelompok menjadi alat untuk mendistribusikan bantuan (material atau uang tunai), dan sebagai wadah untuk berinteraksi baik antar peserta maupun dengan pelaksana program. Untuk mewujudkan pendekatan ini, telah dihabiskan anggaran dan tenaga lapang yang cukup besar, namun hasilnya tidak sebanding. Hasil yang dicapai tidak sebanding dengan usaha yang telah dilakukan.
Pola seperti ini digunakan oleh berbagai departemen, termasuk di Departemen Pertanian. Kegiatan pembangunan pertanian yang salah satunya berupa pemberdayaan petani dan keluarganya hampir selalu menggunakan pendekatan dengan membentuk organisasi formal petani. Dari empat kegiatan saat ini (P4K, PIDRA, P4MI dan Primatani) yang dijalankan Deptan beberapa tahun terakhir, selalu dimasukkan komponen penguatan organisasi lokal. Keempat kegiatan menjadikan pengembangan organisasi petani sebagai prasyarat dalam kegiatanny. (Badan SDM Deptan, 2007; Balitbangtan, 2006).
Fakta yang dihadapi adalah, kelompok-kelompok bentukan tersebut tidak berkembang sesuai harapan, sehingga tidak mampu mendukung pencapaian tujuan program secara keseluruhan. Lemahnya keorganisasian petani tersebut bahkan telah menjadi faktor utama yang menyebabkan kegagalan pelaksanaan program secara keseluruhan (PSEKP, 2006). Hal ini karena terbentuknya asosiasi-asosiasi petani merupakan prasyarat utama dalam rancangan kegiatan secara keseluruhan.
Berbagai sumber menyebutkan bahwa kondisi dan permasalahan seperti ini relatif serupa di banyak belahan dunia (Grootaert, 2001). Pengalaman berbagai lembaga membuktikan berbagai kelemahan pendekatan selama ini dalam pengembangan kerganisasian petani. Penyebab yang sudah berhasil diidentifikasi cukup beragam. Taylor dan Mckenzie (1992) menyebutkan, salah satu penyebabnya adalah karena kurang dihargainya inisiatif lokal dalam penguatan keorganisasian petani. Sesuai dengan prinsip kemandirian lokal, organisasi petani seharusnya dibangun dan dikelola dengan lebih mengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan semangat pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005).
Pada hakekatnya, sampai saat ini, apa penyebab kegagalan tersebut belum banyak disadari dan dipahami sepenuhnya. Secara umum, kegagalan pengembangan kelompok tersebut disebabkan oleh dua aras utama yaitu pada pihak pelaku pengembangan dan dalam diri masyarakat desa itu sendiri. Kegagalan seperti ini selalu terjadi semenjak era Bimas tahun 1970-an sampai sekarang yang menggunakan pendekatan ”pemberdayaan” (empowerment) dan ”pengembangan komunitas” (community development). Ironisnya, berbagai kebijakan baru misalnya berupa undang-undang dan peraturan menteri masih tetap menjadikan organisasi formal sebagai keharusan.
Kekeliruan ini berakar dari pengetahuan dan paradigma yang kurang tepat karena lemahnya pemahaman terhadap desa dan masyarakatnya. Mereka telah jatuh dalam berbagai perangkap prasangka (Chambers, 1987; Nordholt, 1987). Pihak luar cenderung bersikap kurang kritis terhadap masyarakat desa.
Di sisi sebaliknya, saat ini masyarakat pedesaan telah berkembang sedemikian rupa dimana peningkatan pendidikan, ekonomi dan politik lokal telah membentuk suatu karakter sosial, ekonomi, dan politik tersendiri. Mereka mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dan sekaligus memaknai kondisi yang dihadapi berdasarkan pengetahuannya tersebut. Semestinya, dibutuhkan pengembangan keorganisasian yang sesuai, termasuk keorganisasian di bidang ekonomi. Ekspansi ekonomi pasar ke pedesaan membutuhkan bentuk-bentuk pengorganisasian mayarakat yang efisien dan mampu bersaing, serta harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik komoditas yang dikembangkan serta karakter pasar yang berkembang. Rekayasa kelembagaan (dengan membangun organisasi-organisasi) pada tingkat petani, baik sebagai pembudidaya, pengolah, maupun pelaku pemasaran; membutuhkan pemahaman secara sosiologis yang mendalam. Keorganisasian seperti apa yang sesungguhnya sesuai bagi mereka perlu dipelajari dengan memahami pengetahuan dan cara berfikir petani itu sendiri secara langsung.
Dalam menjalankan agribisnis, petani menjalin relasi-relasi dengan berbagai pihak. Relasi tersebut dapat berupa relasi horizontal yaitu dengan sesama petani, dan relasi vertikal dengan pemasok sarana produksi, permodalan, dan teknologi serta dengan pelaku pengolahan dan pedagang hasil pertanian. Dalam setiap relasi petani memiliki dua pilihan yaitu relasi yang bersifat individual atau relasi kolektif dalam bentuk aksi kolektif. Pertimbangan yang dipakai petani adalah manakah pola relasi yang efisien dan efektif untuk menjalankan usaha pertaniannya. Hal ini berbeda dengan keyakinan pihak luar (misalnya tenaga lapang pemerintah), dimana relasi kolektif dalam organisasi formal diyakini pasti lebih baik. Ketidaksamaan persepsi – karena perbedaan pengetahuan - inilah yang menarik dipelajari yang mungkin menjadi penyebab utama pemborosan dan kesia-siaan selama ini. Pengetahuan tentang bagaimana petani mengkonstruksi jaringan relasinya dan rasionalitas di baliknya, merupakan pengetahuan yang sangat berguna untuk memperbaiki pendekatan pemberdayaan di masa mendatang.
Pengetahuan Petani sebagai objek Sosiologi Pengetahuan
Secara sederhana, sosiologi pengetahuan dapat dimaknai sebagai upaya menjadikan pengetahuan sebagai objek perhatian dengan menerapkan perspektif sosiologi. Menurut Dant (1991), pengetahuan merupakan key factor dalam masyarakat. Ia merupakan komponen sehingga sekelompok orang layak disebut ‘masyarakat”. Sosiologi pengetahuan adalah suatu perspektif yang menekankan tentang karakter sosial dari pengetahuan. Ia merefleksikan nilai-nilai dalam masyarakat yang ditransfer melalui diskursus. Dalam bidang ini dipelajari bagaimana hubungan antara pengetahuan dan masyarakat, yaitu bagaimana pengetahuan diproduksi, didistribusi dan direpoduksi di tengah masyarakat melalui relasi-relasi sosial.
Secara sadar atau tidak, objek sosiologi pengetahuan telah menjadi perhatian para ahli sosiologi semenjak era sosiologi klasik. Comte misalnya memaparkan bahwa pengetahuan dan masayarakat saling mempengaruhi secara timbal balik. Karena relasinya yang timbal balik, maka pola-pola pengembangan masyarakat tercermin pula dari pola-pola pengetahuan yang dominan. Menurut Comte, pengetahuan bermula dari bentuk-bentuk teologis, berlanjut menjadi metafisik, dan akhirnya menjadi positivistik. Pada era teologis benda-benda merupakan sumber pengetahuan. Pembabakan ini hanya melihat modus intelektual yang dominan, karena sedikit banyak tipe pengetahuan yang tahayul misalnya masih tetap ada dalam satu masyarakat meskipun perkembangannya telah lanjut. Selanjutnya Emile Durkheim, sebagaimana ide dasarnya “fakta sosial”, ia melihat bahwa pengetahuan dibentuk dalam relasi yang intersubjektif. Pengetahuan merupakan sesuatu yang berada di luar kontrol individu, dan melekat padanya berbagai atribut lain karena ia merupakan fakta sosial.
Marx dengan ide besarnya tentang kelas dan mode of production, berpendapat bahwa pengetahuan berkaitan dengan relasi produksi, dan ia pun menjadi modes of production.
Relasi kelas yang eksis dapat dilihat juga sebagai sebuah relasi pengetahuan. Dengan kata lain, pengetahuan ada dalam modes of production, sebagai modal untuk memperoleh ekonomi. Di sisi lain, pengetahuan juga menjadi dasar untuk menjalankan modes of production tersebut.
Sosiologi pengetahuan menurut Mannheim (dalam Dant, 1991) adalah studi secara sistematis terhadap pengetahuan, gagasan, dan fenomena intelektual secara umum. Mannheim mengaitkan gagasan tentang kelompok dengan pandangan tentang kelompok dalam struktur sosial. Meskipun Karl Mannheim dikenal sebagai tokoh utama yang membangun fondasi kerangka teori sosiologi pengetahuan, namun sosiologi pengetahuan semakin memperoleh perhatian besar di Amerika ketika Peter L. Berger dan Thommas Luckmann menulis buku “Social Construction of Reality”. Berger dan Luckman memaknai pengetahuan sebagai hal-hal yang dianggap bernilai dan bermanfaat untuk memecahkan masalah individu.
Berger dan Luckmann (1979) mengupas tentang adanya dua objek pokok yaitu realitas objektif sebagai fakta sosial dan realitas subjektif berupa pengetahuan. Ada hubungan dialektis antara realitas objektif dengan realitas subjektif. Realitas subjektif berupa pengetahuan individu akan berproses menjadi realitas objektif yakni ketika menjadi pengetahuan bersama. Dalam proses ini, bisa terjadi realitas subjektif yang dinegosiasikan dan ada pula yang dipaksakan. Realitas objektif berlaku umum, dan sebagai fakta sosial ia memiliki kemampuan memaksa, sebagaimana hukum fakta sosial menurut Durkheim.
Ada kaitan antara pengetahuan dan kehidupan dan kesalingketerkaitan antara pikiran dan tindakan. Dengan demikian, pengetahuan tidak pernah merupakan produk sosial yang bebas dari unsur-unsur nilai dan kepentingan, karena ia selalu berkait dengan keanggotaan kelompok dan lokasi dari individu-individu. Sementara, “realitas” adalah suatu kualitas yang terdapat dalam berbagai fenomena yang mempunyai level keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia. Dalam konteks ini, pengetahuan menjadikan fenomena-fenomena tadi itu menjadi real dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik. Kenyataan sosial adalah hasil eksternalisasi dari internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan dalam kehidupan sehari-sehari. Proses eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge yang dimilikinya.
Pada intinya, sosiologi pengetahuan menganalisis berbagai hal yang dimaknai sebagai pengetahuan dalam masyarakat dan berusaha memahami bagaimana proses-proses itu berlangsung. Dapat dikatakan, sosiologi pengetahuan melakukan analisa pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality). Dalam hal ini, dunia ide (pengetahuan) menjadi penentu dunia materi.
Sosiologi pengetahuan, dalam pemikiran Berger dan Luckman (1979), memahami dunia kehidupan selalu dalam proses dialektis, antara the self (individu) dan dunia sosio kultural. Proses dialektis itu mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan internalisasi dimana individu-individu mengidentifikasi melalui lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat ia berada. Dari proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan tadi dan ditambah adanya legitimasi, maka kenyataan sosial telah menjadi suatu konstruksi sosial ciptaan masyarakat itu sendiri.
Kehidupan sehari-hari menyediakan dan menyimpan kenyataan termasuk pengetahuan. Ia menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas obyektif yang lalu diberi berbagai makna subyektif. Namun, kehidupan sehari-hari juga merupakan suatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu, dan dipelihara sebagai hal yang “nyata” oleh pikiran dan tindakan tersebut.
Berger dan Luckmann menjadikan interaksi sosial sebagai perhatian pokok sosiologi. Interaksi ini melibatkan hubungan individu dengan masyarakat, dimana individu senantiasa bertindak secara aktif. Tindakan individu dilandaskan pada makna-makna subyektif yang dipercayai dan dipegang aktor tentang tujuan yang hendak dicapainya, cara atau sarana untuk mencapai tujuan, dan situasi serta kondisi yang melingkupi pada sebelum dan/atau saat tindakan itu dilaksanakan.
Realitas sosial berupa pengetahuan yang bersifat keseharian seperti konsep, kesadaran umum dan wacana publik merupakan hasil konstruksi sosial. Kenyataan itu sendiri bersifat plural, dinamis dan dialektis. Pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari terdistribusi secara sosial, yang mana ditentukan oleh tipe individu. Struktur relasi yang dijalankan sehari-hari merupakan struktur pendistribusian pengetahuan pula. Struktur itulah yang menjadi media atau saluran pengetahuan sehingga pengetahuan terdistribusi secara horizontal maupun antar generasi.
Pengetahuan merupakan basis bersikap dan bertindak individu maupun kelompok. Karena itulah, dalam kegiatan pemberdayaan, berbagai aktivitas berkenaan dengan pengetahuan merupakan satu hal esensial, yaitu berupa pengalihan, peningkatan, maupun penggunaan pengetahuan sebagai alasan untuk berpartisipasi. Dalam penelitian Dewulf et al. (2005), dari suatu aktivitas pemberdayaan, diketahui bahwa pengetahuan terbuka (explicit knowledge) maupun tertutup (tacit knowledge) telah berhasil saling dipertukarkan antar pelaku. Pengetahuan tentang panduan untuk organisasi irigasi dibawa oleh NGO dipertemukan dengan ilmu teknik dari universitas. Berbagai pengetahuan yang selama ini tersimpan (tacit knowledge) yang dimiliki berbagai komunitas petani pun berhasil dibongkar atau diekternalisasi (externalized). Pertukaran pengetahuan berjalan melalui dua arah, yaitu pihak pengguna atau petani menjadi paham bagaimana pihak ahli teknik memaknai software, dan pihak pembangun software juga tahu apa harapan pengguna terhadap software tersebut.
Dijumpai pula bagaimana akhirnya interaksi antar pihak semakin menjadi logis dari waktu ke waktu. Peran universitas yang semula hanya penelitian di bidang software (general ‘research on’ software), berubah menjadi posisi “meneliti dengan” (‘research with’). Terjadi proses refleksi bersama (joint reflection), pembangunan bersama (joint development) dan pengujian bersama (joint testing) dari teknologi yang akan digunakan. Komunikasi berlangusng melalui beragam jenis event mulai dari berupa rapat biasa, saat memasang instalasi, dan berkerjasama di depan komputer. Berlangsungnya praktek bersama melalui relasi yang berkualitas telah memungkinkan mengkomunikasikan secara langsung pengetahuan-pengetahuan yang tersembunyi, serta memungkinkan mengkomunikasikan pengetahuan yang terbuka.
Ditemukan pula bagaimana telah terjadi peningkatan transformasi kerja sebagai stakeholders yang menemukan konteksnya dalam penciptaan pengetahuan, serta menjembatani batas keterlibatan komunitas dalam praktek. Ini terjadi melalui proses eksternalisasi pengetahuan-pengetahuan yang berguna (externalizing mutual knowledge) dan membagi pengetahuan dengan terlibat dalam praktek-praktek sehari-hari dengan memperhatikan kualitas hubungan (quality of relationships).
******
Senin, 30 Mei 2011
Moore-Gilbert tentang Homi K. Bhabha
(buku Moore-Gilbert chapter 4;
Key words: postkolonialisme. Bhabha, pasca Orde baru)
Karakter teori postkolonialisme Homi Bhabha
Kajian postkolonialisme Bhabha dipengaruhi oleh para pemikir poststrukturalis seperti Jacques Derrida dan Michel Foucault, serta dari psikoanalisis Sigmen Freud. Dari perspektif Freud ia berhasil mengungkap bahwa penjajah memiliki kebanggaan tersendiri yang bersifat psikologis begitu berhasil mencapai keinginannya. Namun, menurut Moore-Gilbert, Bhabha tidak berhasil memaparkan psikoanalisisnya dengan baik dalam keseluruhan teorinya. Bentuk lain psikoanalisis adalah dimana subyek-subyek yang menjajah memiliki kemampuan memahami masyarakat terjajah, namun semata hanya untuk maksud untuk melanjutkan kuasa penjajahannya.
Dalam teori-teorinya, Bhabha bermaksud meluruskan pertentangan yang keliru antara teori dengan praktek politik dalam wacana kolonialisme. Sebagaimana dekonstruksinya yang mengkritik oposisi biner ”penjajah - terjajah” sebagai sesuatu yang terlalu disederhanakan, ia sekaligus mempertanyakan anggapan-anggapan metodologis dari para teoritikus postkolonial. Bhabha mengajukan model liminalitas untuk menghidupkan ruang persinggungan antara teori dan praktek kolonisasi dalam upaya menjembatani hubungan timbal balik antara keduanya.
Menurut Bhabha, teori dan praktek tidak dapat dipisah untuk dikritik, karena keduanya saling bersebelahan. Dengan menyandingkan keduanya Bhabha berusaha menemukan pertalian dan ketegangan antara keduanya yang melahirkan hibriditas. Konsep “hibrid” digunakan untuk menggambarkan bergabungnya dua bentuk yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk, dan sekaligus juga meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Namun, postkolonialitas selain melahirkan hibriditas, juga menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan negosiasi baru antar pelaku.
Terminologi dunia ke tiga dan dunia pertama juga menjadi dua kata kunci dalam teori Bhabha. Bhabha menemukan “mimikri” sebagai bukti bahwa yang terjajah tidak melulu diam, karena mereka memiliki kuasa untuk melawan. Konsep “mimikri” digunakan untuk menggambarkan proses peniruan atau peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Fenomena mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, tetapi peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi tersebut. Ini terjadi karena mimikri selalu mengindikasikan makna yang tidak tepat dan juga salah tempat. Ia adalah imitasi sekaligus subversi. Dengan demikian, mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi penjajah. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegasikan dominasinya. Dari mimikri inilah terlihat bahwa ia adalah dasar sebuah identitas hibrida.
Fakta ketidakstabilan kebudayaan dan identitas dalam globalisasi menunjukkan bahwa kebudayaan dan identitas selalu merupakan kontestasi dari berbagai kebudayan yang berbeda. Hibriditas merupakan suatu keniscayaan. Hibriditas adalah pengaburan batas-batas kebudayaan yang mapan dan dibuat menjadi tidak stabil.
Konsep Bhabha dan pertanyaan untuk penelitian tentang Indonesia pasca rezim Orde Baru
Indonesia pasca Orde Baru ditandai kebebasan dalam banyak segi, termasuk kebebasan berekpresi secara verbal dan kultural. Dengan demikian, kita bisa mengamati gejala-gejala dengan mata telanjang, misalnya konsep mimikri dan hibriditas.
Perilaku mimikri merupakan strategi dalam menghadapi praktik dominasi budaya. Pelaku meniru atau meminjam berbagai elemen kebudayaan dominan dengan sekaligus menolak ketergantungan atas kebudayaan yang dominan itu. Sikap dan perilaku mimikri dapat dijadikan objek studi, karena selain mudah dilihat, juga menjadi bukti nyata dampak kolonialisme yang masih berlanjut sampai sekarang. Psikologis sebagai kaum terjajah, sedikit banyak juga karena pemitosan oleh pemikir orientalis, masih menghinggapi masyarakat dunia ketiga.
Hibridisasi merupakan fenomena yang umum terjadi, namun dapat dicermati lebih detail bagaimana perimbangan hibriditas tersebut berlangsung. Dalam kondisi saling kontestasi antar kultur saat ini, bagaimana pola hibriditas yang berlangsung. Dari dua pola gejala localized globalization dan globalized localization; manakah yang lebih mendominasi?
Secara konseptual, grand tour questions adalah pertanyaan yang membutuhkan penjelasan mendalam (in-depth) yang menjelaskan event secara series, menjelaskan sekelompok orang, menceritakan bagaimana mereka terlibat dalam sebuah atau serangkaian aktivitas, menggunakan sebuah objek, atau berjalan melalui berbagai event dalam suatu periode waktu. Dalam pertanyaan ini membutuhkan deskripsi verbal hal-hal penjelasan signifikan suatu kultur. Pertanyaannya lebih general dan berkenaan dengan pola. Ada tiga jenis grand tour questions yakni example questions, experience questions, dan native language questions untuk mengeksplor tentang istilah khusus misalnya. Sementara empirical question adalah jawaban deduktif yang berasal dari kondisi empiris.
Bertolak dari kedua bentuk pertanyaan ini, maka berkenaan dengan konsep Bhabha untuk masyarakat Indonesia saat ini, pertanyaan yang bisa diajukan misalnya adalah bagaimana proses kemunculan dan bertahannya kultur kalangan remaja sebagaimana dapat dilihat saat ini? Secara fisik, kita bisa melihat bahwa mereka mengadopsi berbagai kultur, baik lokal maupun bukan, namun seberapa jauh kah makna sikap dan perilaku yang mereka tunjukkan tersebut? Seberapa jauh bahwa kultur yang mereka pertontonkan tersebut merupakan gejala hibriditas atau bukan? Lebih jauh, apakah ini merupakan representasi dari sesuatu yang lebih besar dan makro, dan kalau ya apa yang mereka representasikan sesungguhnya?
Selain pada kalangan remaja, pertanyaan serupa dapat pula diajukan kepada segmen masyarakat yang lain. Apakah gejala perilaku yang ditunjukkan mereka merupakan sisa-sisa dari dampak kolonialisme masa lalu, atau merupakan gejala hibriditas baru? Sementara, dalam hal politik, kita bisa mempertanyakan bagaimana proses terbentuknya struktur kepartaian dan struktur politik secara umum saat ini? Bagaimana menjelaskan ini dengan kacamata postkolonial, yakni apakah ini merupakan peniruan-peniruan yang tidak kritis belaka, atau merupakan sebuah proses dan penciptaan yang sudah berakar dari kondisi dan kebutuhan kita sendiri yang khas?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, maka pertanyaan lebih detail adalah pada kelompok remaja mana hibriditas berlangsung, dan bagaimana proses keberlangsungannya tersebut? Faktor-faktor psikoanalisa dan lingkungan riel apa yang mendorong perilaku-perilaku tersebut? Pertanyaan ini menark diajukan untuk mengetahui dampak dari kolonialisme yang sudah berlangsung puluhan tahun lampau, pada masyarakat Indonesia yang secara relatif mengalami penjajahan yang tergolong berat.
Sumber bacaan :
Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso.
*****
Key words: postkolonialisme. Bhabha, pasca Orde baru)
Karakter teori postkolonialisme Homi Bhabha
Kajian postkolonialisme Bhabha dipengaruhi oleh para pemikir poststrukturalis seperti Jacques Derrida dan Michel Foucault, serta dari psikoanalisis Sigmen Freud. Dari perspektif Freud ia berhasil mengungkap bahwa penjajah memiliki kebanggaan tersendiri yang bersifat psikologis begitu berhasil mencapai keinginannya. Namun, menurut Moore-Gilbert, Bhabha tidak berhasil memaparkan psikoanalisisnya dengan baik dalam keseluruhan teorinya. Bentuk lain psikoanalisis adalah dimana subyek-subyek yang menjajah memiliki kemampuan memahami masyarakat terjajah, namun semata hanya untuk maksud untuk melanjutkan kuasa penjajahannya.
Dalam teori-teorinya, Bhabha bermaksud meluruskan pertentangan yang keliru antara teori dengan praktek politik dalam wacana kolonialisme. Sebagaimana dekonstruksinya yang mengkritik oposisi biner ”penjajah - terjajah” sebagai sesuatu yang terlalu disederhanakan, ia sekaligus mempertanyakan anggapan-anggapan metodologis dari para teoritikus postkolonial. Bhabha mengajukan model liminalitas untuk menghidupkan ruang persinggungan antara teori dan praktek kolonisasi dalam upaya menjembatani hubungan timbal balik antara keduanya.
Menurut Bhabha, teori dan praktek tidak dapat dipisah untuk dikritik, karena keduanya saling bersebelahan. Dengan menyandingkan keduanya Bhabha berusaha menemukan pertalian dan ketegangan antara keduanya yang melahirkan hibriditas. Konsep “hibrid” digunakan untuk menggambarkan bergabungnya dua bentuk yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk, dan sekaligus juga meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Namun, postkolonialitas selain melahirkan hibriditas, juga menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan negosiasi baru antar pelaku.
Terminologi dunia ke tiga dan dunia pertama juga menjadi dua kata kunci dalam teori Bhabha. Bhabha menemukan “mimikri” sebagai bukti bahwa yang terjajah tidak melulu diam, karena mereka memiliki kuasa untuk melawan. Konsep “mimikri” digunakan untuk menggambarkan proses peniruan atau peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Fenomena mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, tetapi peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi tersebut. Ini terjadi karena mimikri selalu mengindikasikan makna yang tidak tepat dan juga salah tempat. Ia adalah imitasi sekaligus subversi. Dengan demikian, mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi penjajah. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegasikan dominasinya. Dari mimikri inilah terlihat bahwa ia adalah dasar sebuah identitas hibrida.
Fakta ketidakstabilan kebudayaan dan identitas dalam globalisasi menunjukkan bahwa kebudayaan dan identitas selalu merupakan kontestasi dari berbagai kebudayan yang berbeda. Hibriditas merupakan suatu keniscayaan. Hibriditas adalah pengaburan batas-batas kebudayaan yang mapan dan dibuat menjadi tidak stabil.
Konsep Bhabha dan pertanyaan untuk penelitian tentang Indonesia pasca rezim Orde Baru
Indonesia pasca Orde Baru ditandai kebebasan dalam banyak segi, termasuk kebebasan berekpresi secara verbal dan kultural. Dengan demikian, kita bisa mengamati gejala-gejala dengan mata telanjang, misalnya konsep mimikri dan hibriditas.
Perilaku mimikri merupakan strategi dalam menghadapi praktik dominasi budaya. Pelaku meniru atau meminjam berbagai elemen kebudayaan dominan dengan sekaligus menolak ketergantungan atas kebudayaan yang dominan itu. Sikap dan perilaku mimikri dapat dijadikan objek studi, karena selain mudah dilihat, juga menjadi bukti nyata dampak kolonialisme yang masih berlanjut sampai sekarang. Psikologis sebagai kaum terjajah, sedikit banyak juga karena pemitosan oleh pemikir orientalis, masih menghinggapi masyarakat dunia ketiga.
Hibridisasi merupakan fenomena yang umum terjadi, namun dapat dicermati lebih detail bagaimana perimbangan hibriditas tersebut berlangsung. Dalam kondisi saling kontestasi antar kultur saat ini, bagaimana pola hibriditas yang berlangsung. Dari dua pola gejala localized globalization dan globalized localization; manakah yang lebih mendominasi?
Secara konseptual, grand tour questions adalah pertanyaan yang membutuhkan penjelasan mendalam (in-depth) yang menjelaskan event secara series, menjelaskan sekelompok orang, menceritakan bagaimana mereka terlibat dalam sebuah atau serangkaian aktivitas, menggunakan sebuah objek, atau berjalan melalui berbagai event dalam suatu periode waktu. Dalam pertanyaan ini membutuhkan deskripsi verbal hal-hal penjelasan signifikan suatu kultur. Pertanyaannya lebih general dan berkenaan dengan pola. Ada tiga jenis grand tour questions yakni example questions, experience questions, dan native language questions untuk mengeksplor tentang istilah khusus misalnya. Sementara empirical question adalah jawaban deduktif yang berasal dari kondisi empiris.
Bertolak dari kedua bentuk pertanyaan ini, maka berkenaan dengan konsep Bhabha untuk masyarakat Indonesia saat ini, pertanyaan yang bisa diajukan misalnya adalah bagaimana proses kemunculan dan bertahannya kultur kalangan remaja sebagaimana dapat dilihat saat ini? Secara fisik, kita bisa melihat bahwa mereka mengadopsi berbagai kultur, baik lokal maupun bukan, namun seberapa jauh kah makna sikap dan perilaku yang mereka tunjukkan tersebut? Seberapa jauh bahwa kultur yang mereka pertontonkan tersebut merupakan gejala hibriditas atau bukan? Lebih jauh, apakah ini merupakan representasi dari sesuatu yang lebih besar dan makro, dan kalau ya apa yang mereka representasikan sesungguhnya?
Selain pada kalangan remaja, pertanyaan serupa dapat pula diajukan kepada segmen masyarakat yang lain. Apakah gejala perilaku yang ditunjukkan mereka merupakan sisa-sisa dari dampak kolonialisme masa lalu, atau merupakan gejala hibriditas baru? Sementara, dalam hal politik, kita bisa mempertanyakan bagaimana proses terbentuknya struktur kepartaian dan struktur politik secara umum saat ini? Bagaimana menjelaskan ini dengan kacamata postkolonial, yakni apakah ini merupakan peniruan-peniruan yang tidak kritis belaka, atau merupakan sebuah proses dan penciptaan yang sudah berakar dari kondisi dan kebutuhan kita sendiri yang khas?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, maka pertanyaan lebih detail adalah pada kelompok remaja mana hibriditas berlangsung, dan bagaimana proses keberlangsungannya tersebut? Faktor-faktor psikoanalisa dan lingkungan riel apa yang mendorong perilaku-perilaku tersebut? Pertanyaan ini menark diajukan untuk mengetahui dampak dari kolonialisme yang sudah berlangsung puluhan tahun lampau, pada masyarakat Indonesia yang secara relatif mengalami penjajahan yang tergolong berat.
Sumber bacaan :
Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso.
*****
Moore-Gilbert tentang Gayatri Spivak
(Buku Moore-Gilbert chapter 3)
Konseptualisasi Moore-Gilbert tentang Pemikiran Spivak
Dari tiga pemikir utama postkolonial dalam buku Moore-Gilbert, ketiganya merupakan warga dari kelompok masyarakat yang diperjuangkannya, yaitu si Timur. Spivak merupakan salah satu pemikir postkolonial penting berdarah India yang juga banyak mengkonstruksi teori-teorinya dari masyarakat India. Salah satu konsepnya yang terkenal adalah “subaltern” yang basis metodologisnya diadopsi dari pemikir Antonio Gramsci.
Konsep subaltern ini hanya berasal dari sebuah artikel yang mengangkat kisah tragis adik neneknya (Bhuvaneswari Bhaduri) yang saat berusia sekitar 16-17 tahun menggantung diri di Calcutta Utara tahun 1926. Gantung diri ini dilatarbelakangi karena ketidakmampuannya menjalankan tugas pembunuhan politik yang dipercayakan kepadanya. Bagi Spivak inilah bukti sebuah ketidakmampuan berbicara, dan malah memilih membunuh diri.
Sublatern merupakan kelompok marjinal yang selalu menjadi objek bagi kelas yang dominan dan berkuasa. Merekalah kelompok yang tidak pernah ditulis dalam sejarah. Sebagaimana Berger dan Luckman memberi perhatian pada pengetahuan awam sehari-hari, maka Spivak juga menyuarakan ini. Sejarah kehidupan sehari-hari semestinya juga dilihat. Sejalan dengan Berger dan Luckman tersebut, hanya dengan inilah maka akan mampu menggali yang selama ini dilupakan (untuk melakukan debunking). Kelompok subaltern tidak monolitik, mereka mempunyai kompleksitasnya sendiri, dan meskipun mereka berbicara orang tidak menaruh perhatian pada kisahnya.
Pemikir kolonial memposisikan mereka yang terpinggirkan ini sebagai satu bentuk seragam, dimana mereka hanya dilabeli sebagai “masyarakat terjajah” atau “pribumi” tanpa mau tahu etnisnya, gender, pendidikan, dan lain-lain. Spivak ingin membuka mata dan fikiran terutama mereka yang dikelompokkan sebagai penyusun dan pendukung teori kolonial. Spivak memasukkan variabel perempuan, karena perempuan bahkan di masyarakat “normal” saja sudah dapat dikelompokkan sebagai subaltern yakni dalam masyarakat berstruktur patriarkhi.
Meskipun Spivak seorang feminis, namun ia juga mengkritik feminis lain. Ia mengkritik feminis Barat, yang sebagaimana teori lain mengklain sebagai sebuah kebenaran universal. Bagaimanapun teori kritis feminis Barat disusun oleh kalangan perempuan kulit putih Barat dari golongan menengah ke atas yang hidup di perkotaan. Satu kesalahan mereka menurut Spivak adalah karena memandang semua perempuan di dunia ketiga atau non Barat juga seragam dan monolitik. Feminis Barat tidak cermat melihat kondisi dan permasalahan yang khas dan kompleks pada perempuan non Barat. Ini sebuah kekeliruan metodologis; kata Spivak.
Spivak yang dipengaruhi pemikiran Barthez dan Foucault memperjuangkan pembebasan melalui penggalian kesadaran historis yang semestinya menjadi kesadaran yang tidak bisa dilepaskan dari diri masalah-masalah yang sangat lokal. Spivak membuat diskursus alternatif dengan menjadikan konsep “dharma” dalam keyakinan Hindu sebagai pembanding “ideologi Kristen”.
Namun, Moore-Gilbert melihat bahwa Spivak tetap tidak bisa melepaskan diri dari epistemologi pemikiran Barat, khususnya post strukturalis dan postmodern. Spivak dalam beberapa kesempatan sering tidak konsisten dengan posisi pemikirannya. Kontradiksi Spivak juga terlihat ketika ia mengatakan bahwa kelompok subaltern merupakan entitas yang strukturnya terpisah dari sistem ekonomi global yang terbentuknya berawal dari kolonialisme. Ia menyebut subaltern sebagai empty space (ruang kosong) yang lepas dari tatanan ekonomi global dunia; padahal ia menyebut bahwa tubuh perempuan telah menjadi komoditas yang diperdagangkan.
Selama ini, penulisan sejarah telah meminggirkan subaltern, karena selain tidak penting bagi sejarah kemanusiaan juga sulit melacak catatan-catatan tertulis tentang mereka. Elitlah yang menyusunkan sejarah untuk mereka.
Secara sederhana, dualitas elit-subaltern dapat dianalogkan dengan dualitas Barat-Timur, sehingga sejarah Timur juga disusun oleh Barat yang ditulis dengan pemahaman sepihak dan bias-bias yang menutup penulisan sejarah yang sesungguhnya. Malangnya, penulisan tersebut, bahkan oleh ahli hanya mengandalkan catatan-catatan tentara penjajah. (Hal ini misalnya dilakukan Max Weber dalam menulis agama Timur yang hanya mengandalkan catatan tentara dan catatan perjalan orang-orang Barat yang mengunjungi negeri Timur). Akibatnya, mereka tidak pernah benar-benar paham siapa dan bagaima sesunguhnya Timur, dan juga subaltern.
Namun Moore-Gilbert melihat lain, sedikit banyak subaltern juga ditulis meskipun sangat terbatas, misalnya tentang resistensi dan perlawanan terhadap berbagai kebijakan kolonial. Jadi, perjuangan emansipatoris tersebut sebenarnya ada, dan sejarahpun telah mencatatnya. Moore-Gilbert juga melihat bahwa Spivak tidak pernah benar-benar lepas dari pola berfikir biner, meskipun inilah yang menjadi basis kritik poskolonial. Spivak masih tetap menggunakan dikotomi, meskipun hal itu merupakan dikotomi baru.
Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Spivak dan Said
Satu hal yang khas dari Spivak dibandingkan dengan Said (dan Bhabha) adalah perhatiannya pada perempuan sebagai variabel penting. Ini karena Spivak tergolong sebagai pemikir feminis, meskipun ia mengkritik keras feminis Barat yang mengklaim diri sebagai feminis universal.
Spivak mempertanyakan kembali peran intelektual pasca kolonial yang sering dikatakan bisa menyampaikan suara rakyat tertindas atau suara kaum subaltern. Namun, betulkah demikian? Betulkah kaum subaltern bisa berbicara? Subaltern adalah istilah untuk kelompok tertentu di masyarakat yang berada di posisi paling rendah. Ia merupakan kelompok inferior, dan menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Contohnya adalah buruh baik buruh pabrik maupun buruh tani. Mereka tidak memiliki akses kepada kekuasaan yang menghegemoninya. Spivak menekankan, bahwa seharusnya sejarah juga menuliskan tentang sejarah kelas-kelas subaltern ini. Dinamika dan permasalahan kelas subaltern ini cukup kompleks. Mereka memang tidak pernah masuk di “sejarah resmi” negara.
Spivak merupakan ahli kajian kritis mengenai budaya (critical cultural studies) dan teori-teori dekonstruksi. Dalam satu kesempatan ia menyebut dirinya sebagai kritikus sastra.
Di sisi lain, analisis dan perhatian Spivak dapat dikatakan lebih kaya dibandingkan Said. Tema kajiannya lebih luas, mulai dari politik mikro di sekolah sampai narasi makro imperialisme. Ia berupaya melintasi oposisi biner dan menolak mengekslusi pihak yang berbeda darinya. Jika Said cenderung pada analisis level makro, Spivak berupaya mengeksplorasi sampai kepada level yang lebih rendah, dan ia selalu menemukan adanya relasi dominan-subordinasi pada setiap level tersebut.
Bacaan:
Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso.
*******
Konseptualisasi Moore-Gilbert tentang Pemikiran Spivak
Dari tiga pemikir utama postkolonial dalam buku Moore-Gilbert, ketiganya merupakan warga dari kelompok masyarakat yang diperjuangkannya, yaitu si Timur. Spivak merupakan salah satu pemikir postkolonial penting berdarah India yang juga banyak mengkonstruksi teori-teorinya dari masyarakat India. Salah satu konsepnya yang terkenal adalah “subaltern” yang basis metodologisnya diadopsi dari pemikir Antonio Gramsci.
Konsep subaltern ini hanya berasal dari sebuah artikel yang mengangkat kisah tragis adik neneknya (Bhuvaneswari Bhaduri) yang saat berusia sekitar 16-17 tahun menggantung diri di Calcutta Utara tahun 1926. Gantung diri ini dilatarbelakangi karena ketidakmampuannya menjalankan tugas pembunuhan politik yang dipercayakan kepadanya. Bagi Spivak inilah bukti sebuah ketidakmampuan berbicara, dan malah memilih membunuh diri.
Sublatern merupakan kelompok marjinal yang selalu menjadi objek bagi kelas yang dominan dan berkuasa. Merekalah kelompok yang tidak pernah ditulis dalam sejarah. Sebagaimana Berger dan Luckman memberi perhatian pada pengetahuan awam sehari-hari, maka Spivak juga menyuarakan ini. Sejarah kehidupan sehari-hari semestinya juga dilihat. Sejalan dengan Berger dan Luckman tersebut, hanya dengan inilah maka akan mampu menggali yang selama ini dilupakan (untuk melakukan debunking). Kelompok subaltern tidak monolitik, mereka mempunyai kompleksitasnya sendiri, dan meskipun mereka berbicara orang tidak menaruh perhatian pada kisahnya.
Pemikir kolonial memposisikan mereka yang terpinggirkan ini sebagai satu bentuk seragam, dimana mereka hanya dilabeli sebagai “masyarakat terjajah” atau “pribumi” tanpa mau tahu etnisnya, gender, pendidikan, dan lain-lain. Spivak ingin membuka mata dan fikiran terutama mereka yang dikelompokkan sebagai penyusun dan pendukung teori kolonial. Spivak memasukkan variabel perempuan, karena perempuan bahkan di masyarakat “normal” saja sudah dapat dikelompokkan sebagai subaltern yakni dalam masyarakat berstruktur patriarkhi.
Meskipun Spivak seorang feminis, namun ia juga mengkritik feminis lain. Ia mengkritik feminis Barat, yang sebagaimana teori lain mengklain sebagai sebuah kebenaran universal. Bagaimanapun teori kritis feminis Barat disusun oleh kalangan perempuan kulit putih Barat dari golongan menengah ke atas yang hidup di perkotaan. Satu kesalahan mereka menurut Spivak adalah karena memandang semua perempuan di dunia ketiga atau non Barat juga seragam dan monolitik. Feminis Barat tidak cermat melihat kondisi dan permasalahan yang khas dan kompleks pada perempuan non Barat. Ini sebuah kekeliruan metodologis; kata Spivak.
Spivak yang dipengaruhi pemikiran Barthez dan Foucault memperjuangkan pembebasan melalui penggalian kesadaran historis yang semestinya menjadi kesadaran yang tidak bisa dilepaskan dari diri masalah-masalah yang sangat lokal. Spivak membuat diskursus alternatif dengan menjadikan konsep “dharma” dalam keyakinan Hindu sebagai pembanding “ideologi Kristen”.
Namun, Moore-Gilbert melihat bahwa Spivak tetap tidak bisa melepaskan diri dari epistemologi pemikiran Barat, khususnya post strukturalis dan postmodern. Spivak dalam beberapa kesempatan sering tidak konsisten dengan posisi pemikirannya. Kontradiksi Spivak juga terlihat ketika ia mengatakan bahwa kelompok subaltern merupakan entitas yang strukturnya terpisah dari sistem ekonomi global yang terbentuknya berawal dari kolonialisme. Ia menyebut subaltern sebagai empty space (ruang kosong) yang lepas dari tatanan ekonomi global dunia; padahal ia menyebut bahwa tubuh perempuan telah menjadi komoditas yang diperdagangkan.
Selama ini, penulisan sejarah telah meminggirkan subaltern, karena selain tidak penting bagi sejarah kemanusiaan juga sulit melacak catatan-catatan tertulis tentang mereka. Elitlah yang menyusunkan sejarah untuk mereka.
Secara sederhana, dualitas elit-subaltern dapat dianalogkan dengan dualitas Barat-Timur, sehingga sejarah Timur juga disusun oleh Barat yang ditulis dengan pemahaman sepihak dan bias-bias yang menutup penulisan sejarah yang sesungguhnya. Malangnya, penulisan tersebut, bahkan oleh ahli hanya mengandalkan catatan-catatan tentara penjajah. (Hal ini misalnya dilakukan Max Weber dalam menulis agama Timur yang hanya mengandalkan catatan tentara dan catatan perjalan orang-orang Barat yang mengunjungi negeri Timur). Akibatnya, mereka tidak pernah benar-benar paham siapa dan bagaima sesunguhnya Timur, dan juga subaltern.
Namun Moore-Gilbert melihat lain, sedikit banyak subaltern juga ditulis meskipun sangat terbatas, misalnya tentang resistensi dan perlawanan terhadap berbagai kebijakan kolonial. Jadi, perjuangan emansipatoris tersebut sebenarnya ada, dan sejarahpun telah mencatatnya. Moore-Gilbert juga melihat bahwa Spivak tidak pernah benar-benar lepas dari pola berfikir biner, meskipun inilah yang menjadi basis kritik poskolonial. Spivak masih tetap menggunakan dikotomi, meskipun hal itu merupakan dikotomi baru.
Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Spivak dan Said
Satu hal yang khas dari Spivak dibandingkan dengan Said (dan Bhabha) adalah perhatiannya pada perempuan sebagai variabel penting. Ini karena Spivak tergolong sebagai pemikir feminis, meskipun ia mengkritik keras feminis Barat yang mengklaim diri sebagai feminis universal.
Spivak mempertanyakan kembali peran intelektual pasca kolonial yang sering dikatakan bisa menyampaikan suara rakyat tertindas atau suara kaum subaltern. Namun, betulkah demikian? Betulkah kaum subaltern bisa berbicara? Subaltern adalah istilah untuk kelompok tertentu di masyarakat yang berada di posisi paling rendah. Ia merupakan kelompok inferior, dan menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Contohnya adalah buruh baik buruh pabrik maupun buruh tani. Mereka tidak memiliki akses kepada kekuasaan yang menghegemoninya. Spivak menekankan, bahwa seharusnya sejarah juga menuliskan tentang sejarah kelas-kelas subaltern ini. Dinamika dan permasalahan kelas subaltern ini cukup kompleks. Mereka memang tidak pernah masuk di “sejarah resmi” negara.
Spivak merupakan ahli kajian kritis mengenai budaya (critical cultural studies) dan teori-teori dekonstruksi. Dalam satu kesempatan ia menyebut dirinya sebagai kritikus sastra.
Di sisi lain, analisis dan perhatian Spivak dapat dikatakan lebih kaya dibandingkan Said. Tema kajiannya lebih luas, mulai dari politik mikro di sekolah sampai narasi makro imperialisme. Ia berupaya melintasi oposisi biner dan menolak mengekslusi pihak yang berbeda darinya. Jika Said cenderung pada analisis level makro, Spivak berupaya mengeksplorasi sampai kepada level yang lebih rendah, dan ia selalu menemukan adanya relasi dominan-subordinasi pada setiap level tersebut.
Bacaan:
Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso.
*******
Moore-Gilbert tentang Edward Said
(Buku Moore-Gilbert chapter 2)
Edward Said dapat dikatakan sebagai tokoh utama dalam teori post-kolonialisme, dan merupakan salah satu pendiri penting kritik budaya dan analisa wacana. Said lahir di Yerusalem tahun 1935, merupakan putra seorang pedagang Arab makmur. Ia kemudian banyak mendapat pendidikan Barat, yang kemudian justeru banyak ditentangnya. Karya Said, Orientalisme (1978), diposisikan sebagai the founding texts of postcolonialism theory. Lewat buku “Orientalisme”, Said memberikan banyak inspirasi bagi kajian-kajian poskolonial. Said menegaskan bahwa identitas bukan sesuatu yang given, sebagaimana The Orient yang merupakan socially and politically contructed.
Perspektif postkolonial merupakan konsep kunci dalam rangkaian pengembangan diskursus kritik (critical discourse) yang ramai semenjak akhir 1970-an. Gerakan postkolonial merupakan sikap resistensi terhadap otoritarianisme kolonialisme secara militer, politik, maupun kultur.
Pandangan Moore-Gilbert tentang gagasan Said
Terbitnya buku ”Orientalisme” Said merupakan tonggak penting lahirnya kritik terhadap kolonialisme dan orientalisme. Dalam buku ini dipaparkan hubungan antara kultur Barat dengan kolonialisme dan juga imperialisme. Namun point pokoknya adalah pada pengetahuan Barat yang basisnya begitu bias. Ada relasi kuat antara pengetahuan Barat di satu sisi dengan kekuasaan politik disisi lain.
Dalam buku ini dikupas bagaimana Timur direpresentasikan atau dibangun oleh Barat. Hal ini terbaca melalui berbagai karya teks baik sastra maupun ilmiah. Timur menjadi objek yang dibaca, dipahami, dikaji, dan diangkat menjadi karya novel misalnya oleh para penulis Barat. Mereka merasa berhak mekonstruksi Timur, namun kemudian terbukti sudut pandang, perspektif, kesadaran dan ideologi pembaca Barat ini begitu bias. Mereka salah melihat Timur, begitu kira-kira inti argumen Said (dan para ahli postkolonial lain).
Orientalisme Said adalah doktrin politik yang berisi betapa Timur lemah dan Barat dominan. Timur direpresentasikan dalam sifat-sifatnya yang bodoh, despotik, statis, terbelakang, dan seterusnya. Pandangan semacam ini sudah tertanam sejak lama yaitu dimasa penjajahan dulu. Pandangan ini sengaja dibuat demikian sebagai alasan moral Barat menjajah Timur. Pengetahuan ini dianggap sebagai suatu kebenaran. Konsekuensinya adalah ilmuwan (dan rakyat Barat) cenderung rasis, imperialis dan juga etnosentrik. Mereka meninggikan etnis sendiri dan merendahkan etnis lain (Timur).
Ide postkolonoalis Said diawali dengan merujuk pada Joshep Bristow tentang fenomena mayoritas kaum akademisi kulit putih (the majority of white academic). Said juga menggunakan perspektif Foucault dalam hal power dan bagaimana cara kerjanya. Instrumen kunci dari power menurut Foucault adalah ”pengetahuan”. Said mengadopsi cara kerja Foucault tentang diskursus sebagai media dimana pengetahuan dikonstruksi.
Dalam Orientalism dipaparkan bentuk-bentuk hegemoni Barat terhadap Timur. Di sisni jelas digambarkan pembedaan identitas Timur dan Barat sebagai bentuk dikotomi antara Eropa dengan Asia dan Afrika. Perspektif biner Timur dan Barat ini merupakan kunci dalam teori postkolonial. Apa yang disebut ”Timur” sesunggunya hanya rekaan Barat. Dengan menggambarkan Timur sebagai bagian dunia yang lebih rendah, terbelakang, dan irasionalitas; Barat mendapat ”landasan moral” untuk menentukan nasib Timur. Inilah yang kita lihat pada paradigma developmentalis, dimana Baratlah yang menentukan dan hanya mereka yang tahu bagaimana memperlakukan (=membangun) Timur. Timur sendiri dianggap tidak paham dan tidak tahu bagaimana membangun dirinya. Barat mempersepsikan dirinya sebagai kelas yang unggul, dinamis progresif, dan rasional. Jadi, mengikuti Foucalt, Said meyakini kekuasaan dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Klaim Barat tentang pengetahuan Timur yang rendah telah memberikan landasan moral bagi Barat untuk mengendalikan Timur.
Kritik dan kelemahan komentar Moore-Gilbert tentang E. Said
Moore-Gilbert memiliki perspesi positif kepada Said terutama berkenaan dengan sumbangan metodologisnya sehingga mampu membongkar kepalsuan relasi Barat-Timur. Namun demikian, Moore-Gilbert melihat ada ketidakkonsistenan dalam pemikiran Said. Kritiknya berkenaan dengan perspektif politik yakni praktek politik imperalisme, dimana pengetahuan tentang Timur disusun dari perspektif Barat yang tidak netral karena ada orientasi politik penguasaan yang kuat.
Kritik lain dari Moore-Gilbert berkenaan dengan hal latent dan manifest dari Orientalisme. Konsep ”latent” dipakai Said untuk merepresentasikan struktur yang dalam atau aspek yang tidak disadari dari orientalisme yakni soal memposisikan politik dan kehendak berkuasa Barat untuk menguasai Timur di dalam diskursus. Sedangkan ”manifest” menujuk pada detail permukaan atau aspek yang nampak dalam diskursus, seperti disiplin (sosiologi, sejarah, sastera, dll), produk budaya, sarjana dan tradisi bangsa. Aspek pengetahuan yang manifest dari orientalisme ini selalu berubah, sementara aspek latent relatif konstan. Bentuk-bentuk aspek latent dari orientalisme terlihat dari karya-karya para pengarah Eropa yang menghadirkan Timur sebagai terbelakang, bodoh, tunduk, irasional dan uncivilized; maka itu perlu diperhatikan, dimajukan, bahkan diselamatkan oleh Barat. Subjek lah yang menciptakan objek.
Moore-Gilbert mempertanyakan bagaimana kebenaran pengetahuan didapatkan. Said mendapatkan pengetahuan tersebut dari teks-teks, padahal Said sendiri mengatakan bahwa analisa mesti diperoleh di luar teks. Jadi, ada ketidakkonsistenan Said menurut Moore-Gilbert. Jika ingin tahu Timur semestinya lakukan studi langsung ke Timur, jangan dari teks-teks belaka. Selain itu, Moore-Gilber juga melihat ketidakkonsistenan Said dalam menggunakan perspektif Marxis.
Berkenaan dengan konsep laten orientalism dan manifest orentalism, Moore-Gilber mengkritisi derajat kedalaman dari laten dan manifes; karena Said membedakan kedua ini dalam hal kedalamannya. Menurut Moore-Gilber kedua ini memiliki derajat yang berbeda, sehingga tidak bisa dianalisis bersamaan.
Bacaan:
Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso.
Edward Said dapat dikatakan sebagai tokoh utama dalam teori post-kolonialisme, dan merupakan salah satu pendiri penting kritik budaya dan analisa wacana. Said lahir di Yerusalem tahun 1935, merupakan putra seorang pedagang Arab makmur. Ia kemudian banyak mendapat pendidikan Barat, yang kemudian justeru banyak ditentangnya. Karya Said, Orientalisme (1978), diposisikan sebagai the founding texts of postcolonialism theory. Lewat buku “Orientalisme”, Said memberikan banyak inspirasi bagi kajian-kajian poskolonial. Said menegaskan bahwa identitas bukan sesuatu yang given, sebagaimana The Orient yang merupakan socially and politically contructed.
Perspektif postkolonial merupakan konsep kunci dalam rangkaian pengembangan diskursus kritik (critical discourse) yang ramai semenjak akhir 1970-an. Gerakan postkolonial merupakan sikap resistensi terhadap otoritarianisme kolonialisme secara militer, politik, maupun kultur.
Pandangan Moore-Gilbert tentang gagasan Said
Terbitnya buku ”Orientalisme” Said merupakan tonggak penting lahirnya kritik terhadap kolonialisme dan orientalisme. Dalam buku ini dipaparkan hubungan antara kultur Barat dengan kolonialisme dan juga imperialisme. Namun point pokoknya adalah pada pengetahuan Barat yang basisnya begitu bias. Ada relasi kuat antara pengetahuan Barat di satu sisi dengan kekuasaan politik disisi lain.
Dalam buku ini dikupas bagaimana Timur direpresentasikan atau dibangun oleh Barat. Hal ini terbaca melalui berbagai karya teks baik sastra maupun ilmiah. Timur menjadi objek yang dibaca, dipahami, dikaji, dan diangkat menjadi karya novel misalnya oleh para penulis Barat. Mereka merasa berhak mekonstruksi Timur, namun kemudian terbukti sudut pandang, perspektif, kesadaran dan ideologi pembaca Barat ini begitu bias. Mereka salah melihat Timur, begitu kira-kira inti argumen Said (dan para ahli postkolonial lain).
Orientalisme Said adalah doktrin politik yang berisi betapa Timur lemah dan Barat dominan. Timur direpresentasikan dalam sifat-sifatnya yang bodoh, despotik, statis, terbelakang, dan seterusnya. Pandangan semacam ini sudah tertanam sejak lama yaitu dimasa penjajahan dulu. Pandangan ini sengaja dibuat demikian sebagai alasan moral Barat menjajah Timur. Pengetahuan ini dianggap sebagai suatu kebenaran. Konsekuensinya adalah ilmuwan (dan rakyat Barat) cenderung rasis, imperialis dan juga etnosentrik. Mereka meninggikan etnis sendiri dan merendahkan etnis lain (Timur).
Ide postkolonoalis Said diawali dengan merujuk pada Joshep Bristow tentang fenomena mayoritas kaum akademisi kulit putih (the majority of white academic). Said juga menggunakan perspektif Foucault dalam hal power dan bagaimana cara kerjanya. Instrumen kunci dari power menurut Foucault adalah ”pengetahuan”. Said mengadopsi cara kerja Foucault tentang diskursus sebagai media dimana pengetahuan dikonstruksi.
Dalam Orientalism dipaparkan bentuk-bentuk hegemoni Barat terhadap Timur. Di sisni jelas digambarkan pembedaan identitas Timur dan Barat sebagai bentuk dikotomi antara Eropa dengan Asia dan Afrika. Perspektif biner Timur dan Barat ini merupakan kunci dalam teori postkolonial. Apa yang disebut ”Timur” sesunggunya hanya rekaan Barat. Dengan menggambarkan Timur sebagai bagian dunia yang lebih rendah, terbelakang, dan irasionalitas; Barat mendapat ”landasan moral” untuk menentukan nasib Timur. Inilah yang kita lihat pada paradigma developmentalis, dimana Baratlah yang menentukan dan hanya mereka yang tahu bagaimana memperlakukan (=membangun) Timur. Timur sendiri dianggap tidak paham dan tidak tahu bagaimana membangun dirinya. Barat mempersepsikan dirinya sebagai kelas yang unggul, dinamis progresif, dan rasional. Jadi, mengikuti Foucalt, Said meyakini kekuasaan dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Klaim Barat tentang pengetahuan Timur yang rendah telah memberikan landasan moral bagi Barat untuk mengendalikan Timur.
Kritik dan kelemahan komentar Moore-Gilbert tentang E. Said
Moore-Gilbert memiliki perspesi positif kepada Said terutama berkenaan dengan sumbangan metodologisnya sehingga mampu membongkar kepalsuan relasi Barat-Timur. Namun demikian, Moore-Gilbert melihat ada ketidakkonsistenan dalam pemikiran Said. Kritiknya berkenaan dengan perspektif politik yakni praktek politik imperalisme, dimana pengetahuan tentang Timur disusun dari perspektif Barat yang tidak netral karena ada orientasi politik penguasaan yang kuat.
Kritik lain dari Moore-Gilbert berkenaan dengan hal latent dan manifest dari Orientalisme. Konsep ”latent” dipakai Said untuk merepresentasikan struktur yang dalam atau aspek yang tidak disadari dari orientalisme yakni soal memposisikan politik dan kehendak berkuasa Barat untuk menguasai Timur di dalam diskursus. Sedangkan ”manifest” menujuk pada detail permukaan atau aspek yang nampak dalam diskursus, seperti disiplin (sosiologi, sejarah, sastera, dll), produk budaya, sarjana dan tradisi bangsa. Aspek pengetahuan yang manifest dari orientalisme ini selalu berubah, sementara aspek latent relatif konstan. Bentuk-bentuk aspek latent dari orientalisme terlihat dari karya-karya para pengarah Eropa yang menghadirkan Timur sebagai terbelakang, bodoh, tunduk, irasional dan uncivilized; maka itu perlu diperhatikan, dimajukan, bahkan diselamatkan oleh Barat. Subjek lah yang menciptakan objek.
Moore-Gilbert mempertanyakan bagaimana kebenaran pengetahuan didapatkan. Said mendapatkan pengetahuan tersebut dari teks-teks, padahal Said sendiri mengatakan bahwa analisa mesti diperoleh di luar teks. Jadi, ada ketidakkonsistenan Said menurut Moore-Gilbert. Jika ingin tahu Timur semestinya lakukan studi langsung ke Timur, jangan dari teks-teks belaka. Selain itu, Moore-Gilber juga melihat ketidakkonsistenan Said dalam menggunakan perspektif Marxis.
Berkenaan dengan konsep laten orientalism dan manifest orentalism, Moore-Gilber mengkritisi derajat kedalaman dari laten dan manifes; karena Said membedakan kedua ini dalam hal kedalamannya. Menurut Moore-Gilber kedua ini memiliki derajat yang berbeda, sehingga tidak bisa dianalisis bersamaan.
Bacaan:
Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso.
Teori POSTKOLONIALISME
(review buku Moore-Gilbert dan Hobsaw dan Ranger)
Teori Postkolonial terkait dengan konsep utamanya yaitu persoalan relasi yang berbentuk “dominasi-subordinasi”. Relasi ini terjadi mulai dari level makro sampai mikro, mulai dari antar negara sampai dengan antar level masyarakat dan bahkan sampai dengan antar jenis kelamin.
Karakter teori dan perspektif Postkolonial
Dalam Moore dan Gilbert dipaparkan bahwa Teori Poskolonial yang lahir pada paruh kedua abad ke-20 sering disebut sebagai metode dekonstruktif terhadap model berpikir dualis (biner), meskipun mereka yang mengaku sebagai ahli dengan perspektif postkolonial tidak benar-benar mampu lepas dari jerat ini. Model berpikir dualis yang mengendap dalam ilmu pengetahuan Barat, terutama dalam kajian masalah Timur (orientalism), senantiasa menempatkan kedudukan Barat, penjajah, self, pengamat, dan subyek memiliki posisi yang unggul dibandingkan dengan Timur. Timur adalah terjajah, orang luar, obyek, yang diceritakan, dan seterusnya. Orang Barat modern merasa mereka berbeda dengan orang Timur yang dipandang irasional, emosional, dan kurang beradab (misalnya dalam politik disebut dengan “despotis Timur”).
Teori postkolonial merupakan teori kritis sebagai salah satu bentuk dari kelompok teori-teori postmodern. Postkolonial menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai “dunia ketiga” tidaklah seragam. Ada heterogenitas baik karena wilayah, manusianya, dan kulturnya. Ia juga menunjukkan bahwa ada resistensi tertentu dari Timur kepada Barat. Salah satu bentuk yang sangat terkenal adalah apa yang disebut “subaltern” oleh Spivak. Intinya, post kolonial menyediakan kerangka untuk mendestabilisasi bahwa ada asumsi tersembunyi (inherent assumptions) yang melekat dalam pemikiran Barat yang selama ini selalu mengklaim diri sebagai kebenaran tertinggi dan juga universal. Teori postkolonial dikembangkan secara grounded dengan mengangkat berbagai bukti riel hasil kolonialisme, baik secara fisik, politis maupun kultur.
Tujuan pengembangan teori postkolonial adalah melawan sisa-sisa dampak dari terjadinya kolonialisme dalam pengetahuan termasuk pada sisi kultur. Postkolonial berorientasi pada terwujudnya tata hubungan dunia yang baru di masa depan. Postkolonial merupakan teori yang berasumsikan dan sekaligus mengeksplor perbedaan fundamental antara negara penjajah dan negara terjajah dalam menyikapi arah perkembangan kebudayaannya. Teori ini diterapkan untuk mengkaji karakter budaya yang lahir terutama pada negara-negara dunia ketiga atau negara bekas jajahan pada dekade setelah penjajahan berakhir.
Postkolonial dapat pula dipandang sebagai ancangan teoritis untuk mendekonstruksi pandangan kaum kolonialis Barat (disebut dengan kaum orientalis) yang merendahkan Timur atau masyarakat jajahannya. Secara tegas Edward Said menyebut bahwa teori-teori yang dihasilkan Barat tidaklah netral dan obyektif. Teori tersebut sengaja didesain sebagai sebuah rekayasa sosial-budaya demi kepentingan dan kekuasaan mereka. Edward Said membongkar kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur ini dengan menunjukkan adanya bias kepentingan, dan power yang terkandung dalam berbagai teori yang disusun kaum kolonialis dan orientalis. Kalangan ilmuwan zaman penjajahan bersikap kurang kritis, dan banyak yang mengandalkan pada catatan-catatan tentara dan staf yang tidak memiliki metodologi yang netral. Satu contohnya adalah pandangan ”negatif” Weber terhadap agama Timur termasuk Islam, meskipun ia mengakui bahwa teorinya tersebut belum memadai secara ilmiah.
Menurut Edward Said, orientalisme dapat didefinisikan dengan tiga cara yang berbeda yaitu memandang orientalisme sebagai mode atau paradigma berfikir yang berdasarkan epistemologi dan ontologi tertentu dalam upaya membedakan timur dengan barat, sebagai gelar akademis; dan sebagai lembaga resmi yang pada hakekatnya peduli pada timur. Saat ini kita bisa melihat betapa pemikiran kolonial, khususnya orientalisme, telah menciptakan sejarah pahit menyangkut hubungan Eropa dan Asia-Afrika.
Orientalis cenderung merendahlan cara berpikir Timur yang dianggap tidak selaras dan sederajat dengan mereka. Epsitemologi orientalis memposisikan dirinya sebagai subyek (self), sementara yang lain adalah obyek (the other). Sampai dengan akhir abad ke-20 pun, saat penjajahan telah lama berakhir, alih-alih menyesal dengan perbuatannya, pemikir kolonial masih tetap merendahkan timur. Untunglah lahir pemikir postkolonial untuk menunjukkan borok-borok itu semua.
Sesungguhnya, sebagai wacana postcolonial telah muncul pada era penjajahan. Namun teori poskolonial mewujud untuk memberikan kritik lama setelah itu. Perspektif postkolonial memberikan kesadaran akan pentingnya identitas kebangsaan, pentingnya nilai-nilai kemerdekaan dan juga humanisme. Jadi, teori ini lahir untuk membongkar relasi kuasa yang membungkus struktur yang didominasi dan dihegemoni oleh kolonial. Sumbangan besar datang dari karya Edward W. Said bertajuk Orientalism yang mengawali pembongkaran ”kebusukan” pandangan Barat dalam melihat Timur selama ini.
Inti kritik dari postkolonial (terhadap kolonialisme) sesungguhnya bukan dalam bentuk penjajahan secara fisik yang telah melahirkan berbagai kesengsaraan dan penghinaan hakekat kemanusiaan, melainkan pada bangunan wacana dan pengetahuan termasuk bahkan bahasa. Postkolonial juga mengritik pendekatan dikotomi yang merupakan simplifikasi yang menyesatkan.
Edward Said melakukan dekonstruksi yang mengagetkan kaum antikolonialisme dengan membawa slogan “kesadaran tandingan” dengan paradigma orientalismenya. Said menyampaikan bahwa ”Timur” tak lebih dari sebentuk panggung yang didirikan oleh Barat dengan sesuka-sukanya. Orientalisme yang didengungkan sebagai pengetahuan universal, bagi Said hanya wacana yang dibentuk oleh motif-motif kekuasaan belaka. Bersama dengan Edward Said, Homi Bhaabha dan Spivak merupakan tokoh penting dalam ranah kajian postkolonial.
Kultur masyarakat terjajah menurut Postkolonial
Hasil dari berkerjanya kolonialisme selama lebih dari tiga abad sangat banyak dan beragam. Melalui perspektif postkolonial lah semua dampak buruk tersebut bisa terungkap. Dampak tersebut tidak hanya berbagai penderitaan fisik dan batin sepanjang berlangsungnya penjajahan, namun sampai dengan saat ini setelah lebih dari setengah abad penjajahan berakhir. Dampak-dampak tersebut hanya kelihatan setelah meggunakan kacamata teori postkolonial. Salah satu ”temuan” teori postkolonial adalah misalnya fenomena ”hibriditas” yang berlangsung semenjak era kolonial sampai dengan sekarang.
Satu bentuk lain adalah sebagaimana diangkat salah seroang tokoh postkolonial yaitu Gayatri Spivak yang paling terkenal dengan konsep ”subaltern”. Subal¬tern adalah sebutan untuk seluruh subjek yang tertekan, lemah, dan marjinal. Mereka adalah kaum terjajah yang inferior dan bisu. Dari fenomena sublatern Spivak berhasil menunjukkan bahwa dalam kolonialisme tidak hanya terjadi penaklukan fisik, namun juga penaklukan pikiran, jiwa, dan budaya.
Malangnya, cara berfikir kolonialis, atau Barat, atau orientalis diadopsi pula oleh sebagian masyarakat timur, yang sayangnya adalah para elit. Mereka menelan berbagai ilmu kolonial tanpa mengunyahnya. Salah satu agennya adalah universitas dengan semua sivitas akademikanya. Barat dengan cerdik mencetak agen-agennya sendiri di Timur, yang tanpa sadar misalnya melakukan mimikri. Mereka menjadi kaum yang tergantung dan mangagungkan Barat intelektual dan cara berfikir barat. Ketika berbicara, mereka lebih menunjukkan suara barat dari pada kepentingan mereka sendiri. Untuk mengatasi ini, menurut Spivak, dibutuhkan transformasi epistemologis dengan mengganti imperalisme pemikiran tersebut.
Dari buku Hobsbawm dan Ranger, berjudul ”The Invention of Tradition” yang merupakan kumpulan artikel berkenaan dengan konstruksi simbol dan tradisi seremonial pada abad lalu terutama yang dijalankan oleh Inggris (British), diperlihatkan temuan baru yang menolak perspektif kehebatan Barat. Tradisi Scottish "Highland" yang dipraktekkan tahun 1730 yang disebut dengan pola petak-petak kaum (clan tartans) dianggap sebagai temuan abad ke-19 yang dibawa penjajah Inggris dalam kolonialismenya. Penulis buku ini menemukan hal serupa di Afrika namun mengalami modfikasi karena pengaruh lokal. Ranger melakukan studi tradisi massa di Eropa mutakhir sampai dengan perang dunia pertama, dalam bentuk festival, liburan, monument, gerakan pekerja dan kelahiran kelas menengah.
Tadisi penemuan (invented traditions) juga muncul dalam sejarah bangsa-bangsa terjajah. Tradisi yang muncul atau diklaim berasal dari masa lampau. Apa yang disebutnya dengan “invented traditions” adalah sekumpulan praktek, yang secara normal diatur secara terbuka atau secara diam-diam diterima sebagai aturan (rules) dan merupakan bagian dari sebuah ritual atau sifat simbolik, yang merupakan proses penenaman norma-norma dan nilai-nilai yang tertentu dari perilaku melalui pengulangan, dan secara otomatis menyiratkan kesinambungan dengan masa lalu.
Dalam buku ini disebutkan bahwa tradisi penemuan lebih sering terjadi pada waktu berlangsungnya transfomasi secara cepat, yakni ketika tradisi lama menghilang. Maka dengan menggali ini sangat mungkin menemukan berbagai tradisi baik di masyarakat tradisional maupun modern. Semua tradisi penemuan menggunakan referensi masa lalu tak terbatas hanya untuk kohesi kelompok tapi juga legitimasi tindakan.
Dari temuan-temuan ini, Hobsbawm dan Ranger menyarankan agar ahli sejarah harus menghargai berbagai sumber, termasuk ingatan dan pengalaman langsung mereka yang mengalami selain bahasa tertulis. Metode sejarah harus memberi ruang yang lebih luas lagi. Setiap orang semestinya berpartisipasi dalam memberi informasi, karena setiap orang adalah sejarawan. Sejarah dan memori menjadi semakin dekat dalam posisinya untuk mendapatkan making sense of the past untuk saat ini.
Sumber bacaan:
Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso.
Hobsbawm, Eric and Terence Ranger (editors). 2004. The Invention of Tradition. Cambridge: Cambridge University Press.
******
Teori Postkolonial terkait dengan konsep utamanya yaitu persoalan relasi yang berbentuk “dominasi-subordinasi”. Relasi ini terjadi mulai dari level makro sampai mikro, mulai dari antar negara sampai dengan antar level masyarakat dan bahkan sampai dengan antar jenis kelamin.
Karakter teori dan perspektif Postkolonial
Dalam Moore dan Gilbert dipaparkan bahwa Teori Poskolonial yang lahir pada paruh kedua abad ke-20 sering disebut sebagai metode dekonstruktif terhadap model berpikir dualis (biner), meskipun mereka yang mengaku sebagai ahli dengan perspektif postkolonial tidak benar-benar mampu lepas dari jerat ini. Model berpikir dualis yang mengendap dalam ilmu pengetahuan Barat, terutama dalam kajian masalah Timur (orientalism), senantiasa menempatkan kedudukan Barat, penjajah, self, pengamat, dan subyek memiliki posisi yang unggul dibandingkan dengan Timur. Timur adalah terjajah, orang luar, obyek, yang diceritakan, dan seterusnya. Orang Barat modern merasa mereka berbeda dengan orang Timur yang dipandang irasional, emosional, dan kurang beradab (misalnya dalam politik disebut dengan “despotis Timur”).
Teori postkolonial merupakan teori kritis sebagai salah satu bentuk dari kelompok teori-teori postmodern. Postkolonial menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai “dunia ketiga” tidaklah seragam. Ada heterogenitas baik karena wilayah, manusianya, dan kulturnya. Ia juga menunjukkan bahwa ada resistensi tertentu dari Timur kepada Barat. Salah satu bentuk yang sangat terkenal adalah apa yang disebut “subaltern” oleh Spivak. Intinya, post kolonial menyediakan kerangka untuk mendestabilisasi bahwa ada asumsi tersembunyi (inherent assumptions) yang melekat dalam pemikiran Barat yang selama ini selalu mengklaim diri sebagai kebenaran tertinggi dan juga universal. Teori postkolonial dikembangkan secara grounded dengan mengangkat berbagai bukti riel hasil kolonialisme, baik secara fisik, politis maupun kultur.
Tujuan pengembangan teori postkolonial adalah melawan sisa-sisa dampak dari terjadinya kolonialisme dalam pengetahuan termasuk pada sisi kultur. Postkolonial berorientasi pada terwujudnya tata hubungan dunia yang baru di masa depan. Postkolonial merupakan teori yang berasumsikan dan sekaligus mengeksplor perbedaan fundamental antara negara penjajah dan negara terjajah dalam menyikapi arah perkembangan kebudayaannya. Teori ini diterapkan untuk mengkaji karakter budaya yang lahir terutama pada negara-negara dunia ketiga atau negara bekas jajahan pada dekade setelah penjajahan berakhir.
Postkolonial dapat pula dipandang sebagai ancangan teoritis untuk mendekonstruksi pandangan kaum kolonialis Barat (disebut dengan kaum orientalis) yang merendahkan Timur atau masyarakat jajahannya. Secara tegas Edward Said menyebut bahwa teori-teori yang dihasilkan Barat tidaklah netral dan obyektif. Teori tersebut sengaja didesain sebagai sebuah rekayasa sosial-budaya demi kepentingan dan kekuasaan mereka. Edward Said membongkar kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur ini dengan menunjukkan adanya bias kepentingan, dan power yang terkandung dalam berbagai teori yang disusun kaum kolonialis dan orientalis. Kalangan ilmuwan zaman penjajahan bersikap kurang kritis, dan banyak yang mengandalkan pada catatan-catatan tentara dan staf yang tidak memiliki metodologi yang netral. Satu contohnya adalah pandangan ”negatif” Weber terhadap agama Timur termasuk Islam, meskipun ia mengakui bahwa teorinya tersebut belum memadai secara ilmiah.
Menurut Edward Said, orientalisme dapat didefinisikan dengan tiga cara yang berbeda yaitu memandang orientalisme sebagai mode atau paradigma berfikir yang berdasarkan epistemologi dan ontologi tertentu dalam upaya membedakan timur dengan barat, sebagai gelar akademis; dan sebagai lembaga resmi yang pada hakekatnya peduli pada timur. Saat ini kita bisa melihat betapa pemikiran kolonial, khususnya orientalisme, telah menciptakan sejarah pahit menyangkut hubungan Eropa dan Asia-Afrika.
Orientalis cenderung merendahlan cara berpikir Timur yang dianggap tidak selaras dan sederajat dengan mereka. Epsitemologi orientalis memposisikan dirinya sebagai subyek (self), sementara yang lain adalah obyek (the other). Sampai dengan akhir abad ke-20 pun, saat penjajahan telah lama berakhir, alih-alih menyesal dengan perbuatannya, pemikir kolonial masih tetap merendahkan timur. Untunglah lahir pemikir postkolonial untuk menunjukkan borok-borok itu semua.
Sesungguhnya, sebagai wacana postcolonial telah muncul pada era penjajahan. Namun teori poskolonial mewujud untuk memberikan kritik lama setelah itu. Perspektif postkolonial memberikan kesadaran akan pentingnya identitas kebangsaan, pentingnya nilai-nilai kemerdekaan dan juga humanisme. Jadi, teori ini lahir untuk membongkar relasi kuasa yang membungkus struktur yang didominasi dan dihegemoni oleh kolonial. Sumbangan besar datang dari karya Edward W. Said bertajuk Orientalism yang mengawali pembongkaran ”kebusukan” pandangan Barat dalam melihat Timur selama ini.
Inti kritik dari postkolonial (terhadap kolonialisme) sesungguhnya bukan dalam bentuk penjajahan secara fisik yang telah melahirkan berbagai kesengsaraan dan penghinaan hakekat kemanusiaan, melainkan pada bangunan wacana dan pengetahuan termasuk bahkan bahasa. Postkolonial juga mengritik pendekatan dikotomi yang merupakan simplifikasi yang menyesatkan.
Edward Said melakukan dekonstruksi yang mengagetkan kaum antikolonialisme dengan membawa slogan “kesadaran tandingan” dengan paradigma orientalismenya. Said menyampaikan bahwa ”Timur” tak lebih dari sebentuk panggung yang didirikan oleh Barat dengan sesuka-sukanya. Orientalisme yang didengungkan sebagai pengetahuan universal, bagi Said hanya wacana yang dibentuk oleh motif-motif kekuasaan belaka. Bersama dengan Edward Said, Homi Bhaabha dan Spivak merupakan tokoh penting dalam ranah kajian postkolonial.
Kultur masyarakat terjajah menurut Postkolonial
Hasil dari berkerjanya kolonialisme selama lebih dari tiga abad sangat banyak dan beragam. Melalui perspektif postkolonial lah semua dampak buruk tersebut bisa terungkap. Dampak tersebut tidak hanya berbagai penderitaan fisik dan batin sepanjang berlangsungnya penjajahan, namun sampai dengan saat ini setelah lebih dari setengah abad penjajahan berakhir. Dampak-dampak tersebut hanya kelihatan setelah meggunakan kacamata teori postkolonial. Salah satu ”temuan” teori postkolonial adalah misalnya fenomena ”hibriditas” yang berlangsung semenjak era kolonial sampai dengan sekarang.
Satu bentuk lain adalah sebagaimana diangkat salah seroang tokoh postkolonial yaitu Gayatri Spivak yang paling terkenal dengan konsep ”subaltern”. Subal¬tern adalah sebutan untuk seluruh subjek yang tertekan, lemah, dan marjinal. Mereka adalah kaum terjajah yang inferior dan bisu. Dari fenomena sublatern Spivak berhasil menunjukkan bahwa dalam kolonialisme tidak hanya terjadi penaklukan fisik, namun juga penaklukan pikiran, jiwa, dan budaya.
Malangnya, cara berfikir kolonialis, atau Barat, atau orientalis diadopsi pula oleh sebagian masyarakat timur, yang sayangnya adalah para elit. Mereka menelan berbagai ilmu kolonial tanpa mengunyahnya. Salah satu agennya adalah universitas dengan semua sivitas akademikanya. Barat dengan cerdik mencetak agen-agennya sendiri di Timur, yang tanpa sadar misalnya melakukan mimikri. Mereka menjadi kaum yang tergantung dan mangagungkan Barat intelektual dan cara berfikir barat. Ketika berbicara, mereka lebih menunjukkan suara barat dari pada kepentingan mereka sendiri. Untuk mengatasi ini, menurut Spivak, dibutuhkan transformasi epistemologis dengan mengganti imperalisme pemikiran tersebut.
Dari buku Hobsbawm dan Ranger, berjudul ”The Invention of Tradition” yang merupakan kumpulan artikel berkenaan dengan konstruksi simbol dan tradisi seremonial pada abad lalu terutama yang dijalankan oleh Inggris (British), diperlihatkan temuan baru yang menolak perspektif kehebatan Barat. Tradisi Scottish "Highland" yang dipraktekkan tahun 1730 yang disebut dengan pola petak-petak kaum (clan tartans) dianggap sebagai temuan abad ke-19 yang dibawa penjajah Inggris dalam kolonialismenya. Penulis buku ini menemukan hal serupa di Afrika namun mengalami modfikasi karena pengaruh lokal. Ranger melakukan studi tradisi massa di Eropa mutakhir sampai dengan perang dunia pertama, dalam bentuk festival, liburan, monument, gerakan pekerja dan kelahiran kelas menengah.
Tadisi penemuan (invented traditions) juga muncul dalam sejarah bangsa-bangsa terjajah. Tradisi yang muncul atau diklaim berasal dari masa lampau. Apa yang disebutnya dengan “invented traditions” adalah sekumpulan praktek, yang secara normal diatur secara terbuka atau secara diam-diam diterima sebagai aturan (rules) dan merupakan bagian dari sebuah ritual atau sifat simbolik, yang merupakan proses penenaman norma-norma dan nilai-nilai yang tertentu dari perilaku melalui pengulangan, dan secara otomatis menyiratkan kesinambungan dengan masa lalu.
Dalam buku ini disebutkan bahwa tradisi penemuan lebih sering terjadi pada waktu berlangsungnya transfomasi secara cepat, yakni ketika tradisi lama menghilang. Maka dengan menggali ini sangat mungkin menemukan berbagai tradisi baik di masyarakat tradisional maupun modern. Semua tradisi penemuan menggunakan referensi masa lalu tak terbatas hanya untuk kohesi kelompok tapi juga legitimasi tindakan.
Dari temuan-temuan ini, Hobsbawm dan Ranger menyarankan agar ahli sejarah harus menghargai berbagai sumber, termasuk ingatan dan pengalaman langsung mereka yang mengalami selain bahasa tertulis. Metode sejarah harus memberi ruang yang lebih luas lagi. Setiap orang semestinya berpartisipasi dalam memberi informasi, karena setiap orang adalah sejarawan. Sejarah dan memori menjadi semakin dekat dalam posisinya untuk mendapatkan making sense of the past untuk saat ini.
Sumber bacaan:
Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso.
Hobsbawm, Eric and Terence Ranger (editors). 2004. The Invention of Tradition. Cambridge: Cambridge University Press.
******
Masa Depan Sosiologi Pengetahuan sebagai Analisis Discourse
(Tim Dant bab 12)
Khusus pada Bab 12, Dant memaparkan narasinya tentang bagaimana masa depan sosiologi pengetahuan dalam konteks sebagai analisa diskursus. Pemaparannya dimulai dari keterbatasan humanisme (meskipun mampu melahirkan science), momen refleksif, overview tentang isi buku, serta diakhiri dengan pandangann tentang masa depan permasalahan ini.
Dalam keseluruhan bukunya, Dant menjelaskan apa dan bagaimana tiga objek (pengetahuan, ideologi dan diskursus) saling berrelasi. Ketiganya melekat pada sistem sosial dan merupakan sesuatu yang socially constructed. Pengetahuan misalnya, dikonstruksi dalam berbagai kekuatan berupa kekuasaan, individual, sosialisasi, kultur, bahasa, dan struktur sosial. Begitu banyak kekuatan yang ikut membentuknya. Dalam sosiologi pengetahuan, ia diposisikan objek sekaligus produk dari sistem sosial. Sementara, teori diskursus meyakini bahwa dalam segala aktivitas keseharian manusia, struktur kekuasaan juga berperan saat kita berbicara dan dan berbahasa. Dengan mengamati bagaimana orang berbahasa, kita bisa mengindikasikan bagaimana struktur kekuasaan berkerja pada dirinya.
Karena analisa diskursus hanya membatasi pada bahasa, atau tepatnya sesuatu yang visual dalam berbahasa (yaitu berbicara, teks, dan lain-lain), maka sesungguhnya ia menyempitkan pandangannya. Pengetahuan manusia jauh lebih luas dari itu. Memperlajari pengetahuan manusia hanya dari analisa diskursus, tidak akan menemukan keseluruhan kompleksitas pengetahuan tersebut. Apalagi, apa yang disebut dengan “sosiologi pengetahuan” itu sendiri, juga memiliki keterbatasan. Keterbatasan tersebut datang dari paradigma humanismenya, serta konteks kultural (Eropa Barat) tempat ia tumbuh dan berkembang dan kurang memberikan perhatian pada keragaman dunia lain.
Analisa pengetahuan sebagai Ideological Discourse
Dant menjelaskan bagaimana menganalisa pengetahuan sebagai ideological discourse di Bab 11 dan juga 12. Perlu diingat pula bahwa pengetahuan di sisi lain juga berpraktek sebagai wacana ideologi. Dalam berkomunikasi, selain dapat dilakukan analisa diskursus, juga ada ideologi terlihat di dalamnya.
Diskursus merupakan fenomena sosial, dimana pengetahuan dapat dibagi dan dimiliki bersama. Dalam proses diskursus dijumpai adanya dampak ideologis. Diskursus hanya mampu melihat sebagian dari kompleks pengetahuan suatu masyarakat, yaitu hanya dari bahasa. Diskursus tidak pernah melihat misalnya musik dan tari, yang sesungguhnya merupakan bagian dari pengetahuan masyarakat bersangkutan.
Walaupun sulit menghindari efek ideologi, namun ada cara untuk mengidentifikasi perspektif pengetahuan dan menghubungkannya dengan konteks pengucapannya sebagai diskursus. Ada relasi antara isi pengetahuan dan konteks sosialnya (relationism). Jika isi pengetahuan diperlakukan seperti dalam diskursus maka hubungan antara pengetahuan dan konteksnya dapat dianalisis dengan mempelajari diskursus.
Pada hakekatnya, penjelasan dalam diskursus bukan hanya penjelasan mengenai dunia tetapi juga praktik manusia yang membentuk dunia tersebut. Diskursus merefleksikan sisi statis dan dinamis sistem sosial yang membentuknya. Dalam diskursus terjadi tranformasi makna antar orang dan kelompok orang.
Ada otoritas dalam pembentukan dan pendistribusian makna, dimana struktur kekuasaan menjadi latar di belakangnya. Karena itulah, dengan melakukan analisa diskursus, sesungguhnya kita bisa menemukan ideologi di dalamnya. Ideologi merupakan hal yang melekat dalam setiap berbagai aktivitas, termasuk aktivitas berkomunikasi.
Lingkup penjelasan Dant tentang Sosiologi Pengetahuan Masyarakat
Dant menyebutkan bahwa, pengembangan ilmu (science) sebagai realitas empiris dimungkinkan setelah “matinya agama”. Meskipun demikian, bahaya lain pun muncul, dimana terjadi keseragaman dalam etika model universal tentang kebebasan, sebagaimana diyakini oleh Mannheim dan Foucault. Mestinya, kebebasan tak sekadar opsi “kiri, tengah, dan kanan”; andai saja mampu diungkap berbagai bentuk rahasia-rahasia dan bentuk-bentuk kebebasan. Penggalian kekayaan ide manusia dikhawatirkan akan menjadi lebih sempit, sehingga terlihat menjadi seragam dan universal. “Putih, barat, dan Eropa Barat” semakin mendominasi. Mereka merasa merekalah yang paling berhak menjelaskan apa yang dipahami sebagai “manusia” (man).
Dant menyebutkan bahwa sosiologi pengetahuan yang berkembang kurang memberi perhatian pada aspek Tuhan dan Timur (Orient). Ia tak bisa menerangkan masyarakat dimana eksis berbagai hal yaitu cultural discourse, serta agama yang diadopsi dalam masyarakat. Hal ini menghasilkan moralitas tertentu. Bahwa agama di wilayah non-Eropa Barat memberi pengaruh pada pengetahuan masyarakat, tidak mampu dilihat oleh sosiologi pengetahuan.
Pengetahuan yang religius (religious knowledge) bukan objek dari sosiologi pengetahuan. Mereka beralasan, jika semua karena semua Tuhan, maka determinisme sosialnya tidak akan lagi tampak. Ini harus dihindari karena ia bukan objek yang bisa diperdebatkan dan dikritik, karena sifat transedentalnya. Jika semua aktivitas dimaknai sebagai aktivitas religi, maka akan menimbulkan bias dan mis-informasi. Pada intinya, sosiologi pengetahuan melahirkan human sciences, namun secara bersamaan mematikan perspektif religius manusia. Ia tidak melihat manusia secara utuh.
Terbukti bahwa sosiologi pengetahuan bukan jalan menuju kebenaran yang sempurna dan ia kurang mampu menghasilkan pengetahuan yang lebih baik. Pandangan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh sosiologi pengetahuan hanyalah salah suatu saja dari banyak perspektif lain. Karena itulah, bagi ahli yang melihat sosiologi pengetahuan dari perpekstif lain, yang lebih transendental atau epistemologis, sosiologi pengetahuan terlihat sebagai kritik yang tidak konstruktif.
Di sisi lain, perhatian pada masalah diskursus sangat penting untuk sosiologi pengetahuan, namun membawa konsekuensi tersendiri. Diskursus mengobservasi bentuk-bentuk visual materil dari interaksi sosial yang sesungguhnya memiliki dinamika dan konteks sosial yang jauh lebih besar daripada situasi langsung tersebut.
Masa depan Sosiologi Pengetahuan
Tentang masa depan sosiologi pengetahuan, menurut Dant, sosiologi pengetahuan bisa memberikan perbaikan terhadap struktur institusi yang memproduksi pengetahuan. Dant mengutip berbagai pandangan dalam menyusun persepsinya tentang masa depan sosiologi pengatahuan. Dari kalangan strukturalis tumbuh pandangan bahwa pengetahuan merupakan sesuatu yang dikonstruksi. Dari Mannheim, ia menganalisa pengetahuan sebagai objek ilmiah dengan metode diskursus.
Dari pendekatan linguistik, disumbangkan peran kontek sosial dari diskursus dan peran bahasa terhadap pembentukan ideologi. Meskipun diskursus juga bukan merupakan truth, namun ia merupakan cara menjelaskan dunia yang memungkinkan kelompok-kelompok manusia saling berbagi.
Buku Dant tidak hanya bicara tentang proses pengetahuan, tapi juga tentang klaim pengetahuan. Pengetahuan terbentuk dalam garis-garis kekuasaan (lines of power). Buku ini juga telah membahas pertukaran makna di level ide dan konsep, juga level pertukaran antar tema pengetahuan. Ideologi dan diskursus menyediakan diri sebagai teks. Diskursus hanya melihat ketika pengetahuan muncul dalam bahasa, sedangkan bentuk-bentuk lain diabaikan.
Sosiologi pengetahuan juga banyak mengalami kehilangan. Menurut Alfed Weber, epistemologinya tidak sistematis, dan debat tentang konsep sosiologi pengetahuan itu sendiri pun belum tuntas. Debat bahwa ideologi merupakan false knowledge, dan science sebagai true knowledge juga tidak berlanjut.
Kalangan strukturalisme mengangkat berbagai kontradiksi antara mitos, ideologi dan pengetahuan dengan penggunaan di masyarakat. Ia melihat bagaimana peran penting mitos, meskipun ia juga bukan tergolong sebagai “true knowledge”.
Kedepan diharapkan sosiologi pengetahuan dapat mengembangkan pluralitas klaim pengetahuan. Untuk itu, penelitian empiris sosiologi pengetahuan perlu dikombinasikan dengan studi tentang religi, seni, keterampilan, musik, dan lain-lain. Tambahan lain, selain melihat apa yang visual melalui analisa diskursus, juga harus dipelajari apa fakta di belakang yang melahirkannya. Hanya dengan pendekatan inilah sosiologi pengetahuan akan dapat memberikan sumbangan yang lebih besar. Ini penting karena secara substantif, “pengetahuan” dalam arti bagaimana dimiliki, dibentuk, dan didistribusikan dan berperan dalam masyakat; merupakan hal yang selalu eksis dalam banyak disiplin ilmu sosial.
Pustaka:
Dant, Tim. 1991. Knowledge, Ideology, and Discourse: a Sociological Perspective. London: Routledge.
Khusus pada Bab 12, Dant memaparkan narasinya tentang bagaimana masa depan sosiologi pengetahuan dalam konteks sebagai analisa diskursus. Pemaparannya dimulai dari keterbatasan humanisme (meskipun mampu melahirkan science), momen refleksif, overview tentang isi buku, serta diakhiri dengan pandangann tentang masa depan permasalahan ini.
Dalam keseluruhan bukunya, Dant menjelaskan apa dan bagaimana tiga objek (pengetahuan, ideologi dan diskursus) saling berrelasi. Ketiganya melekat pada sistem sosial dan merupakan sesuatu yang socially constructed. Pengetahuan misalnya, dikonstruksi dalam berbagai kekuatan berupa kekuasaan, individual, sosialisasi, kultur, bahasa, dan struktur sosial. Begitu banyak kekuatan yang ikut membentuknya. Dalam sosiologi pengetahuan, ia diposisikan objek sekaligus produk dari sistem sosial. Sementara, teori diskursus meyakini bahwa dalam segala aktivitas keseharian manusia, struktur kekuasaan juga berperan saat kita berbicara dan dan berbahasa. Dengan mengamati bagaimana orang berbahasa, kita bisa mengindikasikan bagaimana struktur kekuasaan berkerja pada dirinya.
Karena analisa diskursus hanya membatasi pada bahasa, atau tepatnya sesuatu yang visual dalam berbahasa (yaitu berbicara, teks, dan lain-lain), maka sesungguhnya ia menyempitkan pandangannya. Pengetahuan manusia jauh lebih luas dari itu. Memperlajari pengetahuan manusia hanya dari analisa diskursus, tidak akan menemukan keseluruhan kompleksitas pengetahuan tersebut. Apalagi, apa yang disebut dengan “sosiologi pengetahuan” itu sendiri, juga memiliki keterbatasan. Keterbatasan tersebut datang dari paradigma humanismenya, serta konteks kultural (Eropa Barat) tempat ia tumbuh dan berkembang dan kurang memberikan perhatian pada keragaman dunia lain.
Analisa pengetahuan sebagai Ideological Discourse
Dant menjelaskan bagaimana menganalisa pengetahuan sebagai ideological discourse di Bab 11 dan juga 12. Perlu diingat pula bahwa pengetahuan di sisi lain juga berpraktek sebagai wacana ideologi. Dalam berkomunikasi, selain dapat dilakukan analisa diskursus, juga ada ideologi terlihat di dalamnya.
Diskursus merupakan fenomena sosial, dimana pengetahuan dapat dibagi dan dimiliki bersama. Dalam proses diskursus dijumpai adanya dampak ideologis. Diskursus hanya mampu melihat sebagian dari kompleks pengetahuan suatu masyarakat, yaitu hanya dari bahasa. Diskursus tidak pernah melihat misalnya musik dan tari, yang sesungguhnya merupakan bagian dari pengetahuan masyarakat bersangkutan.
Walaupun sulit menghindari efek ideologi, namun ada cara untuk mengidentifikasi perspektif pengetahuan dan menghubungkannya dengan konteks pengucapannya sebagai diskursus. Ada relasi antara isi pengetahuan dan konteks sosialnya (relationism). Jika isi pengetahuan diperlakukan seperti dalam diskursus maka hubungan antara pengetahuan dan konteksnya dapat dianalisis dengan mempelajari diskursus.
Pada hakekatnya, penjelasan dalam diskursus bukan hanya penjelasan mengenai dunia tetapi juga praktik manusia yang membentuk dunia tersebut. Diskursus merefleksikan sisi statis dan dinamis sistem sosial yang membentuknya. Dalam diskursus terjadi tranformasi makna antar orang dan kelompok orang.
Ada otoritas dalam pembentukan dan pendistribusian makna, dimana struktur kekuasaan menjadi latar di belakangnya. Karena itulah, dengan melakukan analisa diskursus, sesungguhnya kita bisa menemukan ideologi di dalamnya. Ideologi merupakan hal yang melekat dalam setiap berbagai aktivitas, termasuk aktivitas berkomunikasi.
Lingkup penjelasan Dant tentang Sosiologi Pengetahuan Masyarakat
Dant menyebutkan bahwa, pengembangan ilmu (science) sebagai realitas empiris dimungkinkan setelah “matinya agama”. Meskipun demikian, bahaya lain pun muncul, dimana terjadi keseragaman dalam etika model universal tentang kebebasan, sebagaimana diyakini oleh Mannheim dan Foucault. Mestinya, kebebasan tak sekadar opsi “kiri, tengah, dan kanan”; andai saja mampu diungkap berbagai bentuk rahasia-rahasia dan bentuk-bentuk kebebasan. Penggalian kekayaan ide manusia dikhawatirkan akan menjadi lebih sempit, sehingga terlihat menjadi seragam dan universal. “Putih, barat, dan Eropa Barat” semakin mendominasi. Mereka merasa merekalah yang paling berhak menjelaskan apa yang dipahami sebagai “manusia” (man).
Dant menyebutkan bahwa sosiologi pengetahuan yang berkembang kurang memberi perhatian pada aspek Tuhan dan Timur (Orient). Ia tak bisa menerangkan masyarakat dimana eksis berbagai hal yaitu cultural discourse, serta agama yang diadopsi dalam masyarakat. Hal ini menghasilkan moralitas tertentu. Bahwa agama di wilayah non-Eropa Barat memberi pengaruh pada pengetahuan masyarakat, tidak mampu dilihat oleh sosiologi pengetahuan.
Pengetahuan yang religius (religious knowledge) bukan objek dari sosiologi pengetahuan. Mereka beralasan, jika semua karena semua Tuhan, maka determinisme sosialnya tidak akan lagi tampak. Ini harus dihindari karena ia bukan objek yang bisa diperdebatkan dan dikritik, karena sifat transedentalnya. Jika semua aktivitas dimaknai sebagai aktivitas religi, maka akan menimbulkan bias dan mis-informasi. Pada intinya, sosiologi pengetahuan melahirkan human sciences, namun secara bersamaan mematikan perspektif religius manusia. Ia tidak melihat manusia secara utuh.
Terbukti bahwa sosiologi pengetahuan bukan jalan menuju kebenaran yang sempurna dan ia kurang mampu menghasilkan pengetahuan yang lebih baik. Pandangan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh sosiologi pengetahuan hanyalah salah suatu saja dari banyak perspektif lain. Karena itulah, bagi ahli yang melihat sosiologi pengetahuan dari perpekstif lain, yang lebih transendental atau epistemologis, sosiologi pengetahuan terlihat sebagai kritik yang tidak konstruktif.
Di sisi lain, perhatian pada masalah diskursus sangat penting untuk sosiologi pengetahuan, namun membawa konsekuensi tersendiri. Diskursus mengobservasi bentuk-bentuk visual materil dari interaksi sosial yang sesungguhnya memiliki dinamika dan konteks sosial yang jauh lebih besar daripada situasi langsung tersebut.
Masa depan Sosiologi Pengetahuan
Tentang masa depan sosiologi pengetahuan, menurut Dant, sosiologi pengetahuan bisa memberikan perbaikan terhadap struktur institusi yang memproduksi pengetahuan. Dant mengutip berbagai pandangan dalam menyusun persepsinya tentang masa depan sosiologi pengatahuan. Dari kalangan strukturalis tumbuh pandangan bahwa pengetahuan merupakan sesuatu yang dikonstruksi. Dari Mannheim, ia menganalisa pengetahuan sebagai objek ilmiah dengan metode diskursus.
Dari pendekatan linguistik, disumbangkan peran kontek sosial dari diskursus dan peran bahasa terhadap pembentukan ideologi. Meskipun diskursus juga bukan merupakan truth, namun ia merupakan cara menjelaskan dunia yang memungkinkan kelompok-kelompok manusia saling berbagi.
Buku Dant tidak hanya bicara tentang proses pengetahuan, tapi juga tentang klaim pengetahuan. Pengetahuan terbentuk dalam garis-garis kekuasaan (lines of power). Buku ini juga telah membahas pertukaran makna di level ide dan konsep, juga level pertukaran antar tema pengetahuan. Ideologi dan diskursus menyediakan diri sebagai teks. Diskursus hanya melihat ketika pengetahuan muncul dalam bahasa, sedangkan bentuk-bentuk lain diabaikan.
Sosiologi pengetahuan juga banyak mengalami kehilangan. Menurut Alfed Weber, epistemologinya tidak sistematis, dan debat tentang konsep sosiologi pengetahuan itu sendiri pun belum tuntas. Debat bahwa ideologi merupakan false knowledge, dan science sebagai true knowledge juga tidak berlanjut.
Kalangan strukturalisme mengangkat berbagai kontradiksi antara mitos, ideologi dan pengetahuan dengan penggunaan di masyarakat. Ia melihat bagaimana peran penting mitos, meskipun ia juga bukan tergolong sebagai “true knowledge”.
Kedepan diharapkan sosiologi pengetahuan dapat mengembangkan pluralitas klaim pengetahuan. Untuk itu, penelitian empiris sosiologi pengetahuan perlu dikombinasikan dengan studi tentang religi, seni, keterampilan, musik, dan lain-lain. Tambahan lain, selain melihat apa yang visual melalui analisa diskursus, juga harus dipelajari apa fakta di belakang yang melahirkannya. Hanya dengan pendekatan inilah sosiologi pengetahuan akan dapat memberikan sumbangan yang lebih besar. Ini penting karena secara substantif, “pengetahuan” dalam arti bagaimana dimiliki, dibentuk, dan didistribusikan dan berperan dalam masyakat; merupakan hal yang selalu eksis dalam banyak disiplin ilmu sosial.
Pustaka:
Dant, Tim. 1991. Knowledge, Ideology, and Discourse: a Sociological Perspective. London: Routledge.
Pengetahuan, Ideologi, dan Diskursus
(Tim Dant bab 10)
Pada bagian awal bukunya, Tim dant telah memaparkan bahwa pengetahuan merupakan penjelasan kunci (key featureI dalam masyarakat. Ia merupakan komponen penting pada sekelompok manusia sehingga dapat disebut sebagai “masyarakat”. Sosiologi pengetahuan yang mulai berkembang tahun 1960-an memiliki posisi yang kontras dengan ideologi dan diskursuis (discourses). Pengetahuan merupakan perspektif yang menekankan tentang karakter sosial dari masyarakat, dan ia merefleksikan nilai-nilai dalam masyarakat.
Pengetahuan ditransfer secara horizontal dan vertikal antar generasi melalui diskursus.
Selanjutnya pada bab 10, Tim Dant menjelasakan tentang konsep Knowledge, Ideology and Discourse. Ketiganya merupakan konsep yang melekat di seputar pengetahuan. Ideologi dan diskursus menjadi jalan untuk memahami bagaimana pengetahuan dalam satu masyarakat.
Era 1980-an dapat disebut masa kebangkitan kembali gairah kepada sosiologi pengetahuan, karena di masa inilah muncul riset-riset kualitatif, analisis wacana, dan analisis kultural. Semua perkembangan ini menyumbang kepada pengetahuan. Pengetahuan dapat dipersepsikan sebagai objek atau sebagai sebuah produk. Pengetahuan dibentuk melalui berbagai kekuatan yakni struktur kekuasaaan, individual, sosialisasi, kultur, bahasa dan struktur sosial.
Secara sederhana, ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan abstrak yang hidup di satu masyarakat. Ideologi dapat pula dianggap sebagai visi yang komprehensif dalam memandang segala sesuatu. Tujuan pokok yang tersembunyi di balik ideologi adalah menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ia diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti konsep politik. Dengan demikian, setiap pemikiran politik mesti mengandung ideologi tertentu.
Dengan cara lain, ideologi bisa dipandang sebagai buah pikiran yang lebih tegas dibanding filsafat, sudah berupa keyakinan atau cita-cita, yang berisi ajaran yang pasti dan jawaban-jawaban yang mutlak terhadap masalah kehidupan manusia. Dant memberi pemahaman yang agak lebar tentang konsep ideologi ini.
Tim Dant membuat uraian yang cukup panjang tentang sosiologi pengetahuan Mannheim. Teori Mannheim dipengaruhi oleh Marx berkenaan dengan ideologi. Menurut Mannheim, sosiologi pengetahuan merupakan studi secara sistematis terhadap pengetahuan, gagasan, serta fenomena intelektual secara umum. Ia mengaitkan gagasan tentang kelompok dengan pandangan tentang kelompok dalam struktur sosial. Dalam bukunya tentang ideologi dan utopia, ideologi dimaknai sebagai sistem gagasan yang berupaya menyembunyikan dan mempertahankan masa kini dengan menafsirkannya dari sudut pandang masa lalu. Sosiologi pengetahuan di satu sisi menyingkap untuk memahami pemikiran dan perilaku manusia, di sisi lain berupaya mengembangkan teori dan situasi kontemporer berkenaan dengan signifikansi faktor kondisi non teoritis dalam pengetahuan.
Pengetahuan merupakan sesuatu yang tidak mudah diidentifikasi secara empiris. Ideologi justeru lebih mudah dijelaskan. Ideologi beradala dalam ranah perspektif politik dan berkaitan dengan klas atau strata politik.
Beberapa ahli menyumbang pada pengembangan sosiologi pengetahuan. Merton misalnya mendiskusikan peran sosial intelektual dalam dalam birokrasi publik. Dari hasil studi sosiologisnya tentang science, ia melahirkan konsep etos keilmuan (”ethos of science”). Selanjutnya, dapat pula dicatat Znaniecki yang mulai berkembang dari tahun 1940-an, lalu Parson yang tertarik pada operasi nilai-nilai dalam lapangan pengetahuan. Sementara di kalangan yang lebih modern, adalah Neisser dan Erickson yang mengembangkan metodologi bagaimana mengembangkan sosiologi pengetahuan sehingga menjadi sesuatu yang ilmiah.
Lebih jauh, pada bab 10 Dant menyebutkan bahwa sosiologi pengetahuan merupakan perspektif yang memandang pengetahuan sebagai hal yang memiliki karakter sosial. Pengetahuan tidak berasal dari ruang kosong, karena ia dibentuk oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat. Bahkan pengetahuan tentang agama sedikit banyak juga merupakan socially constructed. Karena itulah, karakter sosiologis masyarakat akan sangat menentukan bagaimana isi pengetahuan pada masyarakat tersebut. Karena itu pula, pengetahuan tidak ada yang bersifat benar secara universal dan sebaliknya salah. Demikian cara pandang perspektif sosiologi pengetahuan.
Dant memaknai pengetahuan sebagai sebuah srtuktur relasi dari berbagai entitas abstrak berupa pengalaman manusia. Pengetahuan ini dimiliki bersama-sama melalui proses komunikasi. Melalui pengetahuan, dapat dipahami karakter manusianya dan lebih jauh dapat pula untuk menduga tindakannya (insiviudla dan kelompok). Pengetahuan dalam perspektif sosiologi pengetahuan berkaitan erat dengan determinasi eksistensial, dimana potensi-potensi kognitif manusia untuk membentuk atau mendapakan pengetahuan dibatasi oleh lingkungan sosial manusia.
Dalam terminologi Dant, ideologi adalah hubungan-hubungan determinatif antara eksistensi sosial dan materil, serta hubungan-hubungan abstraks yang dibangun dalam pengetahuan. Hubungan-hubungan abstrak ini berupaya menyederhanakan sesuatu yang kompleks. Ia pun berusaha mempermudah pemahaman kita tentang berbagai kontradiksi pada karakter sosial dan materil kita. Karena sifatnya yang menyederhanakan itulah ideologi bisa menyembunyikan berbagai kerumitan dan kontradiksi yang melingkupi pengetahuan masyarakat.
Selanjutnya, diskursus dimaknai Dant sebagai proses produksi pengetahuan yang melibatkan berbagai sikap dan tindakan baik berupa persetujuan, atau sebaliknya ketidaksetujuan, debat, serta negosiasi antar individu dan kelompok. Objeknya adalah apa yang dianggap sebagai truth (kebenaran). Debat berkenaan klaim tentang kebenaran ini tidak semata berkutat pada praktek sosial normatif, namun juga relativis. Jadi, dalam diskursus tidak hanya sekedar mempertukarkan makna, tetapi juga adu subyektifitas masing-masing pihak tentang sesuatu berdasarkan konteks yang melingkupi kehidupan mereka bersama.
Diskursus adalah isi atau materi ucapan yang dipertukarkan dalam konteks sosial sehari-hari. Dalam materi percakapan tersebut melekat makna sebagai dimaksud oleh yang menyatakannya. Di sisi lain, makna ini mengalami kontestasi dengan partisipan lain.
Secara sederhana, diskursus adalah perbincangan, namun perbincangan yang mengandung bentuk komunikasi yang reflektif. Komunikasi sehari-hari merupakan sebuah diskursus. Melelui media inilah pengetahuan berkembang, khususnya pengetahuan publik atau pengetahuan awam (istilah Berger dan Luckmann). Di sisi lain, diskursus membuat permasalahan menjadi semakin dalam dan juga rasional.
Tiap masyarakat memiliki seperangkat pengetahuan, ideologi, dan juga diskursus. Ketiga komponen ini selalu eksis dalam tiap social being, yaitu sekelompok manusia dengan satu ciri bersama. Diskursus berlangsung karena adanya bahasa yang sama dalam percakapan yaitu melalui proses komunikasi. Pengetahuan yang pada hakekatnya adalah kumpulan pengalaman manusia, dibentuk dan dikembangkan melalui diskursus. Dalam konsep Dant, pengetahuan dimaknai secara luas, mencakup apa yang disebut dengan rasionalitas, pengetahuan sehari-hari dan pengetahuan yang lebih tingkat tinggi (intelektual).
Tiap masyarakat memiliki pengetahuan yang berbeda-beda, karena pengetahuan lahir dari konteks historis dan sosial yang berbeda. Selain karena konteks historis dan sosial, pengetahuan yang berbeda-beda terbentuk dari pola diskursus yang juga berbeda.
Ada satu bentuk pengetahuan yang khusus, yakni pengetahuan yang diciptakan kalangan ahli. Pengetahuan ini berada di tingkat lebih tinggi, spesialis, lebih abstraks, dan lebih terasing dari masyarakat kebanyakan. Dengan posisi ini ia memiliki kapasitas untuk membentuk dan juga mengkritisi ideologi. Ia memiliki peluang membongkar ideologi yang lama menggayuti masyarakat yang mungkin telah menjadi penyakit atau sumber penyakit sosial.
Dalam konteks inilah pemahaman terhadap pengetahuan dan sosiologi pengetahuan suatu masyarakat menjadi penting. Menurut Dant, sosiologi pengetahuan mampu memberikan kritik terhadap berbagai hal, termasuk memperbaiki struktur kelembagaan produksi pengetahuan. Ia juga mampu memperbaiki struktur dan keefektifan diskursus dalam satu masyaakat. Karena itulah, perhatian pada diskursus menjadi esensial dalam sosiologi pengetahuan.
(Tim Dant bab 11;
Key words: pengetahuan, ideologi, diskursus)
Pokok-pokok gagasan Dant tentang pengetahuan, ideologi dan diskursus; serta hubungan timbal balik antar ketiganya
Sebagaimana perspektif dasar sosiologi pengetahuan, pengetahuan adalah objek yang memiliki karakter sosial. Pengetahuan dibentuk dalam masyarakat, direproduksi dan juga didistribusikan menggunakan struktur dan kultur sosial Pengetahuan merefleksikan entitas abstrak pengalaman manusia bersangkutan. Tidak ada yang mutlak benar, bahkan agama sendiri juga dibentuk melalui kesepakatan-kesepakatan sosial. Pengetahuan dibagi dengan orang lain, dan bahkan generasi berikutnya, dan pengetahuan menjadi pedoman bertindak dalam suatu masyarakat.
Sementara, ideologi menurut Dant adalah apa yang melingkupi pengetahuan masyarakat. Ideologi merupakan ide dasar yang benbentuk relasi determinatif umum antara kodisi eksistensi sosial dan materiil. Semua ini dibangun dalam pengetahuan. Ideologi adalah upaya menyederhanakan kompleksitas pengetahuan sekolompok masyarakat. Selain menyederhanakan, ia juga menutupi berbagai kontradiksi yang sessungguhnya tetap eksis dalam masyarakat bersangkutan.
Terakhir, diskursus dimaknai Dant sebagai upaya mempelajari objek materi ucapan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam diskurus berlangsung pertukaran konteks sosial dan makna yang dimaksud oleh yang menyatakannya. Ia mengkontestasikan makna dan nilai sosialnya dalam percakapan dan komunikasi sehari-hari.
Ketiga komponen ini (pengetahuan, ideologi dan diskursus) selalu dapat dijumpai pada tiap masyarakat. Ia dapat diidentifikasi bahkan dari pembicaraan dua orang dari kelompok masyarakat yang sama. Identifikasi ini bisa terjadi karena mereka merupakan sebuah “social being”, yaitu sekelompok orang yang memiliki karakteristik bersama, terutama budaya dan bahasa yang sama. Hanya melalui bahasa dan kulur yang sama lah diskursus dapat berlangsung. Komunikasi efektif mensyaratkan hal itu. Bahasa dan budaya yang sama pula yang memungkinkan pengetahuan dan ideologi didistribusikan dan dipelihara bersama.
Pada bab 11 “Analysing Knowledge as Ideological Discourse”, Dant menjelaskan tentang bagaimana makna saling dipertukarkan melalui beberapa segemn percakapan. Dari setiap perbincangan dapat disarikan dan dianalisis materinya, serta ideologi apa di belakangnya. Ideologi yang dimaksud disini dalam makna luas. Dari caontoh-contoh ini diperlihatkan bagaimana diskursus berlangsung, dan pengetahuan nampak sebagai fenomena sosial sehari-hari. Selain bahwa dari diskursus terlihat ideologi, proses diskursus juga bisa memiliki akibat-akibat ideologis. Ini bisa terjadi karena dalam diskursus interrelasi antar unsur struktur sosial disajikan dalam bahasa yang digunakan.
Dari diskursus dapat diidentifikasi perspektif pengetahuan, dan akan terlihat pula adanya koneksi kuat antara isi pengetahuan dan konteks sosialnya. Dengan demikian, bika materi dalam pengetahuan diperlakukan serupa, maka hubungan relasi pengetahuan deengan konteksnya dapat pula dianalisis. Banyak hal bisa dipelajari dari diskursus, karena mampu merefleksikan ciri statis dan dinamis dunia sosial.
Satu point penting dalam diskursus adalah berlangsungnya pertukaran makna. Sepanjang proses diskursus berbagai unsur-unsur yang bermakna saling dikontestasikan. Melalui inilah kemudian pengetahuan terbentuk. Kebenaran keilmuan adalah kebenaran yang intersubjektif, atau sesuatu yang secara sosial dikontruksi sebagai “benar”. Jadi, pengetahuan diproduksi dan direproduksi dalam proses saat para pelaku yang terlibat menukarkan dan mentransfromasi makna mereka masing-masing. Makna yang hilir mudik selama percakapan kemudian akan menjadi milik bersama. Pada akhirnya, stok pengetahuan berubah, baik karena berambah atau karena ada yang direvisi.
Dalam contoh yang diangkat Dant - tentang hidup, kesehatan, dan seks- dipelihatkan bagaimana persoalan moral yang muncul saling berelasi dengan moralitas dari agama, perihal reproduksi, dan juga penyakit. Dari narasi itu pula terlihat bagaimana pengetahuan pada awalnya, sebelum percakapan, adalah anggapan; yang kemudian mengalami proses penerimaan sosial. Pengetahuan yang kemudian diterima mestilah diterima secara kesepakatan, dimana pembentukan ini pun tidak lepas dari struktur dan relasi power antar partisipan.
Mempelajari diskursus penting karena melalui inilah pengetahuan terbentuk. Diskursus paling tepat untuk mempelajari bagaimana relasi pengetahuan dalam konteks sosialnya. Analisa diskursus Dant fokus pada isi diskursus, karena dengan analisa ini mampu menghubungkan dunia pengalaman dan tindakan. Dant mencontohkan analisis pengetahuan untuk menunjukkan bagaimana sifat pertukaran terhadap makna bekerja. Bagaimana metoda kekuasaan dipraktekkan untuk mendapatkan efek pengetahuan juga menjadi nampak sekali pada saat pengungkapan kebenaran pernyataan atau kelompok pernyataan ditunda.
Penerapan metode dalam sosiologi pengetahuan pada intinya bermaksud mendapatkan perspesi sosial yang lebih luas. Sejatinya, sosiologi pengetahuan meyakini bahwa pengetahuan merupakan hasil dari proses sosial, dan ia bukan bermaksud mencari kebenaran mutlak. Melalui sosiologi pengetahuan dapat dijelaskan interrelasi meskipun dikaburkan oleh proses sosial yang mengitari pengetahuan.
Sosiologi pengetahuan berkerja dalam lingkungan begitu banyaknya perspektif lain dalam menemukan kebenaran. Namun, metode sosiologi ilmu pengetahuan cukup berbeda, dan ia tidak mudah dipatahkan. Dant optimis dengan kemampuan sosiologi pengetahuan, termasuk kemampuannya untuk memperbaiki bangun kelembagaan yang memproduksi pengetahuan. Dant melihat gejala banyaknya kelompok lain yang sesungguhnya menggunakan perspektif sosiologi pengetahuan.
Bagaimanapun, diskursus merupakan objek yang sangat penting dalam sosiologi pengetahuan. Pengetahuan dibangun secara sosial karena adanya diskursus. Karena alasan inilah, bagi Dant diskursus merupakan titik masuk yang sesuai untuk alat analisa sosiologi pengetahuan. Kalangan sosiolog (pengetahuan) bisa mengungkap pengetahuan dan juga ideologi masyarakat melalui analisa diskursus.
Dari penjelasan di atas terlihat Dant berupaya menunjukkan bahwa antara pengetahuan, ideologi dan diskurusus sesungguhnya berbicara tentang objek yang sama, namun berbeda dalam pendekatan. Sosiologi pengetahuan mesti memperhatikan ketiga objek ini, sehingga aplikasi metodologi sosiologi pengetahuan menjadi optimal manfaatnya. Melalui diskursus, pengetahuan terbentuk, dan melalui diskursus pula dapat diungkap berbagai hal termasuk ideologi dan pengetahuan.
Bacaan:
Dant, Tim. 1991. Knowledge, Ideology, and Discourse: a Sociological Perspective. London: Routledge.
******
Pada bagian awal bukunya, Tim dant telah memaparkan bahwa pengetahuan merupakan penjelasan kunci (key featureI dalam masyarakat. Ia merupakan komponen penting pada sekelompok manusia sehingga dapat disebut sebagai “masyarakat”. Sosiologi pengetahuan yang mulai berkembang tahun 1960-an memiliki posisi yang kontras dengan ideologi dan diskursuis (discourses). Pengetahuan merupakan perspektif yang menekankan tentang karakter sosial dari masyarakat, dan ia merefleksikan nilai-nilai dalam masyarakat.
Pengetahuan ditransfer secara horizontal dan vertikal antar generasi melalui diskursus.
Selanjutnya pada bab 10, Tim Dant menjelasakan tentang konsep Knowledge, Ideology and Discourse. Ketiganya merupakan konsep yang melekat di seputar pengetahuan. Ideologi dan diskursus menjadi jalan untuk memahami bagaimana pengetahuan dalam satu masyarakat.
Era 1980-an dapat disebut masa kebangkitan kembali gairah kepada sosiologi pengetahuan, karena di masa inilah muncul riset-riset kualitatif, analisis wacana, dan analisis kultural. Semua perkembangan ini menyumbang kepada pengetahuan. Pengetahuan dapat dipersepsikan sebagai objek atau sebagai sebuah produk. Pengetahuan dibentuk melalui berbagai kekuatan yakni struktur kekuasaaan, individual, sosialisasi, kultur, bahasa dan struktur sosial.
Secara sederhana, ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan abstrak yang hidup di satu masyarakat. Ideologi dapat pula dianggap sebagai visi yang komprehensif dalam memandang segala sesuatu. Tujuan pokok yang tersembunyi di balik ideologi adalah menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ia diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti konsep politik. Dengan demikian, setiap pemikiran politik mesti mengandung ideologi tertentu.
Dengan cara lain, ideologi bisa dipandang sebagai buah pikiran yang lebih tegas dibanding filsafat, sudah berupa keyakinan atau cita-cita, yang berisi ajaran yang pasti dan jawaban-jawaban yang mutlak terhadap masalah kehidupan manusia. Dant memberi pemahaman yang agak lebar tentang konsep ideologi ini.
Tim Dant membuat uraian yang cukup panjang tentang sosiologi pengetahuan Mannheim. Teori Mannheim dipengaruhi oleh Marx berkenaan dengan ideologi. Menurut Mannheim, sosiologi pengetahuan merupakan studi secara sistematis terhadap pengetahuan, gagasan, serta fenomena intelektual secara umum. Ia mengaitkan gagasan tentang kelompok dengan pandangan tentang kelompok dalam struktur sosial. Dalam bukunya tentang ideologi dan utopia, ideologi dimaknai sebagai sistem gagasan yang berupaya menyembunyikan dan mempertahankan masa kini dengan menafsirkannya dari sudut pandang masa lalu. Sosiologi pengetahuan di satu sisi menyingkap untuk memahami pemikiran dan perilaku manusia, di sisi lain berupaya mengembangkan teori dan situasi kontemporer berkenaan dengan signifikansi faktor kondisi non teoritis dalam pengetahuan.
Pengetahuan merupakan sesuatu yang tidak mudah diidentifikasi secara empiris. Ideologi justeru lebih mudah dijelaskan. Ideologi beradala dalam ranah perspektif politik dan berkaitan dengan klas atau strata politik.
Beberapa ahli menyumbang pada pengembangan sosiologi pengetahuan. Merton misalnya mendiskusikan peran sosial intelektual dalam dalam birokrasi publik. Dari hasil studi sosiologisnya tentang science, ia melahirkan konsep etos keilmuan (”ethos of science”). Selanjutnya, dapat pula dicatat Znaniecki yang mulai berkembang dari tahun 1940-an, lalu Parson yang tertarik pada operasi nilai-nilai dalam lapangan pengetahuan. Sementara di kalangan yang lebih modern, adalah Neisser dan Erickson yang mengembangkan metodologi bagaimana mengembangkan sosiologi pengetahuan sehingga menjadi sesuatu yang ilmiah.
Lebih jauh, pada bab 10 Dant menyebutkan bahwa sosiologi pengetahuan merupakan perspektif yang memandang pengetahuan sebagai hal yang memiliki karakter sosial. Pengetahuan tidak berasal dari ruang kosong, karena ia dibentuk oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat. Bahkan pengetahuan tentang agama sedikit banyak juga merupakan socially constructed. Karena itulah, karakter sosiologis masyarakat akan sangat menentukan bagaimana isi pengetahuan pada masyarakat tersebut. Karena itu pula, pengetahuan tidak ada yang bersifat benar secara universal dan sebaliknya salah. Demikian cara pandang perspektif sosiologi pengetahuan.
Dant memaknai pengetahuan sebagai sebuah srtuktur relasi dari berbagai entitas abstrak berupa pengalaman manusia. Pengetahuan ini dimiliki bersama-sama melalui proses komunikasi. Melalui pengetahuan, dapat dipahami karakter manusianya dan lebih jauh dapat pula untuk menduga tindakannya (insiviudla dan kelompok). Pengetahuan dalam perspektif sosiologi pengetahuan berkaitan erat dengan determinasi eksistensial, dimana potensi-potensi kognitif manusia untuk membentuk atau mendapakan pengetahuan dibatasi oleh lingkungan sosial manusia.
Dalam terminologi Dant, ideologi adalah hubungan-hubungan determinatif antara eksistensi sosial dan materil, serta hubungan-hubungan abstraks yang dibangun dalam pengetahuan. Hubungan-hubungan abstrak ini berupaya menyederhanakan sesuatu yang kompleks. Ia pun berusaha mempermudah pemahaman kita tentang berbagai kontradiksi pada karakter sosial dan materil kita. Karena sifatnya yang menyederhanakan itulah ideologi bisa menyembunyikan berbagai kerumitan dan kontradiksi yang melingkupi pengetahuan masyarakat.
Selanjutnya, diskursus dimaknai Dant sebagai proses produksi pengetahuan yang melibatkan berbagai sikap dan tindakan baik berupa persetujuan, atau sebaliknya ketidaksetujuan, debat, serta negosiasi antar individu dan kelompok. Objeknya adalah apa yang dianggap sebagai truth (kebenaran). Debat berkenaan klaim tentang kebenaran ini tidak semata berkutat pada praktek sosial normatif, namun juga relativis. Jadi, dalam diskursus tidak hanya sekedar mempertukarkan makna, tetapi juga adu subyektifitas masing-masing pihak tentang sesuatu berdasarkan konteks yang melingkupi kehidupan mereka bersama.
Diskursus adalah isi atau materi ucapan yang dipertukarkan dalam konteks sosial sehari-hari. Dalam materi percakapan tersebut melekat makna sebagai dimaksud oleh yang menyatakannya. Di sisi lain, makna ini mengalami kontestasi dengan partisipan lain.
Secara sederhana, diskursus adalah perbincangan, namun perbincangan yang mengandung bentuk komunikasi yang reflektif. Komunikasi sehari-hari merupakan sebuah diskursus. Melelui media inilah pengetahuan berkembang, khususnya pengetahuan publik atau pengetahuan awam (istilah Berger dan Luckmann). Di sisi lain, diskursus membuat permasalahan menjadi semakin dalam dan juga rasional.
Tiap masyarakat memiliki seperangkat pengetahuan, ideologi, dan juga diskursus. Ketiga komponen ini selalu eksis dalam tiap social being, yaitu sekelompok manusia dengan satu ciri bersama. Diskursus berlangsung karena adanya bahasa yang sama dalam percakapan yaitu melalui proses komunikasi. Pengetahuan yang pada hakekatnya adalah kumpulan pengalaman manusia, dibentuk dan dikembangkan melalui diskursus. Dalam konsep Dant, pengetahuan dimaknai secara luas, mencakup apa yang disebut dengan rasionalitas, pengetahuan sehari-hari dan pengetahuan yang lebih tingkat tinggi (intelektual).
Tiap masyarakat memiliki pengetahuan yang berbeda-beda, karena pengetahuan lahir dari konteks historis dan sosial yang berbeda. Selain karena konteks historis dan sosial, pengetahuan yang berbeda-beda terbentuk dari pola diskursus yang juga berbeda.
Ada satu bentuk pengetahuan yang khusus, yakni pengetahuan yang diciptakan kalangan ahli. Pengetahuan ini berada di tingkat lebih tinggi, spesialis, lebih abstraks, dan lebih terasing dari masyarakat kebanyakan. Dengan posisi ini ia memiliki kapasitas untuk membentuk dan juga mengkritisi ideologi. Ia memiliki peluang membongkar ideologi yang lama menggayuti masyarakat yang mungkin telah menjadi penyakit atau sumber penyakit sosial.
Dalam konteks inilah pemahaman terhadap pengetahuan dan sosiologi pengetahuan suatu masyarakat menjadi penting. Menurut Dant, sosiologi pengetahuan mampu memberikan kritik terhadap berbagai hal, termasuk memperbaiki struktur kelembagaan produksi pengetahuan. Ia juga mampu memperbaiki struktur dan keefektifan diskursus dalam satu masyaakat. Karena itulah, perhatian pada diskursus menjadi esensial dalam sosiologi pengetahuan.
(Tim Dant bab 11;
Key words: pengetahuan, ideologi, diskursus)
Pokok-pokok gagasan Dant tentang pengetahuan, ideologi dan diskursus; serta hubungan timbal balik antar ketiganya
Sebagaimana perspektif dasar sosiologi pengetahuan, pengetahuan adalah objek yang memiliki karakter sosial. Pengetahuan dibentuk dalam masyarakat, direproduksi dan juga didistribusikan menggunakan struktur dan kultur sosial Pengetahuan merefleksikan entitas abstrak pengalaman manusia bersangkutan. Tidak ada yang mutlak benar, bahkan agama sendiri juga dibentuk melalui kesepakatan-kesepakatan sosial. Pengetahuan dibagi dengan orang lain, dan bahkan generasi berikutnya, dan pengetahuan menjadi pedoman bertindak dalam suatu masyarakat.
Sementara, ideologi menurut Dant adalah apa yang melingkupi pengetahuan masyarakat. Ideologi merupakan ide dasar yang benbentuk relasi determinatif umum antara kodisi eksistensi sosial dan materiil. Semua ini dibangun dalam pengetahuan. Ideologi adalah upaya menyederhanakan kompleksitas pengetahuan sekolompok masyarakat. Selain menyederhanakan, ia juga menutupi berbagai kontradiksi yang sessungguhnya tetap eksis dalam masyarakat bersangkutan.
Terakhir, diskursus dimaknai Dant sebagai upaya mempelajari objek materi ucapan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam diskurus berlangsung pertukaran konteks sosial dan makna yang dimaksud oleh yang menyatakannya. Ia mengkontestasikan makna dan nilai sosialnya dalam percakapan dan komunikasi sehari-hari.
Ketiga komponen ini (pengetahuan, ideologi dan diskursus) selalu dapat dijumpai pada tiap masyarakat. Ia dapat diidentifikasi bahkan dari pembicaraan dua orang dari kelompok masyarakat yang sama. Identifikasi ini bisa terjadi karena mereka merupakan sebuah “social being”, yaitu sekelompok orang yang memiliki karakteristik bersama, terutama budaya dan bahasa yang sama. Hanya melalui bahasa dan kulur yang sama lah diskursus dapat berlangsung. Komunikasi efektif mensyaratkan hal itu. Bahasa dan budaya yang sama pula yang memungkinkan pengetahuan dan ideologi didistribusikan dan dipelihara bersama.
Pada bab 11 “Analysing Knowledge as Ideological Discourse”, Dant menjelaskan tentang bagaimana makna saling dipertukarkan melalui beberapa segemn percakapan. Dari setiap perbincangan dapat disarikan dan dianalisis materinya, serta ideologi apa di belakangnya. Ideologi yang dimaksud disini dalam makna luas. Dari caontoh-contoh ini diperlihatkan bagaimana diskursus berlangsung, dan pengetahuan nampak sebagai fenomena sosial sehari-hari. Selain bahwa dari diskursus terlihat ideologi, proses diskursus juga bisa memiliki akibat-akibat ideologis. Ini bisa terjadi karena dalam diskursus interrelasi antar unsur struktur sosial disajikan dalam bahasa yang digunakan.
Dari diskursus dapat diidentifikasi perspektif pengetahuan, dan akan terlihat pula adanya koneksi kuat antara isi pengetahuan dan konteks sosialnya. Dengan demikian, bika materi dalam pengetahuan diperlakukan serupa, maka hubungan relasi pengetahuan deengan konteksnya dapat pula dianalisis. Banyak hal bisa dipelajari dari diskursus, karena mampu merefleksikan ciri statis dan dinamis dunia sosial.
Satu point penting dalam diskursus adalah berlangsungnya pertukaran makna. Sepanjang proses diskursus berbagai unsur-unsur yang bermakna saling dikontestasikan. Melalui inilah kemudian pengetahuan terbentuk. Kebenaran keilmuan adalah kebenaran yang intersubjektif, atau sesuatu yang secara sosial dikontruksi sebagai “benar”. Jadi, pengetahuan diproduksi dan direproduksi dalam proses saat para pelaku yang terlibat menukarkan dan mentransfromasi makna mereka masing-masing. Makna yang hilir mudik selama percakapan kemudian akan menjadi milik bersama. Pada akhirnya, stok pengetahuan berubah, baik karena berambah atau karena ada yang direvisi.
Dalam contoh yang diangkat Dant - tentang hidup, kesehatan, dan seks- dipelihatkan bagaimana persoalan moral yang muncul saling berelasi dengan moralitas dari agama, perihal reproduksi, dan juga penyakit. Dari narasi itu pula terlihat bagaimana pengetahuan pada awalnya, sebelum percakapan, adalah anggapan; yang kemudian mengalami proses penerimaan sosial. Pengetahuan yang kemudian diterima mestilah diterima secara kesepakatan, dimana pembentukan ini pun tidak lepas dari struktur dan relasi power antar partisipan.
Mempelajari diskursus penting karena melalui inilah pengetahuan terbentuk. Diskursus paling tepat untuk mempelajari bagaimana relasi pengetahuan dalam konteks sosialnya. Analisa diskursus Dant fokus pada isi diskursus, karena dengan analisa ini mampu menghubungkan dunia pengalaman dan tindakan. Dant mencontohkan analisis pengetahuan untuk menunjukkan bagaimana sifat pertukaran terhadap makna bekerja. Bagaimana metoda kekuasaan dipraktekkan untuk mendapatkan efek pengetahuan juga menjadi nampak sekali pada saat pengungkapan kebenaran pernyataan atau kelompok pernyataan ditunda.
Penerapan metode dalam sosiologi pengetahuan pada intinya bermaksud mendapatkan perspesi sosial yang lebih luas. Sejatinya, sosiologi pengetahuan meyakini bahwa pengetahuan merupakan hasil dari proses sosial, dan ia bukan bermaksud mencari kebenaran mutlak. Melalui sosiologi pengetahuan dapat dijelaskan interrelasi meskipun dikaburkan oleh proses sosial yang mengitari pengetahuan.
Sosiologi pengetahuan berkerja dalam lingkungan begitu banyaknya perspektif lain dalam menemukan kebenaran. Namun, metode sosiologi ilmu pengetahuan cukup berbeda, dan ia tidak mudah dipatahkan. Dant optimis dengan kemampuan sosiologi pengetahuan, termasuk kemampuannya untuk memperbaiki bangun kelembagaan yang memproduksi pengetahuan. Dant melihat gejala banyaknya kelompok lain yang sesungguhnya menggunakan perspektif sosiologi pengetahuan.
Bagaimanapun, diskursus merupakan objek yang sangat penting dalam sosiologi pengetahuan. Pengetahuan dibangun secara sosial karena adanya diskursus. Karena alasan inilah, bagi Dant diskursus merupakan titik masuk yang sesuai untuk alat analisa sosiologi pengetahuan. Kalangan sosiolog (pengetahuan) bisa mengungkap pengetahuan dan juga ideologi masyarakat melalui analisa diskursus.
Dari penjelasan di atas terlihat Dant berupaya menunjukkan bahwa antara pengetahuan, ideologi dan diskurusus sesungguhnya berbicara tentang objek yang sama, namun berbeda dalam pendekatan. Sosiologi pengetahuan mesti memperhatikan ketiga objek ini, sehingga aplikasi metodologi sosiologi pengetahuan menjadi optimal manfaatnya. Melalui diskursus, pengetahuan terbentuk, dan melalui diskursus pula dapat diungkap berbagai hal termasuk ideologi dan pengetahuan.
Bacaan:
Dant, Tim. 1991. Knowledge, Ideology, and Discourse: a Sociological Perspective. London: Routledge.
******
kehidupan Universitas di era Modernitas
(Gerard Delanty bab 8,9,10;
Key words: universitas, globaliasi, postmodernitas)
Perjalanan waktu memperlihatkan telah terjadinya perubahan posisi dan peran universitas dalam masyarakat. “Universitas klasik” berkerja dalam pola komunikasi tradisional, dimana kuliah dan dosen sebagai agen sosial, dan universitas memproduksi pengetahuan untuk lalu didistribusikan ke masyarakat. Dalam bentuk baru, universitas telah menjadi ideological asparatus. Perubahan ini adalah akibat dari globalisasi yang melalui perkembangan teknologi informasi, telah menjadikan pengetahuan mengalami depersonalisasi, deteritorialisasi, dan juga globalisasi. Universitas akhirnya menjadi subjek yang “mudah” ditekan.
Pada kondisi baru ini, dimana terbangun sistem birokrasi yang lebih independen, materi informasi lebih banyak dan berkembang sedangkan knowledge menjadi lebih sedikit. Perkembangan teknologi komunikasi yang dahsyat beberapa dekade terakhir telah melemparkan pengetahuan menjadi materi yang tanpa tempat (no place). Meskipun negara masih tetap sebagai aktor utama, namun eksploitasi ekonomi terhadap pengetahuan semakin nyata. Relasi tiga serangkai semakin mengkristal, yaitu relasi antara universitas, industri, dan pemerintah.
Peran universitas dalam globalisasi dan posmodernitas
Dalam bukunya, bab 8, Delanty memaparkan bagaimana perubahan universitas dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi. Universitas berada dalam pusaran kekuatan dimana pengetahuan mengalami proses depersonalisasi, deteritorialisasi dan juga globalisasi. Kekuatan-kekuatan ini direspon universitas dengan merubah visi, peran dan struktur internalnya.
Kekuatan globalisasi telah mendorong transformasi diri universitas. Kapitalisme sebagai jiwa pokok yang mengglobal memaksa universitas menjadi kapitalisme akademis. Namun, meski universitas semakin sulit melepaskan diri dalam pusaran kapitalisme dan korporasi global, ia masih berupaya tetap menjadi agen penting bagi demokratisasi.
Dalam bab yang membahas globalisasi, triple helix dan kapitalisme akademis ini, Delanty memaparkan bagaimana perubahan teknologi membawa implikasi pada diri universitas. Lambat laun transformasi bentuk universitas semakin jelas dengan basis triple helix “universitas-industri-pemerintah”. Hubungan segitiga di antara ketiga institusi ini membelit univeritas semakin kuat, karena melibatkan banyak sekali dimensi kekuatan. Ia memiliki relasi yang kuat dengan industri, dan pada saat yang sama juga berrelasi baik dengan pemerintah. Dengan kekuatan ini universitas perlahan-lahan bergerak menuju dan menjadi aktor ekonomi global.
Perkembangan terakhir melahirkan apa yang disebut dengan “virtual university” yang semakin mengaburkan bentuk-bentuk universitas pola lama. Pengetahuan yang mengalami deteritorialized melahirkan cyber student, yaitu para pelajar dan mahasiswa yang didukung secara dominan oleh ketersediaan informasi melalui jejaring internet.
Masyarakat postmodernis tidak lagi terlalu membutuhkan pengetahuan. Informasi jauh lebih dibutuhkan dibandingkan pengetahuan karena masyarakat menjadi lebih pragmatis dan aplikatif. Universitas virtual eksis dalam kondisi knowledge society demikian. Delanty menyebut perubahan ini sebagai academis capitalism dimana universitas tidak lagi memproduksi pengetahuan namun hanya informasi. Kapitalisme akademik muncul karena universitas menjalin kerjasama pendanaan dari perusahaan yang berharap mendapatkan produk-produk baru melalui penelitian di universitas. Kapitalisme akademis ini pada akhirnya mengganggu otonomi pengetahuan dan kebebasan akademis.
Namun, menghadapi perkembangan yang sulit dielakkan ini, Delanty mengharap agar universitas tetap dan bahkan semakin banyak berperan dalam menciptakan knowledge society, serta harus mampu memberi arah model kultural pada kondisi perang kebudayaan (cultural wars) saat ini. Untuk itu, universitas harus mampu mereposisi diri sehingga dapat tetap bertahan. Sifat universitas dari dulu yang bercorak kosmopolitan jangan sampai menjadi institusi lokal belaka. Delanty mendukung peran universitas pada pembentukan masyarakat ilmiah, meskipun tantangannya semakin berat. Delanty ngin agar universitas jangan terbawa ke bentuk masyarakat informasi (information society). Universitas harus memberi arah dan menjadi pemimpin untuk menciptakan masyarakat berpengetahuan (knowledge society).
Tipe universitas abad ke-20 sudah sangat berbeda dengan tipe universitas abad ke-21 yang bertipe research and development. Pada tipe universitas yang baru ini terjadi pemisahan disiplin keilmuan, produsen pengetahuannya semakin homogen, metode benar maka hasil akan benar, dan adanya pemisahan basic dengan applied knowledge. Pada tipe baru ini, pengetahuan diciptakan bersama-sama dengan pengguna, tidak lagi didominasi intelektual.
Arus besar globalisasi membawa kosmopolitanisme. Globalisasi lebih dari sekedar membuat masyarakat global tetapi juga dapat memperkuat kekuatan lokal terhadap pusat nasional. Dalam konteks ini dapat kita temui gejala globalizatioan localisme dan localisation globalism. Banyak universitas terlibat politik dalam komitmennya pada konteks regional, nasional dan internasional. Menghadapi situasi ini, universitas semestinya memiliki kekuatan agar bisa lebih berperan dalam pengembangan ekonomi lokal dan regional.
Di sisi lain, globalisasi juga berdampak penting bagi universitas sebagai akibat meluasnya penggunaan teknologi informasi bagi penyebaran pengetahuan atau gejala transnasionalisasi pengetahuan. Globalisasi telah mendorong universitas mengadopsi nilai-nilai budaya korporasi industri dan semakin melayani pasar. Lingkungan postmoderen telah menjadikan visi pengetahuan sebagai meta narratif tidak lagi relevan. Hal ini disebabkan karena pengetahuan sekarang tidak lagi abstrak, metafisik dan emansipatoris. Masyarakat informasi telah memecah-mecah pengetahuan dengan mengkomodifikasi dan menjadikannya sebagai instrumen. Kekuatan narasi yang berfungsi mengintegrasikan telah hilang. Delegitimasi pegetahuan merupakan salah satu aspek yang paling nampak dari deligitimasi otoritas. Dalam kondisi pos-moderen ini, delegitimasi pengetahuan muncul akibat depersonalisasi pegetahuan.
Delanty berpendapat bahwa ada lebih banyak kekuatan yang membentuk universitas kontemporer. Universitas memang tidak lagi menjadi menara gading tetapi tetap menjadi institusi yang kuat di masyarakat dan akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah. Universitas tidak akan mengalami kemerosotan.
Dampak globalisasi telah berkerja secara nyata, dimana universitas terpaska menyerap nilai-nilai pasar, budaya manajerialisme, serta kapitalisme akademik. Kondisi ini melemparkan universitas menjadi tempat konflik identitas. Universitas telah menjadi situs perang budaya yang melibatkan identitas ras, etnisitas, agama dan gender. Globalisasi telah menimbulkan budaya kontra hegemoni, mengganggu kekuasaan negara, serta menguatkan masyarakat. Universitas kehilangann daya untuk mempertahankan nilai-nilai universalnya yang suci.
Universitas menjadi kancah konstestasi dan perjuangan budaya dan identitas. Berbagai perkembangan menjadi pemaksanya mislanya karena adanya erosi perbedaan konsep privat dan publik. Universitas terpaksa ikut mengatasi berbagai hal masalah yang dulu tergolong privat. Bersamaan dengan itu, muncul tantangan kewarganegaraan budaya terhadap kewarganegaraan sosial dan politisasi multikulturalisme. Universitas yang semula hanya fokus pada satu kultur, saat ini mesti berkerja dalam konteks multikulturalisme.
Delanty memandang negatif dan pesimis dengan perkembangan sosial dan kultural masyarakat postmodern, misalnya pada sisi penurunan moralitas. Untuk ini, universitas harus tetap mampu memberikan pencerahannya, dan tetap menjadi pelaku kultural yang penting. Delanty merasa universitas memiliki kapasitas dan hanya ia yang mampu menjalanan peran tersebut.
Bacaan:
Delanty, Gerard. 2001. Challenging Knowledge; The University in The Knowledge Society London: Open University Press.
******
Key words: universitas, globaliasi, postmodernitas)
Perjalanan waktu memperlihatkan telah terjadinya perubahan posisi dan peran universitas dalam masyarakat. “Universitas klasik” berkerja dalam pola komunikasi tradisional, dimana kuliah dan dosen sebagai agen sosial, dan universitas memproduksi pengetahuan untuk lalu didistribusikan ke masyarakat. Dalam bentuk baru, universitas telah menjadi ideological asparatus. Perubahan ini adalah akibat dari globalisasi yang melalui perkembangan teknologi informasi, telah menjadikan pengetahuan mengalami depersonalisasi, deteritorialisasi, dan juga globalisasi. Universitas akhirnya menjadi subjek yang “mudah” ditekan.
Pada kondisi baru ini, dimana terbangun sistem birokrasi yang lebih independen, materi informasi lebih banyak dan berkembang sedangkan knowledge menjadi lebih sedikit. Perkembangan teknologi komunikasi yang dahsyat beberapa dekade terakhir telah melemparkan pengetahuan menjadi materi yang tanpa tempat (no place). Meskipun negara masih tetap sebagai aktor utama, namun eksploitasi ekonomi terhadap pengetahuan semakin nyata. Relasi tiga serangkai semakin mengkristal, yaitu relasi antara universitas, industri, dan pemerintah.
Peran universitas dalam globalisasi dan posmodernitas
Dalam bukunya, bab 8, Delanty memaparkan bagaimana perubahan universitas dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi. Universitas berada dalam pusaran kekuatan dimana pengetahuan mengalami proses depersonalisasi, deteritorialisasi dan juga globalisasi. Kekuatan-kekuatan ini direspon universitas dengan merubah visi, peran dan struktur internalnya.
Kekuatan globalisasi telah mendorong transformasi diri universitas. Kapitalisme sebagai jiwa pokok yang mengglobal memaksa universitas menjadi kapitalisme akademis. Namun, meski universitas semakin sulit melepaskan diri dalam pusaran kapitalisme dan korporasi global, ia masih berupaya tetap menjadi agen penting bagi demokratisasi.
Dalam bab yang membahas globalisasi, triple helix dan kapitalisme akademis ini, Delanty memaparkan bagaimana perubahan teknologi membawa implikasi pada diri universitas. Lambat laun transformasi bentuk universitas semakin jelas dengan basis triple helix “universitas-industri-pemerintah”. Hubungan segitiga di antara ketiga institusi ini membelit univeritas semakin kuat, karena melibatkan banyak sekali dimensi kekuatan. Ia memiliki relasi yang kuat dengan industri, dan pada saat yang sama juga berrelasi baik dengan pemerintah. Dengan kekuatan ini universitas perlahan-lahan bergerak menuju dan menjadi aktor ekonomi global.
Perkembangan terakhir melahirkan apa yang disebut dengan “virtual university” yang semakin mengaburkan bentuk-bentuk universitas pola lama. Pengetahuan yang mengalami deteritorialized melahirkan cyber student, yaitu para pelajar dan mahasiswa yang didukung secara dominan oleh ketersediaan informasi melalui jejaring internet.
Masyarakat postmodernis tidak lagi terlalu membutuhkan pengetahuan. Informasi jauh lebih dibutuhkan dibandingkan pengetahuan karena masyarakat menjadi lebih pragmatis dan aplikatif. Universitas virtual eksis dalam kondisi knowledge society demikian. Delanty menyebut perubahan ini sebagai academis capitalism dimana universitas tidak lagi memproduksi pengetahuan namun hanya informasi. Kapitalisme akademik muncul karena universitas menjalin kerjasama pendanaan dari perusahaan yang berharap mendapatkan produk-produk baru melalui penelitian di universitas. Kapitalisme akademis ini pada akhirnya mengganggu otonomi pengetahuan dan kebebasan akademis.
Namun, menghadapi perkembangan yang sulit dielakkan ini, Delanty mengharap agar universitas tetap dan bahkan semakin banyak berperan dalam menciptakan knowledge society, serta harus mampu memberi arah model kultural pada kondisi perang kebudayaan (cultural wars) saat ini. Untuk itu, universitas harus mampu mereposisi diri sehingga dapat tetap bertahan. Sifat universitas dari dulu yang bercorak kosmopolitan jangan sampai menjadi institusi lokal belaka. Delanty mendukung peran universitas pada pembentukan masyarakat ilmiah, meskipun tantangannya semakin berat. Delanty ngin agar universitas jangan terbawa ke bentuk masyarakat informasi (information society). Universitas harus memberi arah dan menjadi pemimpin untuk menciptakan masyarakat berpengetahuan (knowledge society).
Tipe universitas abad ke-20 sudah sangat berbeda dengan tipe universitas abad ke-21 yang bertipe research and development. Pada tipe universitas yang baru ini terjadi pemisahan disiplin keilmuan, produsen pengetahuannya semakin homogen, metode benar maka hasil akan benar, dan adanya pemisahan basic dengan applied knowledge. Pada tipe baru ini, pengetahuan diciptakan bersama-sama dengan pengguna, tidak lagi didominasi intelektual.
Arus besar globalisasi membawa kosmopolitanisme. Globalisasi lebih dari sekedar membuat masyarakat global tetapi juga dapat memperkuat kekuatan lokal terhadap pusat nasional. Dalam konteks ini dapat kita temui gejala globalizatioan localisme dan localisation globalism. Banyak universitas terlibat politik dalam komitmennya pada konteks regional, nasional dan internasional. Menghadapi situasi ini, universitas semestinya memiliki kekuatan agar bisa lebih berperan dalam pengembangan ekonomi lokal dan regional.
Di sisi lain, globalisasi juga berdampak penting bagi universitas sebagai akibat meluasnya penggunaan teknologi informasi bagi penyebaran pengetahuan atau gejala transnasionalisasi pengetahuan. Globalisasi telah mendorong universitas mengadopsi nilai-nilai budaya korporasi industri dan semakin melayani pasar. Lingkungan postmoderen telah menjadikan visi pengetahuan sebagai meta narratif tidak lagi relevan. Hal ini disebabkan karena pengetahuan sekarang tidak lagi abstrak, metafisik dan emansipatoris. Masyarakat informasi telah memecah-mecah pengetahuan dengan mengkomodifikasi dan menjadikannya sebagai instrumen. Kekuatan narasi yang berfungsi mengintegrasikan telah hilang. Delegitimasi pegetahuan merupakan salah satu aspek yang paling nampak dari deligitimasi otoritas. Dalam kondisi pos-moderen ini, delegitimasi pengetahuan muncul akibat depersonalisasi pegetahuan.
Delanty berpendapat bahwa ada lebih banyak kekuatan yang membentuk universitas kontemporer. Universitas memang tidak lagi menjadi menara gading tetapi tetap menjadi institusi yang kuat di masyarakat dan akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah. Universitas tidak akan mengalami kemerosotan.
Dampak globalisasi telah berkerja secara nyata, dimana universitas terpaska menyerap nilai-nilai pasar, budaya manajerialisme, serta kapitalisme akademik. Kondisi ini melemparkan universitas menjadi tempat konflik identitas. Universitas telah menjadi situs perang budaya yang melibatkan identitas ras, etnisitas, agama dan gender. Globalisasi telah menimbulkan budaya kontra hegemoni, mengganggu kekuasaan negara, serta menguatkan masyarakat. Universitas kehilangann daya untuk mempertahankan nilai-nilai universalnya yang suci.
Universitas menjadi kancah konstestasi dan perjuangan budaya dan identitas. Berbagai perkembangan menjadi pemaksanya mislanya karena adanya erosi perbedaan konsep privat dan publik. Universitas terpaksa ikut mengatasi berbagai hal masalah yang dulu tergolong privat. Bersamaan dengan itu, muncul tantangan kewarganegaraan budaya terhadap kewarganegaraan sosial dan politisasi multikulturalisme. Universitas yang semula hanya fokus pada satu kultur, saat ini mesti berkerja dalam konteks multikulturalisme.
Delanty memandang negatif dan pesimis dengan perkembangan sosial dan kultural masyarakat postmodern, misalnya pada sisi penurunan moralitas. Untuk ini, universitas harus tetap mampu memberikan pencerahannya, dan tetap menjadi pelaku kultural yang penting. Delanty merasa universitas memiliki kapasitas dan hanya ia yang mampu menjalanan peran tersebut.
Bacaan:
Delanty, Gerard. 2001. Challenging Knowledge; The University in The Knowledge Society London: Open University Press.
******
Relasi Universitas dengan alam Modernitas
(Gerard Delanty bab 4,5,6 dan 7,
Key words: universitas, pengetahuan, Habermas, Gouldner, Bourdieu, Gibbons)
Peran universitas dalam memproduksi pengetahuan merupakan fakta historik. Namun pendapat para ahli tentang bagaimana peran itu dijalankan serta harapan untuk peran universitas cukup bervariasi.
Peran universitas dalam memproduksi pengetahuan: perbandingan gagasan Habermas, Gouldner, Bourdieu, dan Gibbons et al.
Semenjak berdiri, dan terutama sepanjang paruh kedua abad ke-20, universitas telah menunjukkan perannya sebagai institusi yang memproduksi pengetahuan. Berbagai pengetahuan penting, meskipun berbasis pada person-person istimewa yang telah berkerja keras, dapat dikatakan sebagai hasil berkerjanya sistem dalam universitas. Salah satu produk pokoknya adalah modernitas, yang diproduksi dalam perannya sebagai mode of knowledge dan juga kultural. Namun, universitas itu sendiri adalah juga buah dari modernitas.
Ide modernitas yang kemudian diorganisir oleh para agennya telah menghasilkan universitas moderen. Nilai-nilai demokrasi merupakan salah satu komponen dari modernitas. Nilai-nilai ini direproduksi dan ditransmisikan melalui universitas. Dengan demikian, universitas telah berperan sebagai kontributor bagi perubahan politik dan budaya dunia. Dalam Delanty dipaparkan beberapa pendapat ahli berkenaan dengan peran universitas dalam memproduksi pengetahuan.
Habermas lebih melihat peran universitas dalam pendidikan politik dan relasi power. Menurut Habermas, tugas universitas adalah memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dengan membangun kesadaran politik di antara civitas akademikanya, terutama untuk para mahasiswa. Mereka harus membangun kesadaran ini semenjak di bangku kuliah, sebagai bentuk pendidikan politik kepada masyarakat secara lebih luas. Universitas merupakan “komunitas komunikasi” dimana berlangsung interkoneksi antara mode produksi pengetahuan di universitas dengan di dunia praktek, serta dalam bentuk lain adalah melawan kekuatan instrumental pasar, birokrasi dan negara.
Pengetahuan berakar di dunia sosial yang dibentuk oleh kekuasaan, dimana universitas berperan dalam emansipasi dalam konteks komunikasi. Parson dan Habermas sepakat melihat universitas sebagai institusi yang berhubungan dengan masyarakat melalui citizenship dan komunikasi. Dalam hal ini ia terbalik dengan pandangan Bordieu.
Habermas memandang pentingya universitas melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat luas dan tidak mengasingkan diri. Dalam bagian ini Delanty membicarakan tentang satu dimensi peranan publik universitas. Universitas tidak semata-mata mereproduksi nilai-nilai sosial dan budaya tetapi juga mempersoalkan model budaya masyarakat. Peranan tersebut dalam universitas dimainkan oleh kaum intelektual. Intelektual dapat memainkan peranan penting dalam mengartikulasikan tatanan sosial dan politik yang baru.
Meski intelektual bertanggung jawab secara sosial tetapi tanggung jawab ini tidak boleh dikompromikan dengan keterikatan yang berlebihan pada misi politik. Tanggung jawab sosialnya yang utama adalah pada objek kultivasi kebudayaan, bukan di politik. Perkembangan terakhir, produksi pengetahuan tidak lagi bebas dari kepentingan sosial dan model-model budaya postmodernis. Universitas menjadi semakin kehilangan kemampuan istimewanya dalam mendefinisikan bidang pengetahuan dan malah semakin masuk dalam debat mengenai struktur kognitif masyarakat. Kemampuan intelektual universitas berhadapan dengan kekuatan intelektual di luar universitas yang semakin besar. Universitas tidak lagi bebas melakukan hegemoni.
Berbeda dengan Habermas, Alvin Gouldner mempelajari lahirnya kelas baru dan kaitannya dengan universitas. Gouldner memperhatikan fenomena kelahiran kalangan intelektual sebagai aktor sosial yang mentransmisikan ide, meskipun batas antara ide kultural dan ideologi politik masih merupakan hal yang kabur. Ia membedakan antara intelektual dan intelegensia. Intelektual memiliki ketertarikan dengan sisi emasipatoris dan pengetahuan kritis (critical konowledge) dan berkontribusi langsung pada kepemimpinan revolusioner.
Intelektual dan intelegensia secara bersama-sama membentuk kelas baru (new class) yang merupakan jenis elit baru yang lahir di dunia postindustri. Mereka adalah borjuis kultural yang memiliki kekuasaan dan sedikit banyak mengontrol pendidikan di masayarakat. Institusi pendidikan dipercayainya mampu mereproduksi keteraturan sosial, namun khusus untuk penguruan tinggi ia lebih sesuai bila dipandang sebagai aparat ideologi negera.
Bourdieu melihat peran struktural universitas secara berbeda. Ia mengedepankan teori pendidikan sebagai bentuk reproduksi sosial dan diskusi. Ia seorang ahli uiversitas modern, dimana universitas sebagai praktek-praktek sosial yang melayani klasifikasi kultural yang memungkinkan kekuasaan bersirkulasi dalam kontek antar kelembagaan. Teorinya tentang universitas berkaitan dengan power, yakni bagaimana power diproduksi, distribusikan dan direproduksi. Ini sejalan dengan konsep Parson tentang relasi antara pengetahuan dan citizenship. Pendidikan diyakini mampu mengurangi ketimpangan, melalui fungsi universitas memproduksi pengetahuan yang secara mendalam melekat pada produksi kapital kultural. Bourdieu menganalisa pengetahuan dalam relasi kekuasaan, mengikuti Foucault yakni “knowledge is power”.
Menurut pandangan Bourdieu, universitas adalah institusi yang di dalam sistem sosial masyarakat berupaya membangun posisi dan mempertahankan dirinya sendiri melalui berbagai jenis kekuasaan yang diproduksi, reproduksi dan bersirkulasi. Universias berada dalam situasi dimana kekuasaan-kekuasaan saling berkontestasi. Dalam kondisi demikian, ia berjuang mereproduksi diri.
Bourdieu pun melihat bahwa universitas selama ini telah berperan dalam mereproduksi ketimpangan. Ini karena universitas sebagai dasar untuk mereproduksi status, sarana mempengaruhi dan menjadi kekuasaan ekonomi. Pendidikan merupakan alat legitimasi distribusi sumberdaya sosial melalui akses yang berbeda pada modal budaya. Bourdieu menggarisbawahi bagaimana relasi intelektual dan produksi budaya. Analisa Bourdieu tentang pendidikan berpusat ada struktur internal kekuasaan dalam universitas, yang menghasilkan jenis kekuasaan yang berbeda. Bourdieu menunjukan kecenderungan umum dalam transformasi pendidikan tinggi melalui tiga jenis modal simbolis yaitu kekuasan akademik, kekuasaan ilmiah dan intelektual. Pendidikan tinggi mencerminkan ketimpangan dalam masyarakat dengan sistem stratifikasi internalnya. Hal ini tergambar pada ranking universitas-universitas.
Dalam konteks ini, universitas sebagai produsen pengetahuan terkait erat dengan produksi modal budaya. Kekuasaan yang diproduksi dan dipertahankan secara simbolis dengan model-model budaya menjadikan universitas menduduki posisi yang sangat penting di masyarakat.
Terakhir, Gibbons et al. melihat pada kenyataan bahwa produksi pengetahuan telah memasuki fase baru. Fase ini terutama mulai nampak pada akhir abad ke-20. Gejala baru tersebut adalah apa yang dikenal dengan model 2 produksi pengetahuan yang bercirikan refleksif, transdisiplin, dan juga heterogenitas. Dalam kondisi ini universitas tidak lagi mendominasi produksi pengetahuan. Pengguna (user) pengetahuan memiliki posisi yang semakin berarti, dan secara bersama-sama ia ikut memproduksi pengetahuan.
Bacaan:
Delanty, Gerard. 2001. Challenging Knowledge; The University in The Knowledge Society London: Open University Press.
******
Key words: universitas, pengetahuan, Habermas, Gouldner, Bourdieu, Gibbons)
Peran universitas dalam memproduksi pengetahuan merupakan fakta historik. Namun pendapat para ahli tentang bagaimana peran itu dijalankan serta harapan untuk peran universitas cukup bervariasi.
Peran universitas dalam memproduksi pengetahuan: perbandingan gagasan Habermas, Gouldner, Bourdieu, dan Gibbons et al.
Semenjak berdiri, dan terutama sepanjang paruh kedua abad ke-20, universitas telah menunjukkan perannya sebagai institusi yang memproduksi pengetahuan. Berbagai pengetahuan penting, meskipun berbasis pada person-person istimewa yang telah berkerja keras, dapat dikatakan sebagai hasil berkerjanya sistem dalam universitas. Salah satu produk pokoknya adalah modernitas, yang diproduksi dalam perannya sebagai mode of knowledge dan juga kultural. Namun, universitas itu sendiri adalah juga buah dari modernitas.
Ide modernitas yang kemudian diorganisir oleh para agennya telah menghasilkan universitas moderen. Nilai-nilai demokrasi merupakan salah satu komponen dari modernitas. Nilai-nilai ini direproduksi dan ditransmisikan melalui universitas. Dengan demikian, universitas telah berperan sebagai kontributor bagi perubahan politik dan budaya dunia. Dalam Delanty dipaparkan beberapa pendapat ahli berkenaan dengan peran universitas dalam memproduksi pengetahuan.
Habermas lebih melihat peran universitas dalam pendidikan politik dan relasi power. Menurut Habermas, tugas universitas adalah memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dengan membangun kesadaran politik di antara civitas akademikanya, terutama untuk para mahasiswa. Mereka harus membangun kesadaran ini semenjak di bangku kuliah, sebagai bentuk pendidikan politik kepada masyarakat secara lebih luas. Universitas merupakan “komunitas komunikasi” dimana berlangsung interkoneksi antara mode produksi pengetahuan di universitas dengan di dunia praktek, serta dalam bentuk lain adalah melawan kekuatan instrumental pasar, birokrasi dan negara.
Pengetahuan berakar di dunia sosial yang dibentuk oleh kekuasaan, dimana universitas berperan dalam emansipasi dalam konteks komunikasi. Parson dan Habermas sepakat melihat universitas sebagai institusi yang berhubungan dengan masyarakat melalui citizenship dan komunikasi. Dalam hal ini ia terbalik dengan pandangan Bordieu.
Habermas memandang pentingya universitas melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat luas dan tidak mengasingkan diri. Dalam bagian ini Delanty membicarakan tentang satu dimensi peranan publik universitas. Universitas tidak semata-mata mereproduksi nilai-nilai sosial dan budaya tetapi juga mempersoalkan model budaya masyarakat. Peranan tersebut dalam universitas dimainkan oleh kaum intelektual. Intelektual dapat memainkan peranan penting dalam mengartikulasikan tatanan sosial dan politik yang baru.
Meski intelektual bertanggung jawab secara sosial tetapi tanggung jawab ini tidak boleh dikompromikan dengan keterikatan yang berlebihan pada misi politik. Tanggung jawab sosialnya yang utama adalah pada objek kultivasi kebudayaan, bukan di politik. Perkembangan terakhir, produksi pengetahuan tidak lagi bebas dari kepentingan sosial dan model-model budaya postmodernis. Universitas menjadi semakin kehilangan kemampuan istimewanya dalam mendefinisikan bidang pengetahuan dan malah semakin masuk dalam debat mengenai struktur kognitif masyarakat. Kemampuan intelektual universitas berhadapan dengan kekuatan intelektual di luar universitas yang semakin besar. Universitas tidak lagi bebas melakukan hegemoni.
Berbeda dengan Habermas, Alvin Gouldner mempelajari lahirnya kelas baru dan kaitannya dengan universitas. Gouldner memperhatikan fenomena kelahiran kalangan intelektual sebagai aktor sosial yang mentransmisikan ide, meskipun batas antara ide kultural dan ideologi politik masih merupakan hal yang kabur. Ia membedakan antara intelektual dan intelegensia. Intelektual memiliki ketertarikan dengan sisi emasipatoris dan pengetahuan kritis (critical konowledge) dan berkontribusi langsung pada kepemimpinan revolusioner.
Intelektual dan intelegensia secara bersama-sama membentuk kelas baru (new class) yang merupakan jenis elit baru yang lahir di dunia postindustri. Mereka adalah borjuis kultural yang memiliki kekuasaan dan sedikit banyak mengontrol pendidikan di masayarakat. Institusi pendidikan dipercayainya mampu mereproduksi keteraturan sosial, namun khusus untuk penguruan tinggi ia lebih sesuai bila dipandang sebagai aparat ideologi negera.
Bourdieu melihat peran struktural universitas secara berbeda. Ia mengedepankan teori pendidikan sebagai bentuk reproduksi sosial dan diskusi. Ia seorang ahli uiversitas modern, dimana universitas sebagai praktek-praktek sosial yang melayani klasifikasi kultural yang memungkinkan kekuasaan bersirkulasi dalam kontek antar kelembagaan. Teorinya tentang universitas berkaitan dengan power, yakni bagaimana power diproduksi, distribusikan dan direproduksi. Ini sejalan dengan konsep Parson tentang relasi antara pengetahuan dan citizenship. Pendidikan diyakini mampu mengurangi ketimpangan, melalui fungsi universitas memproduksi pengetahuan yang secara mendalam melekat pada produksi kapital kultural. Bourdieu menganalisa pengetahuan dalam relasi kekuasaan, mengikuti Foucault yakni “knowledge is power”.
Menurut pandangan Bourdieu, universitas adalah institusi yang di dalam sistem sosial masyarakat berupaya membangun posisi dan mempertahankan dirinya sendiri melalui berbagai jenis kekuasaan yang diproduksi, reproduksi dan bersirkulasi. Universias berada dalam situasi dimana kekuasaan-kekuasaan saling berkontestasi. Dalam kondisi demikian, ia berjuang mereproduksi diri.
Bourdieu pun melihat bahwa universitas selama ini telah berperan dalam mereproduksi ketimpangan. Ini karena universitas sebagai dasar untuk mereproduksi status, sarana mempengaruhi dan menjadi kekuasaan ekonomi. Pendidikan merupakan alat legitimasi distribusi sumberdaya sosial melalui akses yang berbeda pada modal budaya. Bourdieu menggarisbawahi bagaimana relasi intelektual dan produksi budaya. Analisa Bourdieu tentang pendidikan berpusat ada struktur internal kekuasaan dalam universitas, yang menghasilkan jenis kekuasaan yang berbeda. Bourdieu menunjukan kecenderungan umum dalam transformasi pendidikan tinggi melalui tiga jenis modal simbolis yaitu kekuasan akademik, kekuasaan ilmiah dan intelektual. Pendidikan tinggi mencerminkan ketimpangan dalam masyarakat dengan sistem stratifikasi internalnya. Hal ini tergambar pada ranking universitas-universitas.
Dalam konteks ini, universitas sebagai produsen pengetahuan terkait erat dengan produksi modal budaya. Kekuasaan yang diproduksi dan dipertahankan secara simbolis dengan model-model budaya menjadikan universitas menduduki posisi yang sangat penting di masyarakat.
Terakhir, Gibbons et al. melihat pada kenyataan bahwa produksi pengetahuan telah memasuki fase baru. Fase ini terutama mulai nampak pada akhir abad ke-20. Gejala baru tersebut adalah apa yang dikenal dengan model 2 produksi pengetahuan yang bercirikan refleksif, transdisiplin, dan juga heterogenitas. Dalam kondisi ini universitas tidak lagi mendominasi produksi pengetahuan. Pengguna (user) pengetahuan memiliki posisi yang semakin berarti, dan secara bersama-sama ia ikut memproduksi pengetahuan.
Bacaan:
Delanty, Gerard. 2001. Challenging Knowledge; The University in The Knowledge Society London: Open University Press.
******
Universitas dan Modernitas
(Gerard Delanty bab 1, 2 dan 3)
Modernitas yang pada awalnya berupa perbaikan dalam sistem produksi industri, kemudian telah mempengaruhi segala sisi kehidupan. Delanty memaparkan bahwa universitas berperan penting dalam memberi isi modernitas ini melalui perannya dalam produksi dan komunikasi pengetahuan, setidaknya sampai pada paruh kedua abad ke-21.
Pandangan Delanty tentang modernitas
Modern dan modernitas berakar dari Eropa. Secara tindak langsung, apa yang disebut dengan pengetahuan (universal) sesungguhnya adalah tentang kultur Eropa, Kristen, dan juga lebih borjuis. Nilai-nilai ini lalu direproduksi dan dan didistribusikan ke seluruh penjuru dunia, salah satunya melalui universitas. Melalui disiplin keilmuan ala univeritas kultur ini lalu berkembang. Terlebih lagi, dengan kolaborasi universitas dengan negara di setiap masyarakat, maka adopsi nilai-nilai ini semakin cepat. Universitas adalah agen lahirnya modenitas khususnya dalam label liberal modernity.
Implikasi dari posisinya sebagai tempat produksi pengetahuan, universitas menjadi institusi utama dalam masyarakat yang mewujudkan transformasi dalam modernitas sejauh terkait dengan pengetahuan, produksi, organisasi, serta fungsi dan statusnya dalam masyarakat. Modernisasi juga terjadi dalam produksi, reproduksi, distribusi, serta pelekatan nilai-nilai terhadap pengetahuan. Universitas berperan dalam mode pengetahuan. Mode of knowledge adalah ”production of knowledge as a set of discourses cutting across the institutional of the epistemological”. Sementara, model kultural adalah model interperetatif bagaimana masyarakat memperoleh pengetahuan.
Pada bab 2 Delanty memaparkan bahwa universitas modern datang dari ide pencerahan (enlightment) yang sejajar dengan ide universitas sebagai legitimasi mode of knowledge. Universitas modern lahir di era abad pertengahan (medieval times) dengan melahirkan orang-orang di universitas yang berkarakter kosmopolitan. Manusia dengan karakter ini lalu menghasilkan universitas pengetahuan. Selain berkarakter Barat, juga ada universitas-universitas non kristen dan bahkan muslim. Sebuah Universitas di Timbuktu misalnya memiliki lebih dari 25 ribu mahasiswa di abad ke-15. Namun, peran universitas-universitas di Eropa sangat penting. Menurut Randall Collins, itu karena ia menciptakan dinamika yang kreatif dengan spesialisasi tertentu dan juga lebih kosmopolit. Peran universitas dalam modernitas di Eropa Barat tidak dapat diabaikan.
Pada awal perkembangannya, universitas lebih inklusif, dimana semua bidang dipelajari dan dikembangkan. Perkembangan kemudian, mode of knowledge berubah dari tipe doktrinal ke hermeunetis, sehingga pengetahuan pun semakin jadi free-floating discourse. Modernitas liberal mulai pada abad ke-19, dimana universitas berperan dalam membangun kultur sebagai identitas nasional. Hal ini didukung kondisi lingkungan menurunnya penggunaan bahasa Latin, dan meningkatnya bahasa nasional. Universitas penting dalam mengumpulkan dan mendefinisikan etnografi, materi kultural, kesadaran dan national imaginaries.
Ide tentang pencerahan telah memungkinkan universitas membentuk negara modern. Universitas bergerak di bidang pengajaran dan riset dalam bidang universal knowledge, meskipun pola aktivitasnya tidak sama persis. Universitas di Perancis mislanya tidak pernah memproduksi satu ide dengan cara seperti yang di Inggris, dan terlihat besarnya pengaruh teologi. Teori tentang universitas didasarkan pada knowledge as an end, meskipun Perancis lebih menekankan pada aspek utilitas dan Jerman pada dimensi kultural. Perubahan penting dimulai semenjak Weber melihat pengetahuan sebagai kesadaran utama menuju rasionalisasi. Jadi, ide bagaimana berfikir rasionalisasi melekat di pengetahuan modern yang muncul di Barat.
Di akhir abad ke-20, universitas berada dalam lingkungan masyarakat industrial, dimana struktur kognitif terpisah antara fakta dan value, alasan dan kesetiaan (faith), intelektual dan ekspert, kesatuan nasional (unity of nation) dan negara, serta tradisional dan modernitas. Ia kehilangan hak pencerahanyya untuk menetapkan nilai-nilai, dan cenderung menjadi enclave yang terasing dari masyarakat.
Keterkaitan antara perkembangan modernitas dengan universitas
Pada hakekatnya, nilai modernitas yang diusung secara universitas berasal dari semangat pencerahan dengan ide utamanya pada kesatuan dan universalitas nilai-nilai budaya Barat. Basisnya adalah bahwa mencari pengetahuan sangat penting bagi kesejahteraan. Universitas merupakan tempat utama produksi pengetahuan, yang posisinya di pinggir masyarakat dan di bawah kontrol negara. Meski demikian, pengetahuan tak pernah terinstitusionalisasi secara total. Negara bukanlah konsumen pasif pengetahuan. Tidak semua nilai-nilai baik pengetahuan diadopsi dan dijadikan dasar pengorganisasian negara.
Pada abad pertengahan universitas sudah bersifat kosmopolitan. Saat itu, universitas menjadi tempat pengetahuan universal yang dikaitkan dengan dunia Kekristenan. Universitas pada awalnya merupakan bagian dari biara. Pada awalnya mereka adalah kaum biarawan tetapi akhirnya menjadi sekuler. Dengan terbatasnya teknologi dan bahan tulisan, monopoli pengetahuan ada di tangan orang yang mampu membaca arsip dan tulisan yang ada, yaitu para sarjana. Pada awalnya universitas sangat bebas, tetapi kemudian menjadi semakin nasionalistik dan lemah karakter kekomopolitannya.
Nilai-nilai pencerahan besar pengaruhnya pada universitas di abad ke-19 yang dibentuk di kalangan negara-bangsa moderen. Pada kurun ini ada dua model universitas, yaitu ideal liberal (neohumanis) dan ideal moderen. Model pertama berakar pada neohumanis Jerman tentang kebebasan akademik dan pengetauan demi pengetetahuan itu sendiri. Sementara, ideal modern berasal dari Perancis yang menekankan ilmu pengetahuan dan memasukkan ide liberal.
Mulai awal abad ke-20 universitas lebih banyak mengabdi pada masyarakat industri. Pada bab 3 dipaparkan bahwa abad ke-20 adalah abad modern dimana lahir universitas riset. Dua pertiga universitas di Inggris lahir setelah tahun 1960-an. Universitas merupakan institusi unik, karena memproduksi lebih banyak pengetahuan dibandingkan dengan yang lain. Perannya semakin penting untuk pembangunan sosial, ekonomi, dan politik. Namun, di sisi lain ia melahirkan masyarakat borjuis, dan alienasi kultural dari masyarakat. Universitas kurang menyumbang di sisi kultur, tapi banyak pada etos integrasi. Universitas memberi ke masyarakat bentuk-bentuk model kultural baru yaitu modernitas liberal yang dicirikan oleh pertumbuhan separasi institusi, kultur, spesialisasi dan rasionalisasi. Dalam konteks ini, universitas telah menjadi inkubator organisasi modern.
Universitas juga berperan dalam pengembangan citizenship (partisipasi publik dalam kebjakan publik). Hal ini banyak dijumpai pada paruh kedua abad ke-20, ketika universitas menjadi bagian dari peningkatan partisipasi sosial dalam masyarakat secara lebih luas. Menurut Parson, pendidikan tinggi telah melahirkan revolusi pendidikan (educational revolution).
Sepanjang abad ke-20, merupakan era universitas modern. Universitas model ini muncul dari masyarakat massa dan mencerminkan model budaya dominan integrasi sosial yang didasarkan pada kewarganegaraan sebagai anggota komunitas nasional. Kepercayaan pada kesamaan (equality) merupakan misi pokok yang diusungnya. Universitas mendiseminasikan dua hal: pengetahuan dan kultural.
Alam modernitas abad ke-20 membawa mode pengetahuan baru, yaitu pengetahuan yang dikembangkan dengan disiplin dan dikontrol oleh intelektual ekspert. Ciri lainnya adalah, pengetahuan yang mengalami diferensiasi. Jadi, universitas bukan hanya produser pengetahuan tetapi juga penting penting dalam membangun dan akulturasi budaya.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa universitas adalah institusi yang tidak hanya memproduksi pengetahuan namun juga kultur, misalnya kultur modern. Ia merupakan institusi penting dalam memproduksi dan menyebarkan nilai-nilai modernitas ke segala penjuru dunia. Posisinya yang sentral di sepanjang abad ke-20 membuat perannya menjadi signifikan. Modernitas yang secara inheren terkandung dalam pengetahuan juga diproduksi dan disebarkan oleh universitas.
Bacaan:
Delanty, Gerard. 2001 Challenging Knowledge; The University in The Knowledge Society. London: Open University Press.
******
Modernitas yang pada awalnya berupa perbaikan dalam sistem produksi industri, kemudian telah mempengaruhi segala sisi kehidupan. Delanty memaparkan bahwa universitas berperan penting dalam memberi isi modernitas ini melalui perannya dalam produksi dan komunikasi pengetahuan, setidaknya sampai pada paruh kedua abad ke-21.
Pandangan Delanty tentang modernitas
Modern dan modernitas berakar dari Eropa. Secara tindak langsung, apa yang disebut dengan pengetahuan (universal) sesungguhnya adalah tentang kultur Eropa, Kristen, dan juga lebih borjuis. Nilai-nilai ini lalu direproduksi dan dan didistribusikan ke seluruh penjuru dunia, salah satunya melalui universitas. Melalui disiplin keilmuan ala univeritas kultur ini lalu berkembang. Terlebih lagi, dengan kolaborasi universitas dengan negara di setiap masyarakat, maka adopsi nilai-nilai ini semakin cepat. Universitas adalah agen lahirnya modenitas khususnya dalam label liberal modernity.
Implikasi dari posisinya sebagai tempat produksi pengetahuan, universitas menjadi institusi utama dalam masyarakat yang mewujudkan transformasi dalam modernitas sejauh terkait dengan pengetahuan, produksi, organisasi, serta fungsi dan statusnya dalam masyarakat. Modernisasi juga terjadi dalam produksi, reproduksi, distribusi, serta pelekatan nilai-nilai terhadap pengetahuan. Universitas berperan dalam mode pengetahuan. Mode of knowledge adalah ”production of knowledge as a set of discourses cutting across the institutional of the epistemological”. Sementara, model kultural adalah model interperetatif bagaimana masyarakat memperoleh pengetahuan.
Pada bab 2 Delanty memaparkan bahwa universitas modern datang dari ide pencerahan (enlightment) yang sejajar dengan ide universitas sebagai legitimasi mode of knowledge. Universitas modern lahir di era abad pertengahan (medieval times) dengan melahirkan orang-orang di universitas yang berkarakter kosmopolitan. Manusia dengan karakter ini lalu menghasilkan universitas pengetahuan. Selain berkarakter Barat, juga ada universitas-universitas non kristen dan bahkan muslim. Sebuah Universitas di Timbuktu misalnya memiliki lebih dari 25 ribu mahasiswa di abad ke-15. Namun, peran universitas-universitas di Eropa sangat penting. Menurut Randall Collins, itu karena ia menciptakan dinamika yang kreatif dengan spesialisasi tertentu dan juga lebih kosmopolit. Peran universitas dalam modernitas di Eropa Barat tidak dapat diabaikan.
Pada awal perkembangannya, universitas lebih inklusif, dimana semua bidang dipelajari dan dikembangkan. Perkembangan kemudian, mode of knowledge berubah dari tipe doktrinal ke hermeunetis, sehingga pengetahuan pun semakin jadi free-floating discourse. Modernitas liberal mulai pada abad ke-19, dimana universitas berperan dalam membangun kultur sebagai identitas nasional. Hal ini didukung kondisi lingkungan menurunnya penggunaan bahasa Latin, dan meningkatnya bahasa nasional. Universitas penting dalam mengumpulkan dan mendefinisikan etnografi, materi kultural, kesadaran dan national imaginaries.
Ide tentang pencerahan telah memungkinkan universitas membentuk negara modern. Universitas bergerak di bidang pengajaran dan riset dalam bidang universal knowledge, meskipun pola aktivitasnya tidak sama persis. Universitas di Perancis mislanya tidak pernah memproduksi satu ide dengan cara seperti yang di Inggris, dan terlihat besarnya pengaruh teologi. Teori tentang universitas didasarkan pada knowledge as an end, meskipun Perancis lebih menekankan pada aspek utilitas dan Jerman pada dimensi kultural. Perubahan penting dimulai semenjak Weber melihat pengetahuan sebagai kesadaran utama menuju rasionalisasi. Jadi, ide bagaimana berfikir rasionalisasi melekat di pengetahuan modern yang muncul di Barat.
Di akhir abad ke-20, universitas berada dalam lingkungan masyarakat industrial, dimana struktur kognitif terpisah antara fakta dan value, alasan dan kesetiaan (faith), intelektual dan ekspert, kesatuan nasional (unity of nation) dan negara, serta tradisional dan modernitas. Ia kehilangan hak pencerahanyya untuk menetapkan nilai-nilai, dan cenderung menjadi enclave yang terasing dari masyarakat.
Keterkaitan antara perkembangan modernitas dengan universitas
Pada hakekatnya, nilai modernitas yang diusung secara universitas berasal dari semangat pencerahan dengan ide utamanya pada kesatuan dan universalitas nilai-nilai budaya Barat. Basisnya adalah bahwa mencari pengetahuan sangat penting bagi kesejahteraan. Universitas merupakan tempat utama produksi pengetahuan, yang posisinya di pinggir masyarakat dan di bawah kontrol negara. Meski demikian, pengetahuan tak pernah terinstitusionalisasi secara total. Negara bukanlah konsumen pasif pengetahuan. Tidak semua nilai-nilai baik pengetahuan diadopsi dan dijadikan dasar pengorganisasian negara.
Pada abad pertengahan universitas sudah bersifat kosmopolitan. Saat itu, universitas menjadi tempat pengetahuan universal yang dikaitkan dengan dunia Kekristenan. Universitas pada awalnya merupakan bagian dari biara. Pada awalnya mereka adalah kaum biarawan tetapi akhirnya menjadi sekuler. Dengan terbatasnya teknologi dan bahan tulisan, monopoli pengetahuan ada di tangan orang yang mampu membaca arsip dan tulisan yang ada, yaitu para sarjana. Pada awalnya universitas sangat bebas, tetapi kemudian menjadi semakin nasionalistik dan lemah karakter kekomopolitannya.
Nilai-nilai pencerahan besar pengaruhnya pada universitas di abad ke-19 yang dibentuk di kalangan negara-bangsa moderen. Pada kurun ini ada dua model universitas, yaitu ideal liberal (neohumanis) dan ideal moderen. Model pertama berakar pada neohumanis Jerman tentang kebebasan akademik dan pengetauan demi pengetetahuan itu sendiri. Sementara, ideal modern berasal dari Perancis yang menekankan ilmu pengetahuan dan memasukkan ide liberal.
Mulai awal abad ke-20 universitas lebih banyak mengabdi pada masyarakat industri. Pada bab 3 dipaparkan bahwa abad ke-20 adalah abad modern dimana lahir universitas riset. Dua pertiga universitas di Inggris lahir setelah tahun 1960-an. Universitas merupakan institusi unik, karena memproduksi lebih banyak pengetahuan dibandingkan dengan yang lain. Perannya semakin penting untuk pembangunan sosial, ekonomi, dan politik. Namun, di sisi lain ia melahirkan masyarakat borjuis, dan alienasi kultural dari masyarakat. Universitas kurang menyumbang di sisi kultur, tapi banyak pada etos integrasi. Universitas memberi ke masyarakat bentuk-bentuk model kultural baru yaitu modernitas liberal yang dicirikan oleh pertumbuhan separasi institusi, kultur, spesialisasi dan rasionalisasi. Dalam konteks ini, universitas telah menjadi inkubator organisasi modern.
Universitas juga berperan dalam pengembangan citizenship (partisipasi publik dalam kebjakan publik). Hal ini banyak dijumpai pada paruh kedua abad ke-20, ketika universitas menjadi bagian dari peningkatan partisipasi sosial dalam masyarakat secara lebih luas. Menurut Parson, pendidikan tinggi telah melahirkan revolusi pendidikan (educational revolution).
Sepanjang abad ke-20, merupakan era universitas modern. Universitas model ini muncul dari masyarakat massa dan mencerminkan model budaya dominan integrasi sosial yang didasarkan pada kewarganegaraan sebagai anggota komunitas nasional. Kepercayaan pada kesamaan (equality) merupakan misi pokok yang diusungnya. Universitas mendiseminasikan dua hal: pengetahuan dan kultural.
Alam modernitas abad ke-20 membawa mode pengetahuan baru, yaitu pengetahuan yang dikembangkan dengan disiplin dan dikontrol oleh intelektual ekspert. Ciri lainnya adalah, pengetahuan yang mengalami diferensiasi. Jadi, universitas bukan hanya produser pengetahuan tetapi juga penting penting dalam membangun dan akulturasi budaya.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa universitas adalah institusi yang tidak hanya memproduksi pengetahuan namun juga kultur, misalnya kultur modern. Ia merupakan institusi penting dalam memproduksi dan menyebarkan nilai-nilai modernitas ke segala penjuru dunia. Posisinya yang sentral di sepanjang abad ke-20 membuat perannya menjadi signifikan. Modernitas yang secara inheren terkandung dalam pengetahuan juga diproduksi dan disebarkan oleh universitas.
Bacaan:
Delanty, Gerard. 2001 Challenging Knowledge; The University in The Knowledge Society. London: Open University Press.
******
Pengetahuan, Universitas, dan Negara
(Gerard Delanty bab Introduction dan Conclusion, serta Wallerstein bab 11)
Universitas, atau lebih tepatnya “perguruan tinggi”, memiliki posisi sentral dalam pengembangan pengetahuan. Karena itulah, bagaimana kondisi universitas yang berada di satu negara dapat mereflesikan kondisi pengetahuan di negara bersangkutan. Peran universitas ini dimainkan sepanjang apa yang disebut “era modern”, namun mulai mengalami kemunduran di akhir abad ke-20.
Sejarah sosial politik barat pada hakekatnya merupakan dinamika pengetahuan sebagai science dan pengtehuan sebagai kultur. Buku Gerard Delanty ini berisi tentang bagaimana relasi antara pengetahuan dan kultur demokrasi dengan memberi perhatian pada posisi dan peran yang dimainkan universitas. Sebagaimana kuriositas Durkheim yang sangat terkenal, Delanty juga mengajukan pertanyaan pokoknya: Is democracy of knowledge possible?
Peran sentral universitas dalam pengembangan pengetahuan dan kekuasaan
Mulai dari era awal modernitas, yakni dari era pencerahan ke pasca perang dunia, hidup pandangan bahwa pengetahuan ada di luar yaitu di tenga-tengah masyarakat sehari-hari. Kemudian, universitas mengambil alih peran ini. Konsep pokoknya adalah bahwa pengetahuan mesti berlokasi dan disentralisasi di universitas, bukan lagi dimasayarakat. Pengetahuan (knowledge) memperoleh posisi dan perhatian yang lebih dari informasi. Pengetahuan berperan menjadi struktur kognitif masyarakat, yaitu kapasitas masyarakat untuk belajar. Dalam kondisi ini, universitas berkembang dan tumbuh dalam format mendemokratisasikan pengetahuan (democratization of knowledge).
Perkembangan selanjutnya, universitas dengan perannya memproduksi dan mengontrol pengetahuan, maka ia pun memproduksi intelektual. Perkembangan lebih jauh, universitas lalu menjadi resistensi kaum intelektual untuk memperkuat kekuasaan. Universitas akhirnya mereposisi sebagai institusi untuk melayani kepentingan nasional.
Tahun 1960-an dan 1970-an merupakan masa-masa reformasi di universitas. Pada kurun waktu ini dampak universitas terhadap produksi pengetahuan masih rendah, karena mereka sibuk dengan penataan keorganisasiannya. Pada kurun berikutnya, universitas semakin memperkuat posisinya dan menjadi institusi utama dalam perjuangan radikalisasi demokrasi yang berbasis pengetahuan.
Implikasi lain, universitas menyumbang pada budaya otoritanianisme yang berlangsung melalui relasi kuat “universitas-negara-modernitas”. Dengan basis relasi ini, universitas menjadi institusi penting untuk memahami dinamika masyarakat dan negara. Delanty memaparkan saling dukung antara universitas dan modernitas, dimana universitas memproduksi akuntabilitas dan public intelectuals. Ada perbedaan pokok, dimana khususnya di Eropa perbedaan antara academis intelectual dan public intelectual tidak tajam, namun di AS lebih tajam.
Universitas menyimpan ilmu pengetahuan sepanjang abad ke-20, meskipun di akhir abad ke-20 universitas menjadi tidak “suci” lagi. Ilmu pengetahuan digunakan untuk menjaga demokrasi, dari sifat khas pengembangan pengetahuan. Relasi, atau kongkalingkong, universitas dan negara terjadi meluas, dimana universitas dibayar kekuasaan. Pada era ini dapat ditemukan betapa besarnya peranan rezim dalam mengontrol universitas. Menurut Gouldner, universitas terpaksa karena negara mengausai sumber daya ekonomi.
Modernitas merupakan suatu grand narratives, dimana masing-masing ilmu bisa mengembangkan dengan caranya sendiri. Karena kuatnya relasi pengetahuan yang mengusung modernitas dan universitas, maka modernitas merupakan produk dari universitas. Di sisi lain, universitas juga menjustifikasi negara untuk menjadi strong state. Jadi, universitas adalah agen pengetahuan yang tidak netral, karena universitas semestinya berperan menyeimbangkan otoritas negara dengan publik.
Universitas menjadi produsen ilmu dan sekaligus mengkomunikasikannya (communicative role), dimana universitas sebagai pelaku utama. Universitas sebagai mean of communication dan mean of orientasime namun lalu diambil alih oleh swasta. Konsep universitas dari Eropa Barat, tapi tidak diadopsi secara penuh, hanya sebagian. Universitas yang punya otoritas dengan visi khas. Univeritas sudah mati.
Delanty menelaah posisi penting universitas sebagai sub system masyarakat di dalam negara, yang lahir dari alam modernitas dan bagaimana pergeseran posisinya seiring perkembangan era modernitas. Abad ke-21 merupakan era dari para intelektual menggantikan sisa-sisa dari humanisme pencerahan dimana universitas menjalankan fungsi yang baru di dalam masyarakat. Universitas tinggal hanya menyuplai tenaga kerja terlatih.
Penurunan peran dan harapan untuk peran baru Universitas
Mulai akhir abad ke-20, terjadi krisis pada struktur otoritas dan struktur kognitif masyarakat. Dalam kondisi ini semesetinya universitas melakukan respon untuk merubah sifat produksi pengetahaun yakni menjadi struktur kognitif. Perkembangan teknologi dan informasi telah melahirkan basis struktur kognitif baru. Dalam kondisi ini, universitas tidak lagi memiliki privelese untuk pengetahuan sebagaimana sebelumnya. Masyarakat kontemporer semakin terintegrasi oleh komunikasi, dan besarnya peran media massa dalam mengucurkan informasi. Akibatnya, peran universitas semakin mundur, dimana ia tidak lagi menjadi pemberi pencerahan kepada masyarakat.
Menghadapi tantangan baru ini, menurut Delanty semestinya universitas lebih fokus pada upaya melakukan reinterpretasi kultural tentang makna pengetahuan dan modernitas. Perubahan pada mode of knowledege yang berkaitan dengan transformasi di model kultural, telah pula merubah basisnya berupa perubahan kerangka intelektual masyarakat. Untuk itu, universitas harus merubah konsep komunikasinya. Universitas tak lagi produsen pengetahuan, tapi lebih kepada peran mengkomunikasikannya. Ia mestinya berperan di struktur kognitif yang lebih luas terhadap pengetahuan.
Pada era masyarakat pasca industri (postindustrial) sekarang ini krisis tidak hanya terjadi pada struktur otoritas dan struktur kognitif masyarakat, tetapi juga terjadi dalam konstitusi ilmu pengetahuan sebagai akibat masuknya demokrasi ke dalam ilmu pengetahuan itu sendiri. Jika di era sebelumnya pengaruh demokrasi dan gerakan sosial tidak berpengaruh secara langsung pada produksi ilmu pengetahuan, saat ini pengaruh komunikasi telah menembus secara nyata pada produksi pengetahuan. Ilmu pengetahuan menuntut model baru yang ditandai dengan semakin banyaknya pelaku atau produser pengetahuan, dan batas-batas disiplin juga menjadi kabur. Pengetahuan yang lebih dibutuhkan adalah yang bercorak multidisiplin.
Kondisi ini meminggirkan atau mendelegitimasi peran kunci universitas. Krisis terjadi dalam perjuangan untuk pengetahuan. Mode pengetahuan dengan pola modernitas terorganisir dan model kultural telah berakhir. Delanty melihat perubahan dalam mode pengetahuan dimana kesepakatan negara dan pengetahuan tidak bisa lagi dipertahankan. Akibat globalisasi, pasar menggeser negara sebagai “pengontrol“ produsen pengetahuan. Perubahan mode pengetahuan ini adalah buah dari pendidikan massal, kritik dan gerakan sosial baru, serta munculnya teknologi informasi. Akibatnya, pengetahuan awam dan profesional semakin konvergen. Terjadi persaingan dalam klaim pengetahuan. Situasi kontemporer saat ini telah menimbulkan pergeseran epistemik. Perubahan mode pengetahuan yang mestrukturisasi model-model kultural merupakan perubahan yang lebih mendalam dalam konteks sosial politik kultural masyarakat.
Delanty memimpikan universitas sebagai institusi yang semestinya mengambil posisi sentral dalam ruang publik berhadapan media massa yang semakin berkuasa. Universitas sedapatnya harus merebut ruang publik yang telah hilang dan dikontrol media massa. Untuk itu, universitas harus dapat membangun bentuk-bentuk disensus yang terinstitusionalisasi dimana universias menjadi tempat debat publik. Karena universitas menjadi situs interkoneksi, maka penataan komunikais menjadi sangat penting.
Menghadapi tantangan baru ini universitas harus mampu memproduksi jenis pengetahuan yang berhubungan dengan penelitian dasar dan akumulasi informasi, pengetahuan berkenaan pengalaman manusia dan pembentukan kepribadian, pengetahuan yang berhubunan dengan tugas praktis pelatihan kerja dan akreditasi bagi kehidupan profesional, serta pengetahuan berkenaan dengan isu publik yang lebih luas. Inilah tanggung-jawab sosial universitas baru. Universitas mesti menjadi aktor kunci dalam ruang publik dan memperkuat demokratisasi pengetahuan. Hal ini dapat dilakukan hanya apabila ia mampu menjadi mediator berbagai mode pengetahuan, mengartikulasikan model budaya dan melakukan inovasi institusional.
Era late modernity saat ini dimana berlangsung pergerakan dari krisis menuju transformasi kognitif, berlangsung pula disintegrasi secara gradual dari mode of knowledge. Corak lama yang berbasiskan pengetahuan mono disiplin yang terinstitusionalisasi ke dalam kerangka kerja nasional dan dilegitimasi oleh model-model budaya modernisasi, spesialisasi dan rutinisasi; saat ini beralih di bawah pengaruh globalisasi. Konsepsi baru berkenaan demokrasi dan kewarganegaraan muncul menantang visi-visi yang lebih dulu ada. Pendidikan massal, pengembangan media dan teknologi masyarakat postindustrial ini, menjadikan dimana pengetahuan lebih tersedia dari pada sebelumnya. Berlangsung pula kontestasi di dalam dan antar pengetahuan itu sendiri.
Menurut Delanty, pergeseran kognitif yang terjadi saat ini merupakan kemerosotan dari peran pencerahan pengetahuan (enlightment's republic of science). Meningkatnya kritik publik dan kebutuhan demokratisasi telah berdampak langsung kepada ciri rasional pengetahuan. Pergeseran kognitif ini meruapakn sesuatu yang komunikatif, namun sekaligus ditantang oleh pemahaman neoliberal universitas. Posisi universitas di tempat yang aman pada masa pemerintahan negara di era enlighment sudah tidak ada lagi.
Perubahan ini memberi banyak pelajaran. Universitas menjadi institusi yang berwenang memproduksi pengetahuan termasuk pengetahuan sejarah. Dalam konteks ini, kritik Wallerstein yang terkenal dengan Teori Sistem Dunianya baik pula diteladani. Melalui teorinya yang disusun dengan basis analisis sejarah dan sosiologi ekonomi serta menggunakan pendekatan bersifat praksis (relasi yang kuat antara teori dan praktek); menyatakan bahwa tujuan aktifitas intelektual adalah menciptakan pengetahuan yang membongkar struktur-struktur tersembunyi yang memungkinkan seorang intelektual bertindak dan merubah dunia. Kegundahan Wallerstein merujuk pada pertanyaan mengapa masih saja sering muncul perdebatan antara pengetahuan sejarah dan realitas sejarah yang sejatinya memiliki perbedaan yang cukup jauh. Penulisan sejarah dan peristiwa sejarah adalah dua hal yang berbeda.
Dalam perjuangan metodologisnya, Wallerstein ingin mengurai ketidakpastian terhadap ilmu-ilmu alam, akibat dari ketidakpuasan teori-teori ilmiah yang lebih tua. Ini untuk menawarkan solusi-solusi yang masuk akal terhadap kesulitan-kesulitan yang muncul ketika para ilmuwan mencoba memecahkan fenomena yang jauh lebih kompleks. Masyarakat membutuhkan penjelasan yang lebih kompleks.. Dari sinilah secara sadar, Wallerstein ingin menawarkan solusi bahwa ilmu-ilmu sosial dapat menjadi kendaraan untuk memecahkan masalah realitas yang ada. Wallerstein ingin agar ada hubungan dialektis antara pengetahuan dan realitas. Pengetahuan yang dikonstruksikan dari realitas pada gilirannya memengaruhi realitas itu sendiri; dan perubahan di dalam realitas juga akan mampu merekonstruksi pengetahuan. Realitas dan pengetahuan berdialektika secara positif.
Bacaan:
Delanty, Gerard. 2001 Challenging Knowledge; The University in The Knowledge Society London: Open University Press.
Wallerstein, Immanuel. 1999. The End of the World as We Know It: Social Science for the Twenty-First Century. Minneapolis: the University of Minnesota Press.
*****
Universitas, atau lebih tepatnya “perguruan tinggi”, memiliki posisi sentral dalam pengembangan pengetahuan. Karena itulah, bagaimana kondisi universitas yang berada di satu negara dapat mereflesikan kondisi pengetahuan di negara bersangkutan. Peran universitas ini dimainkan sepanjang apa yang disebut “era modern”, namun mulai mengalami kemunduran di akhir abad ke-20.
Sejarah sosial politik barat pada hakekatnya merupakan dinamika pengetahuan sebagai science dan pengtehuan sebagai kultur. Buku Gerard Delanty ini berisi tentang bagaimana relasi antara pengetahuan dan kultur demokrasi dengan memberi perhatian pada posisi dan peran yang dimainkan universitas. Sebagaimana kuriositas Durkheim yang sangat terkenal, Delanty juga mengajukan pertanyaan pokoknya: Is democracy of knowledge possible?
Peran sentral universitas dalam pengembangan pengetahuan dan kekuasaan
Mulai dari era awal modernitas, yakni dari era pencerahan ke pasca perang dunia, hidup pandangan bahwa pengetahuan ada di luar yaitu di tenga-tengah masyarakat sehari-hari. Kemudian, universitas mengambil alih peran ini. Konsep pokoknya adalah bahwa pengetahuan mesti berlokasi dan disentralisasi di universitas, bukan lagi dimasayarakat. Pengetahuan (knowledge) memperoleh posisi dan perhatian yang lebih dari informasi. Pengetahuan berperan menjadi struktur kognitif masyarakat, yaitu kapasitas masyarakat untuk belajar. Dalam kondisi ini, universitas berkembang dan tumbuh dalam format mendemokratisasikan pengetahuan (democratization of knowledge).
Perkembangan selanjutnya, universitas dengan perannya memproduksi dan mengontrol pengetahuan, maka ia pun memproduksi intelektual. Perkembangan lebih jauh, universitas lalu menjadi resistensi kaum intelektual untuk memperkuat kekuasaan. Universitas akhirnya mereposisi sebagai institusi untuk melayani kepentingan nasional.
Tahun 1960-an dan 1970-an merupakan masa-masa reformasi di universitas. Pada kurun waktu ini dampak universitas terhadap produksi pengetahuan masih rendah, karena mereka sibuk dengan penataan keorganisasiannya. Pada kurun berikutnya, universitas semakin memperkuat posisinya dan menjadi institusi utama dalam perjuangan radikalisasi demokrasi yang berbasis pengetahuan.
Implikasi lain, universitas menyumbang pada budaya otoritanianisme yang berlangsung melalui relasi kuat “universitas-negara-modernitas”. Dengan basis relasi ini, universitas menjadi institusi penting untuk memahami dinamika masyarakat dan negara. Delanty memaparkan saling dukung antara universitas dan modernitas, dimana universitas memproduksi akuntabilitas dan public intelectuals. Ada perbedaan pokok, dimana khususnya di Eropa perbedaan antara academis intelectual dan public intelectual tidak tajam, namun di AS lebih tajam.
Universitas menyimpan ilmu pengetahuan sepanjang abad ke-20, meskipun di akhir abad ke-20 universitas menjadi tidak “suci” lagi. Ilmu pengetahuan digunakan untuk menjaga demokrasi, dari sifat khas pengembangan pengetahuan. Relasi, atau kongkalingkong, universitas dan negara terjadi meluas, dimana universitas dibayar kekuasaan. Pada era ini dapat ditemukan betapa besarnya peranan rezim dalam mengontrol universitas. Menurut Gouldner, universitas terpaksa karena negara mengausai sumber daya ekonomi.
Modernitas merupakan suatu grand narratives, dimana masing-masing ilmu bisa mengembangkan dengan caranya sendiri. Karena kuatnya relasi pengetahuan yang mengusung modernitas dan universitas, maka modernitas merupakan produk dari universitas. Di sisi lain, universitas juga menjustifikasi negara untuk menjadi strong state. Jadi, universitas adalah agen pengetahuan yang tidak netral, karena universitas semestinya berperan menyeimbangkan otoritas negara dengan publik.
Universitas menjadi produsen ilmu dan sekaligus mengkomunikasikannya (communicative role), dimana universitas sebagai pelaku utama. Universitas sebagai mean of communication dan mean of orientasime namun lalu diambil alih oleh swasta. Konsep universitas dari Eropa Barat, tapi tidak diadopsi secara penuh, hanya sebagian. Universitas yang punya otoritas dengan visi khas. Univeritas sudah mati.
Delanty menelaah posisi penting universitas sebagai sub system masyarakat di dalam negara, yang lahir dari alam modernitas dan bagaimana pergeseran posisinya seiring perkembangan era modernitas. Abad ke-21 merupakan era dari para intelektual menggantikan sisa-sisa dari humanisme pencerahan dimana universitas menjalankan fungsi yang baru di dalam masyarakat. Universitas tinggal hanya menyuplai tenaga kerja terlatih.
Penurunan peran dan harapan untuk peran baru Universitas
Mulai akhir abad ke-20, terjadi krisis pada struktur otoritas dan struktur kognitif masyarakat. Dalam kondisi ini semesetinya universitas melakukan respon untuk merubah sifat produksi pengetahaun yakni menjadi struktur kognitif. Perkembangan teknologi dan informasi telah melahirkan basis struktur kognitif baru. Dalam kondisi ini, universitas tidak lagi memiliki privelese untuk pengetahuan sebagaimana sebelumnya. Masyarakat kontemporer semakin terintegrasi oleh komunikasi, dan besarnya peran media massa dalam mengucurkan informasi. Akibatnya, peran universitas semakin mundur, dimana ia tidak lagi menjadi pemberi pencerahan kepada masyarakat.
Menghadapi tantangan baru ini, menurut Delanty semestinya universitas lebih fokus pada upaya melakukan reinterpretasi kultural tentang makna pengetahuan dan modernitas. Perubahan pada mode of knowledege yang berkaitan dengan transformasi di model kultural, telah pula merubah basisnya berupa perubahan kerangka intelektual masyarakat. Untuk itu, universitas harus merubah konsep komunikasinya. Universitas tak lagi produsen pengetahuan, tapi lebih kepada peran mengkomunikasikannya. Ia mestinya berperan di struktur kognitif yang lebih luas terhadap pengetahuan.
Pada era masyarakat pasca industri (postindustrial) sekarang ini krisis tidak hanya terjadi pada struktur otoritas dan struktur kognitif masyarakat, tetapi juga terjadi dalam konstitusi ilmu pengetahuan sebagai akibat masuknya demokrasi ke dalam ilmu pengetahuan itu sendiri. Jika di era sebelumnya pengaruh demokrasi dan gerakan sosial tidak berpengaruh secara langsung pada produksi ilmu pengetahuan, saat ini pengaruh komunikasi telah menembus secara nyata pada produksi pengetahuan. Ilmu pengetahuan menuntut model baru yang ditandai dengan semakin banyaknya pelaku atau produser pengetahuan, dan batas-batas disiplin juga menjadi kabur. Pengetahuan yang lebih dibutuhkan adalah yang bercorak multidisiplin.
Kondisi ini meminggirkan atau mendelegitimasi peran kunci universitas. Krisis terjadi dalam perjuangan untuk pengetahuan. Mode pengetahuan dengan pola modernitas terorganisir dan model kultural telah berakhir. Delanty melihat perubahan dalam mode pengetahuan dimana kesepakatan negara dan pengetahuan tidak bisa lagi dipertahankan. Akibat globalisasi, pasar menggeser negara sebagai “pengontrol“ produsen pengetahuan. Perubahan mode pengetahuan ini adalah buah dari pendidikan massal, kritik dan gerakan sosial baru, serta munculnya teknologi informasi. Akibatnya, pengetahuan awam dan profesional semakin konvergen. Terjadi persaingan dalam klaim pengetahuan. Situasi kontemporer saat ini telah menimbulkan pergeseran epistemik. Perubahan mode pengetahuan yang mestrukturisasi model-model kultural merupakan perubahan yang lebih mendalam dalam konteks sosial politik kultural masyarakat.
Delanty memimpikan universitas sebagai institusi yang semestinya mengambil posisi sentral dalam ruang publik berhadapan media massa yang semakin berkuasa. Universitas sedapatnya harus merebut ruang publik yang telah hilang dan dikontrol media massa. Untuk itu, universitas harus dapat membangun bentuk-bentuk disensus yang terinstitusionalisasi dimana universias menjadi tempat debat publik. Karena universitas menjadi situs interkoneksi, maka penataan komunikais menjadi sangat penting.
Menghadapi tantangan baru ini universitas harus mampu memproduksi jenis pengetahuan yang berhubungan dengan penelitian dasar dan akumulasi informasi, pengetahuan berkenaan pengalaman manusia dan pembentukan kepribadian, pengetahuan yang berhubunan dengan tugas praktis pelatihan kerja dan akreditasi bagi kehidupan profesional, serta pengetahuan berkenaan dengan isu publik yang lebih luas. Inilah tanggung-jawab sosial universitas baru. Universitas mesti menjadi aktor kunci dalam ruang publik dan memperkuat demokratisasi pengetahuan. Hal ini dapat dilakukan hanya apabila ia mampu menjadi mediator berbagai mode pengetahuan, mengartikulasikan model budaya dan melakukan inovasi institusional.
Era late modernity saat ini dimana berlangsung pergerakan dari krisis menuju transformasi kognitif, berlangsung pula disintegrasi secara gradual dari mode of knowledge. Corak lama yang berbasiskan pengetahuan mono disiplin yang terinstitusionalisasi ke dalam kerangka kerja nasional dan dilegitimasi oleh model-model budaya modernisasi, spesialisasi dan rutinisasi; saat ini beralih di bawah pengaruh globalisasi. Konsepsi baru berkenaan demokrasi dan kewarganegaraan muncul menantang visi-visi yang lebih dulu ada. Pendidikan massal, pengembangan media dan teknologi masyarakat postindustrial ini, menjadikan dimana pengetahuan lebih tersedia dari pada sebelumnya. Berlangsung pula kontestasi di dalam dan antar pengetahuan itu sendiri.
Menurut Delanty, pergeseran kognitif yang terjadi saat ini merupakan kemerosotan dari peran pencerahan pengetahuan (enlightment's republic of science). Meningkatnya kritik publik dan kebutuhan demokratisasi telah berdampak langsung kepada ciri rasional pengetahuan. Pergeseran kognitif ini meruapakn sesuatu yang komunikatif, namun sekaligus ditantang oleh pemahaman neoliberal universitas. Posisi universitas di tempat yang aman pada masa pemerintahan negara di era enlighment sudah tidak ada lagi.
Perubahan ini memberi banyak pelajaran. Universitas menjadi institusi yang berwenang memproduksi pengetahuan termasuk pengetahuan sejarah. Dalam konteks ini, kritik Wallerstein yang terkenal dengan Teori Sistem Dunianya baik pula diteladani. Melalui teorinya yang disusun dengan basis analisis sejarah dan sosiologi ekonomi serta menggunakan pendekatan bersifat praksis (relasi yang kuat antara teori dan praktek); menyatakan bahwa tujuan aktifitas intelektual adalah menciptakan pengetahuan yang membongkar struktur-struktur tersembunyi yang memungkinkan seorang intelektual bertindak dan merubah dunia. Kegundahan Wallerstein merujuk pada pertanyaan mengapa masih saja sering muncul perdebatan antara pengetahuan sejarah dan realitas sejarah yang sejatinya memiliki perbedaan yang cukup jauh. Penulisan sejarah dan peristiwa sejarah adalah dua hal yang berbeda.
Dalam perjuangan metodologisnya, Wallerstein ingin mengurai ketidakpastian terhadap ilmu-ilmu alam, akibat dari ketidakpuasan teori-teori ilmiah yang lebih tua. Ini untuk menawarkan solusi-solusi yang masuk akal terhadap kesulitan-kesulitan yang muncul ketika para ilmuwan mencoba memecahkan fenomena yang jauh lebih kompleks. Masyarakat membutuhkan penjelasan yang lebih kompleks.. Dari sinilah secara sadar, Wallerstein ingin menawarkan solusi bahwa ilmu-ilmu sosial dapat menjadi kendaraan untuk memecahkan masalah realitas yang ada. Wallerstein ingin agar ada hubungan dialektis antara pengetahuan dan realitas. Pengetahuan yang dikonstruksikan dari realitas pada gilirannya memengaruhi realitas itu sendiri; dan perubahan di dalam realitas juga akan mampu merekonstruksi pengetahuan. Realitas dan pengetahuan berdialektika secara positif.
Bacaan:
Delanty, Gerard. 2001 Challenging Knowledge; The University in The Knowledge Society London: Open University Press.
Wallerstein, Immanuel. 1999. The End of the World as We Know It: Social Science for the Twenty-First Century. Minneapolis: the University of Minnesota Press.
*****
Langganan:
Postingan (Atom)